Sejarah Dunia Kuno

2021 a year of miracles and 'unlocking' millions

Jun 19, 2022

Sisingamangaraja XII


Sisingamangaraja XII
Ketika Sisingamangaraja XII dinobatkan menjadi Raja Batak, waktu itu umurnya baru 19 tahun. Sampai pada tahun 1886, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani dan beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja XII mengunjungi suatu negeri semua yang "terbeang" atau ditawan, harus dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang terkenal anti perbudakan, anti penindasan dan sangat menghargai kemerdekaan. Belanda pada waktu itu masih mengakui Tanah Batak sebagai "De Onafhankelijke Bataklandan" (Daerah Batak yang tidak tergantung pada Belanda.

Tahun 1837, kolonialis Belanda memadamkan "Perang Paderi" dan melapangkan jalan bagi pemerintahan kolonial di Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Minangkabau jatuh ke tangan Belanda, menyusul daerah Natal, Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus dan kawasan Sibolga.

Karena itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua bagian, yaitu daerah-daerah yang telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang disebut "Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden", dengan seorang Residen berkedudukan di Sibolga yang secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Sedangkan bagian Tanah Batak lainnya, yaitu daerah-daerah Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil dikuasai oleh Belanda dan tetap diakui Belanda sebagai Tanah Batak yang merdeka, atau 'De Onafhankelijke Bataklandan'.

Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat di pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja Sisingamangaraja XII berkuasa, masih belum dijajah Belanda.
Tetapi ketika 3 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan "Regerings" Besluit Tahun 1876" yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan sekitarnya dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen Belanda di Sibolga, suasana di Tanah Batak bagian Utara menjadi panas.

Raja Sisingamangaraja XII yang kendati secara clan, bukan berasal dari Silindung, namun sebagai Raja yang mengayomi raja-raja lainnya di seluruh Tanah Batak, bangkit kegeramannya melihat Belanda mulai menganeksasi tanah-tanah Batak.

Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai mencaplok Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain.
Raja Sisingamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut :
1. Menyatakan perang terhadap Belanda
2. Zending Agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.

Terlihat dari peristiwa ini, Sisingamangaraja XII lah yang dengan semangat garang, mengumumkan perang terhadap Belanda yang ingin menjajah. Terlihat pula, Sisingamangaraja XII bukan anti agama. Dan terlihat pula, Sisingamangaraja XII di zamannya, sudah dapat membina azas dan semangat persatuan dan suku-suku lainnya. Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun lamanya.
Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa, 30 tahun.

Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Sisingamangaraja XII.
Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara, tempat istana dan markas besar Sisingamangaraja XII di Tangga Batu, Balige mendapat perlawanan dan berhasil dihempang.
Belanda merobah taktik, ia menyerbu pada babak berikutnya ke kawasan Balige untuk merebut kantong logistik Sisingamangaraja XII di daerah Toba, untuk selanjutnya mengadakan blokade terhadap Bakara.
Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Sisingamangaraja XII antara lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam.

Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Sisingamangaraja XII, kini giliran Toba dianeksasi Belanda. Domino berikut yang dijadikan pasukan Belanda yang besar dari Batavia (Jakarta sekarang), mendarat di Pantai Sibolga. Juga dikerahkan pasukan dari Padang Sidempuan.

Raja Sisingamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta Pardede. Baik kekuatan laut dari Danau Toba, pasukan Sisingamangaraja XII dikerahkan. Empat puluh Solu Bolon atau kapal yang masing-masing panjangnya sampai 20 meter dan mengangkut pasukan sebanyak 20 x 40 orang jadi 800 orang melaju menuju Balige. Pertempuran besar terjadi.

Pada tahun 1883, Belanda benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya dan Sisingamangaraja XII beserta para panglimanya juga bertarung dengan gigih. Tahun itu, di hampir seluruh Tanah Batak pasukan Belanda harus bertahan dari serbuan pasukan-pasukan yang setia kepada perjuangan Raja Sisingamangaraja XII.

Namun pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara, tempat Istana dan Markas Besar Sisingamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda. Sisingamangaraja XII mengundurkan diri ke Dairi bersama keluarganya dan pasukannya yang setia, juga ikut Panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dan lain-lain.

Pada waktu itulah, Gunung Krakatau meletus. Awan hitam meliputi Tanah Batak. Suatu alamat buruk seakan-akan datang. Sebelum peristiwa ini, pada situasi yang kritis, Sisingamangaraja XII berusaha melakukan konsolidasi memperluas front perlawanan. Beliau berkunjung ke Asahan, Tanah Karo dan Simalungun, demi koordinasi perjuangan dan perlawanan terhadap Belanda.

Dalam gerak perjuangannya itu banyak sekali kisah tentang kesaktian Raja Sisingamangaraja XII.
Perlawanan pasukan Sisingamangaraja XII semakin melebar dan seru, tetapi Belanda juga berani mengambil resiko besar, dengan terus mendatangkan bala bantuan dari Batavia, Fort De Kok, Sibolga dan Aceh. Barisan Marsuse juga didatangkan bahkan para tawanan diboyong dari Jawa untuk menjadi umpan peluru dan tameng pasukan Belanda.

Regu pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk mencari persembunyian Sisingamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal. Oleh pasukan Sisingamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki "Si Gurbak Ulu Na Birong". Tetapi pasukan Sisingamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi Sisingamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pollung. Panglima Sisingamangaraja XII yang terkenal Amandopang Manullang tertangkap. Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Sisingamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi pada tahun 1889.
Tahun 1890, Belanda membentuk pasukan khusus Marsose untuk menyerang Sisingamangaraja XII. Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil di Aceh.

Tahun 1903, Panglima Polim menghentikan perlawanan. Tetapi di Gayo, dimana Raja Sisingamangaraja XII pernah berkunjung, perlawanan masih sengit. Masuklah pasukan Belanda dari Gayo Alas menyerang Sisingamangaraja XII.
Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan mengepung Sisingamangaraja XII. Tetapi Sisingamangaraja XII tidak bersedia menyerah. Ia bertempur sampai titik darah penghabisan. Boru Sagala, Isteri Sisingamangaraja XII, ditangkap pasukan Belanda. Ikut tertangkap putra-putri Sisingamangaraja XII yang masih kecil. Raja Buntal dan Pangkilim. Menyusul Boru Situmorang Ibunda Sisingamangaraja XII juga ditangkap, menyusul Sunting Mariam, putri Sisingamangaraja XII dan lain-lain.

Tahun 1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan Kapten Christoffel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Konon Raja Sisingamangaraja XII yang kebal peluru tewas kena peluru setelah terpercik darah putrinya Lopian, yang gugur di pangkuannya.

Pengikut-pengikutnya berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga Sisingamangaraja XII yang masih hidup ditawan, dihina dan dinista, mereka pun ikut menjadi korban perjuangan.
Demikianlah, tanpa kenal menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah, tanpa pernah ditawan, gigih, ulet, militan, Raja Sisingamangaraja XII selama 30 tahun, selama tiga dekade, telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan kecintaannya kepada tanah air dan kepada kemerdekaannya yang tidak bertara.

Itulah yang dinamakan "Semangat Juang Sisingamangaraja XII", yang perlu diwarisi seluruh bangsa Indonesia, terutama generasi muda.
Sisingamangaraja XII benar-benar patriot sejati. Beliau tidak bersedia menjual tanah air untuk kesenangan pribadi.
Sebelum Beliau gugur, pernah penjajah Belanda menawarkan perdamaian kepada Raja Sisingamangaraja XII dengan imbalan yang cukup menggiurkan. Patriotismenya digoda berat. Beliau ditawarkan dan dijanjikan akan diangkat sebagai Sultan. Asal saja bersedia takluk kepada kekuasaan Belanda. Beliau akan dijadikan Raja Tanah Batak asal mau berdamai. Gubernur Belanda Van Daalen yang memberi tawaran itu bahkan berjanji, akan menyambut sendiri kedatangan Raja Sisingamangaraja XII dengan tembakan meriam 21 kali, bila bersedia masuk ke pangkuan kolonial Belanda, dan akan diberikan kedudukan dengan kesenangan yang besar, asal saja mau kompromi, tetapi Raja Sisingamangaraja XII tegas menolak. Ia berpendirian, lebih baik berkalang tanah daripada hidup di peraduan penjajah.
Raja Sisingamangaraja XII gugur pada tanggal 17 Juni 1907, tetapi pengorbanannya tidaklah sia-sia.

Dan cuma 38 tahun kemudian, penjajah betul-betul angkat kaki dari Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan Sukarno-Hatta.
Kini Sisingamangaraja XII telah menjadi sejarah. Namun semangat patriotismenya, jiwa pengabdian dan pengorbanannya yang sangat luhur serta pelayanannya kepada rakyat yang sangat agung, kecintaannya kepada Bangsa dan Tanah Airnya serta kepada kemerdekaan yang begitu besar, perlu diwariskan kepada generasi penerus bangsa Indonesia.

Sisingamangaraja XII

Sisingamangaraja XII
Ketika Sisingamangaraja XII dinobatkan menjadi Raja Batak, waktu itu umurnya baru 19 tahun. Sampai pada tahun 1886, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani dan beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja XII mengunjungi suatu negeri semua yang "terbeang" atau ditawan, harus dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang terkenal anti perbudakan, anti penindasan dan sangat menghargai kemerdekaan. Belanda pada waktu itu masih mengakui Tanah Batak sebagai "De Onafhankelijke Bataklandan" (Daerah Batak yang tidak tergantung pada Belanda.
Tahun 1837, kolonialis Belanda memadamkan "Perang Paderi" dan melapangkan jalan bagi pemerintahan kolonial di Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Minangkabau jatuh ke tangan Belanda, menyusul daerah Natal, Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus dan kawasan Sibolga.
Karena itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua bagian, yaitu daerah-daerah yang telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang disebut "Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden", dengan seorang Residen berkedudukan di Sibolga yang secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Sedangkan bagian Tanah Batak lainnya, yaitu daerah-daerah Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil dikuasai oleh Belanda dan tetap diakui Belanda sebagai Tanah Batak yang merdeka, atau 'De Onafhankelijke Bataklandan'.
Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat di pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja Sisingamangaraja XII berkuasa, masih belum dijajah Belanda.
Tetapi ketika 3 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan "Regerings" Besluit Tahun 1876" yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan sekitarnya dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen Belanda di Sibolga, suasana di Tanah Batak bagian Utara menjadi panas.
Raja Sisingamangaraja XII yang kendati secara clan, bukan berasal dari Silindung, namun sebagai Raja yang mengayomi raja-raja lainnya di seluruh Tanah Batak, bangkit kegeramannya melihat Belanda mulai menganeksasi tanah-tanah Batak.
Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai mencaplok Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain.
Raja Sisingamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut :
1. Menyatakan perang terhadap Belanda
2. Zending Agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.
Terlihat dari peristiwa ini, Sisingamangaraja XII lah yang dengan semangat garang, mengumumkan perang terhadap Belanda yang ingin menjajah. Terlihat pula, Sisingamangaraja XII bukan anti agama. Dan terlihat pula, Sisingamangaraja XII di zamannya, sudah dapat membina azas dan semangat persatuan dan suku-suku lainnya.
Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun lamanya.
Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa, 30 tahun.
Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Sisingamangaraja XII.
Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara, tempat istana dan markas besar Sisingamangaraja XII di Tangga Batu, Balige mendapat perlawanan dan berhasil dihempang.
Belanda merobah taktik, ia menyerbu pada babak berikutnya ke kawasan Balige untuk merebut kantong logistik Sisingamangaraja XII di daerah Toba, untuk selanjutnya mengadakan blokade terhadap Bakara.
Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Sisingamangaraja XII antara lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam.
Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Sisingamangaraja XII, kini giliran Toba dianeksasi Belanda. Domino berikut yang dijadikan pasukan Belanda yang besar dari Batavia (Jakarta sekarang), mendarat di Pantai Sibolga. Juga dikerahkan pasukan dari Padang Sidempuan.
Raja Sisingamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta Pardede. Baik kekuatan laut dari Danau Toba, pasukan Sisingamangaraja XII dikerahkan. Empat puluh Solu Bolon atau kapal yang masing-masing panjangnya sampai 20 meter dan mengangkut pasukan sebanyak 20 x 40 orang jadi 800 orang melaju menuju Balige. Pertempuran besar terjadi.
Pada tahun 1883, Belanda benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya dan Sisingamangaraja XII beserta para panglimanya juga bertarung dengan gigih. Tahun itu, di hampir seluruh Tanah Batak pasukan Belanda harus bertahan dari serbuan pasukan-pasukan yang setia kepada perjuangan Raja Sisingamangaraja XII.
Namun pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara, tempat Istana dan Markas Besar Sisingamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda. Sisingamangaraja XII mengundurkan diri ke Dairi bersama keluarganya dan pasukannya yang setia, juga ikut Panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dan lain-lain.
Pada waktu itulah, Gunung Krakatau meletus. Awan hitam meliputi Tanah Batak. Suatu alamat buruk seakan-akan datang. Sebelum peristiwa ini, pada situasi yang kritis, Sisingamangaraja XII berusaha melakukan konsolidasi memperluas front perlawanan. Beliau berkunjung ke Asahan, Tanah Karo dan Simalungun, demi koordinasi perjuangan dan perlawanan terhadap Belanda.
Dalam gerak perjuangannya itu banyak sekali kisah tentang kesaktian Raja Sisingamangaraja XII.
Perlawanan pasukan Sisingamangaraja XII semakin melebar dan seru, tetapi Belanda juga berani mengambil resiko besar, dengan terus mendatangkan bala bantuan dari Batavia, Fort De Kok, Sibolga dan Aceh. Barisan Marsuse juga didatangkan bahkan para tawanan diboyong dari Jawa untuk menjadi umpan peluru dan tameng pasukan Belanda.
Regu pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk mencari persembunyian Sisingamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal. Oleh pasukan Sisingamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki "Si Gurbak Ulu Na Birong". Tetapi pasukan Sisingamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi Sisingamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pollung. Panglima Sisingamangaraja XII yang terkenal Amandopang Manullang tertangkap. Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Sisingamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi pada tahun 1889.
Tahun 1890, Belanda membentuk pasukan khusus Marsose untuk menyerang Sisingamangaraja XII. Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil di Aceh.
Tahun 1903, Panglima Polim menghentikan perlawanan. Tetapi di Gayo, dimana Raja Sisingamangaraja XII pernah berkunjung, perlawanan masih sengit. Masuklah pasukan Belanda dari Gayo Alas menyerang Sisingamangaraja XII.
Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan mengepung Sisingamangaraja XII. Tetapi Sisingamangaraja XII tidak bersedia menyerah. Ia bertempur sampai titik darah penghabisan. Boru Sagala, Isteri Sisingamangaraja XII, ditangkap pasukan Belanda. Ikut tertangkap putra-putri Sisingamangaraja XII yang masih kecil. Raja Buntal dan Pangkilim. Menyusul Boru Situmorang Ibunda Sisingamangaraja XII juga ditangkap, menyusul Sunting Mariam, putri Sisingamangaraja XII dan lain-lain.
Tahun 1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan Kapten Christoffel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Konon Raja Sisingamangaraja XII yang kebal peluru tewas kena peluru setelah terpercik darah putrinya Lopian, yang gugur di pangkuannya.
Pengikut-pengikutnya berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga Sisingamangaraja XII yang masih hidup ditawan, dihina dan dinista, mereka pun ikut menjadi korban perjuangan.
Demikianlah, tanpa kenal menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah, tanpa pernah ditawan, gigih, ulet, militan, Raja Sisingamangaraja XII selama 30 tahun, selama tiga dekade, telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan kecintaannya kepada tanah air dan kepada kemerdekaannya yang tidak bertara.
Itulah yang dinamakan "Semangat Juang Sisingamangaraja XII", yang perlu diwarisi seluruh bangsa Indonesia, terutama generasi muda.
Sisingamangaraja XII benar-benar patriot sejati. Beliau tidak bersedia menjual tanah air untuk kesenangan pribadi.
Sebelum Beliau gugur, pernah penjajah Belanda menawarkan perdamaian kepada Raja Sisingamangaraja XII dengan imbalan yang cukup menggiurkan. Patriotismenya digoda berat. Beliau ditawarkan dan dijanjikan akan diangkat sebagai Sultan. Asal saja bersedia takluk kepada kekuasaan Belanda. Beliau akan dijadikan Raja Tanah Batak asal mau berdamai. Gubernur Belanda Van Daalen yang memberi tawaran itu bahkan berjanji, akan menyambut sendiri kedatangan Raja Sisingamangaraja XII dengan tembakan meriam 21 kali, bila bersedia masuk ke pangkuan kolonial Belanda, dan akan diberikan kedudukan dengan kesenangan yang besar, asal saja mau kompromi, tetapi Raja Sisingamangaraja XII tegas menolak. Ia berpendirian, lebih baik berkalang tanah daripada hidup di peraduan penjajah.
Raja Sisingamangaraja XII gugur pada tanggal 17 Juni 1907, tetapi pengorbanannya tidaklah sia-sia.
Dan cuma 38 tahun kemudian, penjajah betul-betul angkat kaki dari Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan Sukarno-Hatta.
Kini Sisingamangaraja XII telah menjadi sejarah. Namun semangat patriotismenya, jiwa pengabdian dan pengorbanannya yang sangat luhur serta pelayanannya kepada rakyat yang sangat agung, kecintaannya kepada Bangsa dan Tanah Airnya serta kepada kemerdekaan yang begitu besar, perlu diwariskan kepada generasi penerus bangsa Indonesia.

May 30, 2022

Fragmen Salib Yesus Ditemukan di Turki?

Fragmen yang diklaim sebagai bagian dari salib Yesus ditemukan para arkeolog di sebuah peti batu yang terletak di Gereja Balatlar, Provinsi Sinop, Turki. Selain fragmen tersebut, para arkeolog juga menemukan batu yang dipahat dengan gambar salib dalam ekskavasi itu.

Pimpinan penelitian itu, Profesor Gulgun Koroglu, dari Mimar Sinan University of Fine Arts, Turki mengatakan bahwa penemuan ini merupakan sejarah penting. "Kami telah menemukan benda suci dalam peti. Ini adalah bagian salib. Peti batu ini sangat penting bagi kita. Peti ini punya sejarah dan artefak paling penting yang kita temukan selama ini," katanya seperti dikutip Hurryet Daily News,

Mengenai kisah fragmen salib Yesus sendiri adalah cerita masa lalu mengenai Helena, Ibu Kaisar Konstantin yang menemukan kayu salib itu dan lalu menyebarkan potongan ke pemimpin agama di Yerusalem, Roma, dan Konstantinopel (kini Turki). Bahkan, pada abad ke-4, Santo Cycril dari Yerusalem mengatakan bahwa potongan kayu salib telah menyebar ke seluruh dunia.

Hingga saat ini temuan tersebut belum bisa dikonfirmasi kebenarannya dan masih akan dipelajari. Koroglu sendiri mengatakan, dirinya telah melakukan penelitian di gereja yang telah dibangun sejak tahun 660 itu sejak 2009. Ia juga menemukan bekas pemandian Roma dan lebih dari 1.000 tulang belulang.

Hagia Sophia, Persinggahan Rumah Ibadah Dua Agama Turki

Turki menjadi salah satu persinggahan pelancong yang hendak menyusuri sejarah masa lampau yang masih utuh di sudut-sudut kota Istanbul. Turki juga menjadi tujuan wisata religi bagi yang hendak membuktikan kisah yang ditulis oleh Dan Brown dalam novelnya Inferno.

Adalah Hagia Sophia, bangunan megah bergaya arsitektur khas Byzantium menjadi satu dari sekian banyaknya saksi bahwa peralihan dan perubahan bisa terjadi dari masa ke masa. Bila berkesempatan melancong ke Turki, jangan pernah lupa berkunjung ke bekas rumah ibadah dua agama ini. Pasalnya, gedung yang terletak di depan Blue Mosque, di Ayasofya Meydani kawasan Sultanahmet ini membuka sejarah unik tentang persinggahan rumah ibadah agama Kristen dan Islam.

Ibarat kambium pohon, setiap lapisan menandakan pembabakan sejarah yang berbeda pula. Dibangun sebagai katedral bagi umat Katolik Ortodoks, konon Hagia Sophia pernah menjadi Gereja Katolik Roma terbesar di dunia dan dianggap sebagai Holy Wisdom Church.

Kala itu Hagia Sophia dihiasi dengan emas, bertahtakan permata pada dinding gerejanya, ratusan lukisan mozaik dan hasil karya seni lainnya menambah indah bangunan ini dan membuat orang-orang yang ada didalamnya merasa dihujani bintang-bintang. Hagia Sophia diakui sebagai salah satu masterpiece yang membuat mata terbelalak akan keindahannya. Gedung ini telah dijadikan sebagai gereja selama 916 tahun lamanya hingga Konstantinopel jatuh dalam penguasaan Ottoman dan Hagia Sophia dialihfungsikan menjadi masjid oleh Sultan Mehmed II.

Kendati begitu, arsitekstur Hagia Sophia tetap saja menyimpan jejak sejarah lampau yang masih utuh. Hal ini dibuktikan dengan masih ditemukannya mosaik besar Bunda Maria yang terletak di sekitar lekungan kubah yang dihimpit oleh kaligrafi Allah dan Muhammad.

Terdapat pula Mosaik Deesis, yang menjadi salah satu ikon Hagia Sophia. Mosaik ini memuat gambar diri Kristus Pantokrator, diapit Bunda Maria di sisi kanan dan Johanes Pembaptis di sisi kiri. Mosaik ini dilambangkan sebagai kekuasaan Kristus. Ada juga lukisan Yesus yang bersebelahan dengan kaligrafi Al Quran, yang menyiratkan sebuah perpaduan yang langka dan indah.

Sejak tahun 1935, saat Turki menjadi Republik, Presiden pertamanya Musatafa Kemal Ataturk memutuskan mengubah fungsi Hagia Sophia menjadi museum. Simbol-simbol lukisan sakral Kekristenan yang dihilangkan selama dijadikan rumah ibadah Muslim kembali dinampakkan. Pemerintah lalu menampakkan dua simbol agama Islam dan Kristen dalam bangunan ini.

Berusia 1600 Tahun, Sisa Bangunan Gereja Turki Ini Ditemukan di Bawah Danau

Penemuan sebuah gereja berusia 1600 tahun tergenang di sebuah danau di Turki dianggap sebagai bukti iman yang bertahan di negara itu selama berabad-abad lamanya.

Para arkeolog belum lama ini menemukan sisa gereja itu di Kota Iznik, Turki. Kota Iznik juga dikenal dengan nama Nicea, yang saat ini adalah Turki bagian barat laut. Mereka mengklaim bahwa sisa gereja itu berada di kedalaman 5-7 meter.

"Kami menemukan sisa-sisa gereja. Ini dalam rencana basilika dan memiliki tiga ruangan," kata Mustafa Sahin, profesor arkeolog di Universitas Bursa Uludag.

Bangunan ini pertama kali ditemukan dari foto udara yang diambil pada tahun 2014 silam.

"Saat aku pertama kali melihat gambar danau itu, aku cukup terkejut melihat struktur gereja yang sangat jelas. Aku melakukan survei lapangan di Iznik (sejak 2006) dan belum menemukan struktur yang luar biasa seperti itu," kata Sahin.

Dalam kisahnya, Neophytos tewas ditangan pasukan Diokletianus. Setelah itu orang-orang percaya di sana membangun basilika tepat dimana dia dibunuh oleh tentara Romawi, yaitu di tepi Danau Iznik. Sementara pembangunan basilika itu diduga kuat dilakukan pada tahun 325 oleh Kaisar Konstantin Agung.

"Kemungkinan besar (gereja) itu dibangun pada tahun 325 setelah pertemuan dewan pertama di Iznik. Atas apapun, kamu berpikir kalau gereja dibangun pada abad ke-4," katanya.

Namun gereja itu akhirnya hancur ketika gempa bumi melanda Turki pada tahun 740 masehi. Gereja itupun mulai tenggelam di bawah permukaan danau dan hanya menyisakan pondasi lantai dan dinding. Sementara reruntuhannya tak lagi tampak.

Menyusul temuan ini, para arkeolog rencananya akan dipamerkan kepada publik. Pemerintah setempat akan menjadikan sisa bangunan gereja itu sebagai museum arkeologi bawah laut pertama di Turki.

Pemerintah akan membangun menara onservasi setinggi 20 meter di sekitar danau dan membangun klub selam bagi pengunjung yang ingin menjelajah situs itu secara langsung ke dasar danau. Rencananya museum ini akan resmi dibuka tahun depan.

Turki, Tempat Lahirnya Gereja Mula-mula Yang Kini Hampir Mati.

Pada 3 Agustus 2019 lalu, Turki untuk pertama kalinya mengizinkan pembangunan gereja baru dalam kurun waktu 100 tahun sejak berdirinya negara republik pada tahun 1923. Bahkan Presiden Recep Tayyip Erdogan hadir pada acara peletakan batu pertama tersebut.

Gereja yang mendapatkan izin untuk membangun gereja baru tersebut adalah dari sinode Kristen Ortodok Suriah. Gereja tersebut didesain akan dapat menampung sekitar 700 jemaat. Gereja Kristen Ortodok Suriah di Istanbul sendiri diperkirakan memiliki 17.000 jemaat dan memiliki sebuah gereja namun jaraknya jauh. Gereja yang baru ini akan dibangaun di dekat Bandar Udara Ataturk di seberang selat Bosporus.

"Sudah merupakan tanggung jawab negara untuk memenuhi kebutuhan kaum minoritas itu dengan mengizinkan pembangunan rumah ibadah", demikian pernyataan Erdogan yang dirilis oleh laman DW.com.

Populasi penduduk Kristen Turki saat ini

Saat ini penganut agama Kristen di Turki hanya sekitar 0.3-0.4 persen dari total populasi penduduk, atau sekitar 200 ribu hingga 320 ribu orang saja dari sekitar 80 juta penduduk Turki. Umat Kristen Turki mayoritas dari Gereja Ortodoks, yaitu sekitar 80-90 jemaat. Sisanya adalah Gereja Katolik, Protestan, Injili dan sejumlah kecil kelompok karismatik.

Turki, tempat lahirnya gereja mula-mula

Sejarah Kekristenan di Turki sangat panjang, hingga bisa ditarik hingga 2.000 tahun lalu. Rasul Paulus dan juga jemaat mula-mula yang saat itu tersebar membawa berita Injil ke wilayah yang saat ini disebut Turki tersebut, hal ini kita bisa baca dan telusuri dengan membaca kitab Kisah Para Rasul dan surat-surat  Paulus.

Bahkan Rasul Yohanes di Pulau Patmos menuliskan dalam kitab Wahyu peringatan kepada ke tujuh jemaat kota yang berada di sebelah barat Turki, yaitu Efesus, Smirna, Pergamus, Tiatira, Sardis, Filadelfia dan Laodikia (Wahyu 1:11).

Pada masa-masa awal di jaman Rasul Paulus  karena tekanan dan aniaya dari Romawi, gereja mula-mula adalah gerakan bawah tanah, dimana mereka beribadah di rumah-rumah dan tempat-tempat yang tersembunyi. Di wilayah Turki inilah pertama kalinya sebutan Kristen muncul, yang mengacu kepada para pengikut Kristus.

Pernah menjadi pusat Kekristenan

Namun sekitar 300 tahun sejak masa gereja mula-mula, dibawah kepemimpinan Kaisar Konstantine gereja memasuki masa keemasannya dan menjadi agama negara. Kota Byzantium yang sekarang bernama Istanbul menjadi pusat Kekristenan.

Kekaisaran Byzantium memegang peranan penting dalam Kekristenan, hal ini dilihat dari fakta bahwa pada masa kekaisaran  inilah diselenggarakannya tujuh pertemuan Konsili, yaitu Konsili Nicea (325), Konsili Konstantinopel I (381), Konsili Efesus (431), Konsili Kalsedon (451), Konsili Konstantinopel II (553), Konsili Konstantinopel III (680) dan Konsili Nicea (787).

Runtuhnya Kekristenan di Turki

Terjadinya Perpecahan Besar, yaitu munculnya Gereja Timur yaitu Gereja Ortodoks dan Gereja Barat yaitu Katolik Roma, hal ini menjadi awal melemahnya Kekristenan, terutama di Turki.

Jatuhnya ibu kota Kekaisaran Bizantium yaitu Konstantinopel ke tangan Kesultanan Ottoman Turki pada tahun 1453 menambah tekanan pada orang-orang Kristen saat itu. Dengan politik Islamisasi membuat Kekristenan secara pelan-pelan kehilangan pengaruh di Turki.

Runtuhnya Kesultanan Ottoman pada Perang Dunia I, tidak membawa angin segar bagi umat Kristen saat itu. Pada tahun 1915, sekitar 1 juta orang Armenia dan Suriah tewas di wilayah Turki, hal itu memperlemah peran Gereja Ortodoks Armenia dan membuat tensi politik dengan Rusia dimana Anatolia, yang merupakan pusat Gereja Ortodoks Armenia berada.

Setelah berdirinya Republik Turki, berbagai tekanan dan diskriminasi terus dialami oleh kelompok minoritas baik keagamaan maupun etnis. Hal ini memaksa jutaan orang pergi meninggalkan Turki, termasuk kelompok minoritas Kristen Ortodoks Yunani yang memiliki kembali ke negara asalnya.

Hanya ada 2 gereja yang resmi diakui oleh negara Turki sejak tahun 1923

Sejak berdirinya negara Republik Turki pada tahun 1923, negara tersebut hanya mengaku dua gereja yang resmi, yaitu Gereja Ortodoks Yunani dan Gereja Ortodoks Armenia. Jika jemaat kedua gereja ini disatukan maka jumlahnya mendekati 70% dari total keseluruhan orang Kristen di Turki.

Tambahnya adalah Kristen Ortodoks Suriah yang tidak masuk dalam perlindungan Perjanjian Lausanne, sebuah perjanjian perdamaian yang dilakukan di Swiss pada tahun 1923. Namun pada tahun 2000, setelah melewati proses pengadilan yang panjang, Gereja Protestan Istambul di Altintepe akhirnya mendapatkan ijin resmi dan pengakuan negara.

Kondisi Kekristenan Turki saat ini

Dibawah pemerintahan Erdogan, setelah peristiwa kudeta 2016, banyak kelompok minoritas di Turki mengalami tekanan. Termasuk gereja dan orang-orang Kristen.

Bukan hanya dari pemerintah, kelompok radikal pun menyebarkan sentimen anti-Kekristenan dan mengkaitkan Kristen dengan paham barat. Pesan yang mereka tekankan adalah orang Kristen bukanlah rakyat Turki, dan bahkan paham radikal ini mulai disebarkan di sekolah-sekolah.

Menjawab pertanyaan apakah Kekristenan akan bisa bangkit kembali di Turki? Maka jawabannya adalah tentu dengan seijin Tuhan, hal itu bisa terjadi. Namun dengan kondisi saat ini maka kemungkinan yang bisa tergambar adalah gereja di Turki harus kembali kepada bentuk gereja mula-mula, yaitu gereja bawah tanah.

Mari berdoa agar dari tempat lahirnya gereja mula-mula ini, umat Kristen disana mengalami kebangunan rohani kembali. Seperti yang dituliskan oleh Rasul Yohanes dalam kitab Wahyu kepada jemaat Efesus, kiranya mereka kembali kepada kasih mula-mula mereka (Wahyu 2:4-5).

Jan 29, 2022

Perempuan misterius 7.200 tahun di Sulawesi

Perempuan misterius 7.200 tahun di Sulawesi, temuan terbaru yang 'menambah warna ras kepada Indonesia'

Kepingan misteri siapa nenek moyang Indonesia satu per satu mulai terkuak.

Temuan terbaru kerangka manusia yang sejauh ini diyakini tertua ada di Sulawesi dan dibuktikan sebagai manusia modern gelombang awal yang menduduki Nusantara. Ini sekaligus menambah teka-teki baru bagi kalangan ilmuan untuk menelusuri asal-usulnya.

Namun, rasa penasaran harus terhenti sejauh ini, karena masih terdapat 4-5 kerangka manusia prasejarah lainnya yang ditemukan, tapi belum diteliti karena persoalan anggaran.

Profesor Akin Duli meloncat-loncat kegirangan setelah menutup sambungan telepon. Sekretarisnya sampai keheranan, tertawa dan bertanya-tanya.

"Ada berita gembira dari lapangan, ada temuan bagus," kata Guru Besar Program Studi S2 Arkeologi, Universitas Hasanuddin ini mengingat waktu pertama kali mendapat informasi temuan rangka manusia prasejarah di Leang Panninge, Sulawesi, pertengahan 2015.

"Rupanya teman-teman di lapangan ada yang sampai guling-guling dirinya di situ. Karena ini temuan langka, dalam situs yang tidak terganggu, dan kita yakin bahwa ini data yang paling baik," kata Prof Akin kepada BBC News Indonesia.

Prof Akin Duli adalah salah satu pimpinan tim arkeolog gabungan Universitas Hasanuddin dan Universiti Sains Malaysia yang mulai melakukan ekskavasi di Gua Paninnge atau Leang Panninge (Panninge = "kelalawar" dalam Bahasa Bugis) pertengahan 2015.

Namun, saat itu kerangka manusia prasejarah ini tak langsung diangkat ke permukaan karena "harus menggunakan alat yang lengkap".

Akhirnya lubang ekskavasi ditutup, dan baru dibuka kembali pada 2017. Rangka dibawa ke Laboratorium Unhas. Namun Laboratorium di sana belum mumpuni mendeteksi usia, sampai DNA rangka tersebut.

"Waktu itu kita jadi bingung, saya coba konsultasi ke Lab tertua di Amerika, di Beta Analytic Inc. Ternyata biayanya cukup tinggi. Waktu itu baru tahap awal sudah minta Rp300 juta, saya tak punya uang," kata Prof Akin.

Pada 2018, Adam Brumm, profesor arkeologi dari Universitas Griffith Australia membawa tim untuk mengkaji kerangka tersebut, sebelum akhirnya menjalin kerja sama dengan peneliti DNA asal Jerman dari Max Planck Institute for Science of Human History, Selina Carlhoff pada 2019. Pusat Penelitian Arkeologi Jakarta dan Balai Arkeologi Makassar juga berkontribusi dalam penelitian ini.

Kerja sama lintas institusi penelitian dan universitas ini membuahkan hasil berupa kajian ilmiah yang dipublikasi dalam jurnal nature pada 25 Agustus 2021.

Kerangka manusia itu diketahui perempuan berusia 17-18 tahun, dimakamkan sekitar 7.300 - 7.200 tahun silam. Dari hasil penelusuran DNA menunjukkan manusia prasejarah ini memiliki latar belakang genetik Austromelanesoid, yang deskripsi penampakkannya seperti orang-orang Papua dan Aborigin di Australia.

"Saya yakin bahwa orang Bugis-Makassar ada juga darah Austromelanesoid-nya. Cuma mungkin DNA prosentasenya kecil," kata Prof Akin.

Para peneliti kemudian menamai perempuan yang mati muda ini, Bessek—istilah penghormatan kepada perempuan yang baru lahir dalam budaya Bugis.

Besse "dikuburkan" dalam posisi tertelungkup, dan di sekitar rangkanya diapit beberapa bongkahan batu.

Dalam makam tua itu juga ditemukan budaya-budaya di masanya seperti mata panah bergerigi (Maros Points), beberapa alat-alat batu lain, serta tulang binatang.

Leang Panninge sebagai kawasan industri purba

Para peneliti juga menemukan "satu mobil" peninggalan budaya prasejarah di dalam Leang Panninge. Di antaranya kapak batu, mata panah, pisau batu, termasuk hal yang diyakini sisa makanan mereka berupa tulang babi, rusa, tikus, kelelawar, dan siput air tawar.

Prof Akin juga meyakini Leang Panninge saat itu digunakan sebagai kawasan industri membuat alat-alat berburu, mengumpulkan dan meramu makanan. Hal ini berdasarkan temuan berupa "pembentuk alat batu, sisa-sisa tatal alat batu," katanya.

Temuan ini merupakan artefak batu yang paling khas dengan era pemburu-pengumpul di Sulawesi antara 8000 - 1500 tahun yang lalu, apa yang disebut sebagai budaya "Toalean".

Penamaan ini berdasarkan penelitian naturalis dan etnolog asal Swiss, Paul dan dan Fritz Sarasin (1893-1896) di Celebes, dan memperkenalkan orang-orang di dalam gua dari peninggalannya sebagai To Ala sebagai penanda budaya di Sulawesi Selatan.

"Toala dalam bugis itu orang yang tinggal di hutan-hutan di gunung-gunung," kata Prof Akin.

Apakah mereka bunuh-bunuhan, melebur atau bergeser?

Dari mana asal Besse dan ke mana keturunannya? Hal itu masih teka-teki bagi para ilmuan. Tapi dari kajian ilmiah ini setidaknya ditemukan latar belakang genetika Asia Timur, Austromelanesoid dan Denisovan.

Peneliti genetika dari Eijkman Institute, Pradiptajati Kusuma mengatakan hal yang mengejutkan dari temuan ini adalah latar belakang genetika Asia Timur sebelum era neolitikum (zaman batu).

"Sedangkan selama ini yang diketahui adalah latar belakang genetik Asia di populasi Indonesia Timur itu berasal dari latar belakang genetik Austronesia. Maka ini hal baru," katanya.

Besse sejauh ini diyakini sebagai manusia penjelajah yang tiba lebih dulu di Nusantara sebelum Austronesia yang masuk ke Nusantara antara 4500 - 2000 tahun lalu.

Dalam Teori Out of Taiwan, orang-orang berbahasa Austronesia diyakini keluar dari Taiwan atau Kepulauan Famosa pada 5000 tahun lalu. Mereka bergerak ke arah Filipina, lalu bergerak melintasi kepulauan Indonesia, hingga ke arah pacific. Ciri-ciri fisik Austronesia diyakini kulit sawo matang, rambut lurus, mata cokelat, dan hidung pesek.

Dalam kajian kekinian, latar belakang Austromelanesoid dengan ciri fenotip Papua dan Aborigin, bergerak makin kuat ke arah Timur.

"Jadi semakin bergerak ke Timur dari garis Wallacea itu sampai ke Papua, itu latar belakang genetik Papuanya itu semakin tinggi. Jadi ada gradien," lanjut Pradiptajati, yang mengatakan latar belakang Papua makin tipis ketika ke arah Jawa, Kalimantan dan Sumatera.

Sementara itu, latar belakang genetik Denisovan juga semakin kuat ditemukan pada wilayah Indonesia bagian Timur sebesar 6%, dan makin menipis pada orang-orang yang berada di Jawa, Sumatera dan Kalimantan.

Denisovan merupakan sepupu dari Homo Sapiens (manusia modern) yang ditemukan di gua Denisova di Siberia, diperkirakan punah pada 20 -10 ribu tahun lalu. Latar belakang genetiknya masih melekat pada manusia-manusia modern saat ini—kita.

Menurut arkeolog dari Unhas, Iwan Sumantri ada sejumlah teori mengenai jejak sejarah berikutnya dari keluarga besar Besse di Sulawesi. "Apakah mereka bunuh-bunuhan, apakah mereka berkontestasi, apakah mereka saling melebur?"

Itu masih perlu bukti empirik lainnya, kata Iwan.

Namun, Iwan meyakini Besse dan keluarganya bergeser ke arah Timur Indonesia, setelah Austronesia mulai menjelajah Nusantara. Mereka kalah bersaing dalam teknologi.

"Misalnya mereka [Austronesia] sudah menggunakan perahu bercadik, sudah bisa domestifikasi binatang dan tumbuhan, mereka membawa padi dan tangga, membawa pinang, membawa babi, dan seterusnya.

"Itu yang tidak dimiliki oleh orang-orang Austromelanesoid," lanjut Iwan. Tapi bagaimana pun kata dia, "dalam arkeologi kita tidak berbicara untuk satu fakta. Tapi harus banyak fakta untuk bisa kita kemudian menghubungkan."

Apakah Bessek generasi seniman lukisan purba?

Di kawasan Karst Maros-Pangkajene Kepulauan, Sulawesi tersimpan ratusan gua yang di dalamnya terdapat jejak-jejak purbakala. Satu di antaranya lukisan gua tertua di dunia ditaksir berusia 45.000 tahun lalu.

Sejauh ini belum ada peninggalan Besse yang menghubungkan bahwa generasinya yang melukis gua-gua di Maros-Pangkep. Tapi temuan budaya seperti pmata panah batu bergerigi [Maros Points] di Leang Paninnge juga ditemukan di gua-gua yang terdapat lukisan purba.

"Ada Maros Points, jadi hampir semua gua yang menyimpan, atau gua ditemukan maros points biasanya punya gambar," kata Iwan.

Di Leang Panninge sendiri tak ditemukan adanya lukisan purba, tapi "Boleh jadi lumut itu menghapus atau lumutnya menutupi gambar, atau menghapus, atau mengklotokan."

Sementara itu, Basran Burhan yang ikut dalam proses ekskavasi Leang Panninge mengatakan keberadaan Besse diperkirakan berada di periode "sebelum Austronesia [datang], dan setelah Rock Arts [lukisan purba]".

"Sampai sekarang belum ada yang menunjukkan, bahwa mereka punya kemampuan untuk melukis. Belum ada lukisan yang ditemukan di periode itu," kata Basran.

Temuan 4-5 kerangka manusia prasejarah lainnya

Tim arkeolog dari Unhas saat ini menyatakan masih menyimpan 4-5 kerangka manusia prasejarah, tapi apakah mereka seniman yang melukis gua purba, generasi Besse atau penjelajah dari Taiwan?

Jawaban itu masih harus disimpan dulu, karena penelitian masih berlanjut.

"Di sekitar itu juga, penelitian di Bontocane [Kab. Bone], daerah Leang-Leang, kita juga dapatkan potongan-potongan rangka manusia. Tapi, yaitu tadi, karena kita keterbatasan anggaran, belum dianalisis di laboratorium," kata Prof Akin.

Sejauh ini temuan rangka-rangka tersebut dikatakan "dalam keadaan aman, karena kita sudah tahu bagaimana caranya mengamankan data."

Prof Akin Duli mengatakan biaya yang dikeluarkan untuk satu kerangka manusia, mulai dari tahap survei, ekskavasi hingga penentuan usia dan DNA-nya bisa menghabiskan Rp1 miliar.

Selama ini, hasil temuan-temuan prasejarah khususnya di Sulawesi sangat bergantung dari kerja sama pihak luar seperti Griffith University.

"Dan mungkin teman-teman dari Jerman mulai tertarik, ya kita akan fokus pada analisis-analisis pada rangka manusia," kata Prof Akin.

Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan, Laode Muhammad Aksa mengatakan bekerja sama dengan pihak luar "lebih memudahkan karena mereka yang menentukan umur itu, mereka punya biaya dan akses."

"Mungkin biaya ada, tapi nanti aksesnya bagaimana?" kata Ako—sapaan Laode Muhammad Aksa bertanya-tanya.

Lagi pula, tambah Ako, pihaknya lebih memprioritaskan pada upaya pelestarian dalam penganggaran. Seperti Leang Panninge yang saat ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, dan zonasi, sehingga tak bisa sembarangan pembangunan di lakukan di kawasan tersebut.

"Lokasi itu sudah terlindungi dengan menempatkan juru pelihara," tambah Ako.

Namun, tambahnya, untuk penelitian lebih lanjut dan mendalam, itu sangat tergantung kebijakan pusat. "Kami kan tergantung perintah. Perintah artinya, kalau sistem penganggarannya untuk penentuan umur [penelitian], [tapi] karena kita kan orientasinya lebih ke pelestarian."

Dirjen Kebudayaan Kemendikbud-Ristek, Hilmar Farid menyatakan sejauh ini pihaknya fokus terhadap pelestarian. Untuk penelitian dan eksplorasi kata dia, masih bekerja sama dengan luar negeri.

"Karena pengadaan fasilitas itu [laboratorium] memang biayanya tidak kecil, dan kita juga punya problem SDM... SDM ahli untuk periode ini misalnya juga tidak terlalu banyak di Indonesia ini," kata Hilmar Farid kepada BBC News Indonesia.

Saat ini, catatan dari direktorat kebudayaan terdapat 90.000 situs sejarah di Indonesia. Namun baru sekitar 10-15% yang sudah diteliti dengan kaidah-kaidah ilmiah. "Jadi kita masih punya banyak sekali pekerjaan rumah, dan memang ada rencana dari pemerintah untuk membuat pusat konservasi," lanjut Hilmar.

Terlebih lagi di masa pandemi, banyak anggaran yang dialihkan untuk prioritas kesehatan, sehingga "saat ini memang fokuksnya pada perlindungan. Jadi mengamankan saja terlebih dahulu."

Indonesia sebagai 'melting pot' segala ras manusia

Bagi Iwan Sumantri, temuan ini menambah keyakinannya yang sudah lebih dari tiga dekade menjadi arkeolog bahwa Indonesia merupakan "melting pot" atau kuali percampuran ras manusia seluruh dunia.

"Indonesia menjadi melting pot, daerah percampuran, sehingga tidak ada satu pun etnis yang mengatakan diri, atau mengatakan saya adalah asli Indonesia," katanya.

Ia menyusun hal ini sejak mulai dari kedatangan ras Austromelanesoid, Austronesia [melayu], pecampuran genetik Denisovan dan Neanderthal, Mongoloid, India, Persia sampai Eropa.

"Ras besar ini kemudian memberikan warna, kepada Indonesia mereka datang kemudian membawa budaya masing-masing, kemudian kita anut. Jadi pengetahuan arkeologi, memberikan kesadaran kepada saya soal keindonesiaan," kata Iwan.

Saat ini terdapat 4-5 kerangka manusia prasejarah yang menunggu untuk diteliti lebih jauh. Menguak misteri asal-usul mereka bergantung dari kerja sama dari lembaga atau institusi penelitian dari luar negeri. Tanpa itu, kemungkinan mereka akan menunggu selamanya di tempat aman, dan tak direkam dalam sejarah.