Sejarah Dunia Kuno

2021 a year of miracles and 'unlocking' millions

Jun 6, 2020

Ekspedisi Tabuk

Ekspedisi Tabuk (Arab: غزوة تبوك; Perang Tabuk/Pertempuran Tabuk), adalah ekspedisi yang dilakukan umat Islam pimpinan Muhammad pada 630 M atau 9 H, ke Tabuk, yang sekarang terletak di wilayah Arab Saudi barat laut.

Pada September 629, pasukan Islam gagal mengalahkan pasukan Bizantium (Romawi Timur) dalam pertempuran Mu'tah. Banyak yang menganggap hal ini sebagai tanda melemahnya kekuatan umat Islam, dan memancing beberapa kabilah Arab menyerang umat Muslim di Madinah. Pada musim panas tahun 630, umat Muslim mendengar kabar bahwa Bizantium dan sekutu Ghassaniyah-nya telah menyiapkan pasukan besar untuk menginvasi Hijaz dengan kekuatan sekitar 40.000-100.000 orang.

Di lain pihak, Kaisar Bizantium Heraclius menganggap bahwa kekuasaan kaum Muslimin di Jazirah Arab berkembang dengan pesat, dan daerah Arab harus segera ditaklukkan sebelum orang-orang Muslim menjadi terlalu kuat dan dapat menimbulkan masalah bagi Bizantium.

Jumlah pasukan Islam yang terkumpul sebenarnya cukup besar, tiga puluh ribu personil. Tapi mereka minim perlengkapan perang. Bekal makanan dan kendaraan yang ada masih sangat sedikit dibanding dengan jumlah pasukan.

Setiap delapan belas orang mendapat jatah satu onta yang mereka kendarai secara bergantian. Berulangkali mereka memakan dedaunan, sehingga bibir mereka rusak.

Mereka terpaksa menyembelih onta, meski jumlahnya sedikit, agar dapat meminum air yang terdapat dalam kantong air onta tersebut. Oleh karena itu, pasukan ini dinamakan jaisyul usrrah, atau pasukan yang berada dalam kesulitan..

Setelah sampai di Tabuk, umat Islam tidak menemukan pasukan Bizantium ataupun sekutunya. Menurut sumber-sumber Muslim, mereka menarik diri ke utara setelah mendengar kedatangannya pasukan Rasulullah. Namun, tidak ada sumber non-Muslim yang mengkonfirmasi hal ini.

Pasukan Muslim berada di Tabuk selama 10 hari. Ekspedisi ini dimanfaatkan Rasulullah untuk mengunjungi kabilah-kabilah yang ada di sekitar Tabuk. Hasilnya, banyak kabilah Arab yang sejak itu tidak lagi mematuhi Kekaisaran Bizantium, dan berpihak kepada Rasulullah dan umat Islam. Rasulullah juga berhasil mengumpulkan pajak dari kabilah-kabilah tersebut.

Saat hendak pulang dari Tabuk, rombongan Rasulullah didatangi oleh para pendeta Kristen di Lembah Sinai. Rasulullah berdiskusi dengan mereka, dan terjadi perjanjian yang mirip dengan Piagam Madinah bagi kaum Yahudi. Piagam ini berisi perdamaian antara umat Islam dan umat Kristen di daerah tersebut.

Rasulullah dan pasukan Muslimin akhirnya kembali ke Madinah setelah 30 hari meninggalkannya. Umat Islam maupun Kekaisaran Bizantium tidak menderita korban sama sekali dari peristiwa ini, karena pertempuran tidak pernah terjadi

Pengepungan Tha'if

Pengepungan Tha'if terjadi pada 630 M, saat kaum Muslimin pimpinan Rasulullah mengasingkan dan mengepung kota Tha'if, yang dikuasai oleh suku Hawazin dan Tsaqif, yang dikalahkan dalam pertempuran Hunain. Penduduk Tha'if berhasil bertahan dari pengepungan ini, dan baru masuk Islam menyatakan kesetiaannya pada Muhammad setelah Ekspedisi Tabuk (630 M). Salah seorang kepala suku Tha'if Urwah bin Mas'ud tidak ada pada saat pengepungan ini, dan nantinya ia-lah yang memimpin kaumnya masuk Islam.

Sedikit sekali yang diketahui mengenai jalannya pengepungan ini. Namun, dalam pengepungan ini diketahui bahwa Abu Sufyan, yang bertempur di pihak muslim, kehilangan salah satu matanya. Ketika Muhammad bertanya kepadanya "Yang manakah yang engkau lebih inginkan, sebuah mata di surga, atau aku berdoa kepada Allah agar matamu dikembalikan sekarang?" Abu Sufyan menjawab ia lebih memilih sebuah mata di surga. Nantinya, ia kehilangan matanya yang lain pada Pertempuran Yarmuk (636 M).

Sekalipun pengepungan ini berakhir dengan kegagalan, tak berapa lama setelah pengepungan ini para penduduk Tha'if (Bani Tsaqif) akhirnya masuk Islam, tepatnya setelah ekspedisi Tabuk. Atas perintah Nabi Muhammad, maka berhala Al-Laata kemudian dihancurkan oleh utusan kaum Muslimin, yaitu Abu Sufyan bin Harb dan Mughirah bin Syu'bah.

Pertempuran Autas

Pertempuran Autas adalah pertempuran antara umat Muslim dan suku-suku penyembah berhala di Arab pada tahun 630 di Autas atau Awtas, sebuah lembah di pegunungan yang terletak di timur laut Tha'if, Arab Saudi.[1] Pertempuran ini terjadi setelah Pertempuran Hunain, dan sebelum Pengepungan Thaif. Pasukan Muslim berhasil mengalahkan musuhnya setelah melalui pertempuran sengit.  Sisa pasukan yang dikalahkan lalu melarikan diri ke perbukitan disekitar.

Pertempuran Hunain

Pertempuran Hunain adalah pertempuran antara Nabi Muhammad Salallahu 'Alaihi Wasallam dan pengikutnya melawan kaum Badui dari suku Hawazin dan Tsaqif pada tahun 630 M atau 8 H, di sebuah pada salah satu jalan dari Mekkah ke Thaif. Pertempuran ini berakhir dengan kemenangan telak bagi kaum Muslimin, yang juga berhasil memperoleh rampasan perang yang banyak. Pertempuran Hunain merupakan salah satu pertempuran yang disebutkan dalam Al-Qur'an, yaitu surat At-Taubah 25-26.

Suku Hawazin dan para sekutunya dari suku Tsaqif mulai menyiapkan pasukan mereka ketika mengetahui bahwa Nabi Muhammad Salallahu 'Alaihi Wasallam dan tentaranya berangkat dari Madinah menuju Mekah, yang ketika itu masih dikuasai kaum kafir Quraisy. Persekutuan kaum Badui dari suku Hawazin dan Tsaqif berniat akan menyerang pasukan Nabi Muhammad Salallahu 'Alaihi Wasallam ketika sedang mengepung Mekkah. Namun, penaklukan Mekkah berjalan cepat dan damai. Nabi Muhammad Salallahu 'Alaihi Wasallam pun mengetahui maksud suku Hawazin dan Tsaqif, dan memerintahkan pasukan dia bergerak menuju Hawazin dengan kekuatan 12.000 orang, terdiri dari 10.000 Muslim yang turut serta dalam penaklukan Mekkah, ditambah 2.000 orang Quraisy Mekkah yang baru masuk Islam. Hal ini terjadi sekitar dua minggu setelah penaklukan Mekkah, atau empat minggu setelah Nabi Muhammad Salallahu 'Alaihi Wasallam meninggalkan Madinah.[5] Pasukan kaum Badui terdiri dari suku Hawazin, Tsaqif, bani Hilal, bani Nashr, dan bani Jasyam.

Jalannya pertempuran

Saat pasukan muslim bergerak menuju daerah Hawazin, pemimpin kaum Badui Malik bin Auf al-Nasri menyergap mereka di lembah sempit yang bernama Hunain. Kaum Badui menyerang dari ketinggian, menggunakan batu dan panah, mengejutkan kaum Muslimin dan menyulitkan organisasi serangan kaum Muslimin. Pasukan Muslim mulai mundur dalam kekacauan, dan tampaknya akan menderita kekalahan. Pemimpin Quraisy Abu Sufyan yang ketika itu baru masuk Islam, mengejek dan berkata "Kaum Muslimin akan lari hingga ke pantai".

Pada saat kritis ini, sepupu Nabi yakni Ali bin Abi Thalib dibantu pamannya Abbas mengumpulkan kembali pasukan yang melarikan diri, dan organisasi kaum Muslimin mulai terbentuk kembali.Hal ini juga dibantu dengan sempitnya medan pertempuran, yang menguntungkan kaum Muslimin sebagai pihak bertahan. Pada saat ini, seorang pembawa bendera dari kaum Badui menantang pertarungan satu-lawan-satu. Ali menerima tantangan ini dan berhasil mengalahkannya. Nabi Muhammad Salallahu 'Alaihi Wasallam lalu memerintahkan serangan umum, dan kaum Badui mulai melarikan diri dalam dua kelompok. Kelompok pertama nantinya akan kembali berperang melawan kaum Muslim dalam pertempuran Autas, dan sisanya mengungsi ke Thaif, dan nantinya akan dikepung oleh kaum Muslim.

Kelanjutan

Pasukan muslim berhasil menangkap keluarga dan harta benda dari suku Hawazin, yang dibawa oleh Malik bin Aus ke medan pertempuran. Rampasan perang ini termasuk 6.000 tawanan, 24.000 unta, 40.000 kambing, serta 4.000 waqih perak (1 waqih = 213 gram perak).

Pertempuran ini mendemonstrasikan keahlian Ali bin Abi Thalib dalam mengorganisir pasukan dalam keadaan terjepit. Pertempuran ini juga menunjukkan kemurahan hati kaum Muslimin, yang memperlakukan tawanan dengan baik dan membebaskan 600 diantaranya secara cuma-cuma. Sisa tawanan ditahan dalam rumah-rumah khusus hingga berakhirnya Pengepungan Thaif.

Pembebasan Mekkah

Pembebasan Mekkah (bahasa Arab: فتح مكة, Fathu Makkah) merupakan peristiwa yang terjadi pada tahun 630 tepatnya pada tanggal 10 Ramadan 8 H, di mana Nabi Muhammad beserta 10.000 pasukan bergerak dari Madinah menuju Mekkah, dan kemudian menguasai Mekkah secara keseluruhan tanpa pertumpahan darah sedikitpun, sekaligus menghancurkan berhala yang ditempatkan di dalam dan sekitar Ka'bah.

Pada tahun 628, Quraisy dan Muslim dari Madinah menandatangani Perjanjian Hudaybiyah. Meskipun hubungan yang lebih baik terjadi antara Mekkah dan Madinah setelah penandatanganan Perjanjian Hudaybiyah, 10 tahun gencatan senjata dirusak oleh Quraisy, dengan sekutunya Bani Bakr, menyerang Bani Khuza'ah yang merupakan sekutu Muslim, walaupun sebenarnya yang pertama kali menyerang Bani Bakr adalah Bani Khuza'ah, dan sayang sekali permasalahan tersebut hanya diselesaikan dengan perjanjian elite yang tidak melibatkan akar rumput, sehingga masih menimbulkan dendam dikalangan Bani Bakr. Pada saat itu musyrikin Quraisy ikut membantu Bani Bakr, padahal berdasarkan kesepakatan damai dalam perjanjian tersebut di mana Bani Khuza'ah telah bergabung ikut dengan Nabi Muhammad dan sejumlah dari mereka telah memeluk islam, sedangkan Bani Bakr bergabung dengan musyrikin Quraisy.

Abu Sufyan, kepala suku Quraisy di Mekkah, pergi ke Madinah untuk memperbaiki perjanjian yang telah dirusak itu, tetapi nabi Muhammad menolak, Abu Sufyan pun pulang dengan tangan kosong. Sekitar 10.000 orang pasukan Muslim pergi ke Mekkah yang segera menyerah dengan damai. Nabi Muhammad bermurah hati kepada pihak Mekkah, dan memerintahkan untuk menghancurkan berhala di sekitar dan di dalam Ka'bah. Selain itu hukuman mati juga ditetapkan atas 17 orang Mekkah atas kejahatan mereka terhadap orang Muslim, meskipun pada akhirnya beberapa di antaranya diampuni.

Pemimpin pasukan

Tanggal 10 Ramadan 8 H, Nabi Muhammad beserta 10.000 pasukan bergerak dari Madinah menuju Mekkah, dan kota Madinah diwakilkannya kepada Abu Ruhm Al-Ghifary.

Ketika sampai di Dzu Thuwa, Nabi Muhammad membagi pasukannya, yang terdiri dari tiga bagian, masing-masing adalah:

    Khalid bin Walid memimpin pasukan untuk memasuki Mekkah dari bagian bawah,
    Zubair bin Awwam memimpin pasukan memasuki Mekkah bagian atas dari bukit Kada', dan menegakkan bendera di Al-Hajun,
    Abu Ubaidah bin al-Jarrah memimpin pasukan dari tengah-tengah lembah hingga sampai ke Mekkah. Menurut pendapat lain, empat bagian pasukan, bagian yang keempat dipimpin oleh
    Sa'ad bin 'Ubadah memimpin orang madinah supaya memasuki Mekkah dari arah sebelah barat.

Dari Al-Hajun Nabi Muhammad memasuki Mesjid Al-Haram dengan dikelilingi kaum Muhajirin dan Anshar. Setelah thawaf mengelilingi Ka'bah, Nabi Muhammad mulai menghancurkan berhala dan membersihkan Ka'bah. Dan selesailah pembebasan Mekkah.

Pertempuran Mu'tah

Pertempuran Mu'tah (bahasa Arab: معركة مؤتة , غزوة مؤتة‎) terjadi pada 629 M atau 5 Jumadil Awal 8 Hijriah ), dekat kampung yang bernama Mu'tah, di sebelah timur Sungai Yordan dan Al Karak, antara pasukan Khulafaur Rasyidin yang dikirim oleh Nabi Muhammad dan tentara Kekaisaran Romawi Timur (Bashra).

Setelah Perjanjian Hudaibiyyah disepakati, Rasullulah mengirimkan surat-surat dakwah sekaligus berdiplomasi kepada para penguasa negeri yg berbatasan dengan jazirah arab, termasuk kepada Heraklius. Pada Tahun 7 hijriah atau 628 AD, Rasulullah menugaskan al-Harits bin ‘Umair untuk mengirimkan surat dakwah kepada Gubernur Syam (Irak) bernama Hanits bin Abi Syamr Al-Ghassani yg baru diangkat oleh Kekaisaran Romawi. Dalam Perjalanan, di daerah sekitar Mu'tah, al-Harits bin ‘Umair dicegat dan dibunuh oleh penguasa setempat bernama Syurahbil bin ‘Amr al-Ghassani pemimpin dari suku Ghassaniyah (Pada waktu itu yang berkuasa di wilayah Palestina dan sekitarnya).  Dan Pada tahun yg sama Utusan Rasulullah pada Banu Sulayman dan Dhat al Talh daerah di sekitar negeri Syam (Irak) juga dibunuh oleh penguasa sekitar. Sebelumnya, tidak pernah seorang utusan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibunuh dalam misinya.

Sedangkan menurut sumber-sumber Barat modern, pertempuran ini adalah upaya penaklukan yang gagal terhadap bangsa Arab di sebelah timur Sungai Jordan.  Tentunya hal ini dikritisi sebab tidak mampu menjelaskan secara logis latar belakang pertempuran, antara pasukan muslim yg bahkan belum mempersatukan jazirah Arab dan belum menguasai Makkah yang berani menentang kekuasaan bangsa adidaya Romawi di daerah utara yang sangat jauh dari Madinah.


Pertempuran

Sebelum pasukan islam berangkat untuk menegakkan panji La ilaha Illallah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam telah menunjuk tiga orang sahabat sekaligus mengemban amanah komanda secara bergantian bila komandan sebelumnya gugur dalam tugas di medan peperangan hingga mengakibatkan tidak dapat meneruskan kepemimpinan. Sebuah keputusan yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Mereka itu adalah Ja'far bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah (berasal dari kaum muhajirin) dan seorang sahabat dari Anshar, Abdullah bin Rawahah, penyair Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.
Singkatnya, pasukan islam yang berjumlah 3000 personel diberangkatkan. Ketika mereka sampai di daerah Ma’an, terdengar berita bahwa Heraklius mempersiapkan 100 ribu pasukannya. Selain itu, kaum Nasrani dari beberapa suku Arab pun telah siap dengan jumlah yang sama. Mendengar kabar yang demikian, sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum mengusulkan supaya meminta bantuan pasukan kepada Rasulullah atau dia memutuskan suatu perintah.

‘Abdullah bin Rawanah radhiyallahu ‘anhu lantas mengobarkan semangat juang para sahabat radhiyallahu ‘anhum pada waktu itu dengan perkataannya , “Demi Allah, sesungguhnya perkata yang kalian tidak sukai ini adalah perkata yang kamu keluar mencarinya, yaitu syahadah (gugur dimedan perang dijalan Allah Azza wa Jalla). Kita itu tidak berjuang karena karena jumlah pasukan atau kekuatan. Kita berjuang untuk agama ini yang Allah Azza wa Jalla telah memuliakan kita dengannya. Bergeraklah. Hanya ada salah satu dari dua kebaikan : kemenangan atau gugur (syahid) di medan perang.”

Orang-orang menanggapi dengan berkata, “ Demi Allah, Ibnu Rawanah berkata benar”.

Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, panglima pertama yang ditunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, kemudian membawa pasukan ke wilayah Mu’tah. Dua pasukan berhadapan dengan sengit. Komandan pertama ini menebasi anak panah-anak panah pasukan musuh sampai akhirnay tewas terbunuh di jalan Allah Azza wa Jalla.

Bendera pun beralih ke tangan Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Sepupu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam ini berperang sampai tangan kanannya putus. Bendera dia pegangi dengan tangan kiri, dan akhirnya putus juga oleh tangan musuh. Dalam kondisi demikian, semangat dia tak mengenal surut, saat tetap berusaha mempertahankan bendera dengan cara memeluknya sampai dia gugur oleh senjata lawan. Berdasarkan keterangan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, salah seorang saksi mata yang ikut serta dalam perang itu, terdapat tidakkurang 90 luka di bagian tubuh depan dia baik akibat tusukan pedang dan maupun anak panah.

Giliran ‘Abdullah bin Rawanah radhiyallahu ‘anhu pun datang. Setelah menerjang musuh, ajal pun memjemput dia di medan peperangan.

Tsabit bin Arqam radhiyallahu ‘anhu mengambil bendera yang telah tak bertuan itu dan berteriak memanggil para Sahabat Nabi agar menentukan pengganti yang memimpin kaum muslimin. Maka, pilihan mereka jatuh pada Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu. Dengan kecerdikan dan kecemerlangan siasat dan strategi – setelah taufik dari Allah Azza wa Jalla – kaum muslimin berhasil memukul Romawi hingga mengalami kerugian yang banyak.
 

Setelah pertempuran

Menyaksikan peperangan yang tidak seimbang antara kaum muslimin dengan kaum kuffar, yang merupakan pasukan aliansi antara kaum Nashara Romawi dan Nashara Arab, secara logis, kekalahan bakal di alami oleh para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengungkapkan ketakjubannya terhadap kekuasaan Allah Azza wa Jalla melalui hasil peperangan yang berakhir dengan kemenangan kaum muslimin dengan berkata : “Ini kejadian yang menakjubkan sekali. Dua pasukan bertarung, saling bermusuhan dalam agama. Pihak pertama pasukan yang berjuang dijalan Allah Azza wa Jalla, dengan kekuatan 3000 orang. Dan pihak lainnya, pasukan kafir yang berjumlah 200 ribu pasukan. 100 ribu orang dari Romawi dan 100 ribu orang dari Nashara Arab. Mereka saling bertarung dan menyerang. Meski demikian sengitnya, hanya 12 orang yang terbunuh dari pasukan kaum muslimin. Padahal, jumlah korban tewas dari kaum musyirikin sangat banyak”.

Allah Azza wa Jalla berfirman :
“ Orang-orang yang menyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah? Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Al-Baqarah 2:249)     ”

Para ulama sejarah tidak bersepakat pada satu kata mengenai jumlah syuhada Mu’tah. Namun, yang jelas jumlah mereka tidak banyak. Hanya berkisar pada angka belasan, menurut hitungan yang terbanyak. Padahal, peperangan Mu’tah sangat sengit. Ini dapat dibuktikan bahwa Khalid bin Walid rahimahullah menghabiskan 9 pucuk pedang dalam perang tersebut. Hanya satu pedang yang tersisa, hasil buatan Yaman.

Khalid rahimahullah berkata, “Telah patah Sembilan pedang ditanganku, tidak tersisa kecuali pedang buatan Yaman.

Menurut Imam Ibnu Ishaq seorang Imam dalam ilmu sejarah Islam, syuhada perang Mu’tah hanya berjumlah 8 Sahabat saja. Secara terperinci yaitu Ja’far bin Abi Thalib, dan mantan budak Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam Zaid bin Haritsah al-Kalbi, Mas’ud bin al-Aswad bin Haritsah bin Nadhlah al-‘Adawi, Wahb bin Sa’d bin Abi Sarh radhiyallahu ‘anhum.

Sementara dari kalangan kaum anshar, ‘Abdullah bin Rawahah, ‘Abbad bin Qais al-Khozarjayyan, al-Harits bin an-Nu’man bin Isaf bin Nadhlah an-Najjari, Suraqah bin ‘Amr bin Athiyyah bin Khansa al-Mazini radhiyallahu ‘anhum.

Di sisi lain, Imam Ibnu Hisyam rahimahullah dengan berlandaskan keterangan az-Zuhri rahimahullah, menambahkan empat nama dalam deretan Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang gugur di medan perang Mu’tah. Yakni, Abu Kulaib dan Jabir. Dua orang ini saudara sekandung. Ditambah ‘Amr bin ‘Amir putra Sa’d bin Tsa’labah bi Malik bin Afsha. Mereka juga berasal dari kaum anshar. Dengan ini, jumlah syuhada bertambah menjadi 12 jiwa.

Pertempuran Khaibar

Pertempuran Khaibar adalah pertempuran yang terjadi antara umat Islam yang dipimpin Nabi Muhammad S.A.W. dengan umat Yahudi yang hidup di oasis Khaybar, sekitar 150 km dari Madinah, Arab Saudi. Pertempuran ini berakhir dengan kemenangan umat Islam, dan Nabi Muhammad S.A.W. berhasil memperoleh harta, senjata, dan dukungan kabilah setempat.Pertempuran ini terjadi sekitar dua pekan kemudian, Rasul S.A.W. bahkan memimpin sendiri ekspedisi militer menuju Khaibar, daerah sejauh tiga hari perjalanan dari Madinah. Khaibar adalah daerah subur yang menjadi benteng utama Yahudi di jazirah Arab. Terutama setelah Yahudi di Madinah ditaklukkan oleh Rasulullah

Latar Belakang

William Montgomery Watt menganggap penyebab pertempuran ini adalah Yahudi Bani Nadhir yang menimbulkan permusuhan melawan umat Islam. Hanya beberapa hari Nabi Muhammad S.A.W. berada di Madinah usai peristiwa Hudaibiyah itu

Peperangan

Yahudi tak mempunyai cukup kekuatan untuk menggempur kaum Muslimin. Namun mereka cerdik. Mereka mampu menyatukan musuh-musuh Nabi Muhammad S.A.W. dari berbagai kabilah yang sangat kuat. Hal itu terbukti pada Perang Khandaq. Bagi warga Muslim di Madinah, Yahudi lebih berbahaya dibanding musuh-musuh lainnya.

Maka Nabi Muhammad S.A.W. menyerbu ke jantung pertahanan musuh. Suatu pekerjaan yang tak mudah dilakukan. Pasukan Romawi yang lebih kuat pun tak mampu menaklukkan benteng Khaibar yang memiliki sistem pertahanan berlapis-lapis yang sangat baik. Sallam anak Misykam mengorganisasikan prajurit Yahudi. Perempuan, anak-anak dan harta benda mereka tempatkan di benteng Watih dan Sulaim. Persediaan makanan dikumpulkan di benteng Na’im. Pasukan perang dikonsentrasikan di benteng Natat. Sedangkan Sallam dan para prajurit pilihan maju ke garis depan.

Sallam tewas dalam pertempuran itu. Tapi pertahanan Khaibar belum dapat ditembus. Nabi Muhammad S.A.W. menugasi Abu Bakar untuk menjadi komandan pasukan. Namun gagal. Demikian pula Umar. Akhirnya kepemimpinan komando diserahkan pada Ali.

Di Khaibar inilah nama Ali menjulang. Keberhasilannya merenggut pintu benteng untuk menjadi perisai selalu dikisahkan dari abad ke abad. Ali dan pasukannya juga berhasil menjebol pertahanan lawan. Harith bin Abu Zainab -komandan Yahudi setelah Sallam-pun tewas. Benteng Na’im jatuh ke tangan pasukan Islam.

Setelah itu benteng demi benteng dikuasai. Seluruhnya melalui pertarungan sengit. Benteng Qamush kemudian jatuh. Demikian juga benteng Zubair setelah dikepung cukup lama. Semula Yahudi bertahan di benteng tersebut. Namun pasukan Islam memotong saluran air menuju benteng yang memaksa pasukan Yahudi keluar dari tempat perlindungannya dan bertempur langsung. Benteng Watih dan Sulaim pun tanpa kecuali jatuh ke tangan pasukan Islam.

Sesudah Pertempuran

Yahudi lalu menyerah. Seluruh benteng diserahkan pada umat Islam. Nabi Muhammad S.A.W. memerintahkan pasukannya untuk tetap melindungi warga Yahudi dan seluruh kekayaannya, kecuali Kinana bin Rabi’ yang terbukti berbohong saat dimintai keterangan rasulullah.

Perlindungan itu tampaknya sengaja diberikan oleh rasulullah untuk menunjukkan beda perlakuan kalangan Islam dan Kristen terhadap pihak yang dikalahkan. Biasanya, pasukan Kristen dari kekaisaran Romawi akan menghancurludeskan kelompok Yahudi yang dikalahkannya. Sekarang kaum Yahudi Khaibar diberi kemerdekaan untuk mengatur dirinya sendiri sepanjang mengikuti garis kepemimpinan Nabi Muhammad S.A.W. dalam politik.

Nabi Muhammad SAW sempat tinggal beberapa lama di Khaibar. Ia bahkan nyaris meninggal lantaran diracun. Diriwayatkan bahwa Zainab binti Harith menaruh dendam pada Nabi Muhammad S.A.W.. Sallam, suaminya, tewas dalam pertempuran Khaibar. Zainab lalu mengirim sepotong daging domba untuk Nabi Muhammad SAW. Rasulullah sempat mengigit sedikit daging tersebut, tetapi segera memuntahkannya setelah merasa ada hal yang ganjil. Tidak demikian halnya dengan sahabat rasul, Bisyri bin Bara. Ia meninggal lantaran memakan daging tersebut.

Khaibar telah ditaklukkan. Rombongan pasukan Rasulullah S.A.W. kembali ke Madinah melalui Wadil Qura, wilayah yang dikuasi kelompok Yahudi lainnya. Pasukan Yahudi setempat mencegat rombongan tersebut. Sebagaimana di Khaibar, mereka kemudian ditaklukkan pula. Sedangkan Yahudi Taima’ malah mengulurkan tawaran damai tanpa melalui peperangan.

Dengan penaklukan tersebut, Islam di Madinah telah menjadi kekuatan utama di jazirah Arab. Ketenangan masyarakat semakin terwujud. Dengan demikian, Nabi Muhammad S.A.W. dapat lebih berkonsentrasi dalam dakwah membangun moralitas masyarakat.

Kaum Yahudi menyerah dengan syarat membayar pajak dan memberikan tanahnya kepada umat Islam. Akibatnya, mereka banyak yang menjadi hamba sahaya. Menurut Stillman, orang-orang Yahudi dari Bani Nadhir tidak termasuk dalam perjanjian ini, dan seluruh orang bani Nadhir akhirnya dibunuh, kecuali anak-anak dan wanita yang dijadikan budak. Setelah pertempuran ini orang-orang Yahudi masih tinggal di Khaibar, hingga akhirnya diusir oleh khalifah Umar bin Khattab. Pembebanan pajak terhadap orang-orang Yahudi menandai dimulainya penerapan jizyah terhadap para dzimmi di bawah pemerintahan Islam, dan penahanan tanah mereka menjadi milik komunitas Islam.

Karena kemenangan umat Islam dalam pertempuran ini, kata "Khaibar" sering disebutkan dalam slogan, lagu, atau senjata-senjata buatan orang-orang Islam.

Perjanjian Hudaibiyyah

Perjanjian Hudaibiyyah (bahasa Arab: صلح الحديبية‎) adalah sebuah perjanjian yang diadakan di wilayah Hudaibiyah Mekkah pada Maret, 628 M (Dzulqa'dah, 6 H). Hudaibiyah terletak 22 KM arah Barat dari Mekkah menuju Jeddah, sekarang terdapat Masjid Ar-Ridhwân. Nama lain Hudaibiyah adalah Asy-Syumaisi yang diambil dari nama Asy-Syumaisi yang menggali sumur di Hudaibiyah.

Pada tahun 628 M, sekitar 1400 Muslim berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah umrah. Mereka mempersiapkan hewan kurban untuk dipersembahkan kepada Allah SWT. Namun karena saat itu kaum Quraisy di Mekkah sangat anti terhadap kaum Muslim Madinah (terkait kekalahan dalam perang Khandaq), maka Mekkah tertutup untuk kaum Muslim. Quraisy, walaupun begitu, menyiagakan pasukannya untuk menahan Muslim agar tidak masuk ke Mekkah. Pada waktu ini, bangsa Arab benar benar bersiaga terhadap kekuatan militer Islam yang sedang berkembang. Nabi Muhammad mencoba agar tidak terjadi pertumpahan darah di Mekkah, karena Mekkah adalah tempat suci.

Akhirnya kaum Muslim menyetujui langkah Nabi Muhammad, bahwa jalur diplomasi lebih baik daripada berperang. Kejadian ini diabadikan dalam Alquran sebagai berikut.

وَهُوَ الَّذِي كَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ عَنْهُمْ
بِبَطْنِ مَكَّةَ مِنْ بَعْدِ أَنْ أَظْفَرَكُمْ عَلَيْهِمْ
وَكَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرًا
  

Dan Dia-lah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasanakan) mereka
di tengah kota Mekah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka,
dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
—QS Al-Fath [48]: 24   

Perjanjian

Garis besar Perjanjian Hudaibiyah berisi:

"Dengan nama Tuhan. Ini perjanjian antara Muhammad dan Suhail bin 'Amru, perwakilan Quraisy. Tidak ada peperangan dalam jangka waktu sepuluh tahun. Siapapun yang ingin mengikuti Muhammad, diperbolehkan secara bebas. Dan siapapun yang ingin mengikuti Quraisy, diperbolehkan secara bebas. Seorang pemuda, yang masih berayah atau berpenjaga, jika mengikuti Muhammad tanpa izin, maka akan dikembalikan lagi ke ayahnya dan penjaganya. Bila seorang mengikuti Quraisy, maka ia tidak akan dikembalikan. Tahun ini Muhammad akan kembali ke Madinah. Tapi tahun depan, mereka dapat masuk ke Mekkah, untuk melakukan tawaf disana selama tiga hari. Selama tiga hari itu, penduduk Quraisy akan mundur ke bukit-bukit. Mereka haruslah tidak bersenjata saat memasuki Mekkah"

Manfaat perjanjian

Manfaat Hudaibiyah bagi kaum Muslim adalah:

    Bebas dalam menunaikan agama Islam
    Tidak ada teror dari Quraisy
    Mengajak kerajaan-kerajaan luar seperti Ethiopia-afrika untuk masuk Islam

Hasil

Perjanjian Hudaibiyah ternyata dilanggar oleh Quraisy, tetapi kaum Muslim bisa membalasnya dengan penaklukan Mekkah (Fathul Makkah) pada tahun 630 M
Kaum Muslim berpasukan sekitar 10000 tentara. Di Mekkah, mereka hanya menemui sedikit rintangan. Setelah itu, mereka meruntuhkan segala simbol keberhalaan di depan Ka'bah

Perang Bani Qurayzhah

Perang Bani Qurayzhah, yang dikenal sebagai peperangan besar-besaran atas Bani Qurayzhah , terjadi di bulan Dzulqa'dah sepanjang Februari dan Maret 627 (5 Hijriyah) .

Nabi Muhammad mengepung Bani Qurayzhah selama 25 hari sampai mereka menyerah. Salah seorang sahabat menyatakan "para laki-lakinya dibunuh, harta rampasan dibagi, dan wanita dan anak-anak dijadikan tawanan". Nabi Muhammad setuju karena sesuai dengan perintah Allah, di mana setiap laki-laki dewasa dipenggal. Menurut Daniel C. Peterson dan Martin Lings, keputusan ini sesuai dengan hukum Moses dalam Deuteronomy 20:10-14. Ulama Hadits Tabari mengutip 600–900 telah diekseskusi. Hadits sunni tidak menyebutkan jumlah yang tewas, tetapi semua laki-laki tewas dan seorang wanita. Wanita lainnya dan anak-anak dijual atau ditukar dengan senjata dan kuda, menurut sumber Islam.

Menurut Ibnu Katsir, Ayat Quran ayat 33:26-27 and 33:9-10 tentang penyerbuan ke Bani Qurayzhah.

Bani Qurayzha dahulu bersekutu dengan Muhammad dan selama pertempuran Khandaq, mereka meminjamkan peralatan perang untuk berjaga-jaga di Madinah, tetapi mereka tidak ikut serta dalam tiap pertempuran. Bani Qurayzha sangat tersinggung dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad agar bertindak keras terhadap Yahudi, dan menurut Al-Waqidi, mereka bernegosiasi dengan penduduk Mekkah.

Waqidi menyatakan bahwa Muhammad memiliki kesepakatan dengan suku yang terpecah belah tersebut. Norman Stillman dan Watt percaya bahwa kesepakatan dimaksud "diragukan" keberadaannya, walaupun Watt percaya bahwa Qurayzhah telah sepakat untuk tidak membantu musuh Muhammad. Al-Waqidi sering dikritik oleh penulis Muslim yang menyebutnya tidak bisa dipercaya. Menurut Mubrakpuri, Peters, Stillman, Guillaume, Inamdar dan Ibnu Katsir, pada hari penaklukan Mekkah, Muhammad memimpin pasukannya melawan kaum di lingkungan Bani Qurayzhah. Menurut tradisi Muslim, Muhammad diperintah melakukan hal itu melalui Malaikat Jibril.

Pertempuran Khandaq

Pertempuran Khandaq (Arab:غزوة الخندق) juga dikenal sebagai Pertempuran Al-Ahzab, Pertempuran Konfederasi, dan Pengepungan Madinah terjadi pada bulan Syawal tahun 5 Hijriah atau pada tahun 627 Masehi, pengepungan Madinah ini dipelopori oleh pasukan gabungan antara kaum kafir Quraisy makkah dan yahudi bani Nadir (al-ahzaab). Pengepungan Medinah dimulai pada 31 Maret, 627 dan berakhir setelah 27 hari.

Sebab-Sebab Perang Khandaq

Orang-Orang Yahudi yang diusir lalu ditempatkan di Khaibar, sebuah wilayah di luar Kota Madinah. Hal itu membuat mereka kecewa dan marah. Mereka terdiri atas duasuku utama, yaitu Bani Nadhir dan Bani Wail.


Etimologi

Pertempuran ini dinamai Pertempuran Khandaq (Arab الخندق) karena parit yang digali oleh umat Islam dalam persiapan untuk pertempuran. Kalimat Khandaq kata adalah bentuk bahasa Arab dari bahasa Persia "kandak" (yang berarti "Itu yang telah digali").

Pertempuran juga disebut sebagai Pertempuran Konfederasi (bahasa Arab غزوة الاحزاب). Al-Qur'an menggunakan istilah sekutu (Arab الاحزاب) dalam surah Al-Ahzab [Quran 33:9-32] untukmenunjukkan konfederasi Arab pagan dan Arab Yahudi terhadap Islam.
Pertempuran

Pengepungan adalah "pertempuran kecerdasan", di mana para ahlik taktik Muslim mengatasi lawan-lawan mereka, sementara jatuh korban sangatlah sedikit. Upaya konfederasi untuk mengalahkan kaum Muslim gagal, dan kekuatan Islam menjadi berpengaruh di wilayah tersebut. Akibatnya, tentara Muslim mengepung sekitar Banu Qurayza, yang mengarah ke penyerahan tanpa syarat mereka. Kekalahan itu menyebabkan Mekah kehilangan perdagangan mereka dan sebagian besar adalah kehormatan harga diri mereka.

Untuk melindungi Madinah dari serangan gabungan, maka dibuatlah parit sebagai strategi berperang untuk menghindari serbuan langsung dari pasukan Al-Ahzab Quraisy dan bani Nadir. Strategi pembuatan parit di sela sela daerah yang tidak terlindungi oleh pegunungan sebagai tempat perlindungan adalah strategi dari sahabat Rasulullah S.A.W bernama Salman al-Farisi yang berasal dari Persia, sehingga perang ini disebut dengan pertempuran parit/khandaq. Sejatinya strategi ini berasal dari Persia, yang dilakukan apabila mereka terkepung atau takut dengan keberadaan pasukan berkuda.

Lalu digalilah parit di bagian utara Madinah selama sembilan/sepuluh hari. Pasukan gabungan datang dengan kekuatan 10.000 pasukan yang siap berperang. Pasukan gabungan membuat kemah di bagian utara Madinah, karena di tempat itu adalah tempat yang paling tepat untuk melakukan perang. Pada Pertempuran Khandaq, terjadi pengkhianatan dari kaum Yahudi Bani Qurayzhah atas kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya untuk mempertahankan kota Madinah, tetapi bani Quraizhah mengkhianati perjanjian itu.

Setelah terjadi pengepungan selama satu bulan penuh Nua'im bin Mas'ud al-Asyja'i yang telah memeluk Islam tanpa sepengetahuan pasukan gabungan dengan keahliannya memecah belah pasukan gabungan. Lalu Allah S.W.T mengirimkan angin yang memporakporandakan kemah pasukan gabungan, memecahkan periuk-periuk mereka, dan memadamkan api mereka. Hingga akhirnya pasukan gabungan kembali ke rumah mereka dengan kegagalan menaklukan kota Madinah. Setelah peperangan itu, Rasulullah dan para sahabat berangkat menuju kediaman bani quraizah untuk mengadili mereka.

Konfederasi

Awal tahun 627, orang-orang Yahudi dari Bani Nadir bertemu dengan Quraisy Mekah Arab. Huyayy bin Akhtab, bersama dengan para pemimpin lainnya dari Khaybar, melakukan perjalanan untuk sumpah setia dengan Safwan di Mekah. Sebagian besar tentara Konfederasi dikumpulkan oleh pagan Quraish Mekah, yang dipimpin oleh Abu Sufyan, yang menerjunkan 4.000 prajurit, 300 penunggang kuda, dan 1.000-1.500 orang pada unta.

Bani Nadir mulai meriahkan para perantau dari Najd. Mereka meminta Bani Ghatafan dengan membayar setengah dari hasil panen mereka. Rombongan kedua terbesar ini, menambahkan kekuatan sekitar 2.000 300 laki-laki berkuda yang dipimpin oleh Unaina bin Hasan Fazari. Bani Asad juga setuju untuk bergabung dengan mereka yang dipimpin oleh Thulaihah al-Asadi.. Dari Bani Sulaim, Nadir dijamin 700 pria, meskipun akan jauh lebih besar memiliki beberapa pemimpinnya tidak bersikap simpatik terhadap Islam. Para Bani Amir, yang memiliki perjanjian dengan Muhammad, menolak untuk bergabung

Suku-suku lain termasuk Bani Murrah dengan 400 orang dipimpin oleh Hars bin Auf Murri dari Bani Shuja dengan 700 laki-laki dipimpin oleh Sufyan bin Abd Syams. Secara total, kekuatan tentara Konfederasi, meskipun tidak disepakati oleh ulama, diperkirakan sekitar 10.000 laki-laki dengan enam ratus kuda. Pada akhir Maret 627 tentara yang dipimpin oleh Abu Sufyan berbaris menuju Madinah  

Pertempuran Zatu al-Riqa

Pertempuran Zatu al-Riqa` (Arab: ذات الرقاع) adalah pertempuran antara pihak muslimin dengan Bani Muharib, Bani Tsa'labah dan Bani Ghathafan, di daerah dekat Najd, dan dimenangkan oleh pihak Arab Muslim. Dilain kisah pertempuran ini disebut pula sebagai Perang Bani Anmar, sedangkan dalam buku yang berjudul Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, disebut juga sebagai Perang al-Ajib.

Dinamakan Perang Zatu al-Riqa` karena para prajurit muslim membalut kakinya yang telah luka dengan potongan-potongan kain (riqa`). Lalu setiap enam orang menahan seekor unta sehingga membuat kaki mereka mengeluarkan darah.

Perang ini terjadi didekat kebun kurma, sebelah utara Khaibar, kemudian jaraknya dikatakan hanya 100km dari utara Madinah, yang terletak antara kebun kurma, lembah al-Hanakiyah dan asy-Syuqrah.

Menurut kisah Islam, dalam perang Dzatu al-Riqa' ini, Malaikat Jibril mengajari salat Khauf kepada Muhammad dan umat Islam memperoleh kelonggaran untuk bertayammum. Dalam tahun itu juga terjadi Perang Badar yang terakhir, kemudian isteri Muhammad yang bernama Zainab binti Khuzaimah meninggal dunia. Pada tahun yang sama pula lahir cucu Muhammad yaitu Husain anak Ali dan Muhammad menikah dengan Ummu Salamah

Pertempuran Uhud

Pertempuran Uhud adalah pertempuran yang pecah antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy pada tanggal 22 Maret 625 M (7 Syawal 3 H). Pertempuran ini terjadi kurang lebih setahun lebih seminggu setelah Pertempuran Badr. Tentara Islam berjumlah 700 orang sedangkan tentara kafir berjumlah 3.000 orang. Tentara Islam dipimpin langsung oleh rasulullah sedangkan tentara kafir dipimpin oleh Abu Sufyan. Disebut Pertempuran Uhud karena terjadi di dekat bukit Uhud yang terletak 4 mil dari Masjid Nabawi dan mempunyai ketinggian 1000 kaki dari permukaan tanah dengan panjang 5 mil.

Rasulullah menempatkan pasukan Islam di kaki bukit Uhud di bagian barat. Tentara Islam berada dalam formasi yang kompak dengan panjang front kurang lebih 1.000 yard. Sayap kanan berada di kaki bukit Uhud sedangkan sayap kiri berada di kaki bukit Ainain (tinggi 40 kaki, panjang 500 kaki). Sayap kanan Muslim aman karena terlindungi oleh bukit Uhud, sedangkan sayap kiri berada dalam bahaya karena musuh bisa memutari bukit Ainain dan menyerang dari belakang, untuk mengatasi hal ini rasulullah menempatkan 50 pemanah di Ainain dibawah pimpinan Abdullah bin Zubair dengan perintah yang sangat tegas dan jelas yaitu "Gunakan panahmu terhadap kavaleri musuh. Jauhkan kavaleri dari belakang kita. Selama kalian tetap di tempat, bagian belakang kita aman. jangan sekali-sekali kalian meninggalkan posisi ini. Jika kalian melihat kami menang, jangan bergabung; jika kalian melihat kami kalah, jangan datang untuk menolong kami."

Di belakang pasukan Islam terdapat 14 wanita yang bertugas memberi air bagi yang haus, membawa yang terluka keluar dari pertempuran, dan mengobati luka tersebut. Di antara wanita ini adalah Fatimah, putri rasulullah yang juga istri Ali, sedangkan rasulullah sendiri berada di sayap kiri.

Posisi pasukan Islam bertujuan untuk mengeksploitasi kelebihan pasukan Islam yaitu keberanian dan keahlian bertempur. Selain itu juga meniadakan keuntungan musuh yaitu jumlah dan kavaleri (kuda pasukan Islam hanya 2, salah satunya milik rasulullah). Abu Sufyan tentu lebih memilih pertempuran terbuka di mana dia bisa bermanuver ke bagian samping dan belakang tentara Islam dan mengerahkan seluruh tentaranya untuk mengepung pasukan tersebut. Tetapi rasulullah menetralisir hal ini dan memaksa Abu Sufyan bertempur di front yang terbatas di mana infantri dan kavalerinya tidak terlalu berguna. Juga patut dicatat bahwa tentara Islam sebetulnya menghadap Madinah dan bagian belakangnya menghadap bukit Uhud, jalan ke Madinah terbuka bagi tentara kafir.

Tentara Quraish berkemah satu mil di selatan bukit Uhud. Abu Sufyan mengelompokkan pasukan ini menjadi infantri di bagian tengah dan dua sayap kavaleri di samping. Sayap kanan dipimpin oleh Khalid bin Walid dan sayap kiri dipimpin oleh Ikrimah bin Abu Jahal, masing-masing berkekuatan 100 orang. Amr bin Al Aas ditunjuk sebagai panglima bagi kedua sayap tetapi tugasnya terutama untuk koordinasi. Abu Sufyan juga menempatkan 100 pemanah di barisan terdepan. Bendera Quraish dibawa oleh Talha bin Abu Talha.

Sebab kemenangan dalam Perang Uhud

Kisah ini ditulis di Sura Ali ‘Imran ayat 140-179. Dalam ayat2 di Sura Ali ‘Imran, Muhammad menjelaskan kekalahan di Uhud adalah ujian dari Allah (ayat 141) – ujian bagi Muslim mu’min dan munafik (ayat 166-167).

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar (ayat 142)? Bahkan jika Muhammad sendiri mati terbunuh, Muslim harus terus berperang (ayat 144), karena tiada seorang pun yang mati tanpa izin Allah (ayat 145). Lihatlah para nabi yang tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah (ayat 146). Para Muslim tidak boleh taat pada kafir (ayat 149), karena Allah Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut (ayat 151)." --

Ayat2 di atas tidak menunjukkan sebab yang sebenarnya mengapa Muhammad dan Muslim kalah perang di Uhud. Penjelasan yang lebih lengkap bisa dibaca di Hadis Sahih Bukhari, Volume 4, Book 52, Number 276

Sebagaimana manusia biasa, wajar bila seseorang terlupa akan sesuatu. Begitu juga pasukan yang berjaga di atas bukit Uhud. Mereka terlupa dan akhirnya turun ke lembah untuk mengambil hak pemenang perang. Melihat banyak pasukan dari pihak islam yang meninggalkan pos di atas bukit, Khalid bin Walid memerintahkan pasukan kafir yang tersisa untuk berbalik kembali dan menyerang pasukan islam. Pos di atas bukit direbut oleh kafirin dan pasukan islam yang tersisa di sana dibunuh, termasuk Hamzah paman rasulullah.

Bai'at 'Aqabah II

Bai'at 'Aqabah II (622 M) adalah perjanjian yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Sallallahu'Alaihi Wasallam terhadap 73 orang pria dan 2 orang wanita dari Yatsrib pada waktu tengah malam. Wanita itu adalah Nusaibah bintu Ka’ab dan Asma’ bintu ‘Amr bin ‘Adiy. Perjanjian ini terjadi pada tahun ketiga belas kenabian. Mush’ab bin ‘Umair kembali ikut bersamanya beserta dengan penduduk Yatsrib yang sudah terlebih dahulu masuk Islam.

Mereka menjumpai Rosulullah di ‘Aqabah pada suatu malam. Nabi Sallallahu'Alaihi Wasallam datang bersama pamannya Al ‘Abbas bin ‘Abdil Muthallib. Ketika itu Al ‘Abbas masih musyrik, hanya saja ia ingin meminta jaminan keamanan bagi keponakannya Rosul Sallallahu'Alaihi Wasallam, kepada orang-orang Yatsrib itu. Ketika itu Al ‘Abbas adalah orang pertama yang angkat bicara kemudian disusul oleh Rosulullah yang membacakan beberapa ayat Al Qur'an dan menyerukan tentang Islam.

Kemudian Rosulullah Sallallahu'Alaihi Wasallam membaiat orang-orang Yatsrib itu . Isi baiatnya adalah:

    Untuk mendengar dan taat, baik dalam perkara yang mereka sukai maupun yang mereka benci.
    Untuk berinfak baik dalam keadaan sempit maupun lapang.
    Untuk beramar ma’ruf nahi munkar.
    Agar mereka tidak terpengaruh celaan orang-orang yang mencela di jalan Allah.
    Agar mereka melindungi Muhammad sebagaimana mereka melindungi wanita­-wanita dan anak-anak mereka sendiri.

Setelah baiat itu, Nabi Sallallahu'Alaihi Wasallam kembali ke Makkah untuk meneruskan dakwah. Kemudian ia mendapatkan gangguan dari kaum musyrikin kepada kaum muslimin yang dirasa semakin keras. Maka Nabi Sallallahu'Alaihi Wasallam memberikan perintah kepada kaum muslimin untuk berhijrah ke Yatsrib. Baik secara sendiri-sendiri, maupun berkelompok. Mereka berhijrah dengan sembunyi-sembunyi, sehingga kaum musyrikin tidak mengetahui kepindahan mereka.

Pada waktu itu, orang pertama yang berhijrah adalah Abu Salamah bin ‘Abdil Asad dan Mush’ab bin ‘Umair, serta ‘Amr bin Ummi Maktum. Kemudian disusul oleh Bilal bin Rabah Sa'ad bin Abi Waqqash, Ammar bin Yasir, dan Umar bin Khatthab berhijrah. Mereka berhijrah di dalam rombongan dua puluh orang sahabat. Tersisa Rosul Sallallahu'Alaihi Wasallam, Abu Bakr, ‘Ali bin Abi Thalib dan sebagian sahabat.

Bai'at 'Aqabah I

Bai'at 'Aqabah I (621 M) adalah perjanjian Nabi Muhammad saw. dengan 12 orang penduduk Yatsrib yang kemudian memeluk Islam. Bai'at 'Aqabah ini terjadi pada tahun kedua belas kenabiannya. Kemudian mereka berbaiat (bersumpah setia) kepada Muhammad. Isi baiat itu ada tiga perkara:

    Tidak menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu apapun.
    Melaksanakan apa yang Allah perintahkan.
    Meninggalkan apa yang Allah larang.

Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wasallam mengirim Mush’ab bin ‘Umair dan ‘Amr bin Ummi Maktum ke Yatsrib bersama mereka untuk mengajarkan kepada manusia perkara-perkara Agama Islam, membaca Al Qur'an, salat dan sebagainya.

Bai'at berarti perjanjian atau ikrar bagi penerima dan sanggup memikul atau melaksanakan sesuatu yang dibai'atkan. Biasanya istilah bai'at digunakan di dalam penerimaan seorang murid oleh Syeikhnya untuk menerima wirid-wirid tertentu dan berpedoman terhadap bai'at sebagai suatu amanah.Akan tetapi bai'at juga digunakan di dalam cakupan yang lebih luas dan lebih jauh dalam menegakkan ajaran Islam, yang bukan hanya untuk mengamalkan wirid-wirid tertentu kepada syeikh, namun yaitu untuk menegakkan perlaksanaan syariat Islam itu sendiri .

Di dalam Risalatul Taa'lim karangan Hassan Al Banna, dikemukakann beberapa pemahaman dan pengertian tentang bai'at di dalam gerakan dakwah Islamiah. Antaranya ialah:

    Bai'at untuk memahami Islam dengan kefahaman yang sebenarnya. Andaikan tiada kefahaman terhadap Islam maka sesuatu pekerjaan itu bukanlah merupakan 'amal' untuk Islam atau amal menurut cara Islam. Sebagaimana ia juga bukan merupakan suatu perjalanan yang selari dengan Islam.
    Bai'at merupakan keikhlasan. Tanpa keikhlasan amal itu tidak akan diterima oleh Allah dan perjalanannya juga pasti saja tidak betul di samping terkandung berbagai penipuan di dalam suatu perkara yang diambil.
    Merupakan bai'at untuk beramal yang ditentukan permulaannya dan jelas kesudahannya. Yaitu yang dimulakan dengan diri dan berkesudahan dengan dominasi Islam ke atas alam. Hal ini adalah kewajiban yang sering tidak disadari orang Islam masa kini.
    Merupakan bai'at untuk berjihad. Jihad itu menurut kefahaman Islam adalah berupa penimbang kepada keimanan.
    Merupakan perjanjian pengorbanan bagi memperolehi sesuatu (yaitu balasan syurga).
    Merupakan ikrar untuk taat atau patuh mengikut peringkat dan keupayaan persediaan yang dimiliki.
    Merupakan bai'at untuk cekal dan setia pada setiap masa dan keadaan.
    Merupakan bai'at untuk tumpuan mutlak kepada dakwah ini dan mencurahkan keikhlasan terhadapnya saja.
    Merupakan bai'at untuk mengikat persaudaraan (sebagai titik untuk bergerak).
    Merupakan bai'at untuk mempercayai (thiqah) kepimpinan dan gerakan atau jemaah.

Muhammad

Muhammad (bahasa Arab: محمد‎; lahir di Mekkah, 570 – meninggal di Madinah, 8 Juni 632)  adalah seorang nabi dan rasul terakhir bagi umat Muslim. Muhammad memulai penyebaran ajaran Islam untuk seluruh umat manusia dan mewariskan pemerintahan tunggal Islam. Muhammad sama-sama menegakkan ajaran tauhid untuk mengesakan Allah sebagaimana yang dibawa nabi dan rasul sebelumnya.

Lahir pada tahun 570 M di Mekkah, Muhammad melewati masa kecil sebagai yatim piatu. Muhammad dibesarkan di bawah asuhan kakeknya Abdul Muthalib kemudian pamannya Abu Thalib. Beranjak remaja, Muhammad bekerja sebagai pedagang. Muhammad kadang-kadang mengasingkan diri ke gua sebuah bukit hingga bermalam-malam untuk merenung dan berdoa. Diriwayatkan dalam usia ke-40, Muhammad didatangi Malaikat Jibril dan menerima wahyu pertama dari Allah. Tiga tahun setelah wahyu pertama, Muhammad mulai berdakwah secara terbuka, menyatakan keesaan Allah dalam bentuk penyerahan diri melalui Islam sebagai agama yang benar dan meninggalkan sesembahan selain Allah. Muhammad menerima wahyu berangsur-angsur hingga kematiannya. Praktik atau amalan Muhammad diriwayatkan dalam hadis, dirujuk oleh umat Islam sebagai sumber hukum Islam bersama Al-Quran.

Muhammad bersama pengikut awal mendapati berbagai bentuk perlawanan dan penyiksaan dari beberapa suku Mekkah. Seiring penganiayaan yang terus berlanjut, Muhammad membenarkan beberapa pengikutnya hijrah ke Habsyah, sebelum Muhammad memulai misi hijrah ke Madinah pada tahun 622. Peristiwa hijrah menandai awal penanggalan Kalender Hijriah dalam Islam. Di Madinah, Muhammad menyatukan suku-suku di bawah Piagam Madinah. Setelah delapan tahun bertahan atas serangan suku-suku Mekkah, Muhammad mengumpulkan 10.000 Muslim untuk mengepung Mekkah. Serangan tidak mendapat perlawanan berarti dan Muhammad mengambil alih kota dengan sedikit pertumpahan darah. Ia menghancurkan berhala-hala. Pada tahun 632, beberapa bulan setelah kembali ke Madinah usai menjalani Haji Wada, Muhammad jatuh sakit dan kematian. Muhammad meninggalkan Semenanjung Arab yang telah bersatu dalam pemerintahan tunggal Islam dan sebagian besar telah menerima Islam.

Etimologi

"Muhammad" (bahasa Arab: محمد بن عبد الله; Transliterasi: Muḥammad; diucapkan [mʊħɑmmæd] ( simak))  secara bahasa berasal dari akar kata semitik 'H-M-D' yang dalam bahasa Arab berarti "dia yang terpuji". Selain itu, dalam salah satu ayat Al-Qur'an, Muhammad dipanggil dengan nama "Ahmad" (أحمد), yang dalam bahasa Arab juga berarti "terpuji".

Sebelum masa kenabian, Muhammad mendapatkan dua gelar dari suku Quraisy (suku terbesar di Mekkah yang juga suku dari Muhammad) yaitu Al-Amiin yang artinya "orang yang dapat dipercaya" dan As-Saadiq yang artinya "yang benar". Setelah masa kenabian para sahabatnya memanggilnya dengan gelar Rasul Allāh (رسول الله), kemudian menambahkan kalimat Shalallaahu 'Alayhi Wasallam (صلى الله عليه و سلم, yang berarti "semoga Allah memberi kebahagiaan dan keselamatan kepadanya"; sering disingkat "S.A.W" atau "SAW") setelah namanya.

Muhammad juga mendapatkan julukan Abu al-Qasim yang berarti "bapak Qasim", karena Muhammad pernah memiliki anak lelaki yang bernama Qasim, tetapi ia meninggal dunia sebelum mencapai usia dewasa.

Genealogi

Silsilah Muhammad dari kedua orang tuanya kembali ke Kilab bin Murrah bin Ka'b bin Lu'ay bin Ghalib bin Fihr (Quraish) bin Malik bin an-Nadr (Qais) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (Amir) bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma`ad bin Adnan. Silsilah sampai Adnan disepakati oleh para ulama, sedangkan setelah Adnan terjadi perbedaan pendapat. Adnan secara umum diyakini adalah keturunan dari Ismail bin Ibrahim, yang selanjutnya adalah keturunan Sam bin Nuh.

Walaupun demikian, terdapat sejarawan yang menyusun silsilah yang lebih jauh lagi. Muhammad bin Ishak bin Yasar al-Madani, di salah satu riwayatnya menyebutkan silsilah hingga Adam. Silsilah tersebut adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr (Quraisy) bin Malik bin Nadhr bin Kinanah bin Khuzayma bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan bin Udad bin al-Muqawwam bin Nahur bin Tayrah bin Ya'rub bin Yasyjub bin Nabit bin Ismail bin Ibrahim bin Tarih (Azar) bin Nahur bin Saru’ bin Ra’u bin Falikh bin Aybir bin Syalikh bin Arfakhsyad bin Sam bin Nuh bin Lamikh bin Mutusyalikh bin Akhnukh bin Yarda bin Mahlil bin Qinan bin Yanish bin Syits bin Adam.[butuh rujukan]

Kelahiran

Para ulama dan penulis sirah sepakat bahwa hari kelahiran Muhammad jatuh pada bulan Rabiul Awal.  Muhammad lahir di Mekkah, kota bagian selatan Jazirah Arab, sekitar tahun 570, berdekatan dengan Tahun Gajah yang merupakan tahun kegagalan penyerangan Mekkah oleh pasukan bergajah di bawah pimpinan Abrahah. Pendapat paling mashyur merujuk tanggal 12 Rabiul Awal sebagai hari kelahiran Muhammad. Berdasarkan teks hadis, Muhammad menyebut hari Senin sebagai hari kelahirannya. Penulis sirah Sulaiman Al-Manshurfuri dan ahli astronomi Mahmud Basya dalam penelitiannya melacak hari Senin yang dimaksud bertepatan dengan tanggal 9 Rabiul Awal.

Muhammad berasal dari salah satu klan suku Quraisy yakni Bani Hasyim yang mewarisi silsilah terhormat di Mekkah, meskipun tak terpandang karena kekayaannya. Ayahnya, Abdullah meninggal saat Muhammad masih dalam kandungan, enam bulan sebelum kelahiran. Muhammad bayi dibawa tinggal bersama keluarga dusun di pedalaman, mengikuti tradisi perkotaan kala itu untuk memperkuat fisik dan menghindarkan anak dari penyakit perkotaan. Ia diasuh dan disusui oleh Halimah binti Abi Dhuayb di kampung Bani Saad selama dua tahun. Setelah itu, Muhammad kecil dikembalikan untuk diasuh kepada budak Ummu Aiman. Pada usia ke-6, Muhammad kehilangan ibunya, Aminah karena sakit. Selama dua tahun berikutnya, kebutuhan Muhammad ditanggung dan dicukupi oleh kakeknya dari keluarga ayah, 'Abd al-Muththalib. Ketika berusia delapan tahun, kakeknya meninggal dan Muhammad berikutnya diasuh oleh pamannya Abu Thalib yang tampil sebagai pemuka Bani Hasyim sepeninggal Abdul Muththalib. 


Perkenalan dengan Khadijah

Ketika Muhammad mencapai usia remaja dan berkembang menjadi seorang yang dewasa, ia mulai mempelajari ilmu bela diri dan memanah, begitupula dengan ilmu untuk menambah keterampilannya dalam berdagang. Perdagangan menjadi hal yang umum dilakukan dan dianggap sebagai salah satu pendapatan yang stabil. Muhammad sering menemani pamannya berdagang ke arah Utara dan kabar tentang kejujuran dan sifatnya yang dapat dipercaya menyebar luas dengan cepat, membuatnya banyak dipercaya sebagai agen penjual perantara barang dagangan penduduk Mekkah.

Salah seseorang yang mendengar tentang kabar adanya anak muda yang bersifat jujur dan dapat dipercaya dalam berdagang dengan adalah seorang janda yang bernama Khadijah. Ia adalah seseorang yang memiliki status tinggi di kalangan suku Arab. Sebagai seorang pedagang, ia juga sering mengirim barang dagangan ke berbagai pelosok daerah di tanah Arab. Reputasi Muhammad membuat Khadijah memercayakannya untuk mengatur barang dagangan Khadijah, Muhammad dijanjikan olehnya akan dibayar dua kali lipat dan Khadijah sangat terkesan ketika sekembalinya Muhammad membawakan hasil berdagang yang lebih dari biasanya.

Seiring waktu akhirnya Muhammad menikah dengan Khadijah, mereka menikah pada saat Muhammad berusia 25 tahun. Saat itu Khadijah telah berusia mendekati umur 40 tahun. Perbedaan umur yang jauh dan status janda yang dimiliki oleh Khadijah tidak menjadi halangan bagi mereka, walaupun pada saat itu suku Quraisy memiliki budaya yang lebih menekankan kepada perkawinan dengan seorang gadis ketimbang janda. Meskipun kekayaan mereka semakin bertambah, Muhammad tetap hidup sebagai orang yang sederhana, ia lebih memilih untuk menggunakan hartanya untuk hal-hal yang lebih penting.
Memperoleh gelar

Ketika Muhammad berumur 35 tahun, ia ikut bersama kaum Quraisy dalam perbaikan Ka'bah. Pada saat pemimpin-pemimpin suku Quraisy berdebat tentang siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad, Muhammad dapat menyelesaikan masalah tersebut dan memberikan penyelesaian adil. Saat itu ia dikenal di kalangan suku-suku Arab karena sifat-sifatnya yang terpuji. Kaumnya sangat mencintainya, hingga akhirnya ia memperoleh gelar Al-Amin yang artinya "orang yang dapat dipercaya".

Diriwayatkan pula bahwa Muhammad adalah orang yang percaya sepenuhnya dengan keesaan Tuhan. Ia hidup dengan cara amat sederhana dan membenci sifat-sifat tamak, angkuh dan sombong yang lazim di kalangan bangsa Arab saat itu. Ia dikenal menyayangi orang-orang miskin, janda-janda tak mampu dan anak-anak yatim serta berbagi penderitaan dengan berusaha menolong mereka. Ia juga menghindari semua kejahatan yang sudah membudaya di kalangan bangsa Arab pada masa itu seperti berjudi, meminum minuman keras, berkelakuan kasar dan lain-lain, sehingga ia dikenal sebagai As-Saadiq yang berarti "yang benar".

Kerasulan

Muhammad dilahirkan di tengah-tengah masyarakat terbelakang yang senang dengan kekerasan dan pertempuran dan menjelang usianya yang ke-40, ia sering menyendiri ke Gua Hira' sebuah gua bukit sekitar 6 km sebelah timur kota Mekkah, yang kemudian dikenali sebagai Jabal An Nur. Ia bisa berhari-hari bertafakur (merenung) dan mencari ketenangan dan sikapnya itu dianggap sangat bertentangan dengan kebudayaan Arab pada zaman tersebut yang senang bergerombol. Dari sini, ia sering berpikir dengan mendalam, dan memohon kepada Allah supaya memusnahkan kekafiran dan kebodohan.

Muhammad pertama kali diangkat menjadi rasul pada malam hari tanggal 17 Ramadhan/ 6 Agustus 611 M, diriwayatkan Malaikat Jibril datang dan membacakan surah pertama dari Quran yang disampaikan kepada Muhammad, yaitu surah Al-Alaq. Muhammad diperintahkan untuk membaca ayat yang telah disampaikan kepadanya, namun ia mengelak dengan berkata ia tak bisa membaca. Jibril mengulangi tiga kali meminta agar Muhammad membaca, tetapi jawabannya tetap sama. Jibril berkata:

1.     Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,         اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ     Aya-1.png​
2.     Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.             خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ        Aya-2.png​
3.     Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia,                 اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ         Aya-3.png​
4.     Yang mengajar (manusia) dengan pena.                     الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ         Aya-4.png​
5.     Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.             عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ         Aya-5.png​
    —Quran.com[Al-'Alaq:1-5]

Muhammad berusia 40 tahun 6 bulan dan 8 hari ketika ayat pertama sekaligus pengangkatannya sebagai rasul disampaikan kepadanya menurut perhitungan tahun kamariah (penanggalan berdasarkan bulan), atau 39 tahun 3 bulan 8 hari menurut perhitungan tahun syamsiah atau tahun masehi (penanggalan berdasarkan matahari). Setelah kejadian di Gua Hira tersebut, Muhammad kembali ke rumahnya, diriwayatkan ia merasakan suhu tubuhnya panas dan dingin secara bergantian akibat peristiwa yang baru saja dialaminya dan meminta istrinya agar memberinya selimut.

Diriwayatkan pula untuk lebih menenangkan hati suaminya, Khadijah mengajak Muhammad mendatangi saudara sepupunya yang juga seorang Nasrani yaitu Waraqah bin Naufal seorang pendeta yang buta. Waraqah banyak mengetahui nubuat tentang nabi terakhir dari kitab-kitab suci Kristen dan Yahudi. Mendengar cerita yang dialami Muhammad, Waraqah pun berkata, bahwa ia telah dipilih oleh Tuhan menjadi seorang nabi. Kemudian Waraqah menyebutkan bahwa An-Nâmûs al-Akbar (Malaikat Jibril) telah datang kepadanya, kaumnya akan mengatakan bahwa ia seorang penipu, mereka akan memusuhi dan melawannya.

Muhammad menerima ayat-ayat Quran secara berangsur-angsur dalam jangka waktu 23 tahun. Ayat-ayat tersebut diturunkan berdasarkan kejadian faktual yang sedang terjadi, sehingga hampir setiap ayat Quran turun disertai oleh Asbabun Nuzul (sebab/kejadian yang mendasari penurunan ayat). Ayat-ayat yang turun sejauh itu dikumpulkan sebagai kompilasi bernama Al-ushaf yang juga dinamakan Al-Qur'an (bacaan).

Sebagian ayat Quran mempunyai tafsir atau pengertian yang izhar (jelas), terutama ayat-ayat mengenai hukum Islam, hukum perdagangan, hukum pernikahan dan landasan peraturan yang ditetapkan oleh Islam dalam aspek lain. Sedangkan sebagian ayat lain yang diturunkan pada Muhammad bersifat samar pengertiannya, dalam artian perlu ada interpretasi dan pengkajian lebih mendalam untuk memastikan makna yang terkandung di dalamnya, dalam hal ini kebanyakan Muhammad memberi contoh langsung penerapan ayat-ayat tersebut dalam interaksi sosial dan religiusnya sehari-hari, sehingga para pengikutnya mengikutinya sebagai contoh dan standar dalam berperilaku dan bertata krama dalam kehidupan bermasyarakat.

Mendapatkan pengikut

Selama tiga tahun pertama sejak pengangkatannya sebagai rasul, Muhammad hanya menyebarkan Islam secara terbatas di kalangan teman-teman dekat dan kerabatnya, hal ini untuk mencegah timbulnya reaksi akut dan masif dari kalangan bangsa Arab saat itu yang sudah sangat terasimilasi budayanya dengan tindakan-tindakan amoral, yang dalam konteks ini bertentangan dengan apa yang akan dibawa dan ditawarkan oleh Muhammad. Kebanyakan dari mereka yang percaya dan meyakini ajaran Muhammad pada masa-masa awal adalah para anggota keluarganya serta golongan masyarakat awam yang dekat dengannya di kehidupan sehari-hari, antara lain Khadijah, Ali, Zaid bin Haritsah dan Bilal. Namun pada awal tahun 613, Muhammad mengumumkan secara terbuka agama Islam. Setelah sekian lama banyak tokoh-tokoh bangsa Arab seperti Abu Bakar, Utsman bin Affan, Zubair bin Al Awwam, Abdul Rahman bin Auf, Ubaidah bin Harits, Amr bin Nufail yang kemudian masuk ke agama yang dibawa Muhammad. Kesemua pemeluk Islam pertama itu disebut dengan As-Sabiqun al-Awwalun atau Yang pertama-tama.

Penyebaran Islam

Sekitar tahun 613 M, tiga tahun setelah Islam disebarkan secara diam-diam, Muhammad mulai melakukan penyebaran Islam secara terbuka kepada masyarakat Mekkah, respons yang ia terima sangat keras dan masif. Ini disebabkan karena ajaran Islam yang dibawa olehnya bertentangan dengan apa yang sudah menjadi budaya dan pola pikir masyarakat Mekkah saat itu. Pemimpin Mekkah Abu Jahal menyatakan bahwa Muhammad adalah orang gila yang akan merusak tatanan hidup orang Mekkah. Akibat penolakan keras yang datang dari masyarakat jahiliyyah di Mekkah dan kekuasaan yang dimiliki oleh para pemimpin Quraisy yang menentangnya, Muhammad dan banyak pemeluk Islam awal disiksa, dianiaya, dihina, disingkirkan, dan dikucilkan dari pergaulan masyarakat Mekkah.

Walau mendapat perlakuan tersebut, ia tetap mendapatkan pengikut dalam jumlah besar. Para pengikutnya ini kemudian menyebarkan ajarannya melalui perdagangan ke negeri Syam, Persia, dan kawasan jazirah Arab. Setelah itu, banyak orang yang penasaran dan tertarik kemudian datang ke Mekkah dan Madinah untuk mendengar langsung dari Muhammad, penampilan dan kepribadian baiknya yang sudah terkenal memudahkannya untuk mendapat simpati dan dukungan dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini menjadi semakin mudah ketika Umar bin Khattab dan sejumlah besar tokoh petinggi suku Quraisy lainnya memutuskan untuk memeluk ajaran Islam, meskipun banyak juga yang menjadi antipati mengingat saat itu sentimen kesukuan sangat besar di Mekkah dan Medinah. Tercatat pula Muhammad mendapatkan banyak pengikut dari negeri Farsi (sekarang Iran), salah satu yang tercatat adalah Salman al-Farisi, seorang ilmuwan asal Persia yang kemudian menjadi sahabat Muhammad.

Penyiksaan yang dialami hampir seluruh pemeluk Islam selama periode ini mendorong lahirnya gagasan untuk berhijrah (pindah) ke Habsyah (sekarang Ethiopia). Negus atau raja Habsyah, seorang Kristen yang adil, memperbolehkan orang-orang Islam berhijrah ke negaranya dan melindungi mereka dari tekanan penguasa di Mekkah. Muhammad sendiri, pada tahun 622 hijrah ke Yatsrib, kota yang berjarak sekitar 200 mil (320 km) di sebelah Utara Mekkah.

Hijrah ke Madinah

Masyarakat Arab dari berbagai suku setiap tahunnya datang ke Mekkah untuk beziarah ke Bait Allah atau Ka'bah, mereka menjalankan berbagai tradisi keagamaan dalam kunjungan tersebut. Muhammad melihat ini sebagai peluang untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Di antara mereka yang tertarik dengan ajarannya ialah sekumpulan orang dari Yatsrib. Mereka menemui Muhammad dan beberapa orang yang telah terlebih dahulu memeluk Islam dari Mekkah di suatu tempat bernama Aqabah secara sembunyi-sembunyi. Setelah menganut Islam, mereka lalu bersumpah untuk melindungi para pemeluk Islam dan Muhammad dari kekejaman penduduk Mekkah.

Tahun berikutnya, sekumpulan masyarakat Islam dari Yatsrib datang lagi ke Mekkah, mereka menemui Muhammad di tempat mereka bertemu sebelumnya. Abbas bin Abdul Muthalib, yaitu pamannya yang saat itu belum menganut Islam, turut hadir dalam pertemuan tersebut. Mereka mengundang orang-orang Islam Mekkah untuk berhijrah ke Yastrib dikarenakan situasi di Mekkah yang tidak kondusif bagi keamanan para pemeluk Islam. Muhammad akhirnya menerima ajakan tersebut dan memutuskan berhijrah ke Yastrib pada tahun 622 M.

Mengetahui bahwa banyak pemeluk Islam berniat meninggalkan Mekkah, masyarakat jahiliyah Mekkah berusaha mengcegahnya, mereka beranggapan bahwa bila dibiarkan berhijrah ke Yastrib, Muhammad akan mendapat peluang untuk mengembangkan agama Islam ke daerah-daerah yang jauh lebih luas. Setelah selama kurang lebih dua bulan ia dan pemeluk Islam terlibat dalam peperangan dan serangkaian perjanjian, akhirnya masyarakat Muslim pindah dari Mekkah ke Yastrib, yang kemudian setelah kedatangan rombongan dari Makkah pada tahun 622 dikenal sebagai Madinah atau Madinatun Nabi (kota Nabi).

Di Madinah, pemerintahan (kekhalifahan) Islam diwujudkan di bawah pimpinan Muhammad. Umat Islam bebas beribadah (salat) dan bermasyarakat di Madinah, begitupun kaum minoritas Kristen dan Yahudi. Dalam periode setelah hijrah ke Madinah, Muhammad sering mendapat serangkaian serangan, teror, ancaman pembunuhan dan peperangan yang ia terima dari penguasa Mekkah, akan tetapi semuanya dapat teratasi lebih mudah dengan umat Islam yang saat itu telah bersatu di Madinah.

Pembebasan Mekkah

Tahun 629 M, tahun ke-8 H setelah hijrah ke Madinah, Muhammad berangkat kembali ke Makkah dengan membawa pasukan Muslim sebanyak 10.000 orang, saat itu ia bermaksud untuk menaklukkan kota Mekkah dan menyatukan para penduduk kota Mekkah dan madinah. Penguasa Mekkah yang tidak memiliki pertahanan yang memadai kemudian setuju untuk menyerahkan kota Makkah tanpa perlawanan, dengan syarat kota Mekkah akan diserahkan tahun berikutnya. Muhammad menyetujuinya, dan ketika pada tahun berikutnya ketika ia kembali, ia telah berhasil mempersatukan Mekkah dan Madinah, dan lebih luas lagi ia saat itu telah berhasil menyebarluaskan Islam ke seluruh Jazirah Arab.

Muhammad memimpin umat Islam menunaikan ibadah haji, memusnahkan semua berhala yang ada di sekeliling Ka'bah, dan kemudian memberikan amnesti umum dan menegakkan peraturan Islam di kota Mekkah.

Kematian

Pada bulan Juni 632 M, dia mengalami sakit ketika tengah berada di rumah Maimunah namun kemudian meminta pindah ke rumah Aisyah. Setelah sebelumnya mengalami demam dan beberapa kali pingsan, dia meminta kepada Abu Bakar untuk menggantikannya mengimami jamaah. Diapun akhirnya meninggal dalam pangkuan Aisyah dan jenazahnya dikuburkan di rumah istrinya tersebut.

Mukjizat Kenabian

Seperti nabi dan rasul sebelumnya, Muhammad diberikan irhasat (pertanda) akan datangnya seorang nabi, seperti yang diyakini oleh umat Muslim telah dikisahkan dalam beberapan kitab suci agama samawi, dikisahkan pula terjadi pertanda pada masa di dalam kandungan, masa kecil dan remaja. Muhammad diyakini diberikan mukjizat selama kenabiannya.

Al-Qur'an

Umat Muslim meyakini bahwa mukjizat terbesar Muhammad adalah kitab suci umat Islam yaitu Al-Qur'an. Hal ini disebabkan karena masa itu kebudayaan bangsa Arab yang sedang maju adalah dalam bidang ilmu sastra, khususnya bahasa dan syair. Dikatakan sebagai mukjizat karena Al-Quran dianggap memiliki tatanan sastra Arab tingkat tertinggi yang disampaikan oleh seorang buta huruf, dan setiap mukjizat yang dibawa oleh para rasul selalu menandingi arah gejala (tren) yang sedang ramai. Kemudian Al-Qur'an juga mengubah total segi kehidupan bangsa Arab dengan membawa banyak peraturan keras untuk menegakkan dasar-dasar nilai budaya baru, yang sebelumnya moral dan perilaku mereka sangatlah rusak, seperti menyembah berhala, berjudi, merampok, membunuh anak-anak karena takut akan kemiskinan dan kelaparan, minum-minuman keras, saling berperang antarsuku dan lain-lain.
Isra dan Mi'raj

Mukjizat lain yang tercatat dan diyakini secara luas oleh umat Islam adalah terbelahnya bulan serta perjalanan Isra dan Mi'raj dari Madinah menuju Yerusalem dalam waktu yang sangat singkat. Kemampuan lain yang dimiliki Muhammad adalah kecerdasan serta kepribadiannya yang banyak dipuji serta menjadi panutan para pemeluk Islam hingga saat ini.

Garis Waktu

Kronologi Muhammad dari lahir sampai kematian:


Tahun     Kejadian
570     Tanggal lahir, 20 April di Kota Mekkah
570     Tahun Gajah, gagalnya Abrahah menyerang Mekkah
576     Meninggalnya ibu, Aminah
578     Meninggalnya kakek, Abdul Muthalib
583     Melakukan perjalanan dagang ke Suriah bersama Abu Thalib
595     Bertemu dan menikah dengan Khadijah
610     Wahyu pertama turun di Gua Hira dan menjadi nabi sekaligus rasul, kemudian mendapatkan sedikit pengikut: As-Sabiqun al-Awwalun
613     Menyebarkan Islam kepada umum
614     Mendapatkan banyak pengikut
615     Hijrah pertama ke Habsyah
616     Awal dari pemboikotan Quraisy terhadap Bani Hasyim
619     Akhir dari pemboikotan Quraish terhadap Bani Hasyim
619     Tahun kesedihan: Khadijah dan Abu Thalib meninggal
620     Dihibur oleh Allah melalui Malaikat Jibril dengan cara Isra' dan Mi'raj sekaligus menerima perintah salat 5 waktu
621     Bai'at 'Aqabah pertama
622     Bai'at 'Aqabah kedua
622     Hijrah ke Madinah
624     Pertempuran Badar
624     Pengusiran Bani Qaynuqa
625     Pertempuran Uhud
625     Pengusiran Bani Nadir
625     Pertempuran Zaturriqa`
626     Penyerangan ke Dumat al-Jandal: Suriah
627     Pertempuran Khandak
627     Perang Bani Qurayzhah
628     Perjanjian Hudaibiyyah
628     Melakukan umrah ke Ka'bah
628     Pertempuran Khaybar
629     Melakukan ibadah haji
629     Pertempuran Mu'tah
630     Pembukaan Kota Makkah
630     Pertempuran Hunain
630     Pertempuran Autas
630     Pendudukan Thaif
631     Menguasai sebagian besar Jazirah Arab
632     Pertempuran Tabuk
632     Haji Wada'
632     Meninggal (8 Juni): Madinah

Ciri fisik Muhammad

Beberapa hadis meriwayatkan beberapa ciri fisik yang diceritakan oleh para sahabat dan istrinya. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Muhammad berperawakan sedang, berkulit putih kemerahan, berjanggut tipis, dan digambarkan memiliki fisik yang sehat dan kuat oleh orang di sekitarnya. Riwayat lain menyebutkan Muhammad bermata hitam, tidak berkumis, berjanggut sedang, serta memiliki hidung bengkok yang sesuai dengan ciri antropologis bangsa Semit pada umumnya.

Pernikahan

Selama hidupnya Muhammad menikah dengan 11 atau 13 orang wanita (terdapat perbedaan pendapat mengenai hal ini). Pada umur 25 Tahun ia menikah dengan Khadijah, yang berlangsung selama 25 tahun hingga Khadijah wafat. Pernikahan ini digambarkan sangat bahagia, sehingga saat meninggalnya Khadijah (yang bersamaan dengan tahun meninggalnya Abu Thalib pamannya) disebut sebagai tahun kesedihan.

Sepeninggal Khadijah, Khawla binti Hakim menyarankan kepadanya untuk menikahi Saudah binti Zam'ah (seorang janda) atau Aisyah (putri Abu Bakar). Atas perintah Allah, Muhammad menikahi keduanya. Kemudian Muhammad tercatat menikahi beberapa orang wanita lagi hingga jumlah seluruhnya sekitar 11 orang, sembilan di antaranya masih hidup sepeninggal Muhammad.

Para ahli sejarah antara lain Watt dan Esposito berpendapat bahwa sebagian besar perkawinan itu dimaksudkan untuk memperkuat ikatan politik (sesuai dengan budaya Arab), atau memberikan penghidupan bagi para janda (saat itu janda lebih susah untuk menikah karena budaya yang menekankan perkawinan dengan perawan).
Perbedaan dengan nabi dan rasul terdahulu

Dalam mengemban misi dakwahnya, umat Islam percaya seperti yang disebutkan di dalam Qur'an dan Hadis, bahwa Muhammad diutus Allah untuk menjadi nabi bagi seluruh umat manusia,  sedangkan nabi dan rasul sebelumnya hanya diutus untuk umatnya masing-masing, seperti halnya Nabi Musa yang hanya diutus untuk Bani Israil saja.

Sedangkan kesamaan ajaran yang dibawa Muhammad dengan nabi dan rasul sebelumnya ialah sama-sama mengajarkan keesaan Tuhan, yaitu kesaksian bahwa Tuhan yang berhak disembah hanyalah Allah.