Sejarah Dunia Kuno

2021 a year of miracles and 'unlocking' millions

Apr 1, 2013

Israel Kuno

Sama seperti bangsa-bangsa di Timur Dekat Kuno lainnya, keluarga Israel juga menganut sistem patriakhal, di mana tampuk kepemimpinan keluarga dipegang dan diwariskan di antara para lelaki. Hal ini tentu saja memiliki pengaruh bagi cara pandang dan peraturan yang ada saat itu mengenai kedudukan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada pembedaan mengenai hak dan kewajiban antara pria dan wanita.

Masalah di atas sudah pernah dibahas dalam paper kelompok dengan tema besar, keluarga Israel Kuno. Dalam paper tersebut, ada beberapa hal menarik mengenai posisi wanita dalam keluarga Israel. Hal-hal itu akan dibahas oleh penulis secara khusus dalam paper akhir semester ini.

KELUARGA ISRAEL KUNO
           
Kedudukan wanita dalam keluarga Israel, kita perlu memiliki gambaran mengenai kondisi keluarga Israel secara umum. Namun karena keterbatasan sumber, gambaran yang akan diuraikan harus dibatasi untuk keluarga dengan status ekonomi menengah ke atas.

Dalam sejarah, kata "keluarga" bisa saja menunjuk kepada struktur sosial yang lebih luas. Dalam kitab Perjanjian Lama, kata yang sering digunakan adalah mišpāhāh. Kata ini sering digunakan untuk menggambarkan hal-hal yang berbeda, misalnya bangsa-bangsa (Kej 10:5, 32; 12:3; Amos 3:2), Israel secara keseluruhan (Amos3:1) atau suku tertentu (Hak 13:2). Kata ini sering juga digunakan dalam penulisan silsilah, termasuk kepala kaum keluarga secara biologis (Kel 6:14, 25; Bil 1:2). Dengan demikian kata mišpāhāh ini sebenarnya lebih cocok diartikan sebagai "klan" atau extended family.

Yang dimaksud dengan extended family adalah keluarga-keluarga inti (ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah) yang berasal dari leluhur yang sama dan memutuskan untuk tinggal dalam rumah-rumah yang dibangun berdempetan. Mereka ini hidup berdampingan dengan memperhatikan hak dan kewajiban antar keluarga inti dan biasanya dipimpin oleh seorang patriakh, atau kepala keluarga. Dengan demikian, pemahaman mengenai keluarga di Israel lebih luas daripada pemahaman yang ada sekarang ini, yang mencakup ayah dengan istri-istrinya, anak-anak serta istri-istri mereka, dan keturunan selanjutnya, bahkan juga para budak mereka.

PERNIKAHAN DAN PERCERAIAN

Dalam Alkitab, istilah menikah sering digantikan dengan kata-kata "mengambil seorang istri". Pernikahan bukan hanya menjadi urusan kedua mempelai melainkan urusan kepala keluarga masing-masing dengan membayar mas kawin untuk pihak perempuan. Contohnya adalah pengaturan pernikahan antara Ishak dan Ribka yang melibatkan Abraham dan Betuel, sebagai kepala keluarga masing-masing.
Meskipun demikian, tidak pernah dicatat bahwa ada pernikahan yang dipaksakan oleh pihak kepala keluarga, tanpa persetujuan dari wanita itu sendiri. Dalam hal ini, wanita masih diberikan hak untuk menentukan kehendaknya dan bukan begitu saja "dibeli" dengan mas kawin dalam jumlah tertentu. Tujuan mas kawin tersebut adalah untuk membayar keluarga perempuan atas kerugian karena kehilangan satu tenaga kerja, setelah sang anak perempuan ikut ke rumah suaminya.

Pada awal sejarah Israel, pernikahan biasanya berupa monogami, dimana seorang laki-laki hanya menikahi satu orang istri. Tetapi jika istri itu mandul, suaminya diperbolehkan mengambil istri muda untuk melanjutkan keturunannya. Istri pertama tetap diutamakan daripada istri muda. Kalau masih ada istri yang lain, istri tersebut dianggap sebagai budak. Dari situlah timbul adat, bahwa laki-laki diperbolehkan memperistri beberapa perempuan, tetapi pada kenyataannya hanya sedikit yang mampu melakukannya, karena suami wajib menafkahi istri-istrinya.

Dalam hukum Israel, seorang suami bisa menuntut cerai istrinya dengan beberapa alasan, misalnya ketidakperawanan sang istri ketika dinikahi atau kemandulan. Meskipun demikian, wewenang seorang suami untuk menceraikan istrinya ada batasnya, salah satu contohnya, jika tanpa dasar menuduh istrinya tidak perawan lagi pada waktu menikah dan ternyata tuduhan itu tidak terbukti maka suami tidak berhak lagi menceraikan istrinya. Tetapi, jika tuduhan itu terbukti, perempuan itu akan dihukum mati dengan dilempari batu di depan pintu rumah ayahnya untuk memperbaiki reputasi keluarganya dengan melakukan zinah.
Oleh karena itu, bukti bahwa seorang perempuan masih perawan harus disimpan dengan baik. Bukti itu biasanya berupa pakaian atau kain yang terkena noda menstruasi terakhir sebelum menikah atau dari hubungan seks pertama kali setelah menikah.

PERCABULAN DAN ZINAH

Hukum yang ada di Israel sangat keras mengenai kedua hal ini, terutama mengenai perzinahan. Hal ini dilatarbelakangi oleh sistem patrilineal, yang menuntut kejelasan, bahwa anak yang dilahirkan oleh sang istri adalah benar-benar keturunan suaminya.

Orang Israel  dengan jelas membedakan zinah dengan percabulan. Zinah merupakan persetubuhan dengan istri orang lain sedangkan percabulan adalah perbuatan seksual antara orang yang belum menikah. Percabulan dianggap hampir sama dengan pelacuran. Kalau suami bersetubuh dengan wanita yang belum menikah, hal itu dianggap sebagai percabulan saja. Yang dihukum mati hanya yang terbukti berzinah. Aturan ini memang lebih memberatkan para istri, yang benar-benar dibatasi .

Meskipun demikian, tidak selamanya sistem patrilineal mendatangkan kerugian bagi kaum perempuan. Dalam sistem ini, seksualitas seorang perempuan dianggap sangat penting karena kemampuannya untuk melahirkan anak. Selama perempuan itu masih perawan, ia dianggap aset yang bernilai untuk dijadikan calon istri. Oleh sebab itu, jika seorang laki-laki berani memperkosa perempuan yang belum menikah, ia bisa saja dibunuh oleh keluarga dari perempuan meskipun ia setuju untuk menikahinya. Contohnya adalah kisah Dina dan saudara laki-lakinya dalam kitab Kejadian 34 dan cerita Tamar, Absalom dan Amnon dalam 2 Samuel 13.

PERAN WANITA DALAM KELUARGA

Meskipun bangsa Israel menganut sistem patriakhal, di mana laki-laki menjadi kepala keluarga, kaum perempuan tidak semerta-merta harus selalu tunduk dan tidak memiliki kekuasaan sama sekali. Sebaliknya, seorang perempuan memiliki peranan yang sangat penting dalam mempertahankan kestabilan hidup sebuah rumah tangga. Jika seorang kepala keluarga memiliki wewenang mutlak dalam menentukan hukum atau peraturan keluarga, pembagian tugas dan kerja, serta hubungan dengan pihak di luar lingkungan keluarga, seorang istri memiliki wewenang mutlak dalam mengurus rumah tangganya sendiri.

Seorang istri memiliki tanggung jawab dan terlibat dalam berbagai kegiatan seperti mempersiapkan makanan dan memproduksi kain linen untuk pakaian. Perempuan Israel juga sekali-kali ikut bekerja di ladang gandum dan anggur seperti yang dilakukan oleh perempuan-perempuan Mediterania yang lain. Selain itu, seorang istri juga dituntut untuk bisa mengatur rumah tangganya dan mendidik anak-anaknya.

Kalimat terakhir dari paragraf di atas sering dipahami dengan terlalu sederhana oleh banyak orang. Mungkin perlu diingatkan kembali, bahwa  keluarga di Israel jauh lebih besar dari keluarga yang sekarang ini dan bahkan juga termasuk para budak mereka. Sebuah extended family bisa terdiri dari sekedar lima belas orang atau mencapai ratusan orang, jika mereka memiliki status ekonomi yang tinggi. Ini berarti bahwa, mengatur sebuah rumah tangga di Israel bukan tugas yang mudah. Dibutuhkan kemampuan administrasi dan manajerial yang tinggi untuk bisa mengatur orang-orang yang sebanyak itu.

Lagi pula, yang dimaksud dengan tugas mengatur rumah tangga bukan hanya sekedar menyiapkan makanan dan pakaian bagi seisi rumah. Seorang istri bertanggung jawab mengatur keuangan keluarganya, sehingga bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga bahkan di saat musim dingin ketika usaha pertanian menjadi tidak mungkin dilakukan. Hal ini termasuk menjual kain atau pakaian yang telah selesai diproduksi, mengawasi jalannya usaha keluarga, dan mengatur pembelian properti dalam rumah tangga.

Untuk mempermudah pengaturan tugas ini, para istri dalam sebuah extended family atau klan, menentukan seorang matriakh sebagai pemimpin mereka. Biasanya, yang dipilih adalah yang paling tua atau yang berasal dari keluarga dengan status sosial tertinggi di antara yang lain. Matriakh inilah yang memiliki wewenang penuh atas rumah tangganya dengan dibantu oleh para perempuan yang lain dalam keluarga. Ia juga bertugas menyelesaikan perselisihan antar perempuan, jika itu terjadi.
Yang tidak kalah penting dari tugas seorang istri adalah tanggung jawab mendidik anak. Hal ini juga jangan disamakan dengan apa yang terjadi sekarang ini. Pada zaman bangsa Israel hidup di tanah Kanaan, belum ada institusi pendidikan seperti sekolah. Oleh karena itu, pendidikan seorang anak, baik masalah moral, religius dan pengetahuan umum, menjadi tanggung jawab keluarga. Seorang ibu adalah guru pertama bagi anak-anaknya. Ketika seorang anak laki-laki beranjak dewasa, ia diharapkan telah memiliki pengetahuan dasar yang dibutuhkan untuk kemudian melanjutkan pendidikannya bersama sang ayah, mengenai hal-hal yang harus ditangani oleh para pria dalam keluarga dan masyarakat. Sementara itu, anak perempuan tetap dididik oleh ibunya untuk mempersiapkan diri menjadi seorang istri yang cakap dan mampu mengatur rumah tangganya sendiri kelak.

HAK PERLINDUNGAN
           
Dalam kehidupannya, seorang perempuan harus terus menerus tunduk di bawah kekuasaan laki-laki. Ketika ia masih anak-anak, ia harus taat kepada ayahnya dan ketika ia menikah, ia harus taat kepada suaminya. Hal ini mungkin telihat sangat berat, tapi kita juga bisa melihat hal ini dari sudut pandang yang berbeda. Selain memiliki wewenang atas istri dan anak-anaknya, seorang suami juga memiliki kewajiban yang mengikat, bahwa harus bisa menjamin kelangsungan hidup istri dan anak-anaknya.

Hal ini juga berarti bahwa, hidup seorang perempuan selalu berada di bawah perlindungan dan jaminan pihak laki-laki. Jika ayahnya meninggal sebelum ia menikah, tanggung jawab untuk melindungi dan menghidupinya diambil alih oleh saudara laki-lakinya. Bahkan jika, seorang perempuan Israel dijual sebagai budak, ia tetap memiliki hak untuk dilindungi oleh tuannya. Haknya sebagai budak ini, diatur dalam hukum Taurat dan tertulis dalam kitab Keluaran 21: 7-11.
           
REFLEKSI DAN PENUTUP


Dari uraian di atas, kita bisa mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi kehidupan kaum perempuan di Israel Kuno. Sistem keluarga patriakhal memang mempengaruhi kondisi kehidupan para perempuan. Mereka tidak memiliki banyak kesempatan untuk memegang kekuasan di luar keluarganya sendiri, kecuali mungkin beberapa tokoh Alkitab, seperti Deborah dan Ester. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti perempuan dipandang sebagai kaum yang lemah dan tidak mampu berbuat apa-apa.

Sebaliknya, seorang wanita dituntut untuk memiliki kecakapan yang tinggi dalam mengatur kehidupan rumah tangga keluarganya. Dalam kitab Amsal 31:10-31, tertulis amsal puji-pujian untuk istri yang cakap. Dalam beberapa terjemahan bahasa inggrisnya, terdapat berbagai sebutan untuk seorang perempuan yang mampu melakukan tugasnya sebagai pengurus rumah tangga dengan baik. Berikut ini akan saya lampirkan beberapa terjemahan tersebut.

DBY Proverbs 31:10 Who can find a woman of worth? for her price is far above rubies.
KJV Proverbs 31:10 Who can find a virtuous woman? for her price is far above rubies.
NIV Proverbs 31:10 A wife of noble character who can find? She is worth far more than rubies.
RSV Proverbs 31:10 A good wife who can find? She is far more precious than jewels.

Demikian seorang istri yang memiliki kemampuan manajerial yang tinggi dan yang takut akan Tuhan, dianggap begitu berharga.
Jika kita melihat dari sisi ini, maka jelas bahwa pra-anggapan yang ada mengenai kondisi kehidupan perempuan yang tertindas di dalam sistem keluarga patriakhal terbukti tidak benar, setidaknya dalam lingkup bangsa Israel. Seorang wanita juga dipandang sebagai seseorang yang mampu dan bahkan, sama seperti laki-laki, ia dinilai bukan hanya berdasarkan kecantikan tetapi juga kemampuannya di bidang-bidang tertentu. Yang berbeda hanyalah bentuk dari keahlian dan tanggung jawab yang dituntut untuk dimiliki seorang perempuan dan laki-laki.

Bahkan sebenarnya seorang perempuan memiliki keuntungan melalui sistem ini. Ia berhak untuk mendapat perlindungan sepanjang hidupnya dan tetap memiliki keleluasaan untuk melakukan semua pekerjaannya, karena kaum pria biasanya memang tidak ikut campur dalam urusan rumah tangga. Dalam kitab taurat, kita bisa menemukan peraturan-peraturan yang menjamin perlindungan bagi kaum perempuan.
           
Hal ini juga sebaiknya tidak kita lihat dari sudut pandang yang negatif, bahwa perempuan dipandang sebagai kaum yang lemah. Menurut penulis, perlindungan ini dimaksudkan untuk menjamin kebebasan para perempuan untuk menggunakan segala potensinya dalam tugasnya sehari-hari tanpa harus merasa terancam akan nasib dan masa depannya. Untuk bisa mengabdikan dirinya dalam "pekerjaan"-nya mengurus dan menjamin kehidupan begitu banyak orang, ia harus terlebih dahulu merasa aman dan terjamin, agar kemudian tidak terjadi penyimpangan. Orang yang tidak merasa aman akan posisi dan kehidupan nyaman yang ia miliki saat itu, cenderung untuk berbuat curang dan akhirnya akan merugikan seluruh keluarganya.

Jika kita mengaitkannya dengan kehidupan di era modern ini, telihat jelas bahwa kaum perempuan yang ada sekarang masih harus banyak belajar dari pendahulu-pendahulunya. Sekarang ini banyak perempuan yang menuntut persamaan dengan laki-laki, tanpa benar-benar memahami maknanya. Banyak juga yang memahami istilah emansipasi wanita dengan persamaan secara mutlak. Hal ini jelas-jelas tidak mungkin, karena pada dasarnya Allah telah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan untuk maksud dan tujuan yang berbeda.

Lagi pula, yang terlihat sekarang ini adalah bahwa kaum perempuan mulai melupakan tugas dan tanggung jawabnya yang utama, yang telah dijalani para pendahulunya sejak ribuan tahun yang lalu. Banyak perempuan yang menggeluti bidang-bidang baru yang dulunya hanya lazim dipelajari dan dipraktekan oleh laki-laki. Ini sebenarnya bukan sesuatu yang buruk, mengingat  hal yang sama juga dilakukan oleh kaum pria. Hanya saja, kecenderungan yang ada dalam masa sekarang ini adalah kaum wanita mulai menghindari tanggung jawabnya sebagi pengurus rumah tangga dan guru pertama bagi anak-anaknya.

Jika hal ini terus berlangsung, siapa yang akan peduli pada nasib keluarganya sendiri? Bukankah keluarga itu begitu penting dan merupakan titik awal seorang anak belajar bermasyarakat? Jika dalam keluarganya sendiri, ia harus melihat persaingan tiada akhir antara orang tuanya dalam karir dan ketidakpedulian sebagai efek sampingnya, bagaimana anak itu bisa tumbuh dengan memahami makna keluarga yang sesungguhnya?

No comments: