Sejarah Dunia Kuno

2021 a year of miracles and 'unlocking' millions

Jan 22, 2013

Kanon Alkitab

Banyak orang mempertanyakan, mengapa kitab Perjanjian Lama terdiri dari 39 kitab dan kitab Perjanjian Baru terdiri dari 27 kitab. Siapa yang menentukan jumlah kitab dalam Alkitab? Apakah ada rapat atau semacam konferensi untuk menentukan jumlah kitab-kitab di dalam Alkitab? Siapakah yang berkompeten menentukan kitab-kitab itu sebagai firman Allah? Kalau Alkitab disebut kanon, apa itu kanon? Apakah kata kanon itu alkitabiah?

Kata kanon berasal dari bahasa Yunani. Lembaga Alkitab Indonesia menerjemahkan kata ini dengan kata dasar patok, sedangkan dalam bahasa Inggris kata itu diterjemahkan dengan rule atau measure. Patok atau kanon atau measure ialah sebuah ketetapan atau sebuah ukuran. Ini biasanya dipakai untuk tindakan pengukuran tanah, misalnya setelah sebidang tanah diukur, kemudian diberi patok yang menandakan telah diukur. Kalau tanah itu dijual maka patok itu telah disetujui oleh baik penjual maupun pembeli atau bahkan telah diperiksa oleh departemen pertanahan sebuah negara.

Alkitab disebut kanon itu artinya Alkitab adalah sebuah ukuran yang telah ditetapkan, atau sebuah ukuran yang telah pasti. Alkitab adalah sebuah patokan bagi semua pihak. Barang siapa yang mencoba menggeser patokan, maka ia adalah penipu atau seseorang yang bertindak curang. Kanon adalah sebuah ukuran pasti, bagaikan alat/tongkat ukur modern yang tidak boleh dipanjangkan maupun dipendekkan, yang telah disetujui untuk dijadikan alat pengukur oleh semua manusia. Alkitab adalah alat pengukur doktrin dan perbuatan, baik pribadi orang percaya maupun jemaat.

Kitab-kitab yang tergabung dalam kitab Perjanjian Lama adalah kitab-kitab yang ditulis antara ± tahun 1500 sebelum Masehi sampai ± tahun 400 sebelum Masehi. Dengan kata lain, ± 400 tahun sebelum kelahiran Yesus ke dalam dunia, kitab-kitab Perjanjian Lama telah tertulis dan sudah sering dibaca oleh masyarakat Yahudi.

Sesungguhnya tidak ada hal yang terlalu istimewa dalam proses pengakuan orang Kristen terhadap kanon kitab-kitab Perjanjian Lama, karena pada prinsipnya orang Kristen hanya memungutnya dari tradisi orang Yahudi. Sesuai dengan tradisi orang Yahudi kanon Perjanjian Lama terdiri dari tiga kelompok kitab, yaitu kelompok kitab Torah, Nevi'im dan Ketubim. Kelompok kitab Torah terdiri dari lima kitab yang ditulis oleh Musa, yaitu kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan. Kelompok kitab ini selain disebut Torah (hukum) juga disebut kitab Musa. Kitab-kitab itu disebut kitab Musa, karena Musa yang menulisnya. Sebutan ini pasti tercipta pada generasi pertama penerima kitab itu karena mereka tahu persis bahkan kenal dengan penulisnya. Sebutan kitab Musa ini bukan baru diberikan setelah orang Israel kembali dari pembuangan sebagaimana diperkirakan oleh para theolog Liberal. Musa menulis kitab-kitabnya pada empat puluh tahun bagian akhir hidupnya. Dan diketahui bahwa bagian yang menceritakan tentang kematian Musa kemungkinan ditambahkan oleh penerusnya.

Kelompok kitab Nevi'im terdiri dari 19 kitab, yaitu Yosua, Hakim-hakim, Samuel, Raja-raja, Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakharia, dan Maleakhi. Waktu penulisan kitab-kitab tersebut dapat dicocokkan pada masa hidup penulisnya. Tidak diketahui dengan jelas alasan kitab Hakim-hakim dan Raja-raja dimasukkan ke dalam kitab Nevi'im. Ada kemungkinan generasi yang sangat dekat dengan penulisan kitab itu tahu bahwa penulis kedua kitab itu adalah seorang nabi, karena sangat kemungkinan nabi Samuel adalah penulis kitab Hakim-hakim. Sedangkan kitab Raja-raja mungkin ditulis oleh kelompok nabi.

Sedangkan kelompok kitab Ketubim (karangan/tulisan) ada 12 kitab, antara Mazmur, Amsal, Ayub, Kidung Agung, Rut, Ratapan, Pengkhotbah, Ester, Daniel, Ezra, Nehemia dan Tawarikh. Diketahui bahwa sebagian besar kitab Mazmur ditulis oleh Raja Daud, sedangkan anaknya, Salomo, menulis tiga kitab, yaitu Amsal, Kidung Agung dan Pengkhotbah. Sesuai dengan nama kelompok kitab ini Ketubim yang berarti tulisan atau bacaan, maka isinya adalah bacaan yang mengajarkan kebenaran melalui cerita maupun kiasan.

Ini adalah susunan kitab-kitab Perjanjian Lama dalam Alkitab orang Yahudi. Kitab yang paling terakhir dalam susunan mereka itu bukan kitab Maleakhi melainkan kitab Tawarikh. Susunan yang dimiliki sekarang kemungkinan adalah susunan yang disesuaikan dengan Septuaginta, yaitu kitab Perjanjian Lama terjemahan bahasa Yunani yang dikerjakan pada ± tahun 200-an sebelum Masehi. Tadinya jumlah kitab hanya 36 kitab, tetapi karena Samuel, Raja-raja dan Tawarikh dibagi dua, maka menghasilkan jumlah 39 kitab.

Kitab Torah, Nevi'im dan Ketubim ini telah diakui oleh masyarakat Yahudi sebagai firman Allah, bahkan Yesus sendiri dalam Lukas 24:27, 44 menyebut tiga kelompok kitab ini sebagai firman Allah. Pengakuan Yesus adalah otoritas tertinggi sehingga tidak perlu diragukan lagi bahwa kitab Perjanjian Lama yang terdiri dari 39 kitab itu adalah firman Allah. Jadi, bukan hanya karena adanya pengakuan secara tradisi, melainkan juga adanya pengakuan Yesus. Selain itu juga terlihat dalam tulisan Rasul-rasul, sikap mereka terhadap Perjanjian Lama. Petrus berkata, bahwa Perjanjian Lama adalah firman Allah (1 Petrus 2:6, 2 Petrus 1:20).

Tentu bukan hanya Petrus yang memberi pengakuan bahwa kitab Perjanjian Lama adalah kitab suci yang diilhamkan Allah, melainkan semua penulis kitab Perjanjian Baru juga mengakui serta mengutip kitab Perjanjian Lama sambil menyatakan bahwa itu adalah firman Allah. Itulah sebabnya telah dinyatakan bahwa pengakuan orang Kristen terhadap kitab-kitab Perjanjian Lama sebagai kanon kitab suci itu penuh dasar. Dasarnya bukan karena semua orang Yahudi telah menerima kitab Perjanjian Lama sebagai kitab yang diilhamkan Allah, melainkan karena semua rasul juga mengakui, bahkan Yesus sendiri juga mengakui bahwa kitab Perjanjian Lama adalah firman Allah.

Sebelum sampai pada proses pengkanonan, terlebih dahulu didahului proses penulisan (composing) yang berkisar dari sekitar tahun 50 sampai sekitar 100. Kemudian dilanjutkan dengan proses pengumpulan (collecting) yang berkisar dari tahun 100 sampai 200. Proses pengumpulan ini adalah proses dimana orang-orang percaya mengumpulkan surat-surat atau tulisan rasul-rasul untuk kebutuhan jemaat maupun kebutuhan pribadi. Sesudah masa pengumpulan kemudian diikuti masa pembandingan (comparing), yang berkisar dari tahun 200 sampai 300. Proses pembandingan ini ialah proses dimana tiap-tiap jemaat lokal berusaha membanding-bandingkan hasil koleksi mereka. Sesudah itu kemudian diikuti dengan masa pelengkapan (completing) , yang berkisar dari tahun 300 sampai 400. Masing-masing jemaat melengkapi hasil koleksi mereka. Surat yang kurang di satu jemaat, dilengkapi oleh jemaat yang lain. Ini adalah fenomena garis besar proses pengkanonan kitab-kitab Perjanjian Baru. Untuk memahaminya dengan lebih sempurna selanjutnya dilihat proses-proses itu dengan lebih seksama.

Proses pengkanonan kitab-kitab Perjanjian Baru sedikit lain dari proses pengkanonan kitab Perjanjian Lama, namun tetap memiliki prinsip dasarnya. Sebagaimana proses pengkanonan kitab Perjanjian Lama tidak melalui sebuah konferensi, demikian juga dengan proses pengkanonan kitab Perjanjian Baru. Keduanya sama-sama melalui proses waktu yang panjang. Kitab-kitab yang terkandung di dalam kedua kelompok kitab itu diakui satu persatu. Misalnya kitab Musa yang terdiri dari kitab Kejadian sampai Ulangan itu adalah yang pertama diakui sebagai Torah (hukum) yang diberikan Allah kepada bangsa Israel. Demikian juga kitab-kitab Perjanjian Baru diakui oleh jemaat satu persatu.

Injil Matius adalah kitab pertama yang ditulis di antara kitab-kitab Perjanjian Baru. Kelompok Liberal mengatakan bahwa Markus adalah kitab yang pertama ditulis. Sebagian orang Injili terpengaruh pandangan kelompok Liberal, namun kelompok Fundamental tidak beranjak dari keyakinan bahwa Injil Matius adalah kitab pertama yang ditulis dalam seluruh kitab Perjanjian Baru. Jelas sekali bahwa sementara Markus masih anak ingusan yang masih merindukan "bau" ibunya, Matius telah berstatus orang tua yang berwibawa. Kelihatannya pandangan kelompok Liberal itu adalah pandangan yang dipengaruhi konsep dasar teori evolusi, yaitu dari simple (yang sederhana) menuju kompleks. Konsep dasar teori yang berprinsip dari sesuatu yang sederhana menuju sesuatu yang lebih sempurna, menghantui sebagian teolog sehingga mereka menerapkan prinsip itu pada proses penulisan Injil. Bagi mereka, karena kitab Markus lebih sederhana, maka kitab Markus pasti yang terlebih dulu ditulis. Setelah ada Injil Matius yang jauh lebih lengkap, tidak mungkin Markus mau menulis yang lebih sederhana lagi. Tampak bahwa konsep dasar teori evolusi merasuki dunia teologia juga.

Proses pengkanonan kitab-kitab Perjanjian Baru itu sesuai dengan perkembangan penulisan kitab-kitab itu dan pengakuan jemaat. Sementara rasul-rasul mengajar dengan lisan, sebagian mereka digerakkan untuk menulis. Akhirnya jumlah tulisan rasul-rasul semakin bertambah dan dipakai sebagai dasar pengajaran. Sekalipun tulisan rasul kebanyak berbentuk surat, namun ketika jemaat menghadapi persoalan yang terdapat jawabannya di dalam surat rasul itu, maka jawaban itu sama dengan jawaban langsung dari rasul. Jemaat menjadikannya dasar kebenaran karena mereka yakin bahwa surat itu berisikan kebenaran. Logisnya, kalau terhadap nasehat lisan para rasul saja mereka harus patuh dan meyakininya sebagai perintah Allah, tentu jauh lagi terhadap nasehat tertulis mereka yang jauh lebih akurat. Sikap ini menyebabkan mereka menyimpan dengan rapi semua surat yang ditulis oleh rasul-rasul.

Ternyata mereka bukan hanya menyimpan surat rasul yang ditujukan kepada mereka, melainkan mereka saling membagi (share) dengan jemaat lain. Misalnya jemaat Efesus yang menerima Surat Efesus, jemaat Korintus yang menerima Surat Korintus, jemaat Galatia yang menerima Surat Galatia, dan jemaat Tesalonika yang menerima Surat Tesalonika saling mengkopi satu sama lain. Sehingga di jemaat Korintus selain ada Surat Korintus, juga terdapat Surat Efesus, Galatia, dan Tesalonika. Mereka mengkopi surat-surat itu dengan mencatatnya dengan tangan mereka. Tentu dicatat dengan ekstra hati-hati karena bagi mereka itu bukan sembarangan tulisan melainkan firman Allah yang disampaikan melalui rasul-rasul. Inilah yang di bagian awal disebut proses pengumpulan (collecting) .
Dengan tukar menukar surat atau tulisan peninggalan rasul di antara jemaat maka proses pengkanonan berjalan secara alamiah. Sambil mereka menambah koleksi mereka, mereka juga membandingkan koleksi satu jemaat dengan yang lain. Tindakan membandingkan hasil koleksi masing-masing itu dinamakan proses pembandingan (comparing). Mungkin ada jemaat yang telah mengumpulkan 20 kitab dan ada yang baru memiliki 15 kitab. Mereka mencocokkan hasil koleksi masing-masing dan melengkapi diri mereka dengan apa yang masih kurang. Tentu mereka mempertanyakan alasan dimasukkannya surat tertentu ke dalam kanon oleh jemaat lain. Setelah mendapat penjelasan, maka diterimalah surat tersebut oleh jemaat itu sebagai standar firman Allah.

Di dalam pembahasan tentang proses pengkanonan, pertanyaan yang sering muncul ialah, siapa yang memutuskan kitab atau tulisan itu boleh masuk? Dan apa alasan untuk memasukkan sebuah tulisan ke dalam kanon

Jawabannya ialah, tidak ada orang tertentu atau konferensi tertentu yang diadakan untuk menentukan syarat penerimaan sebuah surat atau tulisan ke dalam kanon Perjanjian Baru. Proses pengkanonan berkembang secara alamiah dari saling membandingkan hasil koleksi di kalangan jemaat-jemaat lokal sampai akhirnya secara universal mengakui dan menerima ke-27 kitab Perjanjian Baru sebagai kitab-kitab yang diilhamkan Allah.

Pada abad 16 kaum Roma Katolik dan Kristen Protestan, setelah mengadakan pembicaraan, meneguhkan kembali keterikatan mereka kepada kanon Perjanjian Baru ini, dan gereja Roma Katolik belum lama ini menekankan lagi keterikatannya. Kaum Protestan yang konservatif juga meneruskan memakai Kanon yang diterima melalui tradisi, bahkan para wakil teologia liberal tidak mengajarkan ajaran yang bertentangan. Memang, di dalam penelitian Alkitab yang modern dan pendapat beberapa ahli bahwa ada tulisan-tulisan yang di dalamnya ada yang tidak bersifat rasuli - dan dalam hal ini - perlu dipahami lagi faktor-faktor dan motif-motif yang mendasari proses historis yang telah digariskan. Bahwa dokumen-dokumen itu dimasukkan ke dalam Kanon berarti gereja Kristen mengakui kewibawaan dokumen-dokumen itu.

Pada zaman paling dini belum ada Kanon, karena kehadiran para rasul atau para murid mereka, dan karena tradisi-tradisi lisan yang hidup. Pada pertengahan abad kedua para rasul telah tiada, tapi tulisan-tulisan mereka dan monumen-monumen yang lain menguatkan amanat mereka. Pada waktu yang sama muncullah ajaran bidat, dan penekanannya kepada teori teologis atau kepada pengilhaman baru mengharuskan adanya penekanan baru kepada kewibawaan ajaran yang ortodoks dan suatu rumusan yang lebih ketat terhadap kitab-kitab yang berwibawa.

Demikianlah keempat Injil dan kumpulan Surat-surat Paulus yang telah dipakai di kalangan luas, diumumkan bersifat alkitabiah bersama dengan beberapa tulisan lainnya yang menyatakan diri ditulis oleh para rasul. Baik pembicaraan mengenai ajaran dan yang bersifat ilmu maupun perkembangan, melanjutkan proses pengakuan sampai Kanon itu dilengkapi pada waktu perwujudan intelektual dan kegirangan dari umat Kristen pada abad 4-5. Tiga patokan dipakai, baik pada abad 2 atau 4, guna meneguhkan bahwa dokumen-dokumen tertulis itu mewujudkan laporan yang benar dari suara dan amanat kesaksian para rasul.

Pertama, mengkaitkannya dengan para rasul; ini tidak berlaku bagi semuanya, misalnya Markus dan Lukas diterima sebagai hasil karya orang-orang yang erat hubungannya dengan para rasul.

Kedua, pemakaian oleh gereja-gereja, yaitu pengakuan oleh gereja embimbing atau oleh sebagian besar gereja. Karena patokan ini banyak itab Apokrifa ditolak, beberapa barangkali tidak berbahaya dan bahkan erisi tradisi asli dari kata-kata Yesus, lebih banyak lagi yang hanya iksi saja, tapi tidak ada yang ditolak yang diakui oleh sebagian besar gereja.

Ketiga, kesesuaian dengan ukuran-ukuran ajaran yang sehat; atas dasar ini Injil keempat mula-mula diragukan tapi akhirnya diterima; atau (sebaliknya) Gospel of Peter dilarang oleh Serapion dari Antiokhia karena kecenderungannya kepada doketisme, sekalipun tuntutannya sudah ditulis oleh rasul.

Demikianlah sejarah perkembangan kanonik kitab Perjanjian Baru itu menunjukkan, bahwa Kanon adalah kumpulan kitab-kitab yang dikaitkan dengan rasul-rasul atau dengan murid-murid mereka, yang oleh gereja pada keempat abad pertama dipandang benar, karena kitab-kitab itu mampu memberitakan dan merumuskan ajaran para rasul, sehingga dipandang cocok bagi pengajaran umum dalam kebaktian kepada Allah. Jikalau ini dimengerti dengan pertumbuhannya yang bertahap dan keanekaan sifat Kanon itu, dapat diketahui mengapa dahulu dan sekarang ada persoalan-persoalan dan ada keraguan terhadap karya-karya tertentu yang dimasukkan ke dalamnya. Karena menganggap ketiga patokan itu memadai, maka umat Kristen Protestan kini tidak mendapatkan alasan untuk menolak keputusan-keputusan angkatan-angkatan terdahulu, dan karena itu menerima Perjanjian Baru sebagai suatu laporan lengkap dan berwibawa dari pernyataan Ilahi sesuai yang diumumkan sejak zaman kuno oleh orang-orang terpilih, yang penuh penyerahan dan yang diilhami

No comments: