Sejarah Dunia Kuno

2021 a year of miracles and 'unlocking' millions

Jan 22, 2013

Kanon dan sedikit mengenai sejarahnya.

Kata 'kanon' semula berarti 'buluh' dan merupakan kata pinjaman dari bahasa Semit yang juga meminjamnya dari bahasa Sumer. Karena buluh dipakai utnuk mengukur maka akhirnya kata ini dipakai sebagak istilah yang berhubungan dengan pengukuran. Dalam hal kitab suci, kanon adalah sebuah istilah teknis yang berarti buku-buku yang dianggap bermuatan 'keilahian' dan dengan demikian dianggap layak masuk dalam Kitab Suci. Dalam hal Perjanjian Lama, ada dua kanon yang paling dikenal, yaitu kanon Ibrani dan kanon Yunani. Yang pertama menerima 39 kitab yang dalam ilmu Perjanjian Lama dikenal sebagai Torah, Nabi-nabi, dan Kitab-kitab. Kanon yang satu lagi, yaitu Kanon Yunani, selain 39 kitab ini memasukkan juga tambahan kitab-kitab lain. Tambahan kitab ini dalam Gereja Katolik dikenal sebagai kitab-kitab Deuterokanonika, sedangkan 39 kitab yang lain dikenal sebagai Protokanonika. Konsili Trent (1546) dan Vatikan I (1870) memutuskan bahwa baik kitab Protokanonika maupun Deuterokanonika sama-sama memiliki kewibawaan sebagai kitab suci. Dalam Gereja Protestan kitab Deuterokanonika disebut Apokrifa (artinya: tersembunyi) dan tidak diterima sebagai bagian dari kanon. Sementara, dalam Gereja Katolik, Apokrifa sendiri adalah juga sebutan untuk kitab-kitab yang oleh gereja-gereja Protestan dikenal sebagai

Pseudoepigrafa.

Sejarah kekristenan mencatat beberapa pandangan yang berbeda mengenai status Apokrifa atau Deuterokanonika. Luther misalnya, memandang Apokrifa sebagai kitab-kitab yang tidak kanonik, tapi berharga dan layak untuk dibaca. Itu sebabnya, dalam Alkitab terjemahannya yang berbahasa Jerman (1534), Luther menyertakan juga Apokrifa. Lain Luther, lain lagi Calvin, menurut reformatoris ini dan pengikutnya, kitab-kitab Apokrifa cenderung bersifat kontroversial dalam gereja, tidak memiliki wewenang keilahian, dan menjadi sumber pengajaran yang keliru. Untuk sedikit menjembatani perbedaan ini, Luther lalu menyusun Alkitab terjemahannya (1534) dengan menempatkan kitab-kitab Deuterokanonika di antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, tidak lagi sebagai bagian dari Perjanjian Lama sebagaimana dalam Septuaginta. Praktik ini lalu diikuti oleh beberapa terbitan lain seperti The Coverdale Version dalam bahasa Inggris (1535), The Olivetan Bible dalam bahasa Perancis (1535), dan The Reins Valera Bible dalam bahasa Spanyol (1602). Sementara itu, yang mengikuti alur pikiran Calvin dan kawan-kawan tercermin dalam misalnya Confessio Belgica (1561) dan Westminster Confession (1647). Dua perbedaan pandangan ini mewarnai sejarah gereja-gereja Protestan dan pada gilirannya, ketika Lembaga Alkitab Sedunia (United Bible Societies) berdiri dengan diawali oleh kelahiran British and Foreign Bible Society (BFBS) pada tahun 1710 dualisme pandangan ini juga tercermin di dalamnya.

Hal ini misalnya tampak dalam anjuran BFBS yang menasihatkan cabang-cabangnya untuk tidak menyertakan Deuterokanonika dalam terjemahan maupun dalam terbitan mereka. Tetapi, dalam kenyataannya, beberapa cabang di Benua Eropa lebih memilih untuk melayani umat yang menginginkan adanya Alkitab dengan kitab-kitab Deuterokanonika di dalamnya. Bisa dikatakan, pada dekade-dekade selanjutnya lembaga-lembaga Alkitab di negara-negara Anglo-Saxon termasuk American Bible Society lebih menampakkan pengaruh reformasi. Sementara di negara-negara dengan Lutheran sebagai gereja negara, Deuterokanonika diterjemahkan, diterbitkan, dan didistribusikan dengan tanpa keraguan sedikitpun. Pada dekade tahun 1960, sikap lembaga Alkitab makin pasti terhadap terbitan Deuterokanonika. Bersamaan dengan itu, melalui Konsili Vatikan II Gereja Katolik pun memutuskan untuk melayankan misa dalam bahasa nasional suatu negara. Hal ini berarti mesti tersedia Alkitab dalam banyak bahasa yang penuturnya adalah umat Katolik. Melalui berbagai proses, lembaga-lembaga Alkitab yang tergabung dalam Lembaga Alkitab sedunia (UBS) lalu akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa adalah gereja yang menetapkan kanon dan bukan lembaga Alkitab. Dalam hal ini lembaga Alkitab memutuskan untuk tidak bersikap doktrinal dan sebaliknya melayani umat sesuai dengan kebutuhannya. Bagi umat yang menginginkan Deuterokanonika maka hal itu akan disediakan. Jadi, penerjemahan dan penerbitan yang berdasarkan pada permintaan. Selain itu juga diatur berbagai hal lain, di antaranya mengenai penempatan Deuterokanonika yang dalam Kanon Yunani ditempatkan sebagai bagian dari Perjanjian Lama maka sekarang diletakkan di antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Lembaga Alkitab Indonesia yang berdiri pada tahun 1954 juga mengambil sikap seperti ini dengan menempatkan Deuterokanonika sebagai bagian dari terbitan LAI untuk umat Katolik. Selain itu, Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (Terjemahan Baru 1974, Bahasa Indonesia Sehari-hari 1985) berbahasa Indonesia juga tercatat sebagai salah satu dari sedikit terjemahan di dunia yang berstatus interconfessional, artinya diterima dan dipakai baik oleh gereja-gereja Protestan maupun Katolik. Sebagai sebuah lembaga penyedia Kitab Suci, tujuan LAI adalah melayani semua gereja, kelompok, dan orang yang membutuhkan Alkitab. LAI telah memilih untuk tidak memilih dengan tidak berpihak pada sebuah aliran. Karena, pelayanan kami ditujukan pada orang-orang yang memerlukan Alkitab. Merekalah yang menjadi perhatian utama LAI dan untuk itu kami harus mendahulukan mereka ketimbang memilih sebuah dogma atau doktrin yang cenderung mengikat.

No comments: