Sejarah Dunia Kuno

2021 a year of miracles and 'unlocking' millions

Apr 1, 2013

Membayangkan Salib

Pekerjaan Kristus di dunia ini sedang mendekati akhirnya. Di hadapan‑Nya, dalam latar belakang yang jelas, terbentanglah pemandangan ke arah mana kaki‑Nya sedang melangkah. Sedangkan sebelum Ia mengambil kemanusiaan pada diri‑Nya, Ia melihat jauhnya jalan yang harus ditempuh‑Nya agar dapat menyelamatkan yang hilang. Setiap kepedihan yang melukai hati‑Nya, setiap hinaan yang ditimpakan ke atas kepala‑Nya, setiap penderitaan yang harus ditanggung‑Nya, terpampang di hadapan‑Nya sebelum Ia mengesampingkan mahkota dan jubah kerajaan‑Nya, dan turun dari takhta, untuk menutupi keilahian‑Nya dengan kemanusiaan. Jalan dari palungan ke Golgota semuanya terbuka di hadapan mata‑Nya. Ia mengetahui dukacita yang akan datang kepada‑Nya. Ia mengetahui semuanya, namun Ia berkata, "Sungguh, aku datang; dalam gulungan kitab ada tertulis tentang aku; aku suka melakukan kehendak-Mu, ya Allahku; Taurat-Mu ada dalam dadaku." Mzm. 40:8, 9.

Di hadapan‑Nya Ia senantiasa melihat hasil tugas‑Nya. Kehidupan‑Nya di dunia yang penuh dengan pekerjaan berat dan pengorbanan diri, digembirakan oleh harapan bahwa tidaklah sia‑sia la menanggung segala penderitaan ini. Dengan memberikan hidup‑Nya untuk hidup manusia, Ia akan mengembalikan dunia kepada kesetiaan terhadap Allah. Meski pun baptisan darah harus mula‑mula diterima, meski pun dosa‑dosa dunia menjadi beban jiwa‑Nya yang tidak bersalah; meski pun bayang dukacita yang tidak terperikan ada di atas‑Nya, namun karena kesukaan yang dihadapkan kepada‑Nya, Ia memilih menanggung salib, dan tidak menghiraukan malu.

Peristiwa‑peristiwa yang dihadapi‑Nya masih tersembunyi dari rekan‑rekan sekerja‑Nya yang terpilih itu, tetapi saatnya sudah dekat bila mereka harus melihat kesengsaraan‑Nya. Mereka harus melihat Dia yang sudah mereka kasihi dan percayai, yang sudah diserahkan ke tangan musuh‑musuh‑Nya, dan tergantung di salib Golgota. Tidak lama kemudian Ia harus meninggalkan mereka untuk menghadapi dunia tanpa penghiburan hadirat‑Nya yang kelihatan. Ia mengetahui alangkah pahitnya kebencian, dan kurang percaya akan menganiayakan mereka, dan Ia ingin mempersiapkan mereka untuk ujian mereka.

Yesus dan murid‑murid‑Nya kini sudah datang ke salah satu kota di sekitar Kaisaria Pilipi. Mereka sudah di seberang perbatasan Galilea, di suatu daerah di tempat penyembahan berhala merajalela. Ke sinilah murid‑murid ditarik dari pengaruh "Yudaisme" yang besar itu, dibawa ke dalam hubungan yang lebih dekat dengan perbaktian kafir. Di sekeliling mereka ditunjukkan bentuk‑bentuk ketakhyulan yang terdapat di segala bagian dunia. Yesus merindukan agar suatu pandangan tentang perkara‑perkara ini dapat memimpin mereka untuk merasakan tanggung jawab mereka kepada orang kafir. Selama Ia tinggal di daerah ini, Ia berusaha menghindari mengajar orang banyak, dan mengabdikan diri‑Nya lebih banyak untuk murid‑murid‑Nya.

Ia hampir akan memberitahukan kepada mereka tentang penderitaan yang menunggu Dia. Tetapi mula‑mula Ia mengasingkan diri, dan mendoakan agar hati mereka disediakan untuk menerima perkataan‑Nya. Ketika menggabungkan diri dengan mereka, Ia tidak dengan segera menyampaikan hal yang hendak diberikan‑Nya. Sebelum melakukannya, Ia memberi mereka suatu kesempatan untuk mengaku iman mereka kepada‑Nya, agar mereka dapat dikuatkan guna menghadapi ujian yang akan datang. Ia bertanya, "Menurut kata orang, siapakah Anak Manusia?"

Dengan sedihnya murid‑murid terpaksa mengakui bahwa Israel sudah gagal mengenal Mesias. Ada pula yang menyatakan Dia Anak Daud, ketika mereka melihat mukjizat‑mukjizat‑Nya. Orang banyak yang sudah diberi makan di Baitsaida telah begitu ingin untuk memaklumkan Dia raja Israel. Banyak orang bersedia menerima Dia sebagai nabi, tetapi mereka tidak percaya bahwa Ialah Mesias.

Kini Yesus menanyakan pertanyaan kedua, yang berhubungan dengan murid‑murid sendiri: "Tetapi kata kamu ini, Siapakah Aku?" Petrus menjawab, "Tuhanlah Kristus, Anak Allah yang hidup."

Sejak mulanya Petrus sudah percaya bahwa Yesus ialah Mesias. Banyak orang lain yang sudah diyakinkan oleh khotbah Yohanes Pembaptis, dan yang telah menerima Kristus, mulai meragukan mengenai tugas Yohanes ketika ia dipenjarakan dan dibunuh; dan kini mereka meragukan bahwa Yesus adalah Mesias, yang sudah lama sekali mereka nantikan. Banyak dari antara murid‑murid‑Nya yang telah sungguh‑sungguh mengharapkan Yesus mengambil tempat‑Nya di takhta Daud, meninggalkan Dia ketika mereka melihat bahwa Ia tidak mempunyai niat seperti itu. Tetapi Petrus dan rekan‑rekannya tidak berbalik dari kesetiaan mereka. Peri laku yang ragu‑ragu di pihak orang‑orang yang memuji kemarin dan mempersalahkan hari ini tidaklah merusak iman pengikut Kristus yang sejati itu. Petrus menyatakan, "Tuhanlah Kristus, Anak Allah yang hidup." Ia tidak menunggu kehormatan raja untuk memahkotai Tuhannya, melainkan menerima Dia dalam kerendahan‑Nya.

Petrus telah mengungkapkan iman keduabelas murid itu. Meski pun demikian murid‑murid itu masih jauh dari pengertian akan tugas Kristus. Perlawanan dan gambaran yang salah di pihak imam‑imam dan penghulu‑penghulu, meski pun tidak dapat membalikkan mereka dari Kristus, namun masih menyebabkan kebingungan besar bagi mereka. Mereka tidak melihat jalan mereka dengan jelas. Pengaruh pendidikan mereka yang mula‑mula, ajaran rabbi‑rabbi, kuasa tradisi, masih menghambat pandangan mereka akan kebenaran. Sekali‑sekali cahaya yang mulia dari Yesus bersinar kepada mereka, namun sering mereka bagaikan orang‑orang yang meraba‑raba di antara bayang‑bayang. Tetapi pada hari ini, sebelum mereka dibawa berhadap‑hadapan dengan ujian besar untuk iman mereka, Roh Kudus memenuhi mereka dengan kuasa. Seketika lamanya mata mereka dipalingkan dari "barang yang kelihatan" untuk "memandang yang tidak kelihatan." 2 Kor. 4:18. Di bawah samaran kemanusiaan mereka melihat kemuliaan Anak Allah.

Yesus menjawab kepada Petrus dengan berkata, "Berbahagialah, engkau, hai Simon, anak Yunus! Karena bukannya keadaan manusia yang menyatakan hal ini kepadamu, melainkan Bapa‑Ku yang di surga."

Kebenaran yang telah diakui oleh Petrus merupakan dasar iman orang percaya. Justeru itulah yang telah dinyatakan Kristus Sendiri sebagai hidup kekal. Tetapi hanya memiliki pengetahuan ini bukannya menjadi alasan untuk memuliakan diri sendiri. Bukannya dengan hikmat atau kebaikannya sendiri kebenaran itu telah dinyatakan kepada Petrus. Manusia tidak pernah dapat memperoleh suatu pengetahuan Ilahi dengan kuasanya sendiri. Ia "tingginya seperti langit--apa yang dapat kaulakukan? Dalamnya melebihi dunia orang mati--apa yang dapat kauketahui?" Ayub 11:8. Hanyalah roh pengangkatan dapat menyatakan kepada kita perkara Allah secara mendalam, "Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia." "Karena kepada kita Allah telah menyatakannya oleh Roh, sebab Roh menyelidiki segala sesuatu, bahkan hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah." 1 Kor. 2:9, 10. "Tuhan bergaul karib dengan orang yang takut akan Dia," dan kenyataan bahwa Petrus melihat kemuliaan Kristus membuktikan bahwa ia telah "menerima pengajaran dari Bapa." Mzm. 25:14; Yoh. 6:45. Ah, sungguh, "Berbahagialah engkau, hai Simon, anak Yunus! Karena bukannya keadaan manusia yang menyatakan hal itu kepadamu."

Yesus meneruskan: "Aku pun berkata kepadamu, bahwa engkau inilah Petrus, dan di atas batu ini Aku akan membangunkan sidang‑Ku; dan segala pintu alam maut pun tiada akan dapat mengalahkan dia." Kata Petrus berarti sebuah batu—sebuah batu yang berguling‑guling. Petrus bukannya gunung batu yang di atasnya sidang didirikan. Segala pintu alam maut mengalahkan dia ketika ia menyangkali Tuhannya dengan kutukan dan sumpah. Sidang didirikan di atas Seorang yang tidak dapat dialahkan oleh pintu alam maut.

Berabad‑abad sebelum kedatangan Juruselamat Musa telah menunjukkan kepada Gunung Batu keselamatan Israel. Penulis Mazmur telah menyanyikan "Gunung Batuku." Yesaya telah menulis, "Sesungguhnya, Aku meletakkan sebagai dasar di Sion sebuah batu, batu yang teruji, sebuah batu penjuru yang mahal, suatu dasar yang teguh." Ul. 34:4. Mzm. 62:7; Yes. 28:16. Petrus sendiri, yang menulis dengan ilham mengenakan nubuatan ini kepada Yesus. Ia mengatakan, "Jik kamu benar-benar telah mengecap kebaikan Tuhan. Dan datanglah kepada-Nya, batu yang hidup itu, yang memang dibuang oleh manusia, tetapi yang dipilih dan dihormat di hadirat Allah. Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani." 1 Petr. 2:3‑5.

"Karena tidak ada seorangpun yang dapat meletakkan dasar lain daripada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus." 1 Kor. 3:11. "Di atas batu ini," kata Yesus, "Aku akan membangunkan sidang‑Ku." Di hadirat Allah, dan segala makhluk‑makhluk cerdas di sorga dihadiri oleh tentara alam maut yang tidak kelihatan, Kristus mendirikan sidang‑Nya di atas Gunung Batu yang hidup. Gunung Batu itu ialah diri‑Nya Sendiri, tubuh‑Nya sendiri, yang dipecahkan dan dihancurkan bagi kita. Terhadap sidang yang didirikan di atas dasar inilah pintu alam maut pun tidak dapat menang.

Alangkah kecilnya sidang itu kelihatan ketika Kristus mengucapkan perkataan ini! Hanya sedikit sekali orang percaya, yang segala kuasa Setan dan kuasa orang jahat ditujukan kepada mereka, meski pun demikian para pengikut Kristus tidak usah khawatir. Karena kekuatan mereka didirikan di atas Gunung Batu, maka mereka tidak dapat dikalahkan.

Selama enam ribu tahun iman sudah bertumpu pada Kristus. Selama enam ribu tahun banjir dan topan kemarahan Setan sudah dikalahkan di atas Gunung Batu keselamatan; tetapi Gunung Batu itu berdiri dengan tidak bergerak.

Petrus telah mengungkapkan kebenaran yang menjadi dasar iman sidang itu, dan kini Yesus menghormati dia sebagai wakil segenap rombongan orang percaya. Ia berkata, "Maka Aku akan memberi kepada engkau anak kerajaan surga; dan barang apa yang engkau ikatkan di atas bumi, itu pun terikat juga di surga, dan barang apa yang engkau orakkan di atas bumi, itu pun terorak juga di surga."

"Anak kunci kerajaan surga," ialah sabda Kristus. Segala perkataan Kitab Suci adalah milik‑Nya, dan terrnasuk yang di sini. Perkataan ini mempunyai kuasa untuk membuka dan menutup surga. Hal itu menyatakan keadaan yang dengannya manusia diterima atau ditolak. Demikianlah orang‑orang yang memasyhurkan sabda Allah menjadi suatu bau hayat menuju hidup atau bau maut menuju mati. Pekerjaan mereka adalah suatu tugas yang sarat dengan hasil abadi.

Juruselamat tidak menyerahkan pekerjaan Injil kepada Petrus secara pribadi. Beberapa waktu kemudian, ketika mengulangi perkataan yang diucapkan kepada Petrus, Ia mengenakannya langsung kepada sidang. Dan bahan yang sama diucapkan juga kepada keduabelas murid sebagai wakil‑wakil rombongan orang percaya. Sekiranya Yesus telah menyerahkan sesuatu wewenang khusus kepada salah seorang murid‑Nya melebihi murid‑murid yang lain, maka kita tidak akan sering melihat mereka bertengkar mengenai siapa seharusnya yang terbesar. Sudah tentu mereka tunduk kepada kehendak Tuhannya, dan menghormati orang yang telah dipilih‑Nya.

Gantinya menunjuk seorang menjadi kepala mereka, Kristus mengatakan kepada murid‑murid, "Janganlah kamu disebut Rabi," "janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias." Mat. 23:8, 10.

"Kepala dari tiap‑tiap laki‑laki ialah Kristus." "Dan segala sesuatu telah diletakkan-Nya di bawah kaki Kristus", dan "Dia telah diberikan-Nya kepada jemaat sebagai Kepala dari segala yang ada. Jemaat yang adalah tubuh-Nya, yaitu kepenuhan Dia, yang memenuhi semua dan segala sesuatu." 1 Kor. 11:3; Ef. 1:22, 23. Sidang didirikan di atas Kristus sebagai dasarnya, sidang itu harus mentaati Kristus sebagai kepalanya. Sidang itu tidak seharusnya bergantung pada manusia, atau dikendalikan oleh manusia. Banyak orang menuntut bahwa suatu jabatan dengan tanggung jawab besar dalam sidang memberi mereka wewenang untuk mendiktekan apa yang akan dipercayai oleh orang lain dan apa yang akan mereka lakukan. Tuntutan ini tidak dibenarkan Allah. Juruselamat menyatakan, "Kamu sekalian ini bersaudara." Semuanya mudah terkena pencobaan, dan ada kemungkinan berbuat kekeliruan. Kita tidak dapat bergantung pada makhluk yang terbatas untuk mendapat bimbingan. Gunung Batu iman ialah hadirat Kristus di dalam sidang. Padanyalah yang paling lemah sekali pun boleh bergantung, dan mereka yang menganggap diri paling kuat sekali pun akan terbukti paling lemah, kecuali mereka menjadikan Kristus menjadi kesanggupan bagi mereka. "Kutuklah orang yang harap pada manusia dan yang menaruh daging akan lengannya," Tuhan bagaikan "Gunung Batu dan perbuatan‑Nya tiada berkecelaan." "Berbahagialah kiranya segala orang yang percaya akan Dia."

Sesudah pengakuan Petrus, Yesus memerintahkan murid‑murid agar tidak menceritakan kepada seorang jua pun bahwa Ialah Kristus. Perintah ini diberikan sebab perlawanan yang nekad di pihak ahli taurat dan orang Farisi. Lebih dari itu, orang banyak dan murid‑murid sekali pun mempunyai suatu pengertian yang sangat keliru tentang Mesias, sehingga suatu pengumuman tentang Dia kepada khalayak ramai tidak akan memberi mereka pendapat yang betul tentang tabiat‑Nya atau pekerjaan‑Nya. Tetapi dari hari ke hari Ia menyatakan diri‑Nya kepada mereka sebagai Juruselamat, dan dengan demikian Ia ingin memberikan kepada mereka suatu pengertian yang benar tentang Dia sebagai Mesias.

Murid‑murid masih mengharapkan agar Kristus memerintah sebagai seorang putera duniawi. Meskipun sudah lama Ia menyembunyikan rencana‑Nya, namun mereka percaya bahwa Ia tidak akan selamanya tinggal dalam kemiskinan dan dalam keadaan tidak dikenal; waktunya sudah dekat bila Ia akan mendirikan kerajaan‑Nya. Bahwa kebencian imam‑imam dan rabbi‑rabbi tidak pernah akan dikalahkan, bahwa Kristus akan ditolak oleh bangsa‑Nya sendiri, dihukum sebagai seorang penipu, dan disalibkan sebagai seorang penjahat, pikiran seperti itu tidak pernah timbul dalam hati murid‑murid. Tetapi saat kuasa kegelapan sudahlah dekat, dan Yesus harus memaparkan kepada murid‑murid‑Nya tentang pertentangan yang ada di depan mereka. Ia merasa sedih sementara Ia menantikan ujian itu.

Sampai saat itu Ia telah menahan diri dari memberitahukan kepada mereka sesuatu berkenaan dengan penderitaan dan kematian‑Nya. Dalam percakapan‑Nya dengan Nikodemus Ia berkata, "Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal." Yoh. 3:14, 15. Tetapi murid‑murid tidak mendengar hal ini dan sekiranya mereka mendengarnya, mereka tidak akan mengerti. Tetapi sekarang mereka sudah bersama‑sama dengan Yesus, mendengarkan perkataan‑Nya, melihat perbuatan‑Nya, sehingga meski pun keadaan di sekitar‑Nya sangat hina, dan Ia mendapat perlawanan dari pihak imam‑imam dan orang banyak, namun mereka dapat ikut serta dalam kesaksian Petrus, "Tuhanlah Kristus, Anak Allah yang hidup." Sekarang sudah tibalah saatnya selubung yang menyembunyikan masa depan pun tersingkaplah. "Daripada masa itu mulailah Yesus menyatakan kepada murid‑murid‑Nya bahwa Ia wajib pergi ke Yerusalem, lalu merasai banyak sengsara daripada orang tua‑tua, dan daripada kepala imam dan ahli taurat, sehingga dibunuh kemudian Ia bangkit pula pada hari yang ketiga."

Dalam keadaan bungkam karena kesedihan dan keheranan, murid‑murid mendengarkannya. Kristus telah menerima pengakuan tentang Dia sebagai Anak Allah, dan sekarang perkataan‑Nya yang menunjuk kepada penderitaan dan kematian‑Nya tampaknya tidak dapat dipahami. Petrus tidak dapat tinggal diam. Ia berpaut pada Tuhannya, seakan‑akan menarik Dia dari nasib yang mengancam, sambil berseru "Dijauhkan Allah, ya Tuhan! Sekali‑kali jangan perkara ini akan jadi pada‑Mu."

Petrus mengasihi Tuhannya, tetapi Yesus tidak memuji dia karena menyatakan kerinduan untuk melindungi Dia dari penderitaan. Perkataan Petrus tidaklah sedemikian rupa sehingga dapat menjadi suatu pertolongan dan penghiburan kepada Yesus dalam ujian besar yang dihadapi‑Nya. Hal itu tidak sesuai baik dengan tujuan rahmat Allah terhadap dunia yang hilang, mau pun dengan pelajaran pengorbanan diri yang hendak diajarkan Yesus oleh teladan‑Nya sendiri. Petrus tidak ingin melihat salib dalam pekerjaan Kristus. Kesan yang hendak diberikan oleh perkataannya sangatlah bertentangan dengan kesan yang hendak diberikan oleh Kristus pada pikiran para pengikut‑Nya, dan Juruselamat tergerak untuk mengucapkan salah satu tempelakan yang paling keras yang pernah keluar dari bibir‑Nya: "Pergilah ke belakang Aku, hai Iblis! Engkaulah menjadi suatu penyesat bagi‑Ku, karena bukannya engkau memikirkan barang daripada Allah, melainkan barang daripada manusia."

Setan berusaha mengecewakan Yesus, dan membalikkan Dia dari tugas‑Nya; dan Petrus dalam kasih yang buta, sedang memberikan suara kepada pencobaan. Putera kejahatan adalah sumber buah pikiran itu. Ajakannya ada di belakang permohonan yang membujuk itu. Di padang belantara, Setan telah menawarkan kerajaan dunia kepada Kristus dengan syarat meninggalkan jalan kerendahan hati dan pengorbanan. Sekarang ia mengemukakan pencobaan yang sama kepada murid Kristus. Ia sedang berusaha menetapkan pandangan Petrus pada kemuliaan duniawi, supaya ia tidak melihat salib yang diinginkan Yesus supaya dilihatnya. Dan dengan perantaraan Petrus, Setan sekali lagi melancarkan pencobaan kepada Yesus. Tetapi Juruselamat tidak menghiraukannya, pikiran‑Nya tertuju kepada murid‑Nya. Setan telah menyelang antara Petrus dan Tuhannya, supaya hati murid itu tidak akan terharu oleh memandang peri hal Kristus direndahkan baginya. Perkataan Kristus diucapkan, bukannya kepada Petrus, melainkan kepada seorang yang sedang berusaha memisahkan dia dari Penebusnya. "Pergilah ke belakang Aku, hai Iblis." Jangan lagi menyelang antara Aku dengan hamba‑Ku yang mudah berbuat kesalahan. Biarlah Aku datang muka dengan muka dengan Petrus, supaya Aku menyatakan rahasia kasih‑Ku kepadanya.

Hal itu menjadi suatu pelajaran yang pahit bagi Petrus, dan yang dipelajarinya dengan lambatnya, bahwa jalan Kristus di dunia ini terletak melalui kesengsaraan dan sifat merendahkan diri. Murid itu mundur dari persekutuan dengan Tuhannya dalam penderitaan. Tetapi dalam kepanasan dapur api ia harus mempelajari berkatnya. Lama sesudah saat itu, ketika tubuhnya yang selalu giat bekerja sudah bungkuk karena pekerjaan bertahun‑tahun lamanya, ia menulis, "Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu heran akan nyala api siksaan yang datang kepadamu sebagai ujian, seolah-olah ada sesuatu yang luar biasa terjadi atas kamu. Sebaliknya, bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaan-Nya." 1 Petr. 4:12, 13.

Sekarang Yesus menjelaskan kepada murid‑murid‑Nya bahwa hidup‑Nya sendiri yang penuh penyangkalan diri merupakan suatu teladan untuk hidup mereka yang semestinya. Setelah memanggil orang banyak yang tinggal lama‑lama di dekat tempat itu untuk datang kepadaNya dengan murid‑murid‑Nya, Ia berkata, "Jikalau barang siapa hendak mengikut Aku haruslah ia menyangkali dirinya serta menanggung salibnya, lalu mengikut Aku." Salib itu dihubungkan dengan kuasa Roma. Itulah alat untuk jenis kematian yang paling bengis dan menghinakan diri. Para penjahat yang paling hina dituntut menanggung salib ke tempat pelaksanaan hukuman mati; dan sering ketika salib itu sudah hampir diletakkan di atas bahu, mereka menolak dengan kekerasan yang penuh perasaan putus asa, sampai mereka dikuasai, dan alat penyiksa diikatkan pada mereka. Tetapi Yesus menyuruh para pengikut‑Nya mengangkat salib dan menanggungnya seperti Dia. Bagi murid‑murid, perkataan‑Nya, meski pun dipahami dengan samar‑samar, menunjukkan kepada penyerahan diri mereka kepada sifat merendahkan diri yang paling pahit, penyerahan diri meski pun sampai kepada maut karena nama Kristus. Tidak ada penyerahan diri yang lebih sempurna dapat digambarkan oleh perkataan Juruselamat. Tetapi segala perkara ini telah diterima‑Nya bagi mereka. Yesus tidak menganggap surga suatu tempat yang dirindukan sementara kita dalam keadaan hilang. Ia meninggalkan istana surga untuk hidup yang penuh celaan dan hinaan, serta kematian yang memalukan. Ia yang kaya dengan harta benda surga yang tak ternilai, menjadi papa, supaya oleh kepapaan‑Nya kita boleh menjadi kaya. Kita harus mengikuti jalan yang ditempuh‑Nya.

Kasih bagi jiwa‑jiwa yang baginya Kristus mati berarti menyalibkan diri sendiri. Sejak saat itu ia yang menjadi seorang anak Allah harus memandang dirinya sebagai suatu mata rantai dalam rantai yang diulurkan untuk menyelamatkan dunia, satu dengan Kristus dalam rencana kemurahan‑Nya, keluar dengan Dia untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang. Orang Kristen harus senantiasa menyadari bahwa ia sudah memusatkan dirinya kepada Allah, dan bahwa dalam tabiat ia harus menyatakan Kristus kepada dunia. Pengorbanan diri, simpati, kasih yang ditunjukkan dalam kehidupan Kristus hendaknya kelihatan kembali dalam kehidupan pekerja Allah.

"Karena barang siapa yang hendak memeliharakan nyawanya, ia akan kehilangan nyawa; tetapi barangsiapa yang kehilangan nyawanya oleh karena Aku, ialah akan memeliharakan nyawa." Sifat mementingkan diri adalah kematian. Tidak ada alat tubuh dapat hidup sekiranya pelayanannya dibatasinya baginya sendiri. Jantung yang gagal mengirimkan darah yang memberi hidup ke tangan dan kepala, akan segera kehilangan kekuatannya. Sebagaimana darah yang memberi hidup, demikian juga halnya dengan kasih Kristus yang tersebar melalui setiap bagian tubuh‑Nya yang bersifat gaib. Kita adalah anggota‑anggota satu dengan yang lain, dan jiwa yang enggan membagikan akan binasa. Dan "apakah untungnya kepada seorang," kata Yesus, "Jikalau ia beroleh segenap dunia ini, tetapi jiwanya binasa?" Atau apakah yang patut diberi orang akan menebus jiwanya?"

Di balik kemiskinan dan kehinaan masa sekarang, Ia mengalihkan perhatian murid‑murid kepada kedatangan‑Nya dalam kemuliaan, bukannya dalam keindahan takhta duniawi, melainkan dengan kemuliaan Allah dan balatentara surga. Dan kemudian la berkata, "Ia akan membalas kepada tiap‑tiap orang menurut perbuatannya." Kemudian untuk memberanikan mereka Ia memberikan janji, "Dengan sesungguhnya Aku berkata kepadamu; ada beberapa orang yang herdiri di sini, yang tiada akan merasai mati sebelum dilihatnya Anak Manusia datang dengan kerajaan‑Nya." Tetapi murid‑murid tidak mengerti perkataan‑Nya. Kemuliaan tampaknya sangat jauh. Mata mereka menatapi pandangan yang lebih dekat, hidup dalam kemiskinan di dunia, kehinaan, dan penderitaan. Apakah harapan mereka yang menggembirakan tentang kerajaan Mesias harus dibatalkan? Tidakkah mereka akan melihat Tuhan mereka dinaikkan ke takhta Daud? Mungkinkah Kristus harus hidup sebagai seorang kelana yang hina dan tidak berumah, dihinakan, ditolak, dan dibunuh? Kesusahan menekan hati mereka karena mereka mengasihi Tuhan. Kebimbangan juga mengganggu pikiran mereka, karena tampaknya tidak masuk akal bahwa Anak Allah harus ditaklukkan kepada kehinaan sekejam itu. Mereka menanyakan mengapa Ia rela pergi ke Yerusalem untuk menghadapi perlakuan yang telah dikatakan‑Nya kepada mereka harus didapat‑Nya di sana. Bagaimanakah Ia dapat menyerah pada nasib seperti itu, dan meninggalkan mereka dalam kegelapan yang lebih besar daripada kegelapan yang dalamnya mereka meraba‑raba sebelum Ia menyatakan diri‑Nya kepada mereka?

Murid‑murid memberikan alasan bahwa di daerah Kaisaria Pilipi, Kristus tidak dapat dicapai oleh Herodes dan Kayapas. Tidak suatu pun dikhawatirkan‑Nya dari kebencian orang Yahudi atau dari kuasa orang Roma. Mengapa tidak bekerja disana jauh dari orang Farisi? Mengapa Ia perlu menyerahkan diri‑Nya kepada kematian? Jika Ia harus mati, bagaimanakah boleh jadi kerajaan‑Nya akan didirikan dengan teguh sehingga pintu alam maut pun tidak akan mengalahkan dia? Bagi murid‑murid hal ini sungguh merupakan suatu rahasia.

Pada saat ini mereka sedang mengadakan perjalanan sepanjang pesisir Laut Galilea ke arah kota di mana segala harapan mereka akan dihancurkan. Mereka tidak berani memprotes Kristus, tetapi mereka bercakap‑cakap bersama‑sama dalam nada yang rendah dan sedih mengenai apa yang akan terjadi pada masa depan. Di tengah kesangsian mereka sekali pun mereka berpegang pada anggapan bahwa sesuatu keadaan yang tidak diharapkan lebih dulu dapat mengelakkan nasib yang tampaknya menunggu Tuhan mereka. Demikianlah mereka susah hati dan bimbang, harap‑harap cemas, selama enam hari yang suram itu.

No comments: