Sejarah Dunia Kuno

2021 a year of miracles and 'unlocking' millions

Apr 23, 2013

Pertentangan

Para Iman dan penghulu telah mendengarkan dengan tenang atas teguran Kristus yang tajam itu. Mereka tidak dapat membantah tuduhan‑Nya. Tetapi mereka malah lebih nekad hendak menjebak Dia, dan dengan maksud ini mereka mengutus mata‑mata kepada‑Nya, "serta menyuruhkan beberapa orang penyuluh berpura‑pura seolah‑olah orang tulus, hendak menangkap perkataan‑Nya, supaya dapat menyerahkan Dia kepada pembesar dan kuasa pemerintah." Mereka tidak mengutus orang Farisi yang tua yang sudah sering dijumpai Yesus, melainkan orang‑orang muda, yang bersemangat dan rajin dan yang pada hemat mereka tidak dikenal oleh Kristus. Orang‑orang ini ditemani oleh orang‑orang Herodiani tertentu, yang harus mendengar perkataan Kristus, agar mereka dapat bersaksi melawan Dia pada waktu Ia diadili. Orang Farisi dan orang Herodiani pernah bermusuhan keras, tetapi kini mereka satu dalam permusuhan terhadap Kristus.

Orang Farisi sudah pernah menjadi gusar karena dipaksa oleh orang Roma membayar upeti. Mereka beranggapan bahwa pembayaran upeti berlawanan dengan hukum Allah. Sekarang mereka melihat kesempatan untuk memasang jerat bagi Yesus. Mata‑mata datang kepada‑Nya, dan dengan berpura‑pura ikhlas, seakan‑akan ingin mengetahui kewajiban mereka, berkata, "Hai Guru, kami tahu bahwa Tuan mengatakan dan mengajarkan dengan hati yang tulus, dan tiada membedakan di antara seorang dengan yang lain, rnelainkan jalan Allah itu Tuan ajarkan dengan sebenar‑benarnya. Patutkah kami membayar uang upeti kepada Kaisar atau tidak?"

Perkataan, "Kami tahu bahwa Tuan mengatakan dan mengajarkan dengan hati yang tulus," sekiranya mereka memang ikhlas, sungguh merupakan suatu pengakuan yang luar biasa. Tetapi perkataan itu diucapkan untuk menipu, meski pun demikian kesaksian mereka benar adanya. Orang Farisi memang mengetahui bahwa Kristus mengatakan dan mengajarkannya dengan hati yang tulus, dan dengan kesaksian mereka sendiri mereka akan dihakimkan.

Mereka yang mengajukan pertanyaan kepada Yesus berpendapat bahwa mereka sudah menyamarkan niat mereka secukupnya, tetapi Yesus membaca hati mereka sebagai sebuah buku terbuka, dan menyatakan kepura‑puraan mereka. "Mengapa kamu mencobai Aku?"*) kata‑Nya; dengan demikian memberi mereka suatu tanda yang tidak mereka minta, dengan menunjukkan bahwa Ia telah membaca maksud mereka yang tersembunyi. Mereka malah lebih bingung lagi ketika Ia menambahkan; "Tunjukkanlah kepada‑Ku suatu dinar." Mereka membawanya, dan Ia menanyakan kepada mereka, "Rupa siapakah dan cap siapakah ini? Maka sahut mereka itu 'Kaisar punya.' Sambil menunjuk pada cap di atas mata uang itu, Yesus berkata, 'Kalau begitu, bayarlah kepada Kaisar barang yang Kaisar punya, dan kepada Allah barang yang Allah punya."

Mata‑mata itu telah mengharapkan Yesus menjawab pertanyaan mereka secara langsung, dalam suatu cara atau yang lain. Sekiranya Ia mengatakan, Tidak patut membayar uang upeti kepada Kaisar, Ia akan dilaporkan kepada pemerintah Roma, dan ditahan karena membangkitkan pemberontakan. Tetapi sekiranya Ia mengatakan bahwa patut membayar uang upeti, mereka merencanakan hendak menuduh Dia kepada orang banyak karena menentang hukum Allah. Sekarang mereka merasa diri sendiri gagal dan dikalahkan. Rencana mereka dikacaukan. Cara yang ringkas dalam menjawab pertanyaan mereka menyebabkan mereka tidak dapat mengatakan apa‑apa lagi.

Jawab Kristus bukannya jawab untuk menghindar, melainkan suatu jawab yang terus terang atas pertanyaan itu. Sambil memegang mata uang Roma di tangan‑Nya, yang di atasnya tertera nama dan gambar Kaisar, Ia menyatakan bahwa karena mereka tinggal di bawah perlindungan kuasa Roma, mereka harus memberikan kepada kekuasaan itu sokongan yang dituntutnya, selama kekuasaan ini tidak bertentangan dengan kewajiban yang lebih tinggi. Tetapi sementara tunduk pada undang‑undang negara dengan damai, mereka harus memberikan kesetiaan mereka yang utama kepada Allah pada setiap saat.

Perkataan Juruselamat, "Bayarlah . . . kepada Allah barang yang Allah punya," merupakan suatu tempelakan yang keras terhadap orang Yahudi yang bersekongkol itu. Sekiranya mereka telah memenuhi kewajiban mereka kepada Allah dengan setia, mereka tidak akan menjadi suatu bangsa yang pecah, takluk kepada kekuasaan asing. Tidak ada panji Roma akan berkibar di Yerusalem, tidak ada pengawal Roma akan berdiri di pintu gerbangnya, tidak ada pemerintah Roma akan memerintah di dalam pagar temboknya. Bangsa Yahudi pada saat itu sedang membayar hukuman karena kemurtadannya dari Allah.

Ketika orang Farisi mendengar jawab Kristus, "Heranlah mereka itu, maka ditinggalkannya Dia lalu pergi." Ia telah menempelak kepura‑puraan dan kecongkakan mereka, dan dalam berbuat demikian Ia telah menyatakan suatu prinsip yang besar, suatu prinsip yang menjelaskan batas‑batas kewajiban manusia kepada pemerintahan sipil serta kewajibannya kepada Allah. Dalam pikiran banyak orang suatu pertanyaan yang sukar‑sulit sudah dibereskan. Sejak saat itu mereka berpegang pada prinsip yang benar. Dan meski pun banyak orang pergi dengan perasaan tidak puas, namun mereka melihat bahwa prinsip yang menjadi dasar pertanyaan itu sudah dikemukakan dengan jelas, dan mereka keheran‑heranan melihat kesanggupan Kristus untuk melihat secara jauh.

Tidak lama sesudah orang Farisi didiamkan, datanglah orang Saduki dengan pertanyaan mereka yang cerdik. Kedua belah pihak itu sangat bertentangan paham satu dengan yang lain. Orang Farisi sangat bergantung pada tradisi. Mereka sangat teliti dalam upacara secara lahiriah, rajin dalam mencuci, berpuasa dan berdoa panjang‑panjang, dan bersifat suka menunjukkan pemberian derma. Tetapi Kristus menyatakan bahwa mereka meniadakan hukum Allah oleh mengajarkan ajaran hukum manusia. Sebagai suatu golongan mereka fanatik dan pura‑pura, meski pun demikian di antara mereka terdapatlah orang‑orang yang sangat saleh, yang menerima ajaran Kristus dan menjadi murid‑murid‑Nya. Orang Saduki menolak tradisi orang Farisi. Mereka mengaku percaya akan sebagian besar Kitab Suci, dan menganggapnya sebagai peraturan budi pekerti, tetapi dalam kenyataan mereka tidak beriman dan mementingkan perkara jasmani.

Orang Saduki menyangkal adanya malaikat, kebangkitan orang mati, serta ajaran mengenai kehidupan masa mendatang, serta dengan pahalanya dan hukumannya. Pada segala segi ini mereka berbeda paham dengan orang Farisi. Di antara kedua pihak itu kebangkitan terutama menjadi pokok pertentangan. Orang Farisi percaya sekali akan kebangkitan, tetapi dalam perbincangan ini pandangan mereka mengenai keadaan masa mendatang menjadi sangat kacau. Bagi mereka kematian menjadi suatu rahasia yang tidak dapat dijelaskan. Ketidak‑sanggupan mereka memenuhi bantahan di pihak orang Saduki menimbulkan gangguan yang terus‑menerus. Perbincangan di antara kedua pihak biasanya mengakibatkan pertikaian yang marah‑marah, meninggalkan mereka dalam keadaan makin berjauhan daripada semula.

Dalam jumlah, orang Saduki sangat jauh di bawah lawan mereka, dan pengaruh mereka tidak terlalu besar terhadap orang kebanyakan; tetapi banyak dari mereka kaya‑raya, dan mereka mempunyai pengaruh karena kekayaan itu. Di kalangan mereka termasuklah kebanyakan imam‑imam, dan dari antara merekalah imam besar biasanya dipilih. Meski pun demikian hal ini adalah dengan syarat yang jelas bahwa pendapat mereka yang tidak beriman hendaknya jangan sampai kentara. Karena banyaknya jumlah dan kepopuleran orang Yahudi, maka perlu bagi orang Saduki mengakui ajaran mereka secara lahir bila memegang suatu jabatan keimamatan; tetapi adanya kenyataan bahwa mereka dapat dipilih untuk jabatan seperti itu sungguh memberi pengaruh pada kesalahan mereka.

Orang Saduki menolak ajaran Yesus, Ia dihidupkan oleh suatu roh yang cara kerjanya tidak mau mereka akui, dan ajaran‑Nya mengenai Allah serta kehidupan pada masa mendatang bertentangan dengan teori mereka. Mereka percaya akan Allah sebagai satu‑satunya oknum yang lebih besar dari manusia; tetapi mereka membantah bahwa Tuhan yang berkuasa dan kesanggupan Ilahi untuk mengetahui lebih dulu akan merampas kebebasan kuasa akhlak dari manusia dan merendahkan dia pada kedudukan seorang hamba. Mereka percaya bahwa setelah menciptakan manusia, Allah meninggalkan dia pada dirinya sendiri, tidak bergantung pada pengaruh yang lebih tinggi. Mereka percaya bahwa manusia bebas mengendalikan hidupnya sendiri serta membentuk peristiwa‑peristiwa dunia ini, bahwa nasibnya ada dalam tangannya sendiri. Mereka menyangkal bahwa Roh Allah bekerja dengan perantaraan usaha manusia atau ikhtiar alamiah. Meskipun demikian mereka  masih percaya bahwa, oleh menggunakan kesanggupan bawaannya dengan baik, manusia dapat dinaikkan derajatnya dan diterangi; bahwa oleh tuntutan yang keras kehidupannya dapat disucikan.

Pendapat mereka tentang Allah membentuk tabiat mereka sendiri. Sebagaimana pada pemandangan mereka Ia tidak menaruh minat terhadap manusia, demikian juga mereka kurang mempunyai penghargaan satu dengan yang lain; hanya sedikit sekali persatuan di antara mereka. Karena enggan mengakui pengaruh Roh Kudus terhadap perbuatan manusia, mereka kekurangan kuasa‑Nya dalam kehidupan mereka. Sebagaimana halnya dengan orang Yahudi yang lain, mereka membanggakan hak kesulungan mereka sebagai anak‑anak Ibrahim, serta betapa setianya mereka berpaut pada tuntutan hukum; tetapi roh hukum yang sebenarnya serta iman dan kebajikan Ibrahim, tidak ada pada mereka. Simpati mereka yang sejati sangat terbatas. Mereka percaya bahwa mungkin bagi segala manusia mendapat penghiburan dan berkat kehidupan; dan hati mereka tidak terharu oleh kekurangan dan penderitaan orang lain. Mereka hidup bagi diri sendiri.

Oleh perkataan dan perbuatan, Kristus membuktikan tentang suatu kuasa Ilahi yang menimbulkan akibat yang melebihi kodrat alam, tentang hidup pada masa mendatang di seberang hidup yang sekarang ini, tentang Allah sebagai Bapa anak‑anak manusia, yang senantiasa rnemperhatikan minat mereka yang benar. Ia menyatakan pekerjaan kuasa Ilahi dalam kebajikan dan belas kasihan yang menempelak sifat menyendiri yang mementingkan diri di pihak orang Saduki. Ia mengajarkan bahwa baik untuk kebaikan manusia yang bersifat sementara mau pun yang bersifat kekal, Allah menggerakkan hati dengan Roh Kudus. Ia menunjukkan kesalahan dalam hal bergantung pada kuasa manusia, karena perubahan tabiat dapat dikerjakan hanya oleh Roh Allah.

Orang Saduki menentukan hendak meragukan ajaran ini. Dalam mencari pertentangan dengan Yesus, mereka merasa yakin untuk membawa Dia ke dalam nama jelek, meski pun mereka tidak bisa mendapat sebab untuk mempersalahkan Dia. Kebangkitan merupakan suatu pokok yang mereka pilih untuk menanyai Dia. Sekiranya Ia setuju dengan mereka, Ia akan memberi penghinaan yang lebih jauh kepada orang Farisi. Sekiranya Ia berselisih paham dengan mereka, maka mereka merencanakan hendak mengolok‑olok ajaran‑Nya.

Orang Saduki memberikan pertimbangan bahwa jika tubuh harus terdiri dari unsur yang sama dalam keadaannya yang baka sebagaimana dalam keadaannya yang fana, maka bila dibangkitkan dari antara orang mati tubuh itu harus mempunyai daging dan darah, dan harus melanjutkan di dunia abadi hidup yang terganggu di dunia ini. Dalam hal itu mereka menarik kesimpulan bahwa hubungan duniawi akan diteruskan, suami dan isteri akan disatukan kembali, perkawinan disempurnakan dan segala perkara berjalan terus sama seperti sebelum kematian, kelemahan dan hawa napsu dalam kehidupan ini diabadikan dalam kehidupan di seberang.

Dalam jawab atas pertanyaan mereka, Yesus mengangkat tudung dari kehidupan pada masa depan. "Pada hari kiamat kelak," kata‑Nya, "tiadalah orang kawin, dan tiada orang dikawinkan, melainkan keadaannya itu seperti malaikat yang di surga." Ia menunjukkan bahwa orang Saduki sudah salah dalam kepercayaan mereka. Dasar pikiran mereka salah semata‑mata. "Kamu sesat," Ia menambahkan, "sebab tiada mengetahui isi Alkitab atau kuasa Allah." Ia tidak menuduh mereka, sebagaimana Ia telah menuduh orang Farisi dengan kepura‑puraan, melainkan dengan kekeliruan dalam kepercayaan.

Orang Saduki telah membanggakan diri bahwa dari semua orang, merekalah yang berpaut paling tekun pada Kitab Suci. Tetapi Yesus menunjukkan bahwa mereka tidak mengetahui maknanya yang sebenarnya. Pengetahuan itu harus dijelaskan dalam hati oleh penerangan Roh Kudus. Perihal mereka tidak mengetahui akan Alkitab serta kuasa Allah dinyatakan‑Nya sebagai penyebab kekacauan iman mereka dan kegelapan pikiran. Mereka sedang berusaha membawa rahasia Allah di dalam lingkungan pertimbangan mereka yang terbatas. Kristus menyerukan kepada mereka untuk membuka pikiran terhadap kebenaran yang suci yang akan memperluas dan memperkuat pengertian. Beribu‑ribu orang menjadi orang yang tidak beriman karena pikiran mereka yang terbatas tidak dapat mengerti rahasia Allah. Mereka tidak dapat menjelaskan pertunjukan kuasa Ilahi yang ajaib dalam pemeliharaan‑Nya, dan itulah sebabnya mereka menolak bukti‑bukti kuasa seperti itu, dan menganggapnya disebabkan oleh kuasa alam yang masih dapat mereka pahami. Satu‑satunya kunci kepada rahasia yang mengelilingi kita ialah mengakui dalamnya segala hadirat dan kuasa Allah. Manusia perlu mengakui Allah sebagai Khalik semesta alam, Seorang yang memerintahkan dan melaksanakan segala perkara. Mereka memerlukan suatu pandangan yang lebih luas akan tabiat‑Nya, dan tentang rahasia kuasa‑Nya.

Kristus menyatakan kepada para pendengar‑Nya bahwa kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka Alkitab yang mereka percayai itu tidak akan ada gunanya. Ia berkata, "Tetapi akan hal kebangkitan orang mati itu, belumkah kamu membaca barang yang difirmankan oleh Allah kepadamu, demikian: Aku inilah Tuhan Ibrahim, dan Tuhan Ishak, dan Tuhan Yakub? Karena Allah itu bukannya Tuhan orang mati, melainkan Tuhan orang hidup." Tuhan memperhatikan perkara‑perkara yang tidak ada seolah‑olah ada. Ia melihat akhir dari mulanya, dan memandang hasil pekerjaan‑Nya seakan‑akan sudah dilaksanakan sekarang. Orang‑orang mati yang mulia itu, mulai dari Adam sampai dengan orang saleh yang meninggal terakhir, akan mendengar suara Anak Allah, dan akan keluar dari kubur kepada hidup yang baka. Allah akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat‑Nya. Akan terdapat suatu hubungan yang erat dan halus antara Allah dan orang saleh yang dibangkitkan. Keadaan ini, yang diharapkan dalam niat‑Nya, dipandang‑Nya seolah‑olah sudah ada. Orang mati hidup bagi‑Nya.

Oleh perkataan Kristus orang Saduki didiamkan. Mereka tidak dapat menjawab Dia. Tidak suatu perkataan diucapkan yang daripadanya kesempatan yang paling kecil sekali pun dapat diambil untuk mempersalahkan Dia. Musuh‑musuh‑Nya tidak memperoleh apa‑apa kecuali hinaan dari orang banyak.

Meskipun demikian, orang Farisi belum putus asa dalam usaha mendesak Dia agar Ia mengucapkan sesuatu yang dapat mereka gunakan untuk menentang Dia. Mereka membujuk seorang ahli taurat yang terdidik untuk menanyai Yesus mengenai yang mana dari kesepuluh hukum paling penting.

Orang Farisi telah meninggikan keempat hukum yang pertama, yang menunjukkan kewajiban manusia terhadap Khaliknya, sebagai hukum yang jauh lebih penting daripada keenam hukum yang lain, yang menjelaskan kewajiban manusia kepada sesamanya manusia. Sebagai akibatnya, mereka gagal dalam kesalehan yang praktis. Yesus telah menunjukkan kepada orang banyak tentang kekurangan mereka yang besar, dan telah mengajarkan perlunya perbuatan yang baik, dengan menyatakan bahwa pohon dikenal dari buah‑buahnya. Untuk alasan inilah Ia telah dituduh meninggikan keenam hukum yang terakhir melebihi keempat hukum yang pertama.

Orang Fakih itu mendekati Yesus dengan suatu pertanyaan yang langsung, "hukum yang manakah dikatakan yang terutama sekali?" Jawab Yesus langsung dan tegas: "Hukum yang terutama inilah: Dengarlah olehmu, hai Israel, ada pun Allah Tuhan kita, Ialah Tuhan yang Esa. Maka hendaklah engkau mengasihi Allah Tuhanmu dengan sebulat‑bulat hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan sepenuh akal‑budimu, dan dengan segala kuatmu." Dan yang kedua serupa dengan yang pertama, kata Kristus; karena hukum itu mengalir daripadanya, "Hendaklah engkau mengasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Maka tiadalah hukum lain yang lebih besar daripada kedua hukum ini." "Pada kedua hukum ini bergantung segenap Kitab Taurat dan kitab segala nabi."

Keempat hukum pertama dari Sepuluh Hukum diringkaskan dalam satu ajaran yang besar, "Hendaklah engkau mengasihi Allah Tuhanmu dengan sebulat‑bulat hatimu." Keenam hukum yang terakhir termasuk dalam hukum yang lain, "Hendaklah engkau mengasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Kedua hukum ini merupakan pernyataan prinsip kasih. Yang pertama tidak dapat dipelihara dan yang kedua dilanggar, dan yang kedua pun tidak dapat dipelihara sementara yang pertama dilanggar. Bila Allah mendapat tempat yang betul di takhta hati, tempat yang benar itu akan diberikan kepada sesama kita manusia. Kita akan mengasihinya seperti diri kita sendiri. Dan hanyalah bila kita mengasihi Allah lebih dari segala sesuatu barulah kita dapat mengasihi sesama manusia tanpa memihak.

Dan karena segenap hukum diringkaskan dalam kasih akan Allah dan manusia, akibatnya ialah tidak ada satu ajaran dapat dilanggar tanpa melanggar prinsip ini. Dengan demikian Kristus mengajarkan kepada para pendengar‑Nya bahwa hukum Allah bukannya merupakan banyak ajaran yang terpisah‑pisah; ada daripadanya yang sangat penting, sedangkan yang lain kurang penting, dan boleh dilupakan saja dengan bebasnya. Tuhan kita mengemukakan keempat hukum yang pertama serta keenam yang terakhir sebagai suatu keseluruhan Ilahi, dan mengajarkan bahwa kasih kepada Allah akan ditunjukkan oleh penurutan akan segala hukum‑Nya.

Ahli taurat yang telah menanyai Yesus sangat mahir akan hukum itu, dan keheran‑heranan mendengar perkataan‑Nya. Ia tidak mengharapkan Dia menyatakan suatu pengetahuan yang begitu dalam dan saksama tentang Alkitab. Ia telah mendapat suatu pandangan yang lebih luas tentang prinsip‑prinsip yang menjadi dasar ajaran yang suci itu. Di hadapan imam‑imam dan penghulu‑penghulu yang telah berhimpun dengan jujur ia mengakui bahwa Kristus telah memberikan tafsiran yang benar terhadap hukum, dengan berkata, "Ya Guru, amat benarlah segala kata Guru, bahwa Allah itu esa adanya, dan tiada yang lain, melainkan Allah; dan hal mengasihi Tuhan dengan sebulat‑bulat hati, dan dengan sepenuh akal budi, dan dengan segenap jiwa, dan dengan segala kuat, dan lagi mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri, itulah terutama daripada segala korban bakaran dan persembahan sembelihan."

Kebijaksanaan dalam jawab Kristus telah meyakinkan ahli taurat itu. Ia mengetahui bahwa agama Yahudi bergantung pada upacara secara lahir gantinya pada kesalehan secara batin. Ia merasakan nihilnya korban‑korban dalam upacara kaabah, serta pencurahan darah yang tidak disertai iman bagi penebusan dosa. Kasih dan penurutan kepada Allah, dan penghargaan yang tidak mementingkan diri bagi manusia, kelihatan baginya lebih berharga daripada segala upacara ini. Kesediaan orang ini untuk mengakui benarnya pertimbangan Kristus, dan sambutannya yang tidak ragu‑ragu dan serta‑merta di hadapan orang banyak, menunjukkan adanya suatu roh yang sangat berbeda dengan roh imam‑imam dan penghulu‑penghulu. Hati Yesus menaruh belas‑kasihan terhadap ahli taurat yang jujur yang sudah berani menghadapi muka masam di pihak imam‑imam dan ancaman di pihak penghulu‑penghulu untuk mengucapkan keyakinan hatinya. "Apabila Yesus melihat bahwa ia sudah menyahut dengan bijaksana, berkatalah Ia kepadanya, Engkau tiada jauh lagi daripada kerajaan Allah."

Ahli taurat sudah dekat pada kerajaan Allah, dalam hal ia mengakui perbuatan kebenaran sebagai sesuatu yang lebih berkenan kepada Allah daripada korban bakaran dan persembahan sembelihan. Tetapi ia perlu mengakui tabiat ilahi Kristus, dan oleh percaya padaNya menerima kuasa untuk melakukan perbuatan kebenaran. Upacara agama tidak ada gunanya, kecuali dihubungkan dengan Kristus oleh iman yang hidup. Hukum akhlak sekalipun gagal akan melakukan maksudnya, kecuali hukum itu dipahami dalam hubungannya dengan Juruselamat. Kirstus sudah berulang‑ulang menunjukkan bahwa hukum Bapa‑Nya berisi sesuatu yang lebih dalam daripada hanya sekadar perintah secara mendiktekan. Dalam hukum itu terkandunglah prinsip yang sama yang dinyatakan dalam Injil. Hukum itu menunjukkan kewajiban manusia dan menunjukkan kesalahannya kepadanya. Ia harus memandang kepada Kristus untuk minta keampunan dan kuasa guna melakukan apa yang diperintahkan oleh hukum.

Orang Farisi telah berkumpul mengelilingi Yesus ketika Ia menjawab pertanyaan ahli taurat. Sekarang sambil berbalik ia menanyakan kepada mereka, "Apakah pikiran kamu tentang Kristus itu? Anak siapakah Dia?" Pertanyaan ini direncanakan untuk menguji kepercayaan mereka mengenai Mesias—untuk menunjukkan apakah mereka menganggap Dia hanya sebagai seorang manusia atau sebagai Anak Allah. Suara‑suara serentak menjawab, "Anak Daud." Inilah gelar yang telah diberikan oleh nubuatan kepada Mesias. Ketika Yesus menyatakan keilahian‑Nya oleh mukjizat‑Nya yang besar, ketika Ia menyembuhkan orang sakit dan membangkitkan orang mati, orang banyak telah bertanya‑tanya sama sendirinya, "Bukankah orang ini Anak Daud?" Perempuan Siro Funiki, Bartimeus yang buta, dan banyak lagi yang lain telah berseru kepada‑Nya minta pertolongan, "Kasihanilah aku, ya uhan, Anak Daud." Mat. 15:22. Sementara menunggang keledai ke Yerusalem Ia telah disambut dengan sorak kegirangan, "Hosanna bagi Anak Daud, diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan." Mat. 21:9. Dan anak‑anak kecil di dalam kaabah telah menggemakan puji‑pujian gembira pada hari itu. Tetapi banyak orang yang menyebut Yesus Anak Daud tidak mengenal keilahian‑Nya. Mereka tidak mengerti bahwa Anak Daud adalah juga Anak Allah.

Dalam jawab terhadap pernyataan bahwa Kristus adalah anak Daud, Yesus berkata, "Kalau begitu, bagaimanakah Daud itu sendiri memanggil Dia 'Tuhan' dengan ilham Roh (Roh Ilham dari Allah), demikian, Bahwa Tuhan telah berfirman kepada Tuhanku: Duduklah Engkau di sebelah kanan‑Ku, sehingga Aku menaklukkan segala musuh‑Mu di bawah kaki‑Mu. Jikalau Daud sendiri memanggil Dia 'Tuhan' bagaimanakah pula Ia menjadi anaknya? Maka seorang pun tiada dapat menyahut sepatah kata pun kepada‑Nya, dan daripada hari itu juga seorang pun tidak berani menyoal Dia lagi."

No comments: