Sejarah Dunia Kuno

2021 a year of miracles and 'unlocking' millions

Nov 29, 2019

Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd  Abu Al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd‎; 1126 – 11 Desember 1198), sering dilatinkan sebagai Averroes, adalah seorang filsuf dan pemikir dari Al-Andalus yang menulis dalam bidang disiplin ilmu, termasuk filsafat, akidah atau teologi Islam, kedokteran, astronomi, fisika, fikih atau hukum Islam, dan linguistik. Karya-karya filsafatnya termasuk banyak tafsir, parafrase, dan ringkasan karya-karya Aristoteles, yang membuatnya dijuluki oleh dunia barat sebagai "Sang Penafsir" (Bahasa Inggris: The Commentator). Ibnu Rusyd juga semasa hidupnya mengabdi sebagai hakim dan dokter istana untuk Kekhalifahan Muwahhidun.

Ibnu Rusyd lahir di Kordoba dari keluarga yang melahirkan hakim-hakim terkenal; kakeknya adalah qadhi al-qudhat (hakim kepala) dan ahli hukum terkenal di kota itu. Pada tahun 1169 ia bertemu dengan khalifah Abu Yaqub Yusuf, yang terkesan dengan pengetahuan Ibnu Rusyd. Sang khalifah kemudian mendukung Ibnu Rusyd dan banyak karya Ibnu Rusyd adalah proyek yang ditugaskannya. Ibnu Rusyd juga beberapa kali menjabat sebagai hakim di Sevilla dan Kordoba. Pada 1182, ia ditunjuk sebagai dokter istana dan hakim kepala di Kordoba. Setelah wafatnya Abu Yusuf pada tahun 1184, ia masih berhubungan baik dengan istana, hingga 1195 saat dia dikenai berbagai tuduhan dengan motif politik. Pengadilan lalu memutuskan bahwa ajarannya sesat dan Ibnu Rusyd diasingkan ke Lucena. Setelah beberapa tahun di pengasingan, istana memanggilnya bertugas kembali, tetapi tidak berlangsung lama karena Ibnu Rusyd wafat.

Ibnu Rusyd adalah pendukung ajaran filsafat Aristoteles (Aristotelianisme). Ia berusaha mengembalikan filsafat dunia Islam ke ajaran Aristoteles yang asli. Ia mengkritik corak Neoplatonisme yang terdapat pada filsafat pemikir-pemikir Islam sebelumnya seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, yang ia anggap menyimpang dari filsafat Aristoteles. Ia membela kegiatan berfilsafat dari kritik yang dilancarkan para ulama Asy'ariyah seperti Al-Ghazali. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa dalam agama Islam berfilsafat hukumnya boleh, bahkan bisa jadi wajib untuk kalangan tertentu. Ia juga berpendapat bahwa teks Quran dan Hadis dapat diinterpretasikan secara tersirat atau kiasan jika teks tersebut terlihat bertentangan dengan kesimpulan yang ditemukan melalui akal dan filsafat. Dalam bidang fikih, ia menulis Bidayatul Mujtahid yang membahas perbedaan mazhab dalam hukum Islam. Dalam kedokteran, ia menghasilkan gagagan baru mengenai fungsi retina dalam penglihatan, penyebab strok, dan gejala-gejala penyakit Parkinson, serta menulis buku yang kelak diterjemahkan menjadi sebuah buku teks standar di Eropa.

Pengaruh Ibnu Rusyd ke dunia Barat jauh lebih besar dibanding dunia Islam. Ibnu Rusyd menulis banyak tafsir terhadap karya-karya Aristoteles, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani dan bahasa Latin dan beredar di Eropa. Terjemahan karya-karya Ibnu Rusyd memicu para pemikir Eropa Barat untuk kembali mengkaji karya-karya Aristoteles dan pemikir Yunani lainnya, setelah lama diabaikan sejak jatuhnya kekaisaran Romawi. Pendapat-pendapat Ibnu Rusyd juga menimbulkan kontroversi di dunia Kristen Latin, dan menginspirasi sebuah gerakan filsafat yang disebut Averroisme. Salah satu doktrinnya yang kontroversial di dunia Barat adalah teori yang disebut "kesatuan akal" (unitas intellectus dalam bahasa Latin), yang menyatakan bahwa semua manusia bersama-sama memiliki satu akal atau "intelek". Karya-karyanya dinyatakan sesat oleh Gereja Katolik Roma pada tahun 1270 dan 1277, dan pemikir Kristen Thomas Aquinas menulis kritik-kritik tajam terhadap doktrin Ibnu Rusyd. Sekalipun demikian, Averroisme tetap memiliki pengikut di dunia Barat hingga abad ke-16.

Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd lahir pada tahun 1126 M/520 H di Kordoba, yang ketika itu merupakan wilayah kerajaan Murabithun.  Keluarga Ibnu Rusyd dikenal sebagai tokoh masyarakat di Kordoba, terutama atas peran mereka dalam bidang hukum dan agama.  Kakek Ibnu Rusyd, yang juga bernama Abu al-Walid Muhammad (wafat 1126) menjabat qadhi al-qudhat (hakim kepala) di kota tersebut, dan juga merupakan imam Masjid Agung Kordoba. Ayahnya, Abu al-Qasim Ahmad, juga menjabat sebagai kadi atau hakim pada masa kekuasaan Murabithun, hingga Kordoba jatuh ke tangan Kekhalifahan Muwahidun.

Menurut biografi-biografi klasik, Ibnu Rusyd menerima pendidikan yang istimewa, dimulai dari pelajaran ilmu Hadis, fikih (hukum Islam), kedokteran maupun ilmu akidah (teologi Islam). Guru fikihnya adalah Al-Hafiz Abu Muhammad ibn Rizq yang bermazhab Maliki dan guru hadisnya adalah Ibnu Basykuwal, yang merupakan murid dari kakeknya.  Ia juga belajar fikih dari ayahnya, yang mengajarkannya kitab Muwatta karya Imam Malik, buku teks Maliki yang paling terkenal, yang kemudian dihafalkan oleh Ibnu Rusyd. Guru kedokterannya adalah Abu Jafar Jarim at-Tajail, yang kemungkinan juga mengajarkannya ilmu filsafat. Ia juga mempelajari karya-karya dari Ibnu Bajjah (juga dikenal dengan nama Avempace) yang mungkin juga merupakan salah satu gurunya.  Ia mengikuti pertemuan rutin para filsuf, dokter dan sastrawan di kota Sevilla, yang juga dihadiri oleh filsuf Ibnu Thufail dan Ibnu Zuhri serta Abu Yusuf Yaqub yang kelak akan menjadi khalifah. Ibnu Rusyd muda juga mempelajari akidah atau teologi kalam dari Mazhab Asy'ariyah, walaupun kelak ia akan mengkritik mazhab ini.  Menurut penulis abad ke-13 Ibnu al-Abbar, Ibnu Rusyd lebih tertarik dengan ilmu hukum dan ushul fiqh (kaidah-kaidah hukum) dibanding ilmu hadis dan sunnah.  Salah satu spesialisasi yang ditekuninya adalah masalah ikhtilaf atau perbedaan pendapat dalam hukum Islam.  Ibnu Al-Abbar juga menyebutkan ketertarikan Ibnu Rusyd muda pada "ilmu-ilmu orang terdahulu" (al-'ulum al-awa'il), yang kemungkinan maksudnya adalah ilmu alam dan filsafat yang dikembangkan para ilmuwan Yunani.

Karier

Pada tahun 1147, gerakan Muwahhidun yang dipimpin oleh Ibnu Tumart (yang menyebut dirinya sebagai al-Mahdi) menggulingkan kekuasaan Murabithun di ibukota Marrakesh, dan tak lama kemudian Al-Andalus juga jatuh ke tangan Muwahhidun. Setelah berkuasa, gerakan Muwahhidun mendeklarasikan sebuah kekhalifahan. Selain dikenal dengan misinya untuk memurnikan ajaran tauhid atau keesaan Tuhan, Ibnu Tumart dan para pemimpin Muwahhidun juga ingin agar masyarakat umum lebih mengenal syariah atau hukum Islam. Bersamaan dengan ini, pemerintahan Muwahhidun banyak menggalakkan berbagai bidang ilmu seperti filsafat, fikih dan akidah.

Pada tahun 1153, Ibnu Rusyd melakukan pengamatan astronomi di Marrakesh dan membantu pembangunan perguruan-perguruan tinggi yang sedang dilakukan pemerintah.  Ia berusaha mencari hukum-hukum fisika yang mengendalikan pergerakan benda-benda langit, tetapi penelitian ini tidak berhasil. Pada saat itu ia kemungkinan pertama kali bertemu dengan Ibnu Thufail, filsuf terkenal dan penulis novel Hayy ibn Yaqzhan, yang saat itu menjabat sebagai dokter istana.  Ibnu Rusyd dan Ibnu Thufail kelak berteman, walaupun mereka kadang berselisih dalam masalah filsafat.

Pada tahun 1169, Ibnu Thufail memperkenalkan Ibnu Rusyd kepada Khalifah Abu Yaqub Yusuf.  Menurut laporan sejarawan Abdulwahid al-Marakisyi, pada pertemuan ini sang khalifah bertanya kepada Ibnu Rusyd apakah langit selalu ada sejak dahulu (qadim) atau memiliki awal mula (hadits). Ketika itu, topik ini adalah topik kontroversial dan Ibnu Rusyd awalnya tidak menjawab karena takut memancing bahaya dan kontroversi.  Sang khalifah lalu mengemukakan pendapat Plato, Aristoteles, dan para filsuf Muslim tentang topik ini dan mendiskusikannya dengan Ibnu Thufail. Melihat sang khalifah juga suka berfilsafat, Ibnu Rusyd menjadi tenang dan mengemukakan pendapatnya. Sang khalifah terkesan dengan pendapat Ibnu Rusyd, dan begitupun Ibnu Rusyd juga terkesan dengan pengetahuan sang khalifah dan kelak mengatakan bahwa Khalifah Abu Yaqub Yusuf memiliki "pengetahuan berlimpah yang tak saya duga".

Sejak perkenalan ini, Ibnu Rusyd memiliki hubungan baik dengan Abu Yaqub Yusuf hingga khalifah tersebut wafat.  Ketika sang khalifah mengeluh ke Ibnu Thufail bahwa karya-karya Aristoteles terlalu susah dimenegerti, Ibnu Thufail menyarankan agar Ibnu Rusyd ditugaskan untuk menerangkannya. Inilah awal dari proyek besar Ibnu Rusyd menulis tafsir karya-karya Aristoteles. Pada tahun 1169, Ibnu Rusyd menulis tafsir Aristoteles pertamanya.

Pada tahun yang sama, Ibnu Rusyd diangkat sebagai kadi di Sevilla. Dua tahun kemudian, ia menjadi kadi di Kordoba, kota kelahirannya. Tugasnya sebagai kadi adalah memutuskan kasus pengadilan dan memberikan fatwa atau pendapat hukum sesuai hukum Islam.  Pada saat itu ia semakin aktif menulis, walaupun tugasnya semakin banyak dan mengharuskannya melakukan banyak perjalanan. Kesempatan mengunjungi berbagai tempat ia gunakan untuk melakukan penelitian astronomi. Antara 1169 dan 1179, banyak karyanya yang tercantum keterangan ditulis di Sevilla.  Pada tahun 1179 ia kembali menjabat sebagai kadi di Sevilla. Pada tahun 1182 ia diangkat menjadi dokter istana untuk menggantikan Ibnu Thufail yang telah pensiun. Pada tahun yang sama ia juga diangkat sebagai hakim kepala di Kordoba, jabatan bergengsi yang sebelumnya pernah dipegang oleh kakeknya.

Pada tahun 1184, Khalifah Abu Yaqub wafat dan digantikan oleh Abu Yusuf Yaqub al-Mansur. Awalnya Ibnu Rusyd tetap memiliki hubungan baik dengan istana, dan tetap menjabat sebagai dokter istana tetapi pada 1195 situasinya berubah. Ia mendapat berbagai tuduhan, termasuk tuduhan mengajarkan aliran sesat, dan ia harus menghadapi pengadilan di Kordoba. Pengadilan memutuskan Ibnu Rusyd bersalah, menyatakan ajarannya sesat dan memerintahkan agar tulisan-tulisannya dibakar. Ibnu Rusyd diasingkan ke kota kecil Lucena, sebuah permukiman Yahudi yang berada di sekitar Kordoba. Biografi-biografi klasik menyebutkan berbagai sebab memburuknya situasi Ibnu Rusyd ini, salah satunya karena Ibnu Rusyd dianggap menghina khalifah dalam tulisannya. Namun para sejarawan modern menganggap bahwa perlakuan keras terhadap Ibnu Rusyd ini bermotif politik. Encyclopaedia of Islam menyebutkan bahwa khalifah berusaha menjauhkan dirinya dari Ibnu Rusyd untuk mendapat simpati dan dukungan dari para ulama tradisional yang banyak menentang ajaran Ibnu Rusyd. Pada saat itu, khalifah sedang butuh dukungan para ulama untuk melancarkan perang melawan kerajaan-kerajaan Kristen.  Sejarawan Majid Fakhry menulis bahwa banyak fukaha atau ahli fikih tradisional pada saat itu menentang Ibnu Rusyd dan menekan sang khalifah.

Setelah beberapa tahun, Ibnu Rusyd kembali didukung khalifah dan ia bertugas lagi di istana kekhalifahan. Namun tak lama kemudian ia meninggal pada tanggal 11 Desember 1198 (atau 5 Safar 595 H). Awalnya ia dikuburkan di Maroko, tetapi kemudian jenazahnya dipindahkan ke Kordoba.  Pemakamannya di Kordoba dihadiri oleh Ibnu Arabi (1165–1240) yang kelak akan menjadi tokoh sufi terkemuka.

Ibnu Rusyd adalah penulis yang amat produktif dan tulisan-tulisannya mencakup banyak topik. Menurut Fakhry, karyanya "mencakup lebih banyak bidang ilmu" dibanding para pendahulunya di Dunia Timur. Bidang-bidang ilmu yang ia bahas di antaranya filsafat, kedokteran, teori hukum, serta linguistik. Kebanyakan tulisannya adalah tafsir atau uraian terhadap karya-karya Aristoteles, yang juga sering mengandung pemikiran baru dari Ibnu Rusyd sendiri.  Menurut penulis Prancis Ernest Renan, selain tafsir-tafsir Aristoteles dan Plato Ibnu Rusyd menulis sedikitnya 67 buku yang merupakan karya baru (bukan tafsir), termasuk 28 buku mengenai filsafat, 20 buku mengenai kedokteran, 8 buku mengenai hukum, 5 buku mengenai teologi atau akidah, 4 buku mengenai tata bahasa, dan 2 buku mengenai astronomi. Teks asli dari banyak karya Ibnu Rusyd yang berbahasa Arab telah hilang, dan yang masih ada hanyalah terjemahannya dalam bahasa Latin atau Ibrani.

Tafsir Aristoteles

Ibnu Rusyd menulis tafsir atau uraian pada hampir semua karya Aristoteles yang ada pada masa hidupnya. Yang tidak ia tulis tafsirnya hanya Politika, karena ia tidak bisa mendapatkan buku tersebut, dan ia menggantinya dengan menulis tafsir buku Republik karya Plato.  Ia membagi karya-karya ini menjadi tiga tipe, dan sekarang para pakar menyebutnya "tafsir panjang", "tafsir menengah" dan "tafsir pendek" (long, middle dan short commentary dalam bahasa Inggris). Tipe yang terpendek, disebut jami' dalam bahasa Arab, berisi ringkasan doktrin-doktrin Aristoteles, dan kebanyakan ditulis pada awal karier Ibnu Rusyd. Yang menengah (disebut talkhis) berisi parafrase atau uraian yang gunanya untuk memperjelas dan menyederhanakan bahasa dalam buku-buku Aristoteles. Tafsir menengah ini kemungkinan ditulis setelah Khalifah Abu Yaqub Yusuf mengeluh bahwa buku-buku Aristoteles rumit dan susah dibaca, dan Ibnu Rusyd ingin membantu sang khalifah dan orang-orang lain yang memiliki masalah yang sama. Tafsir panjang (disebut tafsir atau syarh dalam bahasa Arab) adalah tafsir baris per baris, yang berisi teks asli Aristoteles ditambah analisis rinci di tiap baris. Tafsir panjang ini berisi banyak pemikiran asli Ibnu Rusyd, dan kemungkinan besar bukan ditujukan untuk khalayak umum tetapi hanya untuk para pakar dan peminat Aristoteles. Untuk kebanyakan buku Aristoteles, Ibnu Rusyd hanya menulis satu atau dua dari tiga tipe tafsir ini. Namun untuk lima buku: Fisika, Metafisika, De Anima ("Mengenai Jiwa"), De Caelo ("Mengenai Langit"), dan Analytica Posteriora ia menulis ketiga tipe tafsirnya.

Makalah filsafat
Ibnu Rusyd juga menulis makalah-makalah (Bahasa Arab: tunggal maqalah, jamak maqālāt) dalam berbagai topik filsafat, di antaranya tentang akal atau intelek, waktu, dan benda-benda langit (yang ketika itu termasuk topik filsafat). Ia juga menulis beberapa makalah polemik atau perdebatan, termasuk mengkritik Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali dalam beberapa topik.

Teologi
Ibnu Rusyd juga menulis karya bertopik akidah atau teologi. Sumber-sumber akademis seperti Fakhry dan buku Encyclopedia of Islam menyebut tiga di antara karya Ibnu Rusyd yang dianggap mengandung inti pemikiran Ibnu Rusyd dalam topik ini. Yang pertama adalah Fashl al-Maqal fi ma baina al-Hikmah wa asy-Syariah min al-Ittishal, sebuah tulisan yang mengajukan kesesuaian antara filsafat dan syariat Islam. Ia juga menulis Al-Kasyf 'an Manahij al-'Adillah ("Penjelasan Metode Pembukitan") yang berisi argumen Ibnu Rusyd untuk membuktikan keberadaan Tuhan (Allah), pendapat Ibnu Rusyd mengenai sifat-sifat dan perbuatan-Nya, dan juga beberapa kritik terhadap ajaran akidah Asy'ariyah. Selain itu, karya utamanya dalam bidang ini adalah kitab Tahafut at-Tahafut ("Kerancuan dari Kerancuan") yang merupakan balasan terhadap kitab terkenal Tahafut al-Falasifah ("Kerancuan para Filsuf") karya Al-Ghazali. Dalam Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali mengkritik ilmu filsafat (terutama yang dibawakan Ibnu Sina) yang ia anggap tidak sesuai dengan akidah Islam.  Al-Ghazali sendiri hidup pada tahun 1058–1111 dan telah wafat sebelum kelahiran Ibnu Rusyd, tetapi bukunya masih sangat berpengaruh pada masa Ibnu Rusyd. Tahafut karya Ibnu Rusyd mencoba membalas kritik Al-Ghazali dengan pemikiran-pemikiran yang dikembangkan Ibnu Rusyd di karya-karyanya sebelumnya. Selain membalas kritik, kitab ini juga mengkritik Ibnu Sina dan filsafatnya yang bercorak Neoplatonisme, bahkan kadang ia setuju dengan kritik Al-Ghazali terhadap Ibnu Sina.

Kedokteran

Ibnu Rusyd yang pernah menjabat sebagai dokter istana khalifah, menulis beberapa buku di bidang kedokteran. Yang paling terkenal berjudul al-Kulliyah fit-Thibb ("Prinsip Umum Kedokteran") yang ditulis kr. 1162, sebelum ia menjabat di istana.  Buku ini terdiri dari 7 jilid, yang berturut-turut membahas soal anatomi, fisiologi, patologi umum, diagnosis, obat-obatan, kebersihan, dan pengobatan umum. Kelak buku ini diterjemahkan dalam Bahasa Latin (judulnya berubah menjadi Colliget) dan menjadi salah satu buku teks kedokteran di Eropa selama berabad-abad.  Bersama Ibnu Zuhr, ia mengarang Al-Umur Al-Juz'iyyah, sehingga menurut Ibnu Abu Ushaybi'ah, karya bersama mereka menjadi sebuah karya lengkap tentang seni pengobatan. Ia juga menulis ringkasan karya-karya dokter Yunani Galenus (wafat kr. 210) dan uraian terhadap karya Ibnu Sina Urjuzah fit-Thibb ("Puisi Mengenai Kedokteran"),

Hukum

Ibnu Rusyd juga adalah seorang hakim dan menulis beberapa buku di bidang fikih atau hukum Islam, termasuk ushul fiqh yang membahas kaidah-kaidah atau teori hukum. Satu-satunya karyanya yang masih ada teksnya sampai sekarang adalah buku Bidāyat al-Mujtahid wa Nihāyat al-Muqtaṣid ("Permulaan Seorang Mujtahid dan Akhir Seorang Muqtashid").  Buku ini bertopik fikih perbandingan atau ikhtilaf, yaitu perbedaan-perbedaan dalam hukum Islam.  Ia menjelaskan perbedaan antara mazhab-mazhab Sunni, baik dari segi ushul (teori dan kaidah) maupun dalam praktiknya.  Ibnu Rusyd adalah pengikut mazhab Maliki, tetapi buku ini juga membahas mazhab-mazhab lain, serta pendapat-pendapat yang beragam termasuk ulama konservatif dan liberal. Selain buku ini, pada daftar-daftar pustaka juga disebutkan karya-karya lain yang teksnya sudah tidak ditemukan lagi. Di antaranya adalah rangkuman dari Al-Mustashfa min 'ilm al-Ushul, sebuah buku ushul fiqh karya Al-Ghazali serta buku-buku kecil tentang Qurban dan pajak terhadap tanah.

Gagasan filsafat dan ilmu agama

Filsafat Aristoteles dalam tradisi pemikiran Islam
Dalam tulisan-tulisan filsafatnya, Ibnu Rusyd berusaha mengembalikan Aristotelianisme ke jalur utama pemikiran di dunia Islam. Menurutnya, filsafat Aristoteles telah disalahartikan oleh pemikir-pemikir Muslim sebelumnya yang terpengaruh filsafat Neoplatonisme, seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina. Ia menolak gagasan-gagasan Al-Farabi yang menggabungkan filsafat Plato dan Aristoteles, dan Ibnu Rusyd merujuk pada perbedaan antara kedua filsuf Yunani tersebut, di antaranya penolakan Aristoteles terhadap teori ide yang diajukan Plato.  Ia juga mengkritik karya-karya Al-Farabi mengenai logika karena dianggap menyalahartikan sumber-sumbernya yang berasal dari Aristoteles. Ia juga panjang lebar mengkritik Ibnu Sina, yang merupakan tokoh utama Neoplatonisme di dunia Islam abad pertengahan.  Ia berpendapat bahwa teori Ibnu Sina mengenai emanasi (faydh) memiliki banyak kesalahan dan tidak berasal dari Aristoteles.  Ibnu Rusyd tidak setuju dengan pendapat Ibnu Sina bahwa keberadaan (wujud) hanyalah aksiden ('ard) dari esensi (dzat).  Ibnu Rusyd berpendapat sebaliknya, bahwa sesuatu ada terlebih dahulu, dan esensi hanyalah sesuatu yang diabstraksikan dari hal yang telah ada tersebut.  Ia juga menolak teori modalitas Ibnu Sina serta argumen Burhan ash-Shiddiqin yang diajukan Ibnu Sina untuk membuktikan keberadaan Tuhan (Allah) sebagai sesuatu yang Wajib Ada (wajib al-wujud).

Hubungan antara Islam dan filsafat

Pada masa Ibnu Rusyd, filsafat banyak diserang oleh para ulama Sunni, terutama dari mazhab-mazhab teologi seperti mazhab teologi Hanbali dan Asy'ariyah.  Al-Ghazali, ulama terkemuka yang bermazhab Asy'ariyah, menulis Tahafut al-Falasifah ("Kerancuan para Filsuf"), buku yang sangat berpengaruh dan berisi kritik pedas terhadap tradisi filsafat terutama filsafat bercorak Neoplatonisme di dunia Islam, terutama terhadap karya dan pemikiran Ibnu Sina. Al-Ghazali berpendapat bahwa beberapa teori para filsuf bertentangan dengan ajaran Islam dan merupakan bentuk kekafiran, dan juga berusaha membuktikan kesalahan teori-teori tersebut dengan argumen logika. Dalam buku Tahafut at-Tahafut itu sendiri, ada 20 persoalan yang dicermati Ibnu Rusyd yang dijadikan pangkal kritik Al-Ghazali.

Dalam buku Fashl al-Maqal, Ibnu Rusyd memaparkan bahwa filsafat yang merupakan metode mengambil kesimpulan berdasarkan akal dan cara yang cermat—tidak mungkin bertentangan dengan ajaran Islam.  Keduanya hanyalah dua cara untuk memperoleh kebenaran yang sama, dan "kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran".   Ketika kesimpulan yang didapat dari filsafat terlihat bertentangan dengan teks kitab suci agama Islam, menurut Ibnu Rusyd teks tersebut harus ditafsirkan ulang atau diartikan secara kiasan sehingga tidak lagi bertentangan.  Penafsiran ini haruslah dilakukan oleh "orang yang berakal" (ulil albab), istilah yang ia kutip dari Quran Surat 3:7. Menurut Ibnu Rusyd, pada masanya para filsuflah yang menyandang status ini karena mereka menguasai metode tertinggi dalam ilmu pengetahuan.  Ia juga berpendapat bahwa Al-Qur'an menganjurkan umat Islam untuk mempelajari filsafat, karena mempelajari alam akan mendekatkan seseorang dengan Sang Pencipta. Ia mengutip beberapa ayat Al-Quran yang menyerukan umat Islam untuk mempelajari alam sekitar (misalnya QS 59:2 dan 88:17-18) dan kemudian memberikan fatwa (pendapat hukum) bahwa filsafat hukumnya boleh, bahkan bisa jadi wajib untuk mereka yang memiliki bakat dan kemampuan untuk mempelajarinya.

Ibnu Rusyd juga membedakan tiga metode membuktikan kebenaran. Yang pertama adalah metode retorika (khatab), yaitu melalui kepandaian menggunakan kata-kata, yang dapat dipahami oleh kebanyakan orang awam. Metode kedua adalah dialektika (jidāl), yaitu melalui argumen dan perdebatan, yang dilakukan oleh para ulama mutakallimun[c] pada zaman Ibnu Rusyd. Metode ketiga adalah metode demonstratif (burhan) atau melalui pembuktian dengan kaidah-kaidah logika. Menurut Ibnu Rusyd, Al-Qur'an menggunakan metode retorika untuk menyerukan manusia pada kebenaran, karena Al-Qur'an ditujukan kepada semua orang termasuk orang awam. Sedangkan filsafat menggunakan metode demonstratif yang hanya bisa dikonsumsi oleh orang-orang yang berilmu, tetapi dapat menghasilkan pengetahuan dan pengertian yang lebih baik bagi orang yang mampu

Ibnu Rusyd juga berusaha menjawab kritik Al-Ghazali terhadap filsafat dengan menunjukkan bahwa kritik-kritik tersebut hanya spesifik menyangkut filsafat Ibnu Sina, dan bukan filsafat Aristoteles, Menurut Ibnu Rusyd, filsafat Aristoteles adalah filsafat paling asli dan benar, dan Ibnu Sina telah menyimpang darinya.

Bukti keberadaan Tuhan

Ibnu Rusyd menulis mengenai bukti keberadaan Tuhan dan sifat-sifatnya di dalam bukunya Kitab al-Kasyf 'an Manahij al-Adillah ("Buku Pengungkapan Cara-Cara Pembuktian").  Ia meneliti dan mengkritik doktrin-doktrin berbagai kelompok dalam Islam: Kelompok Asy'ariyah, Mu'tazilah, Sufi, dan "Hasyawiyah" (para literalis). Ia juga menguji dan mengkritik masing-masing bukti-bukti yang mereka ajukan untuk keberadaan Tuhan. Menurut Ibnu Rusyd, ada dua dalil atau argumen untuk keberadaan Tuhan yang ia anggap sahih secara logika dan sesuai dengan Al-Quran, yaitu argumen inayah ("pemberian [Tuhan]") dan ikhtira' ("penciptaan"). Dalam argumen pemberian, ia berpendapat bahwa dunia dan alam semesta terlihat diatur untuk kehidupan dan kemakmuran manusia. Ia memberi contoh matahari, bulan, sungai-sungai, lautan, dan planet bumi, yang semuanya mendukung kehidupan manusia dan menunjukkan adanya Sang Pencipta yang sengaja mengaturnya demikian. Dalam argumen penciptaan, ia berargumen bahwa hal-hal yang ditemukan di dunia, seperti hewan dan tumbuhan, memiliki bentuk dan struktur yang merupakan hasil penciptaan. Hal ini menunjukkan adanya Sang Pencipta yang merancangnya.  Kedua argumen yang diajukan Ibnu Rusyd ini merupakan argumen teleologis, berbeda dengan argumen Aristoteles maupun kebanyakan ulama Muslim pada masa itu yang cenderung menggunakan argumen kosmologis untuk membuktikan keberadaan Tuhan.

Sifat-sifat Tuhan

Ibnu Rusyd menjunjung doktrin tauhid atau keesaan Tuhan dan menyebutkan 7 sifat-sifat Tuhan (Allah): mengetahui, hidup, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat, dan berfirman—sifat-sifat ini juga sesuai dengan pendapat ulama-ulama pada masa itu. Di antara tujuh sifat ini, ia paling banyak membahas sifat mengetahui ('ilm), dan berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan berbeda dengan pengetahuan manusia: Tuhan mengetahui alam semesta karena Ia adalah sebab dari segala sesuatu, sedangkan manusia mengetahui hal-hal di alam semesta hanya dari akibat-akibat yang ditimbulkannya.

Ibnu Rusyd lalu melanjutkan bahwa Tuhan dapat disimpulkan bersifat hidup karena hidup adalah prasyarat untuk mengetahui, dan juga karena Tuhan menyebabkan benda-benda menjadi ada. ibnu Rusyd menyimpulkan Tuhan bersifat berkuasa karena Ia mampu menciptakan. Selanjutnya, karena Tuhan bersifat mengetahui dan berkuasa, menurut Ibnu Rusyd sudah tentu Tuhan juga dapat berfirman. Mengenai sifat melihat dan mendengar, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa karena Tuhan menciptakan dunia, Ia mengetahui seluruh bagian dunia tersebut dengan jelas sebagaimana seorang seniman mengetahui karya ciptaannya. Karena mendengar dan melihat adalah dua cara untuk mengetahui alam semesta, Tuhan sebagai pencipta pastilah memiliki dua sifat tersebut.

Qadimnya alam semesta

Pada beberapa abad sebelumnya, terjadi perdebatan di kalangan cendekiawan Muslim tentang apakah alam semesta selalu ada sejak dahulu (qadim) atau memiliki awal mula (hadits). Pemikir bercorak Neoplatonisme seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina berpendapat bahwa alam semesta selalu ada. Pendapat ini ditolak oleh ulama dan filsuf dari golongan Asy'ariyah. Contohnya, Al-Ghazali menolak pendapat bahwa alam semesta selalu ada dan menyatakan orang yang berpendapat demikian adalah kafir lewat karyanya Tahafut al-Falasifahnya.

Ibnu Rusyd menjawab Al-Ghazali di Tahafut at-Tahafutnya. Pertama, ia menyatakan bahwa perbedaan antara dua kubu ini tidak terlalu besar dan tidak seharusnya berakibat tuduhan kafir. Ia menyatakan bahwa doktrin Ibnu Sina dan Al-Farabi belum tentu bertentangan dengan Al-Quran. Ia menyebutkan ayat-ayat Al-Quran seperti 11:7, 41:11, 65:48 yang menyebutkan 'Arsy, air dan asap yang telah ada sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. Menurut penafsiran Ibnu Rusyd, alam semesta selalu ada, dan saat Allah melakukan penciptaan, Ia memberi bentuk kepada zat-zat yang sudah ada. Ibnu Rusyd juga mengkritik ulama yang menafsirkan ayat-ayat tentang penciptaan, topik yang seharusnya merupakan ranah para filsuf.

Politik

Ibnu Rusyd menyampaikan filsafat politiknya di tafsirnya terhadap buku Republik karya Plato (gambar).
Ibnu Rusyd menyampaikan filsafat politiknya di tafsirnya terhadap karya Plato Republik.  Ia menggabungkan gagasannya sendiri dengan gagasan Plato dan dengan ajaran Islam. Menurut Ibnu Rusyd, negara yang ideal adalah negara yang berlandaskan hukum-hukum Islam atau syariah. Seperti Al-Farabi, ia menafsirkan konsep "filsuf raja" yang diajukan Plato sebagai seorang imam, khalifah, dan pembuat hukum di negara yang ia pimpin. Sifat-sifat seorang filsuf raja yang dijelaskan Ibnu Rusyd mirip dengan penjelasan Al-Farabi, yaitu ia harus mencintai ilmu, memiliki hafalan yang baik, suka belajar, suka kebenaran, tidak suka kenikmatan duniawi, tidak suka menumpuk harta, berhati besar, berani, sabar, pintar berbicara dan ahli dalam menerapkan silogisme.  Ibnu Rusyd menyatakan, sekalipun saat para filsuf tidak bisa berkuasa—ia memberikan contoh pada zaman dinasti Murabithun dan Muwahidun saat ia hidup—para filsuf tetap harus berusaha memengaruhi para penguasa ke arah negara yang ideal.

Menurut Ibnu Rusyd, ada dua cara untuk mengajarkan kebaikan kepada warga, yaitu dengan ajakan dan paksaan. Ajakan adalah cara yang lebih normal, yaitu dengan menggunakan metode retorika, dialektika, dan demonstrasi. Namun kadang cara paksaan terpaksa dipakai untuk orang-orang yang tidak mau menerima ajakan, misalnya kepada musuh negara.  Menurut Ibnu Rusyd, perang hanya boleh digunakan sebagai jalan terakhir, sebagaimana diajarkan Al-Quran. Ia juga berpendapat seorang penguasa harus memiliki baik kebijaksanaan maupun keberanian, karena keduanya diperlukan dalam pemerintahan dan pertahanan negara.

Seperti Plato, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa wanita harus juga berperan dalam pemerintahan negara, baik sebagai tentara, filsuf atau penguasa. Ia menyesalkan bahwa negara-negara Islam pada zamannya berusaha membatasi peran wanita, menurut Ibnu Rusyd pembatasan ini berakibat buruk untuk kemakmuran negara.  Ia menganjurkan kesetaraan wanita dan pria baik dalam urusan perang maupun damai, dan mencontohkan adanya prajurit-prajurit wanita dalam bangsa Yunani, Arab, dan Afrika.

Ibnu Rusyd menerima gagasan Plato tentang adanya proses-proses yang dapat merusak negara ideal. Ia memberi contoh dari sejarah Islam, bahwa Kekhalifahan Rasyidin—yang menurut ajaran Muslim Sunni merupakan negara ideal—berubah menjadi sistem kerajaan di bawah Muawiyah dan Dinasti Umayyah. Ia juga menyatakan bahwa negara Murabithun dan Muwahidun berawal dari negara yang ideal dan berbasis syariah, tetapi berubah menjadi negara bersistem timokrasi, oligarki, demokrasi dan tirani.

Hukum Islam
Dalam pekerjaannya sebagai hakim dan ahli hukum, Ibnu Rusyd kebanyakan mengikuti Mazhab Maliki yang merupakan mazhab dominan di daerah Spanyol dan Maghrib. Salah satu sumbangan besarnya terhadap pemikiran hukum Islam adalah penjelasannya di buku Bidayat al-Mujtahid mengenai perbedaan mazhab dalam hukum Islam, khususnya pembahasan sistematis mengenai prinsip dan sebab-sebab yang mendasari perbedaan tersebut, sesuatu yang jarang dilakukan pada saat itu.  Menurutnya, perbedaan pendapat dalam hukum Islam bukan hanya wajar, tapi tidak dapat dihindarkan. Sekalipun mazhab-mazhab hukum Islam sama-sama berdasar pada Al-Qur'an dan Hadis, selalu ada sebab-sebab perbedaan (al-asbab al-lati awjabat al-ikhtilaf). Contohnya adalah perbedaan dalam memahami atau menafsirkan bahasa, atau perbedaan mengenai bagaimana dan pada masalah apa metode analogi atau kias dapat digunakan

Ilmu-ilmu alam

Astronomi
Seperti Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail sebelumnya, Ibnu Rusyd juga mengkritik Model Ptolemaik dengan berdasarkan filsafat. Ketiga pemikir Al-Andalus ini menganggap model Ptolemaik tidak sesuai dengan prinsip-prinsip filsafat Aristoteles yang menyimpulkan bahwa benda-benda langit tersebut mengitari bumi dengan orbit lingkaran sempurna. Mereka mengkritik konsep episiklus atau "lingkaran dalam lingkaran" yang digunakan oleh model Ptolemaik untuk menjelaskan keanehan pergerakan bulan, matahari dan planet-planet. Ia membagi gerakan planet-planet menjadi tiga: gerakan yang bisa dilihat dengan mata, gerakan yang baru bisa dilihat dengan peralatan astronomi, dan gerakan yang hanya bisa diketahui dengan mempelajari filsafat. Ibnu Rusyd berusaha mereformasi ilmu astronomi supaya memiliki dasar fisika; pada saat itu praktik astronomi di dunia Islam banyak didasari rumus-rumus matematika saja tanpa dasar fisika. Pada masa tuanya ia mengakui bahwa upaya reformasinya ini gagal.

Fisika
Pendekatan Ibnu Rusyd terhadap fisika adalah menggunakan metode eksegesis atau penafsiran: ia mengeluarkan tesis-tesis baru mengenai alam melalui pembahasan teks-teks pemikir sebelumnya, terutama Aristoteles.  Ia tidak menggunakan metode induksi seperti halnya ilmu fisika sekarang dan ketika itu sedang dikembangkan oleh Al-Biruni di dunia Islam.  Karena metodenya ini, Ibnu Rusyd sering digambarkan hanya sebagai pengikut Aristoteles yang tidak banyak bersumbangsih di bidang fisika. Namun sejarawan ilmu pengetahuan Ruth Glasner berpendapat bahwa Ibnu Rusyd sebenarnya juga menghasilkan teori-teori baru di bidang fisika, terutama penjelasannya mengenai teori minima naturalia Aristoteles dan teori geraknya yang menggunakan konsep forma fluens. Kedua teori ini kemudian diserap oleh para pemikir Barat dan memiliki andil dalam sejarah perkembangan ilmu fisika. Ibnu Rusyd juga mengajukan sebuah pengertian gaya yang mendekati pengertian daya dalam ilmu fisika modern.

Psikologi

Ibnu Rusyd menjabarkan pemikirannya di bidang psikologi dalam tiga tafsirnya mengenai karya Aristoteles De Anima ("Mengenai Jiwa").  Ibnu Rusyd berusaha menjelaskan akal manusia dengan metode filsafat dan dengan menafsirkan gagasan-gagasan Aristoteles.  Posisi yang ia ambil berubah-ubah sepanjang kariernya seiring perkembangan intelektualnya. Pada tafsirnya yang pertama (disebut "tafsir pendek"), ia mengikuti teori Ibnu Bajjah bahwa sesuatu yang disebut "akal material" menyimpan bayangan dari hal-hal yang dialami seseorang.  Bayangan-bayangan spesifik tentang suatu konsep menjadi dasar "penyatuan" akal material dengan "akal agen" yang bersifat universal. Ketika penyatuan ini terjadi, orang tersebut akan memiliki pengetahuan umum tentang konsep tersebut.

Pada tafsirnya yang kedua atau menengah, Ibnu Rusyd mengajukan teori yang lebih dekat dengan gagasan Al-Farabi dan Ibnu Sina, dan menyebutkan bahwa akal agen memberi manusia kemampuan untuk memiliki pengetahuan umum terhadap suatu konsep. Saat seseorang telah memiliki pengalaman yang cukup tentang suatu konsep, kemampuan ini menjadi aktif dan orang tersebut dikatakan memiliki pengetahuan umum (lihat logika induktif)

Pada tafsirnya yang terakhir dan terpanjang, ia mengajukan teori baru yang kemudian dikenal sebagai teori "kesatuan akal". Ibnu Rusyd berpendapat bahwa hanya ada satu akal material, yang bersama-sama dimiliki semua manusia dan tidak bercampur dengan badan atau jasad manusia. Untuk menjelaskan alasan orang-orang bisa memiliki pemikiran yang berbeda, ia mengajukan konsep yang ia sebut fikr (diterjemahkan cogitatio dalam bahasa Latin), sebuah proses yang terjadi di otak manusia dan tidak memiliki pengetahuan umum tetapi hanya perhatian aktif terhadap hal-hal khusus yang dialami manusia tersebut. eori ini memicu kontroversi ketika karya-karya Ibnu Rusyd diterjemahkan di dunia Kristen Eropa. Pujangga Gereja Thomas Aquinas menulis makalah De unitate intellectus contra Averroistas yang isinya mengkritik teori ini secara rinci.

Kedokteran

Secara garis besar, teori-teori medis yang digunakan Ibnu Rusyd di Al-Kuliyyah fit-Thibb-nya mengikuti doktrin medis Galenus, dokter dan penulis terkemuka pada abad ke-2. Doktrin Galenus sangat berpengaruh pada masa itu, dan didasari oleh teori humoralisme yaitu adanya empat "humor" atau cairan darah, empedu kuning, empedu hitam dan flegma—yang keseimbangannya memengaruhi kesehatan manusia.  Namun Ibnu Rusyd juga mengajukan konsep-konsep baru di dunia kedokteran.  Walaupun hingga saat ini masih diperdebatkan, menurut sebagian sejarawan Ibnu Rusyd adalah orang pertama yang menyatakan bahwa retina merupakan bagian mata yang berfungsi menerima cahaya (dan bukan lensa). Selain itu, Ibnu Rusyd menolak penjelasan Galenus bahwa strok adalah tertutupnya gerakan darah dan "roh" dari jantung ke anggota tubuh. Berdasarkan pengamatan terhadap pasien dan teori fungsi otak dari Aristoteles, sebagai gantinya Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa penyakit ini berasal dari otak dan terhambatnya jalur arteri dari jantung ke otak. Penjelasan ini lebih mirip dengan penjelasan modern.  Ia juga adalah orang pertama yang mengidentifikasi gejala-gejala penyakit Parkinson, walaupun ia tidak menamainya secara khusus.

Pada tradisi Yahudi

Moshe ben Maimon (1135–1204, dikenal juga dengan nama "Moses Maimonides" dalam bahasa Yunani) adalah salah satu cendekiawan Yahudi yang paling awal menerima karya-karya Ibnu Rusyd dengan antusias, dan menulis bahwa ia membaca hal-hal yang ditulis Ibnu Rusyd tentang Aristoteles dan berpendapat bahwa Ibnu Rusyd "sangatlah benar". Penulis-penulis Yahudi abad ke-13, seperti Samuel ben Tibbon, Yehuda ben Salomo Ha-Kohen dan Shem-Tov ben Falaquera, banyak mengandalkan tulisan-tulisan Ibnu Rusyd sebagai sumber untuk tulisan mereka. Pada masa ini, banyak cendekiawan Yahudi yang bisa membaca bahasa Arab sehingga karya Ibnu Rusyd dapat langsung dibaca. Pada tahun 1232, buku Ibnu Rusyd pertama kali sepenuhnya diterjemahkan ke bahasa Ibrani, yaitu ketika Yosef ben Abba Mari menerjemahkan tafsir Ibnu Rusyd mengenai Organon karya Aristoteles.  Pada tahun 1260 Moses ben Tibbon menerbitkan terjemahan dari hampir semua tafsir-tafsir karya Ibnu Rusyd, serta sebagian tulisannya di bidang kedokteran. Pengikut ajaran Ibnu Rusyd, yang kemudian disebut Averroisme, mencapai puncaknya di kalangan Yahudi pada abad ke-14. Penulis-penulis Yahudi yang menerjemahkan dan banyak dipengaruhi oleh tulisan Ibnu Rusyd di antaranya adalah Kalonymus ben Kalonymus dari Arles, Samuel ben Judah dari Marseilles, Todros Todrosi dari Arles, serta Lewi ben Gerson dari Languedoc.
Pada tradisi Kristen di Barat

Sumbangan Ibnu Rusyd yang paling besar pada tradisi Kristen di Eropa Barat adalah tafsir-tafsirnya terhadap karya Aristoteles. Setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi Barat, Eropa Barat mengalami kemunduran budaya yang menyebabkan hilangnya hampir seluruh peninggalan intelektual dari para cendekiawan Yunani Klasik, termasuk Aristoteles. Tafsir-tafsir yang ditulis Ibnu Rusyd menyebarkan kembali karya Aristoteles dan melengkapinya dengan pemikiran Ibnu Rusyd sebagai seorang pakar.  Tafsir-tafsir ini mulai diterjemahkan ke bahasa Latin dan dipelajari di Eropa Barat abad ke-13.  Karena tafsir-tafsir ini begitu dikenal, penulis-penulis Kristen selanjutnya sering tidak menyebut Ibnu Rusyd dengan namanya tetapi cukup dengan gelar "Sang Penafsir" (Latin: Commentatoris , Inggris Modern: The Commentator).

Cendekiawan Skotlandia Michael Scot (1175 - kr. 1232) adalah orang pertama yang menerjemahkan karya Ibnu Rusyd ke Bahasa Latin. Sejak 1217, ia menerjemahkan tafsir panjang Fisika, Metafisika, De Anima dan De Caelo, serta banyak tafsir pendek dan menengah. Setelah itu, para penulis Eropa lainnya, seperti Hermannus Alemannus, William de Luna, dan Armengaud dari Montpellier, menerjemahkan karya-karya Ibnu Rusyd yang lain, kadang bekerja sama dengan penulis-penulis Yahudi. Tak lama kemudian, karya-karya Ibnu Rusyd menyebar di kalangan cendekiawan Kristen, terutama dari kelompok Skolastis. Lalu muncul gerakan yang mengikuti tulisan-tulisan ini, yang disebut Averroisme Latin. Paris dan Padova (sekarang di Italia) menjadi pusat intelektual Averroisme Latin, dengan tokoh-tokoh utama seperti Sigerus de Brabantia dan Boetius de Dacia.

Otoritas Gereja Katolik Roma kemudian berusaha membendung penyebaran Averroisme. Pada tahun 1270, Uskup Paris Étienne Tempier mengeluarkan larangan terhadap 15 doktrin—kebanyakan merupakan ajaran Aristoteles atau Ibnu Rusyd—yang dianggap bertentangan dengan doktrin Katolik. Pada tahun 1277, sesuai permintaan Paus Yohanes XXI, Tempier mengeluarkan larangan baru, kali ini terhadap 219 tesis dari berbagai sumber, dan sebagian besar merupakan ajaran Aristoteles atau Ibnu Rusyd.

Ibnu Rusyd diterima dengan reaksi yang berbeda-beda oleh pemikir Katolik lainnya. Thomas Aquinas yang merupakan salah satu pemikir Katolik terkemuka abad ke-13, sangat mengandalkan Ibnu Rusyd dalam mempelajari dan menafsirkan tulisan Aristoteles, tetapi juga banyak tidak setuju dengan pendapat Ibnu Rusyd. Contohnya, ia menulis kritik yang rinci terhadap teori Ibnu Rusyd bahwa semua manusia bersama-sama memiliki satu akal. Ia juga menentang doktrin Ibnu Rusyd mengenai keabadian alam semesta dan keterlibatan Allah di dunia.

Larangan yang dikeluarkan Gereja Katolik pada tahun 1270 dan 1277, serta kritikan keras dari Aquinas memperlemah penyebaran Averroisme di Dunia Kristen Barat. Namun Averroisme tetap memiliki pengikut hingga abad ke-16. Tokoh-tokoh utama Averroisme di Eropa di antaranya Jean de Jandun, Marsilius dari Padova (abad ke-14), Gaetano da Thiene dan Pietro Pomponazzi (abad ke-15), serta Agostino Nifo dan Marcantonio Zimara (abad ke-16).  Sejak abad ke-16, Averroisme banyak ditinggalkan karena Dunia Barat sudah mulai meninggalkan tradisi intelektual Aristoteles.

Pada tradisi Islam

Ibnu Rusyd tidak memiliki pengaruh besar terhadap pemikiran filsafat di dunia Islam hingga zaman modern.  Salah satu alasannya adalah geografi: Ibnu Rusyd berasal dari Al-Andalus atau Spanyol yang berada di ujung Barat peradaban Islam dan terletak jauh dari pusat intelektual Islam di Timur Tengah.  Selain itu, filsafatnya juga tidak terlalu cocok dengan filsafat yang umum pada cendekiawan Islam saat itu. Fokusnya terhadap Aristoteles dianggap terlalu usang oleh para pemikir Islam, karena Aristoteles sudah banyak dipelajari sejak abad ke-9 dan pada masa Ibnu Rusyd banyak pemikiran-pemikiran yang lebih baru dan populer, seperti pemikiran Ibnu Sina.  Pemikir Muslim baru mulai banyak mempelajari Ibnu Rusyd lamgi pada abad ke-19.  Pada masa ini, terjadi An-Nahdah atau kebangkitan budaya di dunia Arab, dan karya-karya Ibnu Rusyd menjadi inspirasi untuk memodernkan tradisi intelektual umat Islam.

Dalam budaya populer

Ibnu Rusyd disebutkan dalam berbagai karya budaya baik di dunia Barat maupun di dunia Islam. Puisi Divina Commedia karya penulis Italia Dante Alighieri yang terbit pada 1320, menyebutkan Ibnu Rusyd "yang menulis Tafsir-Tafsir Besar", dan menggambarkannya terjebak di limbo atau tepi neraka bersama Salahuddin Ayyubi dan beberapa pemikir Islam dan pemikir Yunani non-Kristen. Pembukaan buku The Canterbury Tales (1387) karya Geoffrey Chaucer memasukkan Ibnu Rusyd dalam daftar ahli-ahli kedokteran yang diketahui di Eropa pada masa itu. Ibnu Rusyd juga muncul di lukisan fresko Mazhab Athena karya Raffaello Sanzio.  Karya ini dilukis di dinding sebuah ruangan di Istana Kepausan di Vatikan, dan berisi tokoh-tokoh penting dalam filsafat. Ibnu Rusyd digambarkan dengan gamis hijau dan sebuah sorban, mengintip dari belakang bahu Pythagoras yang sedang menulis buku.  Ibnu Rusyd adalah tokoh utama film Mesir Al-Massir ("Takdir") pada tahun 1997. Film ini disutradarai Youssef Chahine dan dibuat untuk memperingati 800 tahun meninggalnya Ibnu Rusyd. ] Dalam film ini, Ibnu Rusyd digambarkan sebagai seorang yang bijak di Kordoba abad ke-12.

Nama Ibnu Rusyd (atau Averroes) dipakai untuk genus tanaman Averrhoa. Genus ini dikenali dengan dua tanamannya yang masyhur, yaitu belimbing sayur dan belimbing biasa. Selain itu pula, ada kawah bulan bernama Ibn-Rushd dan asteroid 8318 Averroes.

Nov 10, 2019

Aleksander Agung

Aleksander III dari Makedonia (20/21 Juli 356 – 10/11 Juni 323 SM), lebih dikenal sebagai Aleksander Agung  adalah raja Kekaisaran Makedonia (bahasa Yunani: 'Βασιλεύς Μακεδόνων'), sebuah negara di daerah timur laut Yunani. Pada usia tiga puluh tahun, dia memimpin sebuah kekaisaran terbesar pada masa sejarah kuno, membentang mulai dari Laut Ionia sampai pegunungan Himalaya. Dia tidak pernah terkalahkan dalam pertempuran dan dianggap sebagai komandan perang terhebat sepanjang masa.  Aleksander lahir di Pella pada 356 SM dan merupakan murid seorang filsuf terkenal, Aristoteles. Pada tahun 336 SM Aleksander menggantikan ayahnya, Filipus II dari Makedonia, sebagai pemimpin Makedonia setelah ayahnya dibunuh oleh pembunuh gelap. Filipus sendiri telah menaklukkan sebagian besar negara-kota di daratan utama Yunani ke dalam hegemoni Makedonia, melalui militer dan diplomasi.

Setelah kematian Filipus, Aleksander mewarisi kerajaan yang kuat dan pasukan yang berpengalaman. Dia berhasil mengukuhkan kekuasaan Makedonia di Yunani, dan setelah otoritasnya di Yunani stabil, dia melancarkan rencana militer untuk ekspansi yang tak sempat diselesaikan oleh ayahnya. Pada tahun 334 SM dia menginvasi daerah kekuasaan Persia di Asia Minor dan memulai serangkaian kampanye militer yang berlangsung selama sepuluh tahun. Aleksander mengalahkan Persia dalam sejumlah pertempuran yang menentukan, yang paling terkenal antara lain Pertempuran Issus dan Pertempuran Gaugamela. Aleksander lalu menggulingkan kekuasaan raja Persia, Darius III, dan menaklukkan keseluruhan Kekasiaran Persia (Kekasiaran Akhemeniyah). Kekaisaran Makedonia kini membentang mulai dari Laut Adriatik sampai Sungai Indus.

Karena berkeinginan mencapai "ujung dunia", Aleksander pun menginvasi India pada tahun 326 SM, namun terpaksa mundur karena pasukannya nyaris memberontak. Aleksander meninggal dunia di Babilonia pada 323 SM, tanpa sempat melaksakan rencana invasi ke Arabia. Setelah kematian Aleksander, meletuslah serangkaian perang saudara yang memecah-belah kekaisarannya menjadi empat negara yang dipimpin oleh Diadokhoi, para jenderal Aleksander. Meskipun terkenal karena penaklukannya, peninggalan Aleksander yang bertahan paling lama bukanlah pemerintahannya, melainkan difusi budaya yang terjadi berkat penaklukannya.

Berkat penaklukan Aleksander, muncul koloni-koloni Yunani di daerah timur yang berujung pada munculnya budaya baru, yaitu perpaduan kebudayaan Yunani, Mediterrania, Mesir, dan Persia yang disebut dengan Peradaban Hellenis atau Hellenisme. Aspek-aspek Hellenis tetap ada dalam tradisi Kekaisaran Bizantium sampai pertengahan abad 15. Pengaruh Hellenisme ini bahkan sampai ke India dan Tiongkok. Khusus di Tiongkok, pengaruh kebudayaan ini dapat ditelusuri di antaranya dengan artefak yang ditemukan di Tunhuang. Aleksander menjadi legenda sebagai pahlawan klasik dan diasosiasikan dengan karakteristik Akhilles. Aleksander juga muncul dalam sejarah dan mitos-mitos di Yunani maupun di luar Yunani. Aleksander menjadi pembanding bagi para jenderal bahkan hingga saat ini,  dan banyak Akademi militer di seluruh dunia yang mangajarkan siasat-siasat pertempurannya.

Aleksander selama ekspansinya juga mendirikan beberapa kota yang semuanya dinamai berdasarkan namanya, seperti Aleksandria atau Aleksandropolis. Salah satu dari kota bernama Aleksandria yang berada di Mesir, kelak menjadi terkenal karena perpustakaannya yang lengkap dan bertahan hingga seribu tahun lamanya serta berkembang menjadi pusat pembelajaran terhebat di dunia pada masa itu.

Walaupun hanya memerintah selama 13 tahun, semasa kepemimpinannya ia mampu membangun sebuah imperium yang lebih besar dari setiap imperium yang pernah ada sebelumnya. Pada saat ia meninggal, luas wilayah yang diperintah Aleksander berukuran 50 kali lebih besar daripada yang diwariskan kepadanya serta mencakup tiga benua (Eropa, Afrika, dan Asia). Gelar yang Agung atau Agung di belakang namanya diberikan karena kehebatannya sebagai seorang raja dan pemimpin perang lain serta keberhasilannya menaklukkan wilayah yang sangat luas.

Kelahiran
Aleksander dilahirkan pada tanggal 20 (atau 21) Juli 356 SM, di Pella, ibu kota Kekaisaran Makedonia di Yunani Kuno. Dia terlahir sebagai putra Filipus II, Raja Makedonia. Ibunya adalah istri keempat Filipus, Olimpias, putri Neoptolemos I, raja Epiros. Meskipun Filipus memiliki tujuh atau delapan istri ketika itu, namun Olimpias adalah istrinya yang paling utama, barangkali karena dia yang melahirkan Aleksander.

Sebagai anggota Wangsa Argead, Aleksander mengklaim diri sebagai keturunan Herakles melalui Karanos dari Makedonia. Dari pihak ibunya dan Aiakid, dia mengklaim diri sebagai keturunan Neoptolemos, putra Akhilles. Keponakan kedua Aleksander adalah jenderal Pyrrhos dari Epiros, yang oleh Hannibal dianggap sebagai komandan sehebat Aleksander atau kedua terhebat setelah Aleksander.

Menurut biografer Yunani kuno, Plutarch, Olimpias, pada malam pernikahannya dengan Filipus, bermimpi bahwa rahimnya disambar petir, yang memicu semburan api yang menyebar sampai "jauh dan luas" sebelum padam. Beberapa waktu sebelum pernikahan, dikatakan bahwa Filipus bermimpi melihat dirinya menyegel rahim istrinya dengan menggunakan segel berukir singa. Plutarch mengajukan sejumlah penafsiran tentang mimpi-mimpi itu: bahwa Olympia telah hamil sebelum menikah, ditunjukkan dengan penyegelan rahimnya; atau bahwa ayah Aleksander adalah Zeus. Para sejarawan ada yang berpendapat bahwa Olimpias yang ambisius membesar-besarkan cerita mengenai silsilah dewa Aleksander, yang lain berpendapat Olimpias memberitahu Aleksander.

Pada hari kelahiran Aleksander, Filipus sedang bersiap-siap untuk mengepung kota Potidaea di semenanjung Chalcidike. Pada hari yang sama, Filipus mendapat kabar bahwa jenderalnya Parmenion telah mengalahkan pasukan gabungan Illyria dan Paionia, dan bahwa kuda-kudanya telah memenangkan Olimpiade. Dikatakan pula bahwa pada hari itu, Kuil Artemis di Ephesos—salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia Kuno-terbakar. Hegesias dari Magnesia berkata bahwa kuil itu terbakar karena dewi Artemis menghadiri kelahiran Aleksander.

Masa anak-anak
Pada usia-usia awal, Aleksander diasuh oleh susternya, Lanike, saudari Kleitus si Hitam, calon sahabat dan jenderal Aleksander pada masa depan. Pada masa anak-anak, Aleksander belajar pada Leonidas yang disiplin, seorang kerabat ibunya. Aleksander juga berguru pada Lysimakhos. Aleksander dibesarkan sebagai bangsawan muda Makedonia, dia belajar membaca, bermain lira, bertarung, dan berburu.

Ketika Aleksander berusia sepuluh tahun, seorang pedagang kuda dari Thessalia menawarkan seekor kuda pada Filipus. Kuda tersebut diberi harga senilai tiga belas talen. Kuda itu tidak mau ditunggangi oleh siapapun, dan Filipus memerintahkannya untuk dibawa pergi. Akan tetapi, Aleksander berkata bahwa rasa takut kuda itu adalah bayangannya sendiri dan meminta kesempatan untuk memunggangi kuda itu. Aleksander berhasil melakukannya. Menurut Plutarch, Filipus, yang merasa sangat senang melihat keberanian dan ambisi Aleksander, langsung mencium putranya itu dan menyatakan: "Putraku, kau harus menemukan kerajaan yang cukup besar untuk ambisimu. Makedonia terlalu kecil untukmu". Setelah itu Filipus membelikan kuda itu untuk Aleksander. Aleksander menamai kuda itu Bukephalas, bermakna "kepala lembu". Bukephalas akan menjadi teman perjalanan Aleksander dalam penaklukannya sampai ke India. Ketika Bukephalas mati (akibat usia tua, menurut Plutarch, karena sudah berusia tiga puluh tahun), Aleksander menamai sebuah kota sesuai nama kudanya (Bukephala).

Aristoteles sedang mengajari Aleksander.
Ketika Aleksander menginjak usia tiga belas tahun, dia membutuhkan pendidikan yang lebih tinggi, maka dia pun mencari tutor. Beberapa calon tutornya antara lain Isokrates dan Speusippos, penerus Plato di Akademi Plato. Pada akhirnya, Filipus menawarkan pekerjaan itu pada Aristoteles, yang menerimanya. Filipus memberikan Kuil Para Nimfa di Mieza sebagai ruang belajar mereka. Sebagai imbalan atas pengajarannya, Filipus bersedia untuk membangun kembali kampung halaman Aristoteles di Stagiera, yang pernah dihancurkan olehnya. Filipus merepopulasi kota itu dengan cara membeli dan memerdekakan para bekas warga yang sempat menjadi budak, atau dengan mengampuni para warga yang berada di pengasingan.

Mieza menjadi sekolah asrama bagi Aleksander dan anak-anak bangsawan Makedonia lainnya, misalnya, Ptolemaios, Hephaistion, dan Kassandros. Banyak murid di sana yang belajar bersama Aleksander kelak menjadi sahabat dan jenderalnya, atau yang lebih sering disebut sebagai 'Rekan'. Di Mieza, Aristoteles mengajari Aleksander dan kawan-kawannya pengobatan, moral, filsafat, agama, logika, dan seni. Berkat ajaran Aristoteles, Aleksander menjadi berminat pada karya-karya Homeros, terutama Iliad. Aristoteles memberi satu salinan Iliad pada Aleksander, yang selalu dibawanya dalam kampanye militernya

Awal karier dan bangkitnya Makedonia

Ketika Aleksander menginjak usia enam belas tahun, masa belajarnya pada Aristoteles selesai. Filipus, sang raja, berangkat untuk berperang melawan Byzantion, dan Aleksander ditugaskan untuk mengurus kerajaan. Selama Filipus pergi, suku Maedi Thrakia memberontak menentang kekuasaan Makedonia. Aleksander merespon dengan cepat, dia meredam pemberontakan suku Maedi, mengusir mereka dari wilayah mereka, mengisinya dengan orang-orang Yunani, dan mendirikan kota yang dia namai Alexandropolis.

Setelah Filipus kembali dari Byzantion, dia memberi Aleksander sejumlah kecil pasukan dan mengutusnya untuk menghentikan suatu pemberontakan di Thrakia selatan. Dalam kampanye lainnya melawan kota Perinthos di Yunani, Aleksander disebutkan menyelamatkan nyawa ayahnya. Sementara itu, kota Amphissa mulai mengolah tanah yang dikeramatkan untuk Apollo di dekat Delphi, suatu pelanggaran yang memberi kesempatan bagi Filipus untuk ikut campur lebih jauh dalam urusan Yunani. Masih berada di Thrakia, Filipus menyuruh Aleksander untuk mulai menghimpun pasukan untuk kampanye di Yunani. Sadar dengan adanya kemungkinan negara-negara Yunani lainnya untuk ikut campur, Aleksander memperlihatkan seolah-olah dia hendak menyerang Illyria. Dalam kekisruhan ini, Illyria mengambil kesempatan untuk menginvasi Makedonia, namun Aleksander berhasil menghalau para penyerang itu.

Pasukan Filipus bergabung dengan Aleksander pada tahun 338 SM, dan mereka bergerak ke selatan menuju Thermopylai, yang mereka lakukan setelah menghadapi perlawanan yang keras kepala dari orang-orang Thebes yang menghuninya. Mereka pergi untuk menduduki kota Elateia, berjarak beberapa hari dari kota Athena dan Thebes. Sementara itu, rakyat Athena, dipimpin oleh Demosthenes, memilih untuk bersekutu dengan Thebes dalam perang melawan Makedonia. Baik Athena dan Filipus kemudian mengirim utusan untuk memperoleh keberpihakan Thebes, dan yang berhasil melakukannya adalah Athena. Filipus bergerak menuju Amphissa (secara teoretis beraksi atas permintaan Liga Amphikyton), menangkap tentara bayaran yang dikirim ke sana oleh Demosthenes, dan menerima penyerahan kota itu. Lalu Filipus kembali ke Elateia dan mengirim penawaran perdamaian untuk yang terakhir kalinya pada Athena dan Thebes, yang berujung pada penolakan kedua kota itu.

Ketika Filipus sedang bergerak ke selatan, dia dihalangi di dekat Khaironeia, Boiotia oleh pasukan Athena dan Thebes. Dalam pertempuran tersebut, Filipus memimpin sayap kanan, dan Aleksander memimpin sayap kiri dengan ditemani oleh para jenderal Filipus yang tepercaya. Berdasarkan sumber-sumber kuno, dua pihak itu bertempur dengan sengit cukup lama. Filipus lalu memerintahkan pasukan di sayap kanan untuk mundur dan memancing hoplite-hoplite Athena supaya mengikutinya dan meninggalkan barisan mereka. Di sayap kiri, Aleksander adalah orang pertama yang berhasil menerobos barisan Thebes, diikuti oleh para jenderal Filipus. Setelah memperoleh terobosan, Filipus memerintahkan pasukannya untuk menekan ke depan dan mengepung musuh. Dengan mundurnya pasukan Athena, pasukan Thebes pun mesti bertempur sendiri; dikelilingi oleh musuh, pasukan Thebes pun dikalahkan.

Setelah menang di Khaironeia, Filipus dan Aleksander bergerak tak terhalangi menuju Peloponnesos dan diterima oleh semua kota; namun ketika mereka tiba di Sparta, mereka ditolak dan mereka pun pergi.  Di Korinthos, Filipus mendirikan "Aliansi Hellen" (didasarkan pada aliansi anti-Persia dalam Perang Yunani-Persia), dan Filipus diangkat sebagai Hegemon ('Pemimpin Tertinggi') dalam perkumpulan ini, yang oleh para sejarawan modern disebut sebagai Liga Korinthos. Filipus lalu mengumumkan rencananya untuk memimpin perang pembalasan melawan Kekaisaran Akhemeniyah.

Perselisihan

Setelah kembali ke Pella, Filipus jatuh cinta pada Kleopatra Euridike, keponakan salah satu jenderalnya, Attalos. Pernikahan ini membuat posisi Aleksander terhadap takhta menjadi rawan, karena jika Kleopatra Euridike melahirkan seorang putra, maka putra tersebut akan menjadi ahli waris yang sepenuhnya keturunan Makedonia, sedangkan Aleksander hanya separuh berdarah Makedonia. Pada pesta pernikahan, Attalos yang mabuk berdoa pada para dewa semoga pernikahan itu akan menghasilkan ahli waris yang sah untuk takhta Makedonia.
Pada pesta pernikahan Kleopatra, yang dicintai dan dinikahi oleh Filipus, dia (Kelopatra) terlalu muda untuknya, pamannya Attalos dalam mabuknya meminta rakyat Makedonia untuk memohon pada para dewa supaya memberi pewaris yang sah untuk kerajaan melalui keponakannya. Ini membuat Aleksander sangat marah, sehingga dia melempar gelasnya ke kepalanya, "Kau bajingan." katanya, "Apa, lalu aku pewaris yang tidak sah?" Kemudian Filipus bangkit dan hendak berlari pada putranya; namun entah karena keberuntungan, atau karena Filipus terlalau marah, atau karena terlalu mabuk, Filipus terjatuh ke lantai. Aleksander mencelanya, "Lihat itu." katanya, "pria yang bersiap untuk menyeberangi Eropa menuju Asia, terjatuh hanya ketika hendak berpindah kursi.
Plutarch, menggambarkan perseteruan dalam pesta pernikahan Filipus.
Pergi dan kembali

Aleksander kabur dari Makedonia bersama ibunya, yang dia titipkan di saudara ibunya di Dodona, ibu kota Epiros. Aleksander sendiri terus pergi ke Illyria,  di sana ia meminta suaka pada raja Illyria dan diperlakukan sebagai tamu oleh rakyat Illyria meskipun Aleksander pernah mengalahkan Illyria dalam pertempuran beberapa tahun sebelumnya. Namun, Filipus masih ingin mengakui Aleksander sebagai putranya, sehingga Aleksander kembali ke Makedonia setelah enam bulan kabur. Dia kembali berkat sahabat keluarganya, Demaratos dari Korinthos, yang melakukan mediasi antara kedua belah pihak.

Setahun kemudian, satrap (gubernur) Persia di Karia, Pixodaros, menawarkan putri sulungnya pada saudara tiri Aleksander, Filipus Arrhidaios. Olimpias dan beberapa sahabat Aleksander menduga bahwa tindakan itu menunjukkan Filipus berniat mengangkat Arrhidaios sebagai ahli warisnya.  Aleksander bereaksi dengan mengirim seorang aktor, Thessalos dari Korinthos, untuk memberitahu Pixodaros bahwa dia seharusnya tidak menawarkan putrinya pada putra raja yang tidak sah, melainkan pada Aleksander. Ketika Filipus mengetahui ini, dia menghentikan negosiasi dan memarahi Aleksander yang ingin menikahi putri orang Karia. Filipus menjelaskan bahwa dia ingin perempuan yang lebih baik untuk Aleksander. Filipus lalu mengasingkan empat kawan Aleksander, yaitu Harpalos, Neiarkhos, Ptolemaios dan Erigyios. Sedangan Thessalos dibawa ke hadapan Filipus dalam keadaan dirantai.

Raja Makedonia

Pada tahun 336 SM, Filipus sedang berada di Aigai, menghadiri pernikahan putrinya, Kleopatra, yang menikah dengan saudara Olympia, Aleksander I dari Epiros. Di sana Filipus dibunuh oleh pemimpin pasukan pengawalnya sendiri, Pausanias. Ketika Pausanias mencoba kabur, dia tersandung tanaman anggur sehingga dapat dibunuh oleh para pengejarnya, yang meliputi dua rekan Aleksander, Perdikkas dan Leonnatos. Aleksander dengan demikian diangkat sebagai raja oleh pasukan Makedonia dan bangsawan Makedonia. Dia berusia dua puluh tahun ketika menjadi raja.

Konsolidasi kekuasaan
Aleksander memulai masa pemerintahannya dengan menyingkirkan orang-orang yang menurutnya berpotensi mengancam takhtanya. Dia menghukum mati sepupunya, Amyntas IV, dan juga membunuh dua pangeran Makedonia dari daerah Lynkestis, sedangkan pangeran ketiga, yaitu Aleksander Lynkestes, diampuni. Sementara itu Olimpias, ibu Aleksander, memerintahkan bahwa Kleopatra Euridike dan putrinya, Europa, dikubur hidup-hidup. Ketika Aleksander tahu tentang hal itu, dia marah pada ibunya. Aleksander juga memerintahkan bahwa Attalos harus dibunuh. Attalos sendiri saat itu menjabat sebagai komandan pasukan di Asia Minor. Attalos sempat berkorespondensi dengan Demosthenes, mengenai kemungkinannya untuk kabur ke Athena. Terlepas dari apakah Attalos benar-benar berniat ke Athena atau tidak, dia sudah membuat Aleksander marah. Selain itu, setelah mengetahui bahwa putri dan cucu Attalos mati, Aleksander merasa bahwa Attalos terlalu berbahaya untuk dibiarkan hidup.  Aleksander membiarkan Arrhidaios hidup. Arrhidaios disebutkan menderita cacat mental, kemungkinan akibat diracun oleh Olimpias.

Kabar kematian Filipus memicu banyak kota memberontak, termasuk Thebes, Athena, Thessalia, dan suku-suku Thrakia di utara Makedonia. Ketika kabar pemberontakan di Yunani diketahui oleh Aleksander, dia merespon dengan cepat. Meskipun para penasihatnya menyarankannya untuk mempergunakan diplomasi, namun Aleksander memutuskan untuk mengumpulkan 3.000 tentara kavaleri dan bergerak menuju Thessalia, daerah tetangga Makedonia di sebelah selatan. Di sana dia mengetahui bahwa pasukan Thessalia telah menempati jalan di antara Gunung Olimpus dan Gunung Ossa. Aleksander lalu menyuruh pasukannya menaiki Gunung Ossa. Ketika pasukan Thessalia terbangun, mereka melihat bahwa pasukan Aleksander telah berada di sisi belakang mereka. Pasukan Thessalia pun menyerah dan pasukan kavaleri Aleksander bertambah dengan masuknya pasukan Thessalia. Aleksander lalu bergerak menuju Peloponnesos.

Aleksander berhenti sejenak di Thermopylae, di sana dia diakui sebagai pemimpin Liga Amphiktyon. Kemudian dia bergerak ke selatan ke Korinthos. Kota Athena memohon perdamaian dan Aleksander mengampuni Athena. Dia juga mengampuni semua orang yang terlibat dalam pemberontakan. Di Korinthos, terjadi peristiwa terkenal, yaitu pertemuannya dengan Diogenes Sang Kynis, yang memintanya untuk menyingkir sedikit karena dia menghalangi matahari. Di sana juga Aleksander diberikan gelar Hegemon, dan seperti halnya Filipus, Aleksander juga diangkat sebagai komandan dalam perang yang akan dilaksanakan melawan Persia. Ketika sedang berada di Korinthos, Aleksander mendengar berita bahwa suku Thrakia memberontak di utara.

Kampanye Balkan

Sebelum menyerang ke Asia, Aleksander ingin mengamankan perbatasan utaranya; dan, pada musim semi tahun 335 SM, dia berhasil menghentikan beberapa pemberontakan. Mulai dari Amphipolis, dia pertama-tama bergerak ke timur ke negara-negara "Suku-suku Thrakia Merdeka"; dan di Gunung Haimos, pasukan Makedonia menyerang dan mengalahkan pasukan Thrakia. Pasukan Makedonia bergerak menuju negara Triballi, dan berhasil mengalahkan pasukan Triballi di dekat sungai Lyginos  (anak sungai Danube). Aleksander kemudian melaju selama tiga hari ke Danube, menghadapi suku Getai di seberang sungai. Dia mengejutkan pasukan Getai dengan menyeberangi sungai pada malam hari. Dia berhasil memaksa pasukan Getai menyerah setelah meletusnya pertempuran kecil. Pasukan Getai mundur dan meninggalkan kota-kota mereka pada pasukan Makedonia. Kemudian terdengar berita bahwa Kleitos, Raja Illyria, dan Raja Glaukias dari Taulanti secara terbuka memberontak melawan otoritas Makedonia. Bergerak ke barat menuju Illyria, Aleksander mengalahkan semua pemberontak itu dan memaksa Kleitos dan Glaukias untuk melarikan diri bersama pasukan mereka. Dengan demikian, perbatasan utara Aleksander pun aman.

Ketika sedang sukses dalam kampanyenya di utara, ternyata Thebes dan Athena sekali lagi memberontak. Aleksander dengan segera menyelesaikan kampanye di utara dan bergegas ke selatan bersama pasukannya. Kota-kota lainnya ragu-ragu, namun Thebes memutuskan untuk memberontak dengan mengerahkan seluruh kekuatannya. Akan tetapi perlawanan itu terbukti tidak efektif. Aleksander sangat marah pada Thebes. Dia membunuhi banyak tentara Thebes, meluluhlantakkan kota itu sampai hancur, menjual penduduknya sebagai budak, dan membagi-bagi wilayah Thebes ke kota-kota Boiotia di sekitarnya. Setelah mendengar berita tentang musnahnya kota Thebes, Athena pun menyerah pada Aleksander. Dengan demikian, seluruh Yunani sudah berada di bawah kekuasaan Aleksander. Setelah Yunani aman, Aleksander pun melaksanakan kampanyenya di Asia. Dia menugaskan Antipatros untuk mengurus Makedonia.

Penaklukan Kekaisaran Persia

Pasukan Aleksander menyeberangi Hellespont pada tahun 334 SM dengan jumlah tentara sekitar 48.100 infantri, 6.100 kavaleri dan armada laut yang terdiri dari 120 kapal dengan kru kapal sekitar 38.000 orang. Pasukan itu berasal dari Makedonia dan dari berbagai negara-kota Yunani, selain juga tentara bayaran, serta pasukan dari Thrakia, Paionia, dan Illyria. Setelah memperoleh kemenangan pertama melawan pasukan Persia dalam Pertempuran Granikos, Aleksander menerima penyerahan kota dan harta benda di Sardis, salah satu ibu kota provinsi di Persia. Aleksander lalu bergerak menuju pesisir Ionia. Di Halikarnassos, Aleksander sukses melakukan pengepungan pertamanya. Dia berhasil memaksa musuh-musuhnya, yakni kapten tentara bayaran Memnon dari Rhodes dan satrap Persia di Karia, Orontobates, untuk mundur ke laut. Setelah menaklukkan Karia, Aleksander menugaskan Ada untuk memimpin urusan pemerintahan di Karia. Ada sendiri mengadopsi Aleksander sebagai putranya.

Dari Halikarnassos, Aleksander maju ke pegunungan Lykia dan dataran Pamphylia. Dia menaklukkan semua kota pesisir dengan tujuan untuk menyulitkan armada laut Persia. Jika kota-kota di pesisir dikuasai oleh Aleksander, maka kapal-kapal laut Persia tak akan bisa berlabuh. Mulai dai Pamphylia, di pesisir itu tidak ada lagi pelabuhan yang penting dan Aleksander pun melanjutkan kampanyenya ke daratan dalam. Di Termessos, Aleksander mengampuni kota Pisidia. Di kota Gordium, ibu kota kuno Phrygia, Aleksander menjumpai ikatan Gordia yang terkenal tak dapat dibuka. Menurut legenda, orang yang mampu membukanya akan menjadi "raja Asia".  Aleksander merasa bahwa tidak masalah bagaimana ikatan itu dibuka, dan dia pun memotongnya dengan pedangnya.

Levant dan Suriah

Setelah menghabiskan musim dinginya dengan melakukan kampanye di Asia Minor, pasukan Aleksander menyeberangi Gerbang Cilicia pada tahun 333 SM, dan mengalahkan pasukan utama Persia di bawah pimpinan Darius III dalam Pertempuran Issus pada bulan November. Darius melarikan diri dari pertempuran sehingga pasukannya kacau balau. Dia meninggalkan istrinya, dua putrinya, ibunya Sisygambis, serta sejumlah besar harta. Setelah itu dia menawarkan kesepakatan damai kepada Aleksander. Darius menawarkan akan menyerahkan seluruh wilayah yang telah ditaklukkan oleh Aleksander serta tebusan sebesar 10.000 talen untuk menebus keluarganya. Aleksander menjawab bahwa karena dia kini adalah raja Asia, maka hanya dia sendirilah yang berhak mengatur masalah pembagian wilayah.

Aleksander bergerak maju untuk menguasai Suriah, serta sebagian besar pesisir Levant.  Namun setahun kemudian, pada 332 SM, dia terpaksa harus menyerang Tyre, yang pada akhirnya dia taklukkan melalui pengepungan yang terkenal. Setelah menaklukkan Tyre, Aleksander, membantai semua penduduk prianya, dan menjual semua wanita dan anak-anak sebagai budak.

Mesir

Setelah Aleksander menghancurkan Tyre, sebagian besar kota dalam rute ke Mesir menyerah, kecuali Gaza. Gaza memiliki suatu benteng kuat yang di atas bukit dan sangat terlindung. Pada awal Pengepungan Gaza, Aleksander memanfaatkan alat-alat yang sebelumnya dia pakai ketika menyerang Tyre. Setelah tiga kali gagal menyerang, benteng itu pada akhirnya berhasil ditembus, namun Aleksander harus mendapat luka di bahunya. Seperti halnya di Tyre, semua penduduk pria dibantai, sedangkan semua wanita dan anak-anak dijadikan budak.

Di lain pihak, Yerusalem membuka gerbangnya dan menyerah pada Aleksander. Menurut Yosephus, Aleksander diperlihatkan buku ramalan Daniel, mungkin bab 8, yang isinya adalah bahwa seorang raja Yunani yang kuat akan datang dan menaklukkan Kekaisaran Persia. Setelah melihat isi buku tersebut, Aleksander mengampuni Yerusalem dan terus maju ke Mesir.

Aleksander memasuki Mesir pada tahun 332 SM, di sana dia dipandang sebagai seorang pembebas. Dia memperoleh gelar "penguasa baru alam semesta" dan putra dewa Amun di Orakel Oasis Siwa di gurun Libya.  Sejak saat itu, Aleksander kadang disebut sebagai putra asli dari Zeus-Ammon, dan mata uang yang kemudian muncul menggambarkan dirinya dengan hiasan tanduk kambing sebagai simbol kedewaannya. Dalam masa tinggalnya di Mesir, dia mendirikan Aleksandria (Iskandariyah), yang kelak akan menjadi ibu kota Kerajaan Ptolemaik setelah kematian Aleksander.

Assyria dan Babilonia

Berangkat dari Mesir pada tahun 331 SM, Aleksander pergi menuju ke timur ke Mesopotamia (sekarang Irak utara) dan sekali lagi mengalahkan Darius dalam Pertempuran Gaugamela. Lagi-lagi Darius terpaksa kabur dan meninggalkan arena pertempuran, Aleksander mengejarnya sampai ke Arbela. Gaugamela akan terbukti sebagai pertempuran terakhir dan paling menentukan antara Aleksander dan Darius. Aleksander lalu bergerak menuju Babilonia dan menaklukkan kota tersebut.

Persia

Dari Babilonia, Aleksander melaju ke Susa, salah satu ibu kota Persia, dan merebut harta bendanya yang legendaris. Aleksander mengirim sebagian besar pasukannya ke ibu kota seremonial Persia, Persepolis, lewat Jalan Kerajaan, dan dia sendiri memimpin tentara-tentara pilihannya melalui rute langsung ke kota tersebut. Aleksander harus menyerang jalan masuk ke Gerbang Persia (di Pegunungan Zagros modern) yang telah diblok oleh pasukan Persia di bawah pimpinan Ariobarzanes dan kemudian menghancuran Persepolis sebelum garnisunnya dapat mengamankan harta benda. Ketika memasuki Persepolis Aleksander mengizinkan pasukannya untuk menjarah kota dan kemudian menyuruh mereka berhenti. Aleksander tinggal di Persepolis selama lima bulan.  Dalam masa tinggalnya di ibu kota, kebakaran terjadi di istana timur Xerxes dan menyebar ke seluruh kota. Banyak dugaan mengenai apakah kebakaran itu terjadi karena kecelakaan, atau sebagai tindakan pembalasan atas pembakaran Akropolis Athena pada masa Perang Yunani-Persia Kedua. Arrianus, dalam salah satu kritiknya mengenai Aleksander, menyatakan, "Aku juga tidak merasa bahwa Aleksander menunjukkan pengertian yang baik dalam tindakan ini atau bahwa dia dapat menghukum rakyat Persia atas tindakan masa lalu."

Kejatuhan Persia

Aleksander lalu pergi mengejar Darius lagi, pertama-tama ke Media, dan kemudian ke Parthia. Raja Persia itu tak lagi dapat mengendalikan nasibnya, dan dia ditawan oleh Bessus, satrapnya di Baktria dan juga kerabatnya. Ketika Aleksander datang, Bessus dan anak buahnya telah menusuk Darius sampai mati. Bessus lalu menyatakan dirinya sebagai penerus Darius dengan nama Artaxerxes V, sebelum kemudian mundur ke Asia Tengah untuk melancarkan serangan gerilya terhadap Aleksander.  Mayat Darius dimakamkan oleh Aleksander di dekat makam para pemimpin Akhemeniyah lainnya dengan upacara pemakaman yang suci. Aleksander mengklam bahwa sebelum wafat, Darius telah mengangkat Aleksander sebagai penerus takhta Akhemeniyah.  Kekaisaran Akhemeniyah atau Kekaisaran Persia pada umumnya dianggap telah runtuh dengan meninggalnya Darius.

Asia Tengah

Aleksander, kini menganggap diri sebagai penerus sah dari Darius, melihat Bessus sebagai pemberontak yang mengancam takhta Akhemeniyah. Aleksander pun melakukan serangan untuk mengalahkannya. Kampanye militer ini, yang pada awalnya direncanakan untuk melawan Bessus, pada akhirnya menjadi petualangan Aleksander di Asia Tengah. Aleksander mendirikan kota-kota baru, dan semuanya diberi nama Aleksandria, termasuk Kandahar modern di Afghanistan, dan Aleksandria Eskhate ("Yang Terjauh") Tajikistan modern. Kampanye ini membawa Aleksander melewati Media, Parthia, Aria (Afghanistan barat), Drangiana, Arachosia (Afghanistan Tengah dan Selatan), Baktria (Afghanistan Tengah dan Utara), dan Scythia.

Bessus dikhianati pada tahun 329 SM oleh Spitamenes, yang memegang posisi tak jelas dalam kesatrapan Sogdiana. Spitamenes menyerahkan Bessus pada Ptolemaios, salah satu rekan terpercaya Aleksander, dan Bessus pun dihukum mati.  Akan tetapi, ketika di suatu waktu, Aleksander sedang sibuk di Jaxartes dalam rangka menghadapi serbuan pasukan nomad berkuda, Spitamenes malah memimpin pemberontakan di Sogdiana. Aleksander mengalahkan pasukan Scythia dalam Pertempuran Jaxartes dan dengan segera melancarkan kampanye militer melawan Spitamenes. Aleksander berhasil mengalahkannya dalam Pertempuran Gabai. Setelah kalah, Spitamenes dibunuh oleh anak buahnya sendiri, yang kemudian memohon perdamaian pada Aleksander.

Permasalahan

Setelah menguasai Persia, Aleksander mengambil gelar Persia "Raja dari Segala Raja" (Shahanshah) dan mengadopsi beberapa ciri khas Persia dalam hal pakaian dan kebiasaan di istananya. Yang paling terkenal adalah adat proskynesis, kemungkinan adat mencium tangan secara simbolis, atau sujud di tanah, yang biasa orang Persia lakukan di depan atasan mereka. Orang Yunani menganggap bahwa gerakan tersebut hanya boleh dilakukan kepada dewa dan mereka percaya bahwa Aleksander berniat mendewakan dirinya dengan cara menyuruh orang-orang melakukan itu padanya. Akibatnya dia kehilangan banyak simpati dari para anak buahnya,  dan pada akhirnya dia meninggalkan kebiasaan tersebut.

Suatu hari rencana pembunuhan terhadap dirinya terungkap. dan salah satu perwiranya, yaitu Philotas, dihukum mati karena tidak dapat menangani rencana pembunuhan itu dengan cepat. Kematian seorang putra mengharuskan ayahnya juga untuk ikut mati, dan demikianlah Parmenion, yang bertugas menjaga harta benda di Ecbatana, dibunuh secara diam-diam atas perintah Aleksander, supaya dia tidak dapat membalaskan kematian putranya. Aleksander juga pernah secara langsung membunuh pria yang pernah menyelamatkan nyawanya di Granikos, yaitu Kleitos si Hitam, ketika mereka sedang mabuk dan berdebat di Maracanda.  Di kemudian hari, dalam kampanye di Asia Tengah, rencana pembunuhan kedua terungkap, kali ini diprakarsai oleh pelayan prianya sendiri, sejarawan resminya, Kallisthenes dari Olynthos (yang tak lagi disukai oleh Aleksander karena memimpin oposisi terhadap usahanya untuk memperkenalkan proskynesis), dituduh terlibat dalam rencana pembunuhan tersebut. Namun, tidak pernah ada kesepakatan di antara para sejarawan mengenai keterlibatannya dalam persekongkolan.

Makedonia

Ketika Aleksander pergi ke Asia, dia menugaskan jenderalnya Antipatros, seorang pemimpin dengan pengalaman politik dan militer dan bagian dari "Garda Lama" yang telah melayani Filipus, untuk mengurus Makedonia. Penghancuran Aleksander terhadap kota Thebes telah membuat kota-kota lainnya diam sehingga Yunani terjamin tetap aman selama Aleksander absen. Masalah yang muncul adalah ancaman dari raja Sparta, Agis III, pada tahun 331 SM, yang untungnya dapat diselesaikan oleh Antipatros. Agis dikalahkan dan dibunuh oleh Antipatros dalam suatu pertempuran di Megalopolis setahun kemudian. Antipatros lalu meminta Aleksander untuk menghukum Sparta, namun Aleksander lebih memilih untuk mengampuni mereka.  Masalah lainnya adalah perselisihan antara Antipatros dan ibu Aleksander Olimpias. Masing-masing dari mereka sama-sama mengeluh kepada Aleksander mengenai yang lainnya. Secara umum, Yunani mengalami periode perdamaian dan kemakmuran selama kampanye militer Aleksander di Asia. Aleksander juga mengirim balik sejumlah besar harta hasil dari penaklukannya, yang berhasil meningkatkan perekonomian dan mengembangkan perdagangan antar daerah di kekaisarannya. Namun dalam prosesnya, Aleksander terus-menerus meminta tambahan pasukan serta penduduk dari Yunani untuk mengisi berbagai daerah di kekaisarannya. Tindakan ini sangat melemahkan Makedonia bertahun-tahun setelah kematiannya, dan akan berujung pada kekalahan dan pendudukan Makedonia oleh Romawi.

Kampanye di India

Invasi ke anak benua India

Aleksander menikah dengan Roxane (Roshanak dalam bahasa Baktria) untuk memperkuat hubungannya dengan kesatrapan di Asia Tengah. Setelah itu Aleksander mengalihkan perhatiannya ke anak benua India. Dia mengundang semua kepala suku dari bekas kesatrapan Gandhara, di daerah utara Pakistan modern, untuk datang dan tunduk di bawah kekuasaannya. Omphis, penguasa Taxila, yang kerajaannya membentang dari Indus sampai Hydaspes, bersedia tunduk, namun para kepala suku dari beberapa klan perbukitan, termasuk bagian-bagian Aspasioi dan Assakenoi dari suku Kambojas (dikenal juga dalam naskah-naskah India sebagai Ashvayanas Dan Ashvakayanas), menolak untuk menyerah.

Pada musim dingin tahun 327/326 SM, Aleksander secara langsung memimpin pasukan untuk menghadapi klan-klan yang tidak mau tunduk kepadanya, antara lain suku Aspasioi dari lembah Kunar, suku Guraeus dari lembah Guraeus, dan suku Assakenoi dari lembah Swat dan Buner. Pertempuran yang sengit terjadi melawan pasukan Aspasioi ketika Aleksander sendiri terluka bahunya oleh panah. Namun pasukan Aspasioi pada akhirnya berhasil dikalahkan. Aleksander kemudian menghadapi pasukan Assakenoi, yang memberikan perlawanan yang luar biasa dari benteng Massaga, Ora dan Aornos. Benteng Massaga berhasil ditaklukkan setelah melalui pertumpahan darah selama beberapa hari dan Aleksander lagi-lagi terluka di bagian pergelangan kakinya. Menurut Curtius, "Aleksander tidak hanya membantai seluruh penduduk Massaga, tetapi juga menghancurkan bangunan-bangunannya". Pembantaian serupa terjadi di Ora, benteng lainnya milik suku Assakenoi. Setelah peristiwa Massaga dan Ora, banyak orang Assakenoi yang menyelamatkan diri ke benteng Aornos. Aleksander mengikuti mereka dan berhasil menaklukkan benteng di atas bukit tersebut setelah melakukan pertempuran yang sangat berdarah selama empat hari.

Setelah menaklukkan Aornos, Aleksander menyeberangi sungai Indus dan bertempur melawan penguasa Punjabi lokal yang bernama Raja Puru, yang menguasai daerah di Punjab. Aleksander mengalahkan Puru melalui pertempuran yang sengit, yaitu Pertempuran Hydaspes pada tahun 326 SM. Aleksander sangat terkesan dengan keberanian Puru dalam pertempuran tersebut dan karena itu seusai pertempuran Aleksander menjalin kerja sama dengannya serta mengangkatnya sebagai salah satu satrap di kerajaannya. Aleksander bahkan menambahkan wilayah yang sebelumnya tidak dikuasai oleh Puru. Alasan lainnya kemungkinan lebih bersifat politis, yaitu karena untuk mengendalikan daerah yang jauh dari Yunani, Aleksander membutuhkan bantuan dan kerja sama dari orang lokal. Aleksander mendirikan dua kota baru di kedua sisi sungai Hydaspes, dan salah satunya dia beri nama Bukephala sebagai penghormatan kepada kuda yang telah membawanya ke India. Kudanya itu meninggal dalam pertempuran. Kota yang satunya dinamai Nikaia (Kejayaan) di situs arkeologis Mong.

Pemberontakan pasukan

Di sebelah timur kerajaan Puru, di dekat Sungai Gangga, berdiri Kekaisaran Nanda di Magadha dan Kekaisaran Ganggaridai di Bengali. Dua kekaisaran itu sangatlah kuat. Pasukan Aleksander kemudian memberontak karena tidak mau lagi menghadapi pasukan India yang kuat. Selain itu mereka juga sudah lelah setelah berperang selama bertahun-tahun. Mereka memberontak di Sungai Hyphasis, menolak untuk maju lebih jauh ke timur. Demikianlah, sungai ini menjadi batas paling timur penaklukan Aleksander.
Mereka secara kasar menentang Aleksander ketika dia bersikeras ingin menyeberangi sungai Gangga, yang lebarnya, sesuai yang mereka tahu, adalah tiga puluh dua furlong, kedalamannya mencapai seratus depa, sedangkan bantarannya di sisi seberang telah dipenuhi oleh banyak prajurit dan penunggang kuda dan gajah musuh. Karena mereka sudah diberi tahu bahwa pasukan Ganderites dan Praesii telah menanti kedatangan mereka dengan menyiapkan delapan puluh ribu penunggang kuda, dua ratus ribu pasukan pejalan kaki, delapan ribu kereta perang, dan enam ribu gajah perang.
Aleksander berbicara kepada pasukannya dan berusaha untuk membujuk mereka supaya mau berjalan lebih jauh ke India namun Koinos, salah satu jenderalnya, memohon pada Aleksander untuk berubah pikiran dan pulang. Koinos berkata, "Para tentara sudah rindu untuk berjumpa kembali dengan orang tua, istri dan anak-anak mereka. Aleksander menyadari keadaan pasukannya dan dia pun akhirnya setuju. Dia dan pasukannya kemudian berbelok ke selatan dan menyusuri Sungai Indus. Dalam perjalanannya, mereka menaklukkan klan-klan Malhi (di Multan modern), dan beberapa suku India lainnya.

Aleksander mengirim sejumlah besar pasukannya ke Carmania (Iran selatan modern) beserta jenderalnya Krateros, dan juga mengirim armada laut untuk mengeksplorasi pesisir Teluk Persia di bawah admiral Nearkhos. Sementara dia sendiri memimpin pasukannya untuk mundur ke Persia melalui rute selatan yang lebih sulit di sepanjang Gurun Gedrosia dan Makran (kini bagian dari Iran selatan dan Pakistan selatan).  Aleksander sampai di Susa pada tahun 324 BC, namun dia kehilangan banyak prajurit akibat kondisi gurun yang keras.

Tahun-tahun terakhir di Persia

Mengetahui bahwa banyak satrap dan gubernur militernya yang bertindak melenceng selama dia absen, Aleksander pun menghukum mati beberapa dari mereka dalam perjalanannya ke Susa sebagai contoh bagi yang lainnya. Sebagai ungkapan terima kasih kepada pasukannya, Aleksander membayar lunas gaji para tentaranya, dan mengumumkan bahwa dia akan mengirim prajurit yang sudah tua dan cacat kembali ke Makedonia dengan dimpimpin oleh Krateros. Namun, pasukannya salah paham atas niat Aleksander. Mereka pun memberontak di kota Opis, menolak untuk dikirim balik dan secara keras mengkritik usahanya untuk mengadopsi adat dan pakaian Persia, dan upaya masuknya para perwira dan tentara Persia ke dalam unit-unit militer Makedonia. Aleksander mengeksekusi para pemimpin pemberontakan tersebut, namun mengampuni para prajuritnya. Setelah tiga hari, Aleksander sadar dia tidak dapat membujuk pasukannya. Aleksander pun tak lagi memasukkan komando Persia ke dalam pasukan Makedonia, sebaliknya gelar-gelar militer Makedonia kini dapat diberikan untuk unit-unit perang Persia. Maka pasukan Makedonia langsung meminta maaf, dan Aleksander memaafkan mereka. Pada malam harinya, Aleksander menggelar acara makan-makan yang dihadiri oleh beberapa ribu prajuritnya, dan mereka makan bersama.  Dalam upaya menciptakan perdamaian yang bertahan antara orang-orang Makedonia dan rakyat Persia, Aleksander mengadakan pernikahan massal di Susa antara para perwiranya dengan wanita bangsawan Persia. Akan tetapi, hanya sedikit dari pernikahan tersebut yang bertahan lebih dari setahun. Sementara itu, setelah tiba di istananya, Aleksander mengetahui bahwa beberapa orang telah menodai makam Koresh yang Agung. Aleksander dengan cepat menghukum mati mereka, karena mereka sebenarnya ditugaskan untuk menjaga makam Koresh tersebut, yang sangat dihormati oleh Aleksander.

Setelah Aleksander pergi ke Ekbatana untuk mengambil bagian terbesar dari harta kekayaan Persia, sahabat terdekat dan mungkin kekasihnya, Hephaistion, meninggal karena suatu penyakit, atau barangkali akibat diracun. Arrian menemukan banyak sumber yang meragukan tentang reaksi duka Aleksander atas kematian itu, meskipun hampir semua pendapat setuju bahwa kematian Hephaistion cukup mengguncang Aleksander. Dia memerintahkan pelaksanaan pemakaman sahabatnya itu untuk diselenggarakan secara mahal di Babilonia. Selain itu, Aleksander juga memerintahkan dilaksanakannya masa berkabung bersama.

Setelah kembali ke Babilonia, Aleksander merencanakan serengkaian kampanye militer baru, yang akan dimulai dengan invasi ke Jazirah Arab. Namun dia tidak sempat merealisasikan rencana tersebut karena dia meninggal dunia tidak lama setelah kembali ke Babilonia.

Kematian

Pada tanggal 10 atau 11 Juni 323 SM, Aleksander meninggal di istana Nebukadnezar II, di Babilonia pada usia 32 tahun. Rincian mengenai kematian tersebut sedikit berbeda-beda. Catatan Plutarch menceritakan bahwa sekitar 14 hari sebelum kematiannya, Aleksander menjamu admiralnya, Nearkhos, dan menghabiskan malam serta hari berikutnya dengan minum-minum bersama Medios dari Larissa. Aleksander lalu mengalami demam, yang semakin lama semakin parah, sampai-sampai dia tak dapat lagi berbicara. Para tentara menjadi sangat cemas ketika Aleksander hanya dapat melambaikan tangannya pada mereka. Dua hari kemudian, Aleksander meninggal dunia.  Sementara Diodoros menceritakan bahwa Aleksander menderita rasa sakit setelah menenggak semangkuk besar anggur yang tidak dicampur untuk menghormati Herakles, dan wafat setelah mengalami semacam rasa sakit, yang juga disebutkan sebagai alternatif oleh Arrian, namun Plutarch secara khusus membantah klaim ini.

Mengingat aristokrasi Makedonia punya kecenderungan untuk melakukan pembunuhan, maka muncul dugaan bahwa Aleksander meninggal dunia akibat dibunuh. Diodoros, Plutarch, Arrian dan Yustinus semuanya menyebutkan teori bahwa Aleksander diracun. Plutarch menganggapnya sebagai pemalsuan, sedangkan Diodoros dan Arrian berkata bahwa mereka menyebutkannya hanya demi kelengkapan. Meskipun demikian, catatan-catatan mereka cukup konsisten dalam menduga para tersangka di balik pembunuhan Aleksander, di antaranya adalah Antipatros, yang baru saja diberhentikan dari jabatannya sebagai raja muda Makedonia, dan tersangka lainnya yang anehnya adalah Olimpias. Barangkali datang ke Babilonia untuk menanti hukuman mati, dan telah melihat nasib yang menimpa Parmenion dan Philotas,  Antipatros pun menyusun rencana supaya Aleksander diracun oleh putranya Iollas, yang merupakan penuang anggur Aleksander. Bahkan ada dugaan bahwa Aristoteles terlibat dalam konspirasi tersebut. Sebaliknya, argumen terkuat melawan teori racun adalah fakta bahwa ada dua belas hari antara awal sakitnya dan kematiannya; di dunia kuno, racun yang bereaksi lama seperti itu kemungkinan tidak tersedia. Akan tetapi pada tahun 2010, sebuah teori diajukan yang mengindikasikan bahwa keadaan kematian Aleksander sesuai dengan peracunan oleh air sungai Styx (Mavroneri) yang mengandung calicheamicin, suatu bahan berbahaya yang dihasilkan oleh bakteri yang ada di airnya.

Beberapa penyebab alami (penyakit) telah diajukan sebagai penyebab kematian Aleksander; malaria atau demam tifoid adalah kandidat yang jelas. Sebuah artikel pada tahun 1998 dalam New England Journal of Medicine menyebutkan kematian Aleksander disebabkan oleh pelubangan usus dan kelumpuhan menaik, sedangkan analisis terkini lainnya mengajukan spondilitis pirogenis atau meningitis sebagai penyebabnya. Penyakit lainnya dapat juga menjadi penyebabnya, termasuk pankreatitis akut atau Virus West Nile. Teori penyebab alami juga cenderung menekankan bahwa kesehatan Aleksander mungkin semakin menurun akibat suka minum-minum dan menderita luka-luka dalam perang (termasuk luka di India yang hampir merenggut nyawanya). Lebih jauh lagi, dukacita yang dirasakan oleh Aleksander setelah kematian Hephaestion mungkin ikut memperburuk kesehatannya.

Penyebab lainnya yang diduga mengakibatkan kematian Aleksander adalah overdosis obat-obatan yang mengandung hellebore, sejenis tanaman yang berbahaya jika dikonsumsi dalam dosis yang banyak.

Pemakaman

Jenazah Aleksander disimpan di sarkofagus emas berbentuk tubuhnya (antropoid) dan diisi dengan madu, yang kemudian dimasukkan lagi ke dalam peti mati emas. Berdasarkan Aelianus, seorang peramal bernama Aristandros meramalkan bahwa tanah tempat Aleksander diistirahatkan "akan bahagia dan tak tertaklukkan selamanya".  Yang lebih mungkin, para penerusnya barangkali menganggap kepemilikan atas jenazah Aleksander sebagai suatu lambang legitimasi (adalah hak khusus kerajaan untuk memakamkan raja sebelumnya). Bagaimanapun, Ptolemaios mencuri iring-iringan pemakaman, dan membawanya ke Memphis. Penggantinya, Ptolemaios II Philadelphos, memindahkan sarkofagus ke Aleksandria. Sarkofagus itu berada di sana hingga setidaknya Zaman Kuno Akhir. Ptolemaios IX Lathyros, salah satu penerus Ptolemaios I, mengganti sarkofagus emas Aleksander dengan sarkofagus dari kaca. Sarkofagus emasnya dia lelehkan untuk kemudian dibuat menjadi uang koin. Pompeius, Julius Caesar dan Augustus semuanya pernah mengunjungi makam Aleksander di Aleksandria. Augustus diduga mengganggu hidung jenazah Aleksander. Caligula dikatakan mengambil pelindung dada Aleksander dari makam untuk kepentingannya sendiri. Pada tahun 200 M, Kaisar Septimius Severus menutup makam Aleksander untuk umum. Putra dan penggantinya, Caracalla, adalah pengagum berat Aleksander. Dia pernah mengunjungi makam Aleksander pada masa pemerintahannya. Setelah itu, nasib makam tersebut menjadi tidak banyak diketahui.

Sarkofagus yang disebut "Sarkofagus Aleksander" ditemukan di dekat Sidon dan kini berada di Museum Arkeologi Istanbul. Sarkofagus itu dinamai begitu bukan karena di dalamnya ada jenazah Aleksander, tetapi karena di bagian luarnya terdapat relief yang menggambarkan Aleksander dan rekan-rekannya yang sedang berburu dan bertempur melawan pasukan Persia. Awalnya itu dikira sebagai sarkofagus Abdalonymos (meninggal 311 SM), raja Sidon yang diangkat oleh Aleksander segera setelah pertempuran Issus pada tahun 331. Namun, baru-baru ini diduga bahwa sarkofagus itu berasal dari masa yang lebih awal daripada kematian Abdolymos.

Wasiat

Diodoros Sikolos menulis bahwa Aleksander telah memberi instruksi tertulis yang rinci kepada Krateros sebelum meninggal dunia. Meskipun Krateros sudah mulai melaksanakan beberapa perintah Aleksander, namun para penerusnya memilih untuk tidak melaksanakannya lebih lanjut, dengan alasan tidak praktis dan boros..  Meskipun demikian, kehendak Aleksander dibacakan kepada pasukannya oleh Perdikkas setelah kematian Aleksander. Wasiat itu menyuruh untuk melakukan ekspansi imiliter ke Mediterania barat dan selatan, membangun monumen, dan pencampuran penduduk Timur dan Barat. Isinya adalah:

Membangun makam monumental untuk ayahnya Filipus, "untuk menyamai piramida terbesar di Mesir" Mendirikan kuil di Delos, Delphi, Dodona, Dium, Amphipolis, Kirnos, dan sebuah kuil monumental untuk dewi Athena di Troya
Menaklukkan Jazirah Arab dan seluruh Mediterania
Berlayar mengelilingi Afrika
Mendirikan kota-kota dan "mengirim penduduk dari Asia ke Eropa dan sebaliknya dari Eropa ke Asia, dengan tujuan menyatukan dua benua itu dan persahabatan dengan cara pernikahan antar bangsa dan ikatan keluarga."
Pembagian kekaisaran

Kematian Aleksander begitu tiba-tiba sehingga ketika beritanya mencapai Yunani, orang-orang tidak langsung percaya. Aleksander tidak memiliki ahli waris yang sah dan jelas, putranya Aleksander IV dari hubungannya dengan Roxane lahir setelah Aleksander meninggal. Akibatnya muncul pertanyaaan besar mengenai siapa yang akan memimpin kekaisaran yang baru ditaklukkan dan belum tenang ini. Berdasarkan Diodoros, rekan-rekan Aleksander sempat bertanya kepada Aleksander, yang saat itu sedang sekarat, mengenai kepada siapa Aleksander mewariskan kerajaannya. Aleksander menjawab singkat, "tôi kratistôi" ("kepada yang terkuat").  Mengingat bahwa Arrianus dan Plutarch menyatakan bahwa ketika itu Aleksander sudah tidak dapat berbicara, cerita tersebut agak diragukan kebenarannya. Diodoros, Curtius dan Yustinus juga punya cerita yang lebih masuk akal bahwa Aleksander memberikan segelnya kepada Perdikkas, salah satu pengawalnya dan pemimpin pasukan kavaleri rekan. Aleksander melakukannya di depan sejumlah saksi, dan dengan demikian mungkin Aleksander mencalonkan Perdikkas sebagai penerusnya.

Dalam hal apapun, Perdikkas awalnya secara eksplisit menolak mengklaim kekuasaan. Dia malah menginginkan putra Roxane untuk menjadi raja, jika Roxane melahirkan bayi laki-laki. Sementara dia, Krateros, Leonnatos, dan Antipatros akan menjadi penjaga sang raja. Akan tetapi, pasukan infanteri, di bawah komando Meleagros, menolak hal ini dengan alasan mereka tidak diikutsertakan dalam diskusinya. Sebaliknya, mereka mendukung saudara tiri Aleksander, Filipus Arrhidaios. Pada akhirnya, kedua belah pihak berdamai, dan setelah Aleksander IV lahir, dia dan Filipus III diangkat sebagai raja bersama, meskipun itu hanyalah gelar saja.

Tidak lama setelah itu, perselisihan dan persaingan mulai menimpa orang-orang Makedonia. Kesatarapan-kesatrapan yang diserahkan oleh Perdikkas melalui Pembagian Babilonia menjadi basis kekuatan bagi masing-masing jenderal untuk melancarkan tawarannya untuk kekuasaan. Setelah Perdikkas dibunuh oleh pembunuh gelap pada tahun 321 SM, persatuan Makedonia runtuh dan terjadilah perang selama empat puluh tahun antara "Para Penerus" (Diadokhoi). Setelah itu kekaisaran Aleksander terpecah menjadi empat wilayah kekuassaan terpisah yang stabil, yaitu Kerajaan Ptolemaik di Mesir, Kekaisaran Seleukia di Persia, Kerajaan Pergamon di Asia Minor, dan Kerajaan Makedonia di Yunani. Dalam prosesnya, baik Aleksander IV dan Filipus III terbunuh.

Keahlian militer

Aleksander memperoleh gelar "yang Agung" karena kesuksesannya yang tak tertandingi sebagai komandan militer. Dia tidak pernah kalah dalam pertempuran, meskipun sering kalah jumlah dalam banyak pertempuran yang dia lakukan. Kesuksesan ini karena keberhasilannya memanfaatkan keadaan medan perang, penguasaan siasat phalanx dan kavaleri, strategi yang berani, dan terutama kemampuannya untuk membangkitkan kesetiaan yang luar biasa di antara para prajuritnya. Phalanx Makedonia, yang bersenjatakan sarissa, yaitu tombak sepanjang enam meter, telah dikembangkan dan disempurnakan oleh Filipus II melalui latihan yang keras, dan Aleksander mempergunakan kecepatan dan kemampuan manuvernya untuk efek yang besar melawan pasukan Persia yang lebih banyak namun lebih terpisah. Aleksander juga mampu memahami potensi perpecahan di antara pasukannya, yang memiliki bahasa dan senjata yang berbeda-beda, dan dia mengatasi hal itu dengan cara terlibat secara langsung dalam pertempuran, dengan tata cara sebagai raja Makedonia.

Dalam pertempuran pertamanya di Asia, yakni di Granikos, Aleksander hanya mengerahkan sedikit pasukannya, kemungkinan 13.000 infanteri dengan 5.000 kavaleri. Sementara pasukan Persia yang dihadapinya berjumlah 40.000 prajurit. Aleksander menempatkan pasukan phalanx di bagian tengah dan kavaleri serta pemanah di bagian sayap, dengan demikian barisannya menjadi sama panjang dengan barisan kavaleri Persia yang dia hadapi, yaitu sekitar 3 km (1,86 mi). Pasukan infanteri Persia sendiri diposisikan di belakang kavaleri. Dengan siasat tersebut, Aleksander memastikan bahwa pasukannya tidak akan dijepit, sedangkan pasukan phalaxnya, yang bersenjatakan tombak panjang, memiliki keuntungan yang besar terhadap skimitar dan lembing pasukan Persia. Pada akhirnya, kerugian yang dialami pasukan Persia jauh lebih besar daripada kerugian pasukan Makedonia.

Di Issus pada tahun 333 SM, Aleksander pertama kali berhadapan dengan Darius. Ketika itu dia menggunakan metode pemosisian yang sama, dan lagi-lagi phalanx di bagian tengah berhasil mendorong maju karena memiliki keuntungan berupa senjata tombak mereka yang panjang. Ini memungkinkan Aleksander secara langsung memimpin serangan di bagian tengah barisan melawan Darius. Pada akhirnya Darius melarikan diri dan pasukan Persia mundur secara kacau.  Dalam pertempuran yang menentukan di Gaugamela, Darius telah melengkapi kereta perang-kereta perangnya dengan sabit pada bagian rodanya untuk memecah barisan phalanx dan kavaleri Aleksander. Menghadapi ini, Aleksander menyusun formasi phalanx ganda, dengan bagian tengahnya membentuk sudut. Ketika kereta perang Persia menyerang, barisan phalanx ini akan memisahkan diri dan kemudian mengelompok kembali. Rencana Aleksander berhasil dan bagian tengah barisan Persia berhasil ditembus. Darius kalah dan dia melarikan diri lagi.

Ketika berhadapan dengan musuh yang bertempur dengan teknik yang tidak dia kenal, seperti misalnya di Asia Tengah dan India, Aleksander dengan cepat mampu menyesuaikan gaya tempur pasukannya. Jadi, di Baktria dan Sogdiana, Aleksander sukses mengerahkan para pelempar lembing dan pemanahnya untuk mencegah kepungan musuh, dan pada saat yang sama dia menumpuk kavaleri di bagian tengah barisan. Di India, ketika berperang melawan korps gajah Raja Puru, pasukan Makedonia bisa menang dengan cara membuka barisan dan mengurung gajah-gajah musuh. Kemudian dengan mengarahkan tombak sarissa mereka ke arah dan menjatuhkan para penunggang gajahnya.

Biografer Yunani Plutarch (ca. 45–120 M) menggambarkan penampilan Aleksander sebagai berikut:
Aleksander memiliki kulit terang, rambut pirang, dan mata biru yang mampu melelehkan hati. Bau harum alami keluar dari tubuhnya, begitu kuat sampai-sampai pakainnya juga ikut wangi.       
Sejarawan Yunani lainnya Arrianus (Lucius Flavius Arrianus 'Xenophon' ca. 86 - 160 M) mendeskripsikan Aleksander sebagai:
Komandan yang tampan dan kuat dengan mata yang satu sehitam malam dan mata yang satunya sebiru langit
Banyak penggambaran dan patung yang menggambarkan Aleksander dalam postur tubuh berbentuk S, dengan padangan ke arah atas. Beberapa sejarawan beranggapan bahwa ini menunjukkan Aleksander memiliki cacat fisik. Namun ini juga merupakan konsep seni tradisional Contrapposto yang sering digunakan oleh para pematung kuno dan modern untuk menunjukkan keindahan, keanggunan, dan dominasi sosial.  Para sejarawan itu berpendapat bahwa ayah Aleksander, Filipus II, dan saudaranya Filipus Arrhidaios mungkin juga menderita cacat fisik, yang memunculkan kesimpulan bahwa Aleksander menderita gangguan skoliosis bawaan (leher familial dan cacat tulang belakang).

Sebagai contoh, sejarawan Britania modern Peter Green (lahir tahun 1924) mengajukan pendapat mengenai penampilan fisik Aleksander, berdasarkan tinjauannya terhadap patung-patung dan beberapa dokumen kuno:
Secara fisik, Aleksander tidaklah menawan. Bahkan untuk standar Makedonia ia sangat pendek, walaupun gempal dan tangguh. Janggutnya sedikit, dan dia berdiri di hadapan para baron Makedonia dalam keadaan bercukur bersih. Lehernya dalam beberapa cara sedikit memutar, sehingga ia tampak sedang menatap ke arah atas. Matanya (satu biru, satu coklat) memperlihatkan kualitas yang feminin dan berembun. Dia memiliki wajah yang kemerah-merahan dan suara yang kasar.
Bahkan ada pendapat dari ahli bedah Hutan Ashrafian bahwa skoliosis yang dialami Aleksander ikut berperan dalam kematian Aleksander,  namun sejarawan Yunani kuno Arrianus dari Nikomedia menyatakan bahwa Aleksander meninggal dunia akibat demam.

Para penulis kuno mencatat bahwa Aleksander Agung sangat senang dengan penggambaran dirinya oleh Lysippos sehingga di membuat keputusan bahwa para pematung tidak boleh lagi membuat patung dirinya. Lysippos sudah sering menggunakan skema patung Contrapposto untuk menggambarkan Aleksander dan tokoh-tokoh lainnya seperti misalnya Apoxyomenos, Hermes dan Eros. Patung Lysippos yang terkenal karena naturalismenya yang seperti hidup, yang berkebalikan dengan pose statis yang kaku, dipercaya sebagai penggambaran rupa Aleksander yang paling akurat.

Kepribadian

Beberapa sifat Aleksander terbentuk sebagai respon terhadap orang tuanya. Ibunya memiliki ambisi yang besar untuk Aleksander, dan mendorongnya untuk percaya bahwa adalah takdinya untuk menaklukkan Kekaisaran Persia. Dan memang, Olyympias mungkin telah bertindak sampai sejauh meracuni Filipus Arrhidaios dengan tujuan membuatnya cacat, dan mencegahnya menjadi saingan Aleksander. Pengaruh Olimpias menanamkan ambisi yang besar dan perasaan akan takdir dalam diri Aleksander, dan Plutarch menceritakan bahwa ambisi Aleksander "menjaga semangatnya tetap serius dan tinggi seiring usianya bertambah". Hubungan Aleksander dengan ayahnya menghasilkan sisi kompetitif dalam kepribadiannya; dia mesti melampaui ayahnya, karena itu kadang-kadang dia bersikap nekat dalam pertempuran. Sementara Aleksander merasa cemas bahwa ayahnya tidak akan mewariskan padanya "pencapaian hebat dan brilian untuk diperlihatkan pada dunia",  ia masih berusaha untuk mengecilkan prestasi ayahnya di depan rekan-rekannya.

Sifat Aleksander yang paling jelas adalah sikap pemarah, kasar, dan impulsif,  yang tak diragukan lagi ikut berpengaruh terhadap beberapa keputusan dalam hidupnya. Plutarch berpendapat bahwa sifat ini yang menjadikan Aleksander kecanduan terhadap alkohol. Meskipun Aleksander keras kepala dan tidak menanggapi dengan baik perintah ayahnya, namun dia mudah dibujuk melalui alasan-alasan yang jelas. Dan memang, di samping memiliki temperamen yang berapi-api, ada juga sisi tenang dalam diri Aleksander. Dia itu cerdik, logis, dan memperhitungkan segala kemungkinan. Dia memiliki hasrat yang besar terhadap pengetahuan, dia cinta filsafat, dan dia adalah pembaca yang setia.  Sifat-sifat itu tak diragukan berasal dari masa bimbingannya oleh Aristoteles, yang membuat Aleksander menjadi orang yang cerdas dan cepat belajar. Kisah bahwa dia berhasil "menyelesaikan" Simpul Emas menunjukkan kepintarannya. Sisi intelejen dan rasional Aleksander dapat kita lihat dari kemampuan dan keberhasilannya sebagai seorang jenderal. Dia mampu menahan hasratnya untuk memperoleh kenikmatan tubuh, misalnya hubungan seksual, namun dia kurang mampu mengendalikan diri terhadap alkohol.

Aleksander tidak diragukan lagi merupakan orang yang terpelajar, dan sangat menyukai seni maupun ilmu pengetahuan. Akan tetapi dia kurang tertarik pada olahraga, atau Olimpiade, tak seperti ayahnya. Aleksander hanya mencari kejayaan dan ketenaran berdasarkan gagasan-gagasan Homeros. Dia memiliki kharisma yang besar dan kepribadian yang kuat, semua karakteristik itu menjadikannya sebagai pemimpin yang hebat.  Ini semakin diperkuat dengan ketidakmampuan para jenderalnya untuk menyatukan Makedonia dan mempertahankan kekaisaran setelah kematiannya. Hanya Aleksander yang memiliki kepribadian dan kemampuan untuk melakukan hal tersebut.

Megalomania

Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, dan terutama setelah kematian Hephaistion, Aleksander mulai menunjukkan gejala-gejala megalomania dan paranoia. Pencapaiannya yang luar biasa, ditambah dengan perasaannya yang tak terlukiskan mengenai takdir serta sanjungan rekan-rekannya, mungkin merupakan penyebabnya. Khayalannya tentang keagungan dapat dilihat dari wasiat-wasiat yang dia suruh Krateros untuk dilaksanakan, juga dapat kita lihat dari hasratnya untuk menaklukkan dunia yang dikenal.

Aleksander tampaknya percaya bahwa dia adalah dewa atau setidaknya ingin dirinya didewakan. Olimpias selalu menanamkan dalam dirinya bahwa dia adalah putra Zeus.  Aleksander juga semakin merasa sebagai keturunan dewa berkat pernyataan dari orakel Amun di Siwa. Sejak itu dia memandang dirinya sendiri sebagai putra Zeus-Ammon. Aleksander mengadopsi beberapa unsur pakaian dan adat Persia di istananya, yang paling terkenal adalah adat proskynesis, suatu praktik yang tidak disetujui oleh anak buah Makedonianya, yang tidak mau melakukannya.  Perilaku tersebut membuat Aleksander kehilangan banyak simpati dari para anak buahnya.

Hubungan pribadi

Hubungan emosional terbesar Aleksander sepanjang hidupnya adalah dengan sahabat, jenderal, sekaligus pengawalnya Hephaistion, putra seorang bangsawan Makedonia. Kematian Hephaistion sangat menghancurkan mental Aleksander, dan membuat Aleksander amat berdukacita.  Kejadian itu juga ikut berpengaruh pada penurunan kesehatan Aleksander, dan keadaan mental yang melemah pada bulan-bulan terakhir dari masa hidupnya. Aleksander menikah dua kali, pertama dengan Roxane, putri bangsawan Baktria Oxyartes, karena cinta, dan yang kedua dengan Stateira II, seorang putri Persia dan anak perempuan Darius III, alasannya lebih bersifat politis.  Aleksander memiliki dua orang putra, Aleksander IV dari Makedonia, dari Roxane, dan kemungkinan Herakles dari Makedonia dari Stateira. Aleksander kehilangan satu orang anak ketika Roxane mengalami keguguran di Babilonia.

Seksualitas Aleksander telah menjadi subjek spekulasi dan kontroversi. Tidak disebutkan dalam naskah kuno manapun bahwa Aleksander punya hubungan homoseksual, atau bahwa hubungan Aleksander dengan Hephaistion merupakan hubungan seksual. Akan tetapi, Aelianus, menulis bahwa Aleksander pernah mengunjungi Troya. Di sana Aleksander menaruh karangan bunga di makam Akhilles sedangkan Hephaistion menaruh karangan bunga di makam Patroklos. Ini memunculkan dugaan bahwa mereka adalah sepasang kekasih, seperti halnya Akhilles dan Patroklos.  Perlu diingat bahwa kata eromenos (yang tercinta) tidak selalu memiliki makna seksual, Aleksander bisa jadi merupakan seorang biseksual, yang pada masanya tidaklah aneh.

Green berpendapat bahwa hanya ada sedikit bukti dalam naskah kuno yang menceritakan bahwa Aleksander memiliki ketertarikan pada perempuan, selain itu Aleksander baru memiliki anak pada akhir masa hidupnya.  Namun, Aleksander masih relatif muda ketika meninggal dunia, dan Ogden berpendapat bahwa catatan pernikahan Aleksander lebih mengesankan daripada ayahnya pada usia yang sama.  Selain istri, Aleksander juga memiliki banyak selir. Aleksander mengumpulkan harem dengan gaya raja-raja Persia namun dia tidak terlalu sering menikmati haremnya; yang dengan demikian menunjukkan bahwa Aleksander mampu mengendalikan hasrat seksualnya. Ada kemungkinan bahwa Aleksander adalah orang yang tidak terlalu menyukai hubungan seks. Namun, Plutarch menggambarkan bahwa Aleksander tergila-gila pada Roxane sambil memuji dirinya sendiri karena berhasil membatasi nafsunya pada Roxane. Green mengajukan pendapat bahwa, dalam dalam konteks pada masa itu, Aleksander banyak berhubungan dekat dengan sejumlah perempuan, termasuk Ada dari Karia, yang mengadopsi Aleksander, dan bahkan ibu Darius, Sisygambis, yang diduga meninggal akibat berdukacita setelah Aleksander wafat.

Kerajaan-kerajaan Hellenistik

Peninggalan Aleksander yang paling jelas adalah diperkenalkannya kekuasan Makedonia di Asia. Banyak dari daerah ini yang tetap berada dalam kekuasaan Makedonia atau di bawah pengaruh Yunani untuk 200-300 tahun berikutnya. Negara-negara penerus Aleksander yang muncul, setidaknya pada awalnya, merupakan kekuatan dominan pada epos ini, dan 300 tahun dalam masa tersebut seringkali disebut sebagai periode Hellenistik.

Batas timur kekaisaran Aleksander sudah mulai runtuh bahkan ketika dia masih hidup. Akan tetapi, kekosongan kekuasaan yang dia tinggalkan di barat laut anak benua India secara langsung memberi kesempatan pada munculnya salah satu dinasti India paling kuat sepanjang sejarah. Para penerus Aleksander tidak terlalu memedulikan daerah ini dan cenderung mengabaikannya, sehingga Chandragupta Maurya (dalam sumber-sumber Eropa disebut Sandrokotto) berhasil mengambil kendali atas Punjabi dan menjadikannya sebagai basis kekuatannya. Dari sana dia mampu menaklukkan Kekaisaran Nanda di India utara.  Pada tahu 305 SM, Seleukos, salah satu penerus Aleksander, memimpin pasukan ke India untuk merebut wilayah itu. Pada akhirnya Seleukos malah melakukan pertukaran dengan Chandragupta. Seleukos menyerahkan wilayah tersebut dan Chandragupta memberinya 500 ekor gajah perang. Peristiwa ini pada gilirannya ikut memainkan peranan penting dalam Pertempuran Ipsus, yang juga berpengaruh banyak pada pembagian kekaisaran.

Hellenisasi

Hellenisasi adalah istilah yang dikemukakan oleh sejarawan Jerman Johann Gustav Droysen. Istilah ini merujuk pada penyebaran bahasa, budaya, dan penduduk Yunani ke daerah-daerah yang berhasil ditaklukkan oleh Aleksander. Para sejarawan sepakat bahwa penyebaran ini memang terjadi, karena bukti-buktinya dapat dilihat di kota-kota besar Hellenisttik, contohnya Aleksandria (satu dari sekitar dua puluhan kota yang didirikan oleh Aleksander  Antiokia dan Seleukia (di selatan Baghdad modern). Namun, mengenai seberapa luas dan seberapa dalam penyebaran ini, dan sampai sejauh mana proses itu merupakan kebijakan yang disengaja, masih banyak diperdebatkan. Aleksander sudah jelas melakukan langkah-langkah yang disengaja untuk memasukkan unsur-unsur Yunani ke dalam budaya Persia dan dalam beberapa hal ia berusaha menggabungkan budaya Yunani dan Persia, yang berujung pada cita-citanya untuk menyatukan penduduk Asia dan Eropa. Akan tetapi, para penerusnya terang-terangan menolak kebijakan semacam itu setelah kematian Aleksander. Namun demikian, Hellenisas tetap saja terjadi di seluruh wilayah bekas kekuasaan Aleksander, dan terlebih lagi, diikuti oleh Orientalisasi, proses oleh negara-negara penerus Aleksander yang berbeda dan berlawanan dengan Hellenisasi itu sendiri

Berdasarkan asal-usulnya, inti dari budaya Hellenistik pada dasarnya adalah Athena. Dialek Koine Athena telah diadopsi untuk keperluan resmi lama sebelum masa Filipus II, dan dengan demikian telah tersebar ke seluruh penjuru dunia Hellenistik, serta menjadi lingua franca melalui penaklukan Aleksander. Lebih jauh lagi, Perencanaan kota, pendidikan, pemerintahan lokal, dan seni pada periode Hellenistik semuanya didasarkan pada gagasan-gagasan Yunani Klasik, dan berevolusi menjadi bentuk yang baru dan berbeda, yang secara umum dikelompokkan sebagai Hellenistik. Aspek-aspek budaya Hellenistik tetap ada dalam tradisi Kekaisaran Bizantium sampai pertengahan abad ke-15.

Beberapa pengaruh yang tak biasa dari Hellenisasi dapat dilihat dari India, di daerah tempat berdirinya Kerajaan Yunani-India, yang munculnya relatif terlambat.  Di sana, di tempat yang jauh dari Eropa, budaya Yunani tampak bercampur dengan budaya India, dan khususnya dengan agama Buddha. Penggambaran pertama Buddha yang realistis muncul pada masa ini. Buddha digambarkan berdasarkan patung-patung dewa Apollo dari Yunani. Beberapa tradisi Buuddha kemungkinan telah terpengaruh oleh agama Yunani kuno, contohnya konsep Bodhisattva merupakan pengenangan terhadap pahlawan-pahlawan dewata Yunani, dan beberapa praktik ritual Mahayana (membakar dupa, memberi bunga, dan menaruh makanan di altar) mirip dengan yang dilakukan oleh orang Yunani kuno. Buddhisme Zen mengambil beberapa gagasan dari orang-orang stoik Yunani, misalnya Zeno. Seorang raja Yunani, Menander I, kemungkinan menjadi penganut Buddha, dan diabadikan dalam literatur Buddha sebaga 'Milinda'.

Pengaruh pada Romawi

Aleksander dan semua yang telah dia lakukan dikagumi oleh banyak orang Romawi. Mereka mengasosiasikan diri mereka sendiri dengan prestasi-prestasi Aleksander. Polybius memulai Sejarahnya dengan mengenangkan rakyat Romawi akan tindakan-tindakan Aleksander. Sesudah itu para pemimpin Romawi melihat Aleksander sebagai teladan dan sumber inspirasi bagi mereka. Julius Caesar dilaporkan berurai air mata di Spanyol ketika melihat patung Aleksander, karena dia merasa bahwa pencapaiannya terlalu sedikit jika dibandingkan dengan Aleksander, yang berhasil menaklukkan Persia pada usia yang sama. Pompeius yang Agung menjelajahi daerah-daerah taklukannya di timur dalam rangka mencari jubah Aleksander yang berumur 260 tahun. Pompeius lalu memakai jubah itu sebagai tanda keagungannya. Augustus pernah terlalu semangat menghormati Aleksander sampai-sampai dia mematahkan hidung pada mayat Aleksaner yang telah dimumikan. Augustus melakukannya ketika dia sedang menaruh karangan bunga di makam Aleksander di Aleksandria. Keluarga Macriani, keluarga Romawi yang salah satu anggotanya, yaitu Macrinus, pernah menjadi kaisar, sering menampilkan gambar Aleksander, baik dalam perhiasan, atau dalam sulaman pada pakaian yang mereka kenakan.

Pada musim panas tahun 1995, sebuah patung Aleksander ditemukan dalam penggalian sebuah rumah Romawi di Aleksandria, yang penuh dengan dekorasi dan jalan marmer dan kemungkinan dibangun pada abad pertama M serta ditempati sampai abad ke-3

Legenda

Ada banyak cerita legendaris mengenai kehidupan Aleksander Agung. Banyak dari cerita tersebut muncul pada masa hidupnya, kemungkinan dimunculkan oleh Aleksander sendiri. Sejarawan di istana Aleksander, Kallisthenes, menggambarkan bahwa air laut di Sisilia surut sebagai penghormatan pada Aleksander dengan tata cara proskynesis. Menulis tidak lama setelah kematian Aleksander, penulis lainnya, Onesikritos, bahkan sampai menulis bahwa Aleksander membuat janji untuk bertemu dengan Thalestris, ratu suku Amazon dalam mitologi. Ketika Onesikritos membacakan cerita itu pada atasannya, salah satu jenderal Aleksander dan kelak menjadi raja, Lysimakhos disebutkan menyindirnya dengan mengatakan, "Aku penasaran saat itu aku ada di mana."

Dalam abad-abad pertama setelah kematian Aleksander, kemungkinan di Aleksandria, sejumlah cerita legenda dikumpulkan menjadi sebuah naskah yang dikenal sebagai Romansa Aleksander, yang di kemudian hari secara keliru disebutkan bahwa itu ditulis oleh sejarawan Kallisthenes dan dengan demikian dikenal juga sebagai Pseudo-Kallisthenes. Naskah tersebut mengalami banyak sekali penambahan dan revisi selama Zaman Kuno dan Abad Pertengahan.

Ada juga naskah Iran atau Persia mengenai Aleksander Agung dalam "Syahnameh" atau "Epik Para Raja" oleh Ferdowsi. Naskah tersebut berjudul Eskandarnameh.  Di situ diceritakan bahwa Aleksander adalah putra Nahid (Lydia) dan dikirim kembali ke Filipus di Makedonia karena ibunya memiliki bau mulut. Lalu diceritakan bahwa nama Eskandar diberikan karena obat yang diberikan untuk ibunya. Para sejarawan Arab kemudian menyebut Aleksander dengan nama Al-Iskandar.

Dalam budaya kuno dan modern

Prestasi dan peninggalan Aleksander Agung telah dilestarikan dan digambarkan dalam banyak cara. Aleksander muncul dalam banyak karya budaya baik pada masa kuno maupun masa modern. Pada Abad Pertengahan, Aleksander dimasukkan sebagai anggota Sembilan Kesatria, yaitu sekelompok pahlawan yang dianggap memenuhi kualitas nilai-nilai kekesatriaan.

Di Punjabi, tanah terakhir yang ditaklukkan oleh Aleksander, banyak anak yang diberi nama "Sekunder" bahkan hingga saat ini. Ini disebabkan adanya rasa hormat dan kekaguman pada Aleksander, juga sebagai pengingat bahwa pasukan Punjabi kuno bisa membuat pasukan Aleksander kelelahan sampai akhirnya memberontak pada Aleksander.

Ada sebuah pepatah dalam bahasa Punjabi yaitu jit jit key jung, secunder jay haar, yang artinya adalah "Aleksander memenangkan begitu banyak pertempuran sampai-sampai dia kalah dalam perang". Pepatah ini merujuk pada orang yang sering menang namun tidak pernah memanfaatkan kemenangannya.

Historiografi

Naskah-naskah kuno yang ditulis oleh orang-orang yang mengenal langsung Aleksander atau yang mengumpulkan informasi dari orang-orang yang bertugas pada Aleksander banyak yang hilang kecuali sedikit inskripsi serta fragmen yang bertahan. Orang-orang sezaman Aleksander yang menulis tentangnya di antaranya adalah sejarawan pribadinya Kallisthenes; jenderal Aleksander Ptolemaios dan Nearkhos; Aristobulos, seorang perwira muda yang ikut dalam kampaye militer Aleksander; dan Onesikritos, ketua juru mudi Aleksander. Karya-karya yang ditulis oleh mereka telah hilang, namun karya-karya yang didasarkan para karya-karya asli itu ada yang bertahan. Lima naskah utama yang masih ada antara lain naskah yang ditulis oleh Arrianus, Curtius, Plutarch, Diodoros, dan Yustinus.

Aleksander Agung dan Dzul Qarnain

Aleksander Agung adalah salah satu tokoh yang dianggap sebagai Dzul Qarnain yang dapat ditemukan pula pada kitab suci Al Qur'an, Surah Al Kahfi 83-101. Dikisahkan bahwa dialah yang mengurung bangsa Ya'juj dan Ma'juj (Gog dan Magog) - yang menurut hadist shahih, bangsa tersebut akan keluar di akhir zaman. Riwayat ini bermula dari saat ia akan menaklukkan suatu daerah, penduduk daerah tersebut tanpa disangka bersedia mengikutinya. Asalkan bangsa Yajuj dan Majuj dikurung. Maka Dzul Qarnain mengurung kedua bangsa tersebut. Maka para penduduk pun bersedia ditaklukkan dengan suka cita.

Anggapan tersebut datang dari kisah Romansa Aleksander yang sudah ada sebelum Islam. Beberapa allamah Muslim menolak anggapan Aleksander Agung adalah Dzul Qarnain, sebab Aleksander Agung bukanlah monoteis, sedangkan Dzul-Qarnain adalah penyembah Allah dan hanya seorang penguasa, yang hidup pada masa Nabi Ibrahim. Pendapat ini diriwayatkan oleh Al-Fakihi dari 'Ubaid bin 'Umair, 'Atha` dari Ibnu 'Abbas, 'Utsman bin Saj, Ibnu Hisyam dan Ibnu Abi Hatim juga meriwayatkan dari jalan Ali bin Ahmad. Kemudian Al-Fakhrurrazi dalam tafsirnya menyatakan bahwa Dzul Qarnain adalah seorang nabi, sedangkan Aleksander memiliki guru yang bernama Aristoteles dan memerintah negerinya atas perintah Aristoteles