Sejarah Dunia Kuno

2021 a year of miracles and 'unlocking' millions

May 3, 2013

Kudeta Mekkah : Sejarah yang tak terkuak

Pada 20 November 1979, sebuah peristiwa besar terjadi di Kota Suci Mekkah. Sekelompok orang bersenjata pimpinan Juhaiman al-Utaibi, seorang Islamis radikal, menguasai Masjid al-Haram. Mereka memprotes kebobrokan Pemerintah Arab Saudi dan aliansinya dengan Barat. Gejolak politik di tanah suci meledak. Lalu, baku tembak antara pengikut Juhaiman dengan tentara Arab Saudi pun tak terelakkan.Mulanya, tentara Saudi dibuat keteteran oleh perlawanan Juhaiman dan pengikutnya. Tetapi akhirnya, dengan bantuan beberapa pimpinan militer Prancis, tentara Saudi berhasil melumpuhkan "pemberontakan" kelompok Islam radikal tersebut. Sebagai hukumannya, Juhaiman dan pengikutnya yang tertangkap hidup-hidup kemudian dipenggal kepalanya, eksekusi penggal kepala ini dilaksanakan di beberapa kota di Saudi sebagai peringatan bagi siapa pun yang berusaha makar terhadap pemerintah.Merujuk fatwa para ulama berpengaruh, Pemerintah Saudi mendakwa mereka melakukan tindakan sesat: mendeklarasikan munculnya Imam Mahdi yang tewas dalam pertempuran itu sebagai penyelamat dunia; serta menguasai dan menjadikan Masjid al-Haram, tempat tersuci umat Muslim, sebagai medan pertempuran dan kekerasan, yang sangat jelas dilarang oleh agama.Peristiwa itu menjadi bagian penting dari sejarah modern Kota Mekkah. Meski demikian, kebanyakan orang, terutama kaum Muslim, tak paham apa yang sejatinya terjadi saat itu. Maklum, ketika peristiwa itu berlangsung, Pemerintah Saudi melarang keras media massa meliput dan memberitakannya. Tak hanya itu, jaringan telepon, telegram, dan surat-menyurat pun diputus. Alhasil, tak ada celah bagi siapa pun untuk dapat mengakses peristiwa itu dari luar tempat kejadian.Pada tahun 2006, dua puluh tahun kemudian, Yaroslav Trofimov berusaha menyusun kembali serpihan sejarah atas kejadian itu. Untuk menyibak detail peristiwa yang tak terkuak khalayak itu, Trofimov memburu sumber-sumber penting dan tepercaya, antara lain: pelaku 'gerakan 1979' yang masih hidup; Paul Barril, kepala misi pasukan Prancis saat itu; tentara Arab Saudi; Perpustakaan British, satu-satunya tempat di Eropa yang menyimpan pelbagai surat kabar Saudi tahun 1979; arsip Pemerintah AS dan Inggris yang berisi laporan rahasia dari para diplomat dan mata-mata; serta CIA dan British Foreign Office.Para pengamat politik dan sejarawan menganggap kejadian itu sebagai insiden lokal semata dan karena itu tak bersangkut-paut dengan peristiwa internasional yang belakangan merebak: terorisme.Tetapi penulis buku ini, Yaroslav Trofimov, berpendapat sebaliknya. Menurutnya, peristiwa itu merupakan akar sejarah gerakan terorisme global, terutama yang dimotori al-Qaeda. Siapa dan di mana Osama Bin Laden kala itu, sehingga petinggi al-Qaeda ini dihubung-kaitkan dengan peristiwa tersebut? Padahal ketika peristiwa itu terjadi, keluarga besar Bin Laden termasuk dalam barisan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi yang mendukung penumpasan gerakan 1979.

YAROSLAV TROFIMOV adalah koresponden luar negeri The Wall Street Journal. Ia banyak melaporkan tulisannya ihwal agama dan perubahan sosial di wilayah negara Muslim, termasuk Indonesia. Sebelum hijrah ke Amerika Serikat untuk belajar jurnalisme dan ilmu politik di New York University, pria kelahiran Kiev, Ukraina, tahun 1969 ini menghabiskan masa kecilnya di Madagaskar, Afrika. Karyanya, Faith at War: A Journey on the Frontlines of Islam, from Baghdad to Timbuktu, termasuk salah satu buku terbaik versi The Washington Post.

Belum pernah ada tinjauan atas peristiwa 20 November 1979tidak juga atas tragedi 11 September 2001yang dilaporkan dengan kemampuan jurnalistik dan tutur sejarah, seperti yang ada dalam karya Yaroslav Trofimov ini. Pada awal abad ke-15 Hijriyah, sebuah kelompok bersenjata pimpinan seorang Islamis radikal bernama Juhaiman al-Utaibi menguasai Masjid al-Haram di Kota Suci Mekkah, salah satu tempat tersuci umat Islam. … Butuh waktu 30 tahun untuk bisa memahami peristiwa ini dalam konteksnya, dan Trofimov bekerja sangat baik dalam memaparkannya secara gamblang.

Kirkus Review

Trofimov merekam sebuah insiden yang tak terpublikasi di Barat: kekerasan dalam pengambil-alihan tempat tersuci umat Islam oleh kaum Muslim fundamentalis pada 1979. Trofimov begitu ahli dalam merangkai cerita sejarah, memadukan teologi mesianistik dengan kekerasan pada tempatnya, serta sangat berani dalam membongkar praktek korupsi yang sangat parah dari suatu negara dengan komplisitas institusi agama. Trofimov dengan tepat menunjukkan masalah-masalah regional yang akut, dengan reaksi abadi terhadap perang melawan teror… Pembaca awam akan sangat terbantu oleh buku ini, untuk memahami kaum fundamentalis Muslim dalam kaitannya dengan terorisme.

Publishers Weekly

Yaroslav Trofimov telah menulis karya yang sangat mengesankan. Diramu dengan begitu hidup, untuk detail-detail peristiwa yang tak tersingkap di masa lalu. Dia mengungkap krisis sandera yang sangat sedikit diketahui di jantung dunia Muslim…. Setelah mulai membaca buku ini, saya pun tak kuasa meletakkannya.
Rajiv Chandrasekaran, asisten editor pada The Washingtong Post.

Ketika Yaroslav Trofimov memaparkan dengan begitu lengkap dan kuat, kebanyakan partikel radioaktif di dunia kini bukan lagi berada di Korea Utara, Iran, atau bahkan Amerika Serikat. Namun, ada kontradiksi lain yang lebih mengerikan, yakni kerajaan Arab Saudi. … dan dia mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang terjadi atau yang bakal terjadi di sana adalah sumber utama perhatian dunia.

Tom Bissell, editor pada Virginia Quarterly Review.

Penelitian Trofimov mengenai pengambil-alihan Masjid al-Haram di Mekkah oleh kelompok militan Islam dimulai dengan mengetahui seluruh ancaman politik yang menakutkan. Penulis lalu menguji bagaimana aksi jihad global ini, yang diberitakan di Barat, menginspirasi generasi teroris hari ini. Trofimov, seorang reporter Wall Street Journal, memberi konteks melalui sebuah sejarah yang hidup mengenai akar dan bangkitnya ultra-fundamentalis Wahhabi, serta menghadirkan kembali pertempuran di masjid tersebut dengan begitu eksploratif, seolah menjadi pemandangan yang mengerikan. Kegemparan yang diciptakan secara berkala tersebut tidak mengurangi alasan Trofimov bahwa Osama bin Laden dan gerakannya adalah ideologi warisan kaum radikal Mekkah, tapi dengan sumber daya yang jauh lebih besar.

Jen Itzenson, Portfolio Magazine

Saat Revolusi Iran tahun 1979 terbentang, orang-orang Saudi dibuat cemas dan malu oleh sebuah tragedi pengambil-alihan Masjid al-Haram di Mekkah pada tahun 1979. Serangan untuk merebut kembali tempat tersuci umat Islam tersebut menyeret pada suasana berdarah, menampakkan kecurangan dan ketidakcakapan pemerintah Saudi pada taraf yang sangat akut. Trofimov menjelaskan, bahwa tekanan yang begitu keras hampir saja menghilangkan sebuah babak dalam kisah teror Muslim radikal.

Berawal dari Mimpi dan Kebencian

Awal Muharam 1400 Hijriyah, Kota Suci Mekkah terlihat tenang. Hari itu, 20 November 1979, saat fajar abad baru Islam mulai menyingsing, sekitar 100 ribu anggota jemaah haji umrah dari pelbagai penjuru dunia membaur dengan penduduk lokal. Berbondong-bondong mereka menuju Masjid Al-Haram untuk menunaikan salat subuh.

Dengan kaki telanjang, jemaah merendahkan kepalanya, bersujud di lantai masjid, melingkar menuju satu titik pusat: Ka'bah. Seusai salat, imam masjid Muhammad bin Subail mengambil pengeras suara dan membaca doa. Persis saat sang imam menutup doa dengan harapan akan kedamaian di muka bumi, tiba-tiba terdengar bunyi letusan. Gelegar suaranya menggema menghantam tembok dan pilar masjid.

Seorang pemuda dengan menggenggam senjata api laras panjang menyibak kerumunan, melangkah maju menuju Ka'bah. Belasan pemuda lainnya menembak kerumunan merpati yang bergerombol di atas bangunan plaza di luar Masjid Al-Haram. Polisi masjid yang hanya bersenjata tongkat perlahan menjauh begitu mengetahui dua penjaga pintu yang mencoba melawan tewas dihajar peluru.

Di tengah keributan, Juhaiman al-Utaibi, pemimpin gerombolan pengacau itu, muncul dari dalam masjid. Matanya hitam memikat, rambutnya sebahu, dan jenggotnya hitam berombak. Laki-laki Badui berumur 43 tahun itu memakai jubah tradisional Saudi berwarna putih yang dipotong pendek di pertengahan kaki, sebagai simbol penolakan terhadap kekayaan materi.

Diapit tiga anggota kelompok militan bersenjata bedil, pistol, dan belati, Juhaiman menerobos kerumunan menuju Ka'bah. Rasa ngeri terpancar dari raut wajah sang imam tatkala tanpa rasa hormat, Juhaiman mendorong gurunya itu ke samping dan merebut mikrofon. Ulama itu mencoba bertahan, tapi hunusan belati salah seorang perusuh memaksanya mundur.

Melalui mikrofon, Juhaiman memerintahkan anak buahnya mengepung masjid, menutup semua jalan keluar, dan menaiki tujuh menara setinggi 89 meter. Dari menara masjid bisa terlihat jantung Kota Mekkah dan memberi ruang bagi para penembak jitu yang tersembunyi. Proses pengambilalihan tempat tersuci umat Islam itu berlangsung cepat dan sempurna.

Saat berikutnya, pengeras-pengeras suara masjid mengabarkan pesan menge- jutkan bagi 1 miliar muslim sedunia. Diselingi suara tembakan, Juhaiman mengabarkan bahwa ramalan yang ditunggu telah terpenuhi, Imam Mahdi yang dinanti telah tiba dan sekarang menduduki Al-Haram. Sejak itu dimulailah peperangan yang telah membuat Mekkah berlumuran darah.

Horor di Masjid Al-Haram itu dikenang dunia sebagai salah satu peristiwa paling berdarah dalam sejarah Kerajaan Arab Saudi modern. Yaroslav Trofimov, mantan wartawan The Wall Street Journal, mengangkatnya ke dalam buku yang terjemahannya baru saja diluncurkan Alvabet pada pengujung tahun silam.

Supaya pembaca lebih memahami latar belakang pendudukan itu, Trofimov melengkapi laporannya dengan sejarah hidup Juhaiman, pemimpin pemberontak yang mendaulat temannya, Muhammad Abdullah al-Qahtani, sebagai Imam Mahdi yang bakal menyelamatkan dunia.

Ayah Juhaiman adalah anggota Ikhwan. Kelompok ini dibentuk Abdul Aziz, dari kaum Badui Najd yang nomaden, pada awal 1900-an. Kepiawaian tempur dan kebuasan Ikhwan dipakai Aziz untuk menyatukan jazirah Arab. Setelah Abdul Aziz berhasil menyatukan hampir seluruh jazirah, ia melarang Ikhwan mengganggu peziarah Mekkah dan Madinah yang non-Wahhabi. Aziz juga memberi keleluasaan kepada Syiah di pesisir timur serta melarang Ikhwan berjihad melawan kaum bidah dan orang kafir. Ikhwan yang merasa dikhianati pada 1927 menyerang Irak dan Kuwait yang diperintah Inggris. Dengan persetujuan Raja Abdul Aziz, Angkatan Udara Inggris mengebom kemah Ikhwan. Ratusan pria, perempuan, dan anak-anak terbunuh.

Yaroslav menyebut pendudukan Al-Haram sebagai akar sejarah terorisme global, terutama yang dimotori Usamah bin Ladin dan Al-Qaidah. Ketika pemberontakan itu meletus, Usamah muda, seperti kebanyakan muslim Arab Saudi dan sekitarnya, sangat menolak pembantaian besar-besaran di Mekkah yang dibantu Barat. Peristiwa ini pula yang kemudian meruntuhkan loyalitas mereka kepada Kerajaan Arab Saudi.

Gaya penulisan buku ini yang cukup serius sebenarnya bisa dibuat lebih santai dan ringkas dengan penghalusan teknik penulisan. Sebagai seorang jurnalis, sangat disayangkan Yaroslav tidak menampilkan tulisan yang lebih hidup sebagaimana layaknya laporan jurnalistik. Sebagai jurnalis, semestinya pula Yaroslav mampu menampilkan laporan yang lebih berwarna, tidak linier, dari berbagai sudut pandang, tidak hanya satu sudut pandang.

Begitupun, sebagai sebuah karya dokumentasi buah kerja keras pengarangnya selama setahun menempuh 100 ribu mil perjalanan udara, buku ini sangat patut dikoleksi. Setidaknya bisa menjadi referensi yang cukup padat untuk memahami sebuah peristiwa sejarah

Menguak Tragedi 'Kudeta Mekkah' 1979

Mekkah, pagi hari di awal bulan Muharram 1400 Hijriah, awal abad baru kalender Islam, tepatnya 20 November 1979 Masehi, terjadi peristiwa menggemparkan bagi satu miliar umat muslim dan dunia internasional. Sekelompok orang bersenjata –kebanyakan dari mereka adalah orang Arab Badui– pimpinan Juhaiman al-Utaibi, dengan dalih mengganggap kekuasaan Arab Saudi saat itu tidak sah dan melenceng dari nilai-nilai Islam, mengambil alih secara paksa tempat tersuci umat Islam, Masjid al-Haram.

Peristiwa itu menjadi bagian penting dari sejarah modern Kota Mekkah.
Namun, kaum muslim sendiri tak paham apa yang sejatinya terjadi, dan para pengamat politik maupun sejarawan hanya menganggap kejadian itu sebagai inseden lokal semata. Tetapi, Yaroslav Trofimov, Jurnalis The Wall Street Journal, melalui bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Kudeta Mekkah: Sejarah yang Tak Terkuak menganggap lain. Menurutnya, 'Kudeta Mekkah', sebuah gerakan jihad di masa modern itu merupakan awal dari akar sejarah gerakan terorisme global, dan semuanya dimulai di pagi November itu, di bawah bayang-bayang Kakbah.

Juhaiman al-Utaibi dan Muhammad Abdullah al-Qahtani menjadi aktor utama dalam insiden berdarah itu. Juhaiman adalah pemimpin `Kudeta Mekkah', seorang pria dari kaum Muhajir-Sajir dan mantan kopral pasukan Garda Nasional Arab Saudi. Sedangkan Muhammad Abdullah al-Qahtani adalah seorang mahasiswa Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud Riyadh yang berasal dari Provinsi Selatan Asir yang dianggap Imam Mahdi.

Juhaiman muda berprofesi di pasukan Garda Nasional, ia menggunakan waktu luangnya untuk menghadiri kuliah-kuliah Islam di Mekkah dan di Madinah. Salah seorang guru yang menjadi anutannya adalah Abdul Aziz bin Baz. Ibn Baz, panggilan beliau, merupakan ulama Wahhabi –sebuah paham dalam agama Islam yang menyuarakan kemurnian ajaran Islam dengan segala yang pernah dipratikkan Nabi Muhammad SAW– yang kritis. Ia berani menyuarakan kritik apa pun terhadap pihak kerajaan sekalipun.

Untuk menyegarkan kembali paham Wahhabi, Ibn Baz mengembangkan gerakan
dakwah baru yang dinamai Dakwah Salafiyah al-Muhtasiba. Gerakan ini dengan cepat meluas ke seluruh penjuru Arab Saudi. Gerakan ini menarik sebagian besar kaum muda termasuk Juhaiman. Dari sini, Juhaiman bertemu seorang mahasiswa berusia dua puluh tahunan, Muhammad Abdullah al-Qahtani.

Melalui pelbagai diskusi dan kuliah keagamaan yang Juhaiman hadiri, panda- ngannya mengenai bagaimana masyarakat Islam ideal terbentuk. Ia mulai menulis serangkaian risalah yang merangkum kontradiksi- kontradiksi negara Arab Saudi saat itu. "Tidak ada cara sederhana untuk merekonsiliasi antara superioritas yang melekat pada Islam dengan apa pun yang diadopsi dari luar, juga ketergantungan memalukan Arab Saudi kepada Amerika serta negara-negara Barat lainnya" tulis Juhaiman. Dengan tegas, ia juga menulis bahwa monarkhi Arab Saudi yang ada sekarang adalah haram. Tidak hanya itu, ia menyinggung akan munculnya Imam Mahdi, sang juru selamat yang akan menyelamatkan kaum muslim, memerintah dunia Islam dan mendirikan masyarakat ideal.

Pada awal 1978, ketika gerakan Juhaiman menemukan momentumnya, ia merasa harus memublikasikan tulisan-tulisannya, menjangkau khalayak baru sekaligus meyakinkan bahwa ide-idenya tidak menyimpang. Segera, buku kecil biru dan hijau setebal 170 halaman berjudul Tujuh Risalah menyebar di kampus-kampus di Mekkah, Madinah, Iran, Irak bahkan Mesir dengan cara diselundupkan.

Dukungan dan simpati terus mengalir sejak saat itu, membuat juhaiman dan pengikutnya semakin yakin tentang kedatangan Imam Mahdi. Juhaiman mulai menyiapkan langkah selanjutnya, mengumpulkan pengikut-pengikut setianya, menyiapkan persenjataan untuk melindungi Imam Mahdi dan membekali dengan perbekalan makanan dalam jumlah banyak.

Ratusan pengikut Juhaiman dari Arab Saudi maupun dari luar sudah berkumpul di Mekkah sejak musim haji 1399 H. Mereka terdiri dari pelbagai rombongan. Di akhir 1399 H, Juhaiman dan Muhammad Abdullah akhirnya muncul di Mekkah, mengawasi Masjid al-Haram malam itu sebelum melakukan pengambil-alihan esok harinya.

Tepat setelah Imam Masjid al-Haram menutup doa menyambut pergantian tahun, peristiwa berdarah itu dimulai. Juhaiman dan Muhammad al-Qahtani berdiri di bawah bayangan Kakbah, di antara kuburan Ismail dan Hajar, serta sebuah batu besar yang terdapat jejak kaki Ibrahim.
"Atas nama Allah yang Mahapemurah lagi Mahapenyayang, inilah Imam Mahdi yang ditunggu," seru Juhaiman. "Bersumpah setialah kepada saudara Muhammad al-Qahtani," lanjutnya.

Setelah selesai pembaiatan, para pengikutnya menyebarkan buku Tujuh Risalah itu ke kerumunan jamaah yang disandera. Sementara itu, yang lain bersiap-siap di menara, gerbang pintu dan bagian Masjid al-Haram lainnya, mencoba menghalangi siapa pun yang akan menggagalkan munculnya Imam Mahdi.

Peperangan tidak bisa dielakkan lagi. Setelah dua minggu baku tembak terjadi antara pengikut Juhaiman dan tentara Saudi, Juhaiman berhasil ditangkap dan Muhammad Abdullah al-Qahtani tewas tertembak. Peristiwa berdarah itu menelan korban resmi sekitar 270 orang termasuk jamaah haji. Namun para pengamat independen dan saksi memperkirakan jumlah korban sekitar 1.000 orang, bahkan bisa jadi lebih. Akibat `Kudeta Mekkah' itu juga, beberapa bagian Masjid al-Haram rusak parah –meski tak merusaki Kakbah secuil pun.

Menurut Trofimov, pada tahun-tahun setelah tragedi 1979, Pemerintah Saudi mencoba sekuat tenaga menghapus peristiwa berdarah itu dari memori publik dan menganggapnya hanya insiden lokal semata. Perihal Juhaiman dihindari oleh sejarawan Saudi dan diabaikan dalam buku teks negara, menurut sang penulis kelahiran Ukraina itu, merupakan langkah yang keliru. Pemerintah Saudi telah membersihkan orang-orang yang terlibat di dalamnya tetapi mengabaikan ideologi yang berada dibelakangnya dan membiarkan itu tersebar di negeri itu.

Langkah yang keliru itu menjadikan pengaruh keberanian Juhaiman masih membe kas di hati sebagian orang dan para pengikutnya sampai saat ini. Salah satunya adalah Osama bin Laden. Terkejut oleh keganasan perang Mekkah, dia tidak dapat menahan perasaan simpati thdp Juhaiman dan motif emberontakannya. Ketika Osama keluar dari Saudi pada 1990-1991, dia mulai mengulang hampir kata demi kata penolakan Juhaiman terhadap kekuasaan Saudi.

Invasi berani dan tulisan Juhaiman yang disebarkan ke jamaah setelah pembai -atan menginspirasi kalangan Islam radikal dalam beragam cara. Para jamaah membawa pulang tulisan-tulisan itu dan menyebarkan ide-idenya. Sementara itu, para pengikut Juhaiman yang ditangkap, setelah terbebas dari penjara, bergabung dalam jaringan al-Qaeda, meneruskan apa yang dulu Juhaiman lakukan.

Untuk menyibak detail peristiwa di atas, Trofimov memburu sumber-sumber penting dan tepercaya, antara lain pelaku `Kudeta Mekkah' 1979, tentara Arab Saudi, serta data rahasia yang berhasil ia dapatkan. Semuanya merupakan hasil penulusuran jejak sejarah dan liputan jurnalitik yang ia lakukan, tidak ada pendapat pribadi sekalipun yang disisipkan.

1 comment:

Suku di Indonesia said...

Sangat bermanfaat. Terima kasih