Sejarah Dunia Kuno

2021 a year of miracles and 'unlocking' millions

May 2, 2013

Pemikiran Politik Konstantinus Agung

Konstantinus Agung (272-337 M) lahir di Niš (sekarang Serbia) dari pasangan kaisar Konstantinus Khlorus dan Helena. Ia menguasai wilayah barat kekaisaran Roma setelah mengalahkan saingannya, Maxentius, pada perang Ponte Milvius tahun 312. Konon, sebelum pertempuran Konstantinus memandang ke arah matahari dan melihat sebuah salib di langit dengan tulisan "Εν Τουτω Νικα" ("dengan ini, taklukkanlah!", sering diartikan dalam bahasa Latin "in hoc signo vinces"). Konstantinus lalu memerintahkan seluruh pasukannya agar menandai perisai mereka dengan simbol Kristus (chi-rho, dua huruf pertama dari Χριστος) sebelum akhirnya mereka memenangkan pertempuran.

Penglihatan ini membawa dampak yang besar bagi sejarah Gereja. Sebab, kemenangan Konstantinus ini tidak hanya menunjukkan kemenangan politis, tapi juga awal berdirinya "Gereja Konstantinus". Dari sinilah Konstantinus mulai bersimpati pada jemaat Kristen dan iman mereka walaupun ia baru dibaptis menjelang kematiannya. Terlepas dari benar-tidaknya cerita tersebut, babak baru sejarah Gereja akan dimulai.

EDIK MILANO: Penganiayaan Berakhir

Sejak tahun 64, jemaat Kristen mengalami pengejaran dan penyiksaan di bawah pemerintahan para kaisar Romawi, terutama Nero, Decius, dan memuncak pada Diocletianus. Namun, politik penganiayaan ini ternyata terbukti gagal. Ketika jemaat Kristen ditekan habis-habisan, mereka justru berkembang semakin kuat, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Semangat heroik dan siap mati syahid (martir) merupakan inner force yang tidak terkalahkan; adalah suatu kemuliaan dapat mati karena membela iman akan Kristus.

Zaman penganiayaan ini berakhir tidak lama setelah Konstantinus Agung menjadi kaisar Barat. Pada tahun 313, bersama dengan Licinius, kaisar Timur, Konstantinus Agung menetapkan Edik Milano yang merupakan pengakuan defintif atas toleransi beragama bagi seluruh warga di wilayah kekaisaran Roma. Dalam edik tersebut dinyatakan beberapa hal: (1) warga bebas memeluk agama masing-masing; (2) warga bebas beribadah seturut agamanya; (3) segala hak milik Gereja yang telah dirampas oleh kekaisaran akan dikembalikan seluruhnya. Sekilas, Edik Milano membawa angin segar bagi jemaat Kristen. Penganiayaan diakhiri, serta eksistensi Kristianitas diakui secara resmi dan positif. Kini tidak perlu lagi ada darah tertumpah karena iman akan Kristus.

Akan tetapi, justru di sinilah masalah mulai muncul. Di satu sisi, Eusebius Caesara menekankan betapa Konstantinus Agung menjadi seorang "pahlawan". Di sisi lain, perubahan yang berbeda 180 derajat itu tentu menimbulkan kebingungan di kalangan jemaat. "Pertobatan" Konstantinus Agung rupanya terlalu indah untuk menjadi kenyataan—it is just too good to be true. Semangat siap-mati-demi-Kristus yang semula menjadi resiko yang harus diterima jika seseorang beriman Kristen tiba-tiba menjadi tidak relevan (!) lagi karena situasi sudah berubah total. Mereka yang menyayangkan hilangnya semangat asal Gereja tersebut kelak pergi mengasingkan diri ke tempat yang sunyi, misalnya padang gurun, dan menjalani kehidupan askese—dari sinilah embrio tradisi hidup monastik dimulai.


KEKUASAAN GEREJA: Perkawinan Agama dan Politik

Edik Milano sesungguhnya memberikan kebebasan bagi eksistensi setiap agama di wilayah kekaisaran Roma. Namun, pada perkembangan selanjutnya, Konstantinus Agung ternyata semakin berpihak pada Gereja. Di tingkat akar rumput, agama Kristen menjadi superior dan lebih populer dibandingkan agama kafir yang lebih dulu ada. Karena tidak diperhatikan pemerintah, agama-agama ini mulai ditinggalkan warga dan secara bertahap terjadilah kristenisasi massal; walau kebanyakan bermotif politis dan akses pada fasilitas semata, sebab banyak orang Kristen yang diangkat menjadi pegawai negeri menduduki posisi-posisi strategis.

Pada tahun 324, setelah mengalahkan Licinius dan dengan demikian menjadi penguasa tunggal di seluruh wilayah kekasiaran Roma, Konstantinus Agung memberikan fasilitas yang sangat besar bagi Gereja. Sejumlah basilika megah dibangun, menandai dimulainya gaya "arsitektur Kristen". Dalam hal liturgi, tata ibadah mulai dibakukan serta hari Minggu diakui sebagai hari pesta. Perubahan juga terjadi pada kebijakan yang mendukung penghormatan pada kemanusiaan: kondisi perbudakan diperbaiki dan bentuk hukuman narapidana lewat pertarungan dengan gladiator di colloseum pun dihapus. Dalam bidang kelembagaan, administrasi Gereja dibentuk mirip dengan administrasi Negara; maka, didirikanlah provinsi-provinsi gerejawi yang masing-masing dipimipin oleh uskup metropol, dan provinsi-provinsi yang lebih besar oleh batrik.

Di sisi lain, ekses kekuasaan duniawi Gereja tampak semakin nyata ketika Konstantinus Agung memindahkan ibukota kekaisaran dari Roma ke Konstantinopel pada tahun 331. Para uskup diberi wewenang untuk mengadili dan memutuskan perkara-perkara orang Kristen dan non-Kristen. Di sinilah Gereja mulai terjun ke dunia politik praktis. Mereka cenderung untuk mengurus masalah jaminan ekonomi sebagai pegawai pemerintah dan melupakan perkembangan iman jemaat. Akibatnya, kharisma sebagai pemimpin spiritual terdegradasi, berbanding terbalik dengan naiknya pendapatan ekonomi dan harga diri. Para uskup menjadi tergoda untuk menyalahgunakan harta kekayaan Gereja yang berlimpah. Segelintir kaum klerus yang bisa menikmati privilese tersebut cenderung membentuk suatu kelompok elit, dewan Gereja.

KONSILI NICEA I: Kontra-Arianisme, Awal Caesaropapisme

Di tengah situasi yang damai, Gereja harus menghadapi masalah teologis seputar keilahian Kristus. Yang paling berpengaruh saat itu adalah Arianisme. Paham ini dirintis oleh Arius, seorang imam dari Aleksandria. Ia beranggapan bahwa Putra (Logos, Sabda) tidak sederajat dengan Allah. Allah memang tidak diperanakkan, tetapi karena Putra diperanakkan dari Allah, maka Putra bukanlah Allah. Putra memiliki suatu permulaan dalam keberadaan-Nya; dengan kata lain, ada saat ketika Putra bukanlah Allah.

Sesungguhnya, konsili Nicea tidak perlu diadakan jika saja Arianisme tidak merebak dan berpengaruh begitu luas di kalangan jemaat. Konstantinus Agung, yang khawatir kekaisaran akan goyah jika terjadi perpecahan dalam tubuh Gereja, pada akhirnya mengundang uskup-uskup di seluruh kekaisaran Roma untuk mengadakan konsili di Nicea tahun 325. "Perpecahan dalam Gereja," katanya, "adalah lebih buruk daripada perang." Demikianlah diputuskan dalam konsili tersebut: Putra adalah Allah; Ia berasal dari hakikat yang sama, homoousios dengan Bapa. Rumusan yang baku: ex substantia Patris – genitum, non factum-consubstantialis Patri. Keputusan ini memang tidak serta-merta menyurutkan ajaran Arianisme dan para pengikutnya. Namun, setidaknya lewat konsili yang "terpaksa diadakan" ini, Gereja pun memiliki rumusan doktrin imannya.

Di sisi lain, mengingat bahwa inisatif berasal bukan dari para uskup, melainkan Konstantinus Agung, konsili Nicea dapat dianggap sebagai awal mula caesaropapisme. Gereja taat dan patuh sama sekali kepada kepalanya, yakni kaisar, tetapi Gereja sebagai pelayan pertama kaisar sekaligus mendapat kehormatan yang terbesar. Dengan kata lain, kaisar telah mencampuri urusan internal Gereja sehingga batas-batas antara fungsi Gereja dan kekaisaran menjadi kabur. Kaisar mempunyai wewenang mutlak untuk mengontrol Gereja, bahkan dalam hal perumusan dan pelaksanaan doktrin Gereja yang seharusnya merupakan wilayah eksklusif Gereja. Hal ini akan tampak semakin jelas pada Edik Tesalonika tahun 380 yang menetapkan agama Kristen sebagai agama Negara.

No comments: