Sejarah Dunia Kuno

2021 a year of miracles and 'unlocking' millions

Jan 15, 2014

Sejarah Kelam Tanah Batak

Sudah sejak lama orang Batak hidup tanpa  kehadiran seorang pemimpin. Tidak ada satu orangpun pemimpin yang dapat  dijadikan panutan yang punya kewibawaan yang dapat memberikan satu  putusan yang adil, bilamana terjadi satu silang sengketa. Tidak ada,  yang oleh orang Batak dikatakan sebagai "pamuro so mantat sior, parmahan  so mantat batahi, sai tiop dasing pamonoran, tu ginjang so ra mungkit-tu toru so ra monggal,"  (Gembala tanpa cambuk, penjaga tanpa  pentung, timbangan yang selalu tepat.) gambaran dari satu pribadi  pemimpin yang adil dan bijaksana.

Tidak adanya pemimpin ini menyebabkan masing-masing kelompok marga  mengangkat rajanya sendiri yang dikenal dengan raja mar opat, yaitu  empat orang pemimpin yang diambil dari tetua marga masing-masing. Mereka  inilah (yang diakui sebagai raja) bertindak menetapkan berbagai hal  dalam kelompoknya, termasuk menyelesaikan silang sengketa. Akan tetapi  otoritas mereka sangat terbatas, yaitu hanya dalam kelompok marga mereka  sendiri. Hal inilah yang terjadi sampai ditabalkannya Manghuntal  Sinambela sebagai raja orang Batak dengan gelar Sisingamangaraja I.

Sejak ditabalkan sebagai raja, banyak cerita yang berkembang sekitar  raja ini. Cerita-cerita yang menyelimuti dirinya, sejak masih dalam  kandungan, masa remaja sampai pada masa kepemimpinannya yang mau tidak  mau menyebabkan orang berdecak kagum. Menurut cerita orang-orang tua,  konon dia sering menyamar sebagai orangtua renta, meminta segelas air  atau sesuap nasi kepada penduduk. Hal ini dilakukan karena sering  terjadi, bila beliau melewati sebuah tempat, penduduk sudah lebih dahulu  melepas orang-orang yang terpasung, bahkan melepas burung yang ada  dalam sangkar, karena beliau sangat tidak senang melihat mahluk yang  teraniaya. Kharismanya yang begitu besar, menyebabkan orang tidak berani  bertatap pandang dengannya, bahkan untuk menyebut namanya, seseorang  harus meminta maaf lebih dahulu.
Cerita-cerita seperti inilah yang berkembang ditengah masyarakat,  sehingga tidak heran, bila seorang Jendral Maraden Panggabean dalam  otobiografinya menyatakan kekagumannya kepada raja ini, walau beliau  hanya mendengar cerita tentang raja ini dari ayahnya dan para orang tua.  Dan bagaimana pula cerita tentang Raja Sisingamangaraja XII yang  bernama Patuan Bosar ? Inilah pengakuan C.B. Tampubolon yang lebih  dikenal dengan Oppu Boksa II, ayahanda Ir. G.M. Tampubolon pendiri  Institut Teknologi Indonesia (ITI).

"Pada waktu saya kecil", demikian cerita Op.Boksa II yang kala itu  telah berumur 82 tahun, "saya bermain-main di pasar Balige. Karena hari  pekan, suasana pasar begitu ramai. Tiba-tiba suasana menjadi hening,  ibarat jarum jatuh pun akan kedengaran. Saya heran lalu dengan susah  payah saya menyelinap ingin tahu apa yang terjadi. Jalan di sekitar  pasar kosong, sementara di kedua sisi jalan banyak orang berdiri,  menatap ke kejauhan. Dari jauh saya melihat seorang penunggang kuda yang  berjalan perlahan. Begitu dia lewat, pasar kembali ramai. Saya mencoba  bertanya siapa orang tersebut. Tidak ada yang menjawab. Belakangan saya  tahu bahwa yang lewat itu adalah Raja Sisingamangaraja".

Siapa sebenarnya Manghuntal dan bagaimana sepak terjangnya hingga  diakui sebagai raja? Tulisan singkat ini memuat hal itu, karena  kemunculannya sebagai raja, kemudian membawa akibat yang sangat parah  bagi penduduk di Tanah Batak Utara, yaitu perang dengan pasukan Paderi  yang dipimpin seorang keturunannya bernama Pongki Nangolngolan.Munculnya cerita-cerita tentang raja ini bukan tanpa sebab. Bila  merunut pada silsilahnya dari marga Sinambela, adalah tidak mungkin dia  diakui sebagai raja. Hal ini terutama karena hingga kini, sahala  sihahaan (hak anak sulung) masih kental dalam masyarakat Batak.  Sementara klan Sinambela adalah turunan bungsu (anak keempat) dari  turunan Tuan Sorba Dibanua. Bila mengacu pada silsilah tersebut,  munculnya Manghuntal sebagai raja, memang satu hal yang mencengangkan.  Pasti ada sesuatu yang istimewa atas pemuda yang satu ini, sehingga dia  diakui sebagai raja. Dari sinilah cerita-cerita di atas berawal.

Sebelum menjadi raja Batak, dia bernama kecil Manghuntal bermarga  Sinambela. Pada masa remajanya, dia telah menunjukkan bakat-bakat  kepemimpinan yang luar biasa. Di samping pintar berbicara, dia juga  adalah seorang pemberani. Pada masa remajanya, Balige adalah pusat  negeri Toba. Pada waktu-waktu yang disepakati, di tempat ini berkumpul  para "raja" dari seluruh wilayah tetangga dimana mereka membicarakan  banyak hal. Pada waktu mereka berkumpul, banyak pedagang yang datang  kesana, menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari. Dari peristiwa  inilah awal munculnya nama Onan Raja yang sekarang. Pantai danau Toba,  yang juga berfungsi sebagai kota pelabuhan menjadi sangat ramai.

Akan tetapi, sering terjadi, ketika para pedagang melakukan  perjalanan ke Balige, banyak di antara pedagang ini tidak sampai di  tempat. Kalaupun mereka sampai, perahu yang mereka tumpangi sudah kosong  karena dibajak di tengah danau oleh sekelompok orang di bawah pimpinan  bernama Porhas marga Siregar, yang menjadi pemimpin "bajak danau" di  perairan Balige. Dia adalah manusia yang paling ditakuti karena  kemampuannya menyerang lawan dengan tiba-tiba. Si korban dapat  kehilangan nyawa tanpa menyadari apa yang terjadi pada dirinya. Hal  inilah penyebab mengapa orang yang mati tiba-tiba, dikatakan disoro  porhas (direnggut porhas) suatu perumpamaan yang mengisi perbendaharan  bahasa Batak.

Ulah Porhas ini sangat mengganggu wibawa keturunan Sibagot Nipohan,  yang pada masa itu telah diakui sebagai penguasa di Onan Raja Balige.  Berkali-kali mereka mendatangi Porhas di Muara dan meminta agar dia  tidak mengulangi perbuatannya, akan tetapi dia tidak pernah ambil  pusing. Celakanya lagi, mereka balik diancam untuk tidak campur tangan.  Karena ulah Porhas tersebut, keturunan Sibagot Nipohan berupaya untuk  menghimpun saudara-saudara mereka dari keturunan Sorba Dibanua. Mereka  yakin bahwa, kalau mereka bersatu, Porhas akan dapat ditaklukkan.

Untuk maksud tersebut, pertama-tama mereka mendatangi keturunan  Paittua di Laguboti. Walaupun merasa prihatin dengan apa yang terjadi,  keturunan Paittua menjawab, "Semuanya bergantung pada saudara yang lain.  Kalau mereka sepakat, kami juga akan sepakat." Demikian kata keturunan  Paittua. Akan tetapi, sebagaimana ternyata kemudian, keturunan Paittua  tidak pernah muncul di Balige sehingga mereka dikatakan sebagai orang na  paet lagu. Inilah awal dari nama Paittua berubah menjadi Paettua atau  Sipaettua dan nama kampungnya diberi nama lagu-lagu boti (Laguboti). Jawaban yang sama diterima pada waktu keturunan Sibagot Nipohan  mengunjungi turunan Sabungan di Silalahi Nabolak. Karena menerima  jawaban yang tidak memuaskan, seorang keturunan Sabungan yang ditemukan  sedang menggembala dibujuk dan dinaikkan ke perahu. Anak ini kemudian  dibawa ke tempat turunan Oloan di Siogung-ogung.

Melihat anak remaja tersebut yang dikenal sebagai keturunan Sabungan,  keturunan Oloan menyambut mereka dengan hangat dan yakin bahwa  saudaranya dari turunan Sabungan akan hadir. Rasa rindu karena sudah  lama berpisah menyebabkan mereka menyambut tamunya dengan rasa gembira. Tiba hari yang telah ditentukan, keturunan Oloan hadir di Onan Raja  Balige. Mereka disambut lebih hangat lagi. Walau mereka merasa tidak  enak karena ketidakhadiran saudara-saudara mereka yang lain (keturunan  Paittua dan keturunan Sabungan). Penyambutan yang begitu luar biasa  menyebabkan mereka sungkan untuk mundur. Pada acara marsisungkunan  (mempertanyakan maksud pertemuan), keturunan Sibagot Nipohan  mengutarakan ancaman yang dilakukan Porhas Siregar. Keturunan Sibagot  Nipohan mengusulkan agar mereka secara bersama-sama menghadapi ancaman  ini.

Turunan Oloan merasa serba salah. Memberikan jawaban "ya" tidak  mungkin, karena mereka telah terikat sumpah untuk tidak mencampuri  urusan Sibagot Nipohan. Memberikan jawaban "tidak" juga tidak mungkin  karena sambutan yang begitu bersahabat. Karena itu, untuk menolak,  secara halus mereka mengajukan syarat yang, menurut mereka, tidak  mungkin akan dipenuhi. Syarat tersebut ialah bahwa, kalau Porhas dapat  ditaklukkan, mereka harus diakui sebagai raja. Mengherankan, walaupun syarat itu bertentangan dengan adat  kekeluargaan orang Batak, semua turunan Sibagot Nipohan menyatakan  persetujuannya. Turunan Oloan menjadi serba salah. Akhirnya diperoleh  kesepakatan bahwa, apabila Porhas dapat ditaklukkan, walaupun keturunan  Oloan adalah anggi di partubu (anak bungsu), hak sebagai raja (haha di  harajaon) akan diberikan kepada mereka. Sesuatu yang sangat tidak lazim  dalam adat partuturon Batak.

Tiba waktu yang sudah disepakati, keturunan Oloan, dengan sejumlah  perahu dan sampan, melancarkan penyerangan ke Muara. Penyerangan  tersebut dilakukan keturunan Oloan dari arah Nainggolan, sedangkan  keturunan Sibagot Nipohan melakukan penyerangan dari arah Balige.  Menghadapi serangan dari dua arah, pasukan Porhas akhirnya kewalahan.  Mereka mundur ke Muara dengan maksud melakukan perlawanan di darat.  Sesampai di darat, Manghuntal bersama beberapa pengawalnya telah  menunggu sambil bersila di tengah halaman. Porhas sangat terkejut karena  tidak menduga Manghuntal sudah ada di sana.
Manghuntal mempersilakan Porhas duduk di atas tikar yang sudah  digelar. Pasukan Oloan dan Sibagot Nipohan yang mengejar dari danau juga  tidak percaya. Mereka menunggu apa yang bakal terjadi. Ternyata  Manghuntal dan Porhas melakukan perundingan. Lewat perundingan, akhirnya  dicapai kesepakatan: Mereka berdua, Porhas dan Manghuntal, akan  bertarung sampai titik darah penghabisan. Apabila salah satu kalah,  pasukannya dipersilakan untuk meninggalkan tempat dan tidak seorang pun  boleh dilukai.

Porhas menerima tantangan ini dan yakin akan memenangkan pertarungan  dengan mudah, apalagi, orang yang dihadapi adalah pemuda yang masih bau  kencur. Pertarungan dimulai dengan disaksikan pasukan kedua belah pihak.  Kedua petarung itu dengan kepintarannya masing-masing beradu kuat.  Pertarungan kedua jagoan berlangsung lama, akan tetapi karena masih muda  Manghuntal menang tenaga. Walaupun Porhas menang pengalaman, sepertinya  tidak ada artinya berhadapan dengan Manghuntal yang masih muda. Porhas  akhirnya tewas, lebih karena kehabisan tenaga. Melihat kenyataan ini, nyali pasukan Porhas pun ciut. Anak buah Raja Porhas ternyata tidak diperlakukan sesuai perjanjian melainkan diburu  sehingga mereka terpaksa melarikan diri ke tebing-tebing yang tinggi di  belakang Muara, meninggalkan keluarga dan harta benda.

Pemimpin Marga Siregar yang baru, Togar Natigor Siregar mengucapkan  sumpah yang diikuti oleh seluruh Marga Siregar yang mengikat untuk semua keturunan mereka, yaitu: Kembali ke Muara untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.  Mereka menyerah, lalu tinggal  di Huta Baringin. Huta Baringin inilah yang kemudian berubah nama  menjadi Lobu Siregar. Dari tempat ini kemudian mereka diusir oleh marga Sihombing, tanpa  bekal. Mereka hidup menggelandang. Semula mereka menuju Silindung akan  tetapi disana mereka dihadang oleh marga Lumban Tobing. Begitu pula waktu  mereka menuju Pahae dihadang oleh marga Sitompul. Dalam perjalanan yang  memakan waktu yang lama sebelum tiba di Sipirok yang waktu itu merupakan  tanah kosong tidak berpenghuni, kadang kala mereka hanya memakan umbi  alang-alang (ri) atau daun pakis (pahu). Sebagai peringatan akan  penderitaan yang mereka alami, anak-anak yang lahir dalam perjalanan dinamakan Siregar Ri dan Siregar Pahu. Penderitaan inilah yang  mengakibatkan mereka menaruh dendam terhadap keturunan Oloan Sorba  Dibanua.

Di atas telah kita uraikan tentang dendam marga Siregar pada  keturunan Tuan Sorba Dibanua. Mereka datang ke Tanah Batak Utara dengan kedok syiar Islam. Tanah Batak Utara ditaklukkan melalui perang yang  sangat dahsyat. Tujuan utamanya sudah tentu, untuk melepaskan dendam turun-temurun. Bahwa dendam itu benar ada, tidak perlu dibantah. Akan  tetapi bila kita hubungkan antara kemunculan Manghuntal Sinambela  sebagai Raja Sisingamangaraja I dan peristiwa perang Paderi pada masa  Raja  Sisingamangaraja X (Ompu Tuan Nabolon), kelihatan jelas bahwa  dendam tersebut terlampiaskan setelah 10 generasi, bukan 26 generasi.

Ada 12 benteng di Tanah Batak Utara. Benteng-benteng ini kemudian  direbut oleh tidak kurang dari 32.000 orang serdadu berkuda (kavaleri)  yang melakukan serangan ke Tanah Batak Utara. Pasukan ini dipimpin oleh  Si Pongki Nangolngolan dengan gelar Tuanku Rao yang membagi pasukan  tersebut sebagai berikut:

1.   Kavaleri Colonne Tuanku Asahan, yang merupakan kekuatan utama tentara Paderi, dengan   pasukan 11.000 orang.
2.   Kavaleri Colonne Jagorga Harahap, dengan pasukan 4.000 orang.
3.   Kavaleri Colonne Tuanku Maga, dengan pasukan 5.000 orang. Pasukan ini merupakan kekuatan utama di sayap kanan.
4.   Kavaleri Colonne Tuanku Lelo, dengan pasukan 9.000 orang dan merupakaan kekuatan utama di sayap kiri.
5.   Kavaleri Colonne Achmad bin Baun Siregar, dengan kekuatan sebanyak 3.000 orang.

Dan ditambah pasukan infanteri 100.000 orang dan pasukan gadungan  18.000 orang (rakyat biasa dan tidak terlatih yang memakai baju putih seperti tentara Padri untuk mengecoh lawan) mengekor di belakang  pasukan Tuanku Rao yang bergabung dengan Kavaleri Colonne Achmad bin  Baun Siregar. Pasukan yang luar biasa banyaknya menyerang Tanah Batak  Utara dari segala penjuru.
Tuanku Asahan bergerak dari Bandar Pulau, dengan mendaki  lereng-lereng curam dan melakukan perjalanan dari pinggir Sungai Asahan  menuju Laguboti. Di tempat ini, mereka mendapat perlawanan dari pasukan Sahala Simatupang, namun semuanya disapu bersih.

Pasukan Jagorga Harahap bergerak dari Anggoli, lewat Sibolga Julu,  dan dengan mendaki mereka pun mencapai Bonan Dolok, lalu turun ke  Silindung. Pasukan ini hanya mendapat sedikit perlawanan di Lobupining  dan akhirnya Silindung mereka taklukkan. Dia menemukan Lembah Silindung  sudah dalam keadaan kosong karena penduduknya masuk hutan.
Pasukan Tuanku Maga berangkat menuju Humbang dengan menyeberangi  Sungai Batang Aek Simandoras. Dalam pasukannya turut pula sebanyak 3.000  orang Marga Siregar Salak dari Sipirok. Mereka inilah yang membuat  keonaran di Dataran Tinggi Humbang pada tahun 1818 hingga menjadi  sesuatu yang memalukan dan sulit dilupakan sampai hari ini. Pasukan  sebanyak 3.000 orang marga Siregar Salak dari Sipirok yang tergabung  dalam kavaleri Tuanku Maga ini merupakan tiga kesatuan yang terdiri atas:

1. Kavaleri Batalyon Onggang Siregar
2. Kavaleri Batalyon Paroman Siregar
3. Kavaleri Batalyon Parlindungan Siregar

Membaca cerita di sekitar perang tersebut membuat bulu kuduk  merinding karena tindakan mereka yang begitu kejam. Bahwa penyiksaan itu  selalu diceriterakan orang-orang tua kepada cucunya bahkan sampai saat  ini. M. O. Parlindungan dalam bukunya menjelaskan penyiksaan itu secara  lebih terperinci. Banyak wanita yang diperkosa, anak-anak dan orang tua  dipancung secara semena-mena dan mereka yang melawan dibelah perutnya  dan ada yang dijadikan objek latihan memancung kepala manusia dari atas  kuda. Bahkan juga pembantaian saudara-saudara mereka sendiri,  orang-orang marga Siregar Sormin yang dianggap penghianat, karena salah  satu boru Siregar Sormin diberikan menjadi istri Raja Sisingamangaraja  X.

Menurut cerita M.O. Parlindungan, Tanah Batak Utara diserang dari  segala jurusan sehingga mereka mati kutu. Di waktu fajar menyingsing,  Cavalry Tuanku Asahan menyerang Cavalry Singa Mangaraja X dalam  bentengnya sendiri, dalam benteng Tanggabatu, yang sudah selama lima  tahun diperkuat justru untuk menangkis serangan itu. Hanya 9.000. units  Padri Army Cavalry, berani-berani menyerang 20.000 units cavalry Singa  Mangaraja X. Di depan sekali memimpin Zulkarnain Aritonang. Segala  jurang-jurang besar dan kecil semuanya dimasuki dan diloncati oleh  Cavalry Tuanku Asahan. Cavalry Singa Mangaraja X terdesak mundur.
Pertahanan Cavalry Singamangaraja X di dalam benteng Tanggabatu,  dalam waktu singkat sudah hancur lebur. Panik dan lari. Hampir  seluruhnya 20.000 orang mati dengan pedang oleh Cavalry Tuanku Asahan  dan oleh Cavalry Tuanku Maga. Dataran tinggi Humbang dalam skala luas,  bertaburan dengan jenazah manusia dan bangkai-bangkai kuda. Si  Singamangaraja X benar dapat lolos, dengan berjalan kaki lewat  jurang-jurang ke Bakkara, ibukota kerajaannya.

Kampung Lobu Siregar diserang dengan operasi gabungan oleh cavalry  Batalyon Parlindungan Siregar, Onggang Siregar, serta Paroman Siregar.  Raja Galinggang Sihombing serta 7.000 orang anak-anak buahnya mati pahlawan. Dengan memukul gong: Pong/Pong/Pong nama dari Lobu Siregar   yang sudah menjadi reruntuhan puing-puing hangus, dikembalikan lagi menjadi resmi Huta Baringin oleh Onggang Siregar. Anak-anak buah dari Parlindungan Siregar pergi menjarah dengan menunggang kuda di Dataran Tinggi Humbang; kampung-kampung tidak dibumi hangus, dengan syarat bahwa: Semua orang-orang bermarga Sinambela di kampung itu mesti ditangkap dan diserahkan kepada Pidari. Dapat dikumpulkan total 147 orang pria bermarga Sinambela yang tinggal di Dataran Tinggi Humbang yang adalah para keturunan dari Si Singamangaraja I sampai Si Singamangaraja VII. Mereka semua matanya dicungkil dan   ditendang lepas. Digunakan dalam latihan-latihan pasukan Tuanku Hitam,   teknik memancung manusia dengan backhand dari atas kuda. Sumpah dari Togar Natigor Siregar sudah mulai terlaksana oleh orang-orang Siregar Salak yang terusir dari Muara/Toba setelah 26 generasi." Lalu, bagaimana cerita M.O. Parlindungan tentang tewasnya Raja Si Singamangaraja X?

Setelah buntu dalam perundingan selama satu bulan, Tuanku Rao  mendadak sekali menerima sejumlah surat-surat dari pamannya, Singa  Mangaraja X. Surat itu berisi permintaan terakhir kepada keponakannya,  Pongki Nangolngolan. Permintaan itu, supaya kelak tulang-belulang dari  Singa Mangaraja X dimasukkan ke dalam Musoleum dinasti Singamangaraja di  Bakkara dan yang kedua, sukalah kiranya Pongki Nangolngolan menjemput  empat orang putra-putra Singamangaraja yang semuanya berumur di bawah tujuh tahun. Benteng Bakkara yang sudah hancur lebur, tetapi masih dipertahankan  oleh Si Singamangaraja X/cs, dimasuki oleh Cavalry Achmad bin Baun  Siregar. Di depan sekali Jatengger Siregar yang sudah lupa sama sekali  bahwa dia sebenarnya Perwira Tentara Padri yang datang ke Toba untuk  membawa Islam mazhab Hambali. Jatengger Siregar serta orang-orang Siregar Salak dari Sipirok menyerang Bakkara, selaku para keturunan dari  Raja Porhas, semata-mata hanya untuk memenuhi sumpah Togar Natigor  Siregar. Jatengger Siregar sangat lantam dari atas kuda, dengan suara gemuruh  menantang Si Singamangaraja X, secara jantan keluar untuk perang tanding  seperti dahulu Manghuntal Sinambela melawan Porhas Siregar. Si Singamangaraja X mengerti sejarah dan menerima tantangan, satu lawan satu. Terjadilah pertarungan dengan pedang dari atas kuda yang  mengerikan. Singa Mangaraja yang sudah tua dengan Jatengger Siregar yang  masih muda. Betapapun gagah beraninya Singamangaraja X akan tetapi:  Bukan Tandingan. Di dalam first run Jatengger Siregar menyerang,  Singamangaraja X sukses mengelakkan diri, tetapi kudanya terluka dengan backstroke oleh Jatengger Siregar. Di dalam second run, Singamangaraja X  terluka di bahu oleh Jatengger Siregar, serta terpancung dengan  backhand. Selesai. Kepala Singamangaraja X ditusukkan di atas tombak dan dipancangkan di tanah.

Orang-orang marga Siregar masih belum puas dan  menantang putra-putra  Singamangaraja X untuk perang tanding. Sebelas  putra-putra Singamangaraja memenuhi tantangan ini, dan hasilnya adalah 7 – 4 untuk kemenangan putra-putra Singamangaraja. Namun setelah  itu, penyerbuan terhadap Benteng Bakkara terus dilanjutkan, dan  sebagaimana di  tempat-tempat lain, tak tersisa seorangpun dari penduduk  Bakkara,  termasuk semua perempuan yang juga tewas dalam pertempuran. M.O. Parlindungan memastikan peristiwa itu berlangsung sekitar tahun  1818–1820. Ketika tentara Padri melakukan tugasnya untuk meng-Islamkan Tanah Batak Selatan selama dua tahun, mereka menemukan kenyataan bahwa  banyak orang menyimpan segudang dendam terhadap saudara-saudara mereka  di Utara. Orang-orang inilah yang kemudian dimanfaatkan dan dimobilisasi  oleh Tuanku Rao untuk melakukan agresi ke Tanah Batak Utara.

Pongkinangolngolan alias Tuanku Rao adalah anak hasil perkawinan  incest antara putri Sisingamangaraja IX, Putri Gana Sinambela dengan adik Sisingamangaraja IX, Pangeran Gindoporang Sinambela. Gana  seharusnya memangil uda pada Gindoporang, sedangkan Gindoporang memangil Gana boru. (Tuanku Rao, hal. 59. M.O Parlindungan, 2007).

Karena aib itu, Ompu Sohalompoan (Sisingamangaraja IX) terpaksa  mengusir mereka. Keduanya lari misir, menyelamatkan diri ke Singkil,  Aceh. Disana lahirlah Pongkinangolgolan yang berarti menunggu terlalu lama dipengungsian. Pangeran Gindoporang Sinambela bergabung dengan pasukan Aceh, berganti nama menjadi Muhammad Zainal Amiruddin, dan menikahi putri raja Barus. Sejak itu, Gana Sinambela membesarkan  putranya seorang diri. Sepuluh tahun kisah itu, Sisingamangaraja IX wafat  dan digantikan anaknya, Ompu Tuan Nabolon, adik laki-laki dari Gana  Sinambela menjadi Sisingamangaraja X. Aib itu sudah dilupakan, Gana dan Pongkinangolgolan diundang kembali pulang ke Bakkara.

Gana Sinambela sendiri adalah kakak dari Singamangaraja X. Walaupun  terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi  dan memanjakan keponakannya. Untuk memberikan nama marga, tidak mungkin  diberikan marga Sinambela, karena ibunya bermarga Sinambela. Namun nama  marga sangat penting bagi orang Batak, sehingga Singamangaraja X mencari  jalan keluar untuk masalah ini.

Singamangaraja X mempunyai adik perempuan lain, Putri Sere Sinambela,  yang menikah dengan Jongga Simorangkir, seorang hulubalang. Dalam suatu  upacara adat, secara pro forma Pongkinangolngolan "dijual" kepada  Jongga Simorangkir, dan Pongkinangolngolan kini bermarga Simorangkir.

Namun, kehadiran mereka tidak direstui tiga orang datu bolon (dukun)  yang dipimpin oleh Datu Amantagor Manullang. Dukun itu meramalkan, bahwa  Pongkinangolngolan suatu hari akan membunuh Singamangaraja X. Sesuai  hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati pada bere  (keponakan) yang disayanginya. Tetapi Singamangara X tidak tega, lalu  membuat sandiwara, Dia memutuskan, bahwa Pongkinangolngolan tidak  dipancung kepalanya, melainkan akan ditenggelamkan di Danau Toba. Dia  diikat pada sebatang kayu dan badannya dibebani dengan batu-batu supaya  tenggelam.

Di tepi Danau Toba, Singamangaraja X pura-pura melakukan pemeriksaan  terakhir, namun dengan menggunakan keris pusaka Gajah Dompak ia  melonggarkan tali yang mengikat Pongkinangolngolan, sambil menyelipkan  satu kantong kulit berisi mata uang perak ke balik pakaian  Pongkinangolngolan. Perbuatan ini tidak diketahui oleh para Datu, karena  selain tertutup tubuhnya, juga tertutup tubuh Putri Gana Sinambela yang  memeluk dan menangisi putra kesayangannya. Sebab itulah kebencian  Pongkinangolngolan terhadap agama asli Batak (Malim) terpantik.

Kemudian, Pongkinangolngolan dibawa solu (rakit) ke tengah danau dan  dijatuhkan ke dalam air. Setelah berhasil melepaskan batu-batu dari  tubuhnya, dengan berpegangan pada kayu, Pongkinangolngolan terapung  hingga arus air membawanya terdampar di sungai Asahan. Dimana kemudian  di dekat Narumonda, ia ditolong dan diangkat menjadi anak oleh seorang  nelayan bernama Lintong Marpaung.

Kemudian ia merantau ke Sipirok/Angkola. Di sinilah  Pongkinangolngolan mulai mengetahui adanya dendam kesumat Marga Siregar  terhadap dinasti Singamangaraja, sebagaimana Pongkinangolngolan sendiri  memiliki dendam terhadap orang-orang yang telah membuang dirinya dari  istana Singamangaraja dan mengalami getirnya hidup, terpisah dari ibu  kandung untuk selamanya.

Pongkinangolngolan memutuskan untuk pergi ke Minangkabau, karena  selalu kuatir suatu hari akan dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi  hukuman mati oleh Raja Batak.

Di Minangkabau, ia mula-mula bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo  sebagai perawat kuda. Pada waktu itu, tiga orang tokoh Islam Mazhab  Hambali, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik baru kembali  dari Mekkah dan sedang melakukan penyebaran Mazhab Hambali di  Minangkabau, yang menganut aliran Syi'ah.

Haji Piobang dan Haji Sumanik pernah menjadi pewira di pasukan  kavaleri Janitsar Turki. Gerakan mereka mendapat dukungan dari Tuanku  Nan Renceh, yang mempersiapkan tentara untuk melaksanakan gerakan  Paderi, termasuk rencana untuk mengIslamkan Mandailing.

Tuanku Nan Renceh yang adalah seorang teman Datuk Bandaharo Ganggo,  mendengar mengenai nasib dan silsilah dari Pongkinangolngolan. Ia  memperhitungkan, bahwa Pongkinangolngolan yang adalah keponakan  Singamangaraja X dan sebagai cucu di dalam garis laki-laki dari  Singamangaraja VIII, tentu sangat baik untuk digunakan dalam rencana  merebut dan mengIslamkan Tanah Batak. Oleh karena itu, ia meminta  kawannya, Datuk Bandaharo agar menyerahkan Pongkinangolngolan kepadanya  untuk dididik olehnya.

Pada 9 Rabiu'ulawal 1219 H (tahun 1804 M), dengan syarat-syarat  Khitanan dan Syahadat, Pongkinangolngolan diIslamkan dan diberi nama  Umar Katab oleh Tuanku Nan Renceh. Nama tersebut diambil dari nama  seorang Panglima Tentara Islam, Umar Chattab. Namun terselip juga asal  usul Umar Katab, karena bila dibaca dari belakang, maka akan terbaca:  Batak!

Umar Katab dikirim ke Mekkah dan Syria untuk menimba ilmu agama. Di  sana ia mengikuti pendidikan kemiliteran sebagai kavaleri Janitsar  Turki.

Umar Katab alias Pongkinangolngolan Sinambela kembali dari Mekkah dan  Syria tahun 1815. Oleh Tuanku Nan Renceh ia diangkat menjadi perwira  tentara Paderi dan diberi gelar Tuanku Rao. Ternyata Tuanku Nan Renceh  menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan  orang Batak untuk menyerang Tanah Batak.

Penyerbuan Paderi ke Tanah Batak berawal dari dendam Tuanku Rao  karena terbuang dan mengalami nasib yang pahit seperti yang telah  diuraikan di atas ditambah dendam marga Siregar terhadap Dinasti  Singamangaraja.

Kedua dendam itu, yakni dendam marga Siregar dan dendam Tuanku Rao membara menjadi satu.

Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadhan 1231 H (tahun 1816  M), dengan penyerbuan terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan  oleh Marga Lubis. 5.000 orang dari pasukan berkuda ditambah 6.000  infanteri meluluhlantakkan benteng Muarasipongi, dan seluruh penduduknya  dibantai tanpa menyisakan seorangpun. Kekejaman ini sengaja dilakukan  dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan  penaklukkan. Setelah itu, satu persatu wilayah Mandailing ditaklukkan  oleh pasukan Paderi, yang dipimpin oleh Tuanku Rao dan Tuanku Lelo, yang  adalah putra-putra Batak sendiri.

Selain kedua nama ini, ada sejumlah orang Batak yang telah masuk  Islam, ikut pasukan Paderi menyerang Tanak Batak, yaitu Tuanku Tambusai  (Harahap), Tuanku Sorik Marapin (Nasution), Tuanku Mandailing (Lubis),  Tuanku Asahan (Mansur Marpaung), Tuanku Kotapinang (Alamsyah Dasopang),  Tuanku Daulat (Harahap), Tuanku Patuan Soripada (Ahmad bin Baun  Siregar), Tuanku Saman (Hutagalung), Tuanku Ali Sakti (Jatengger  Siregar), Tuanku Junjungan (Tahir Daulay) dan Tuanku Marajo (Harahap).

Penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara, dilaksanakan  tahun 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin oleh  Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang (membonceng Tentara  Padri), guna memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam  kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X.

Tuanku Rao menangis ketika membaca surat-surat dari Sisingamangaraja X  yang isinya memberitahukan bahwa ibundanya sudah lama tiada, meninggal  dunia dalam dukacita menantikan kedatangannya. Tuanku Rao tidak sampai  hati untuk memimpin serangan ke Bakkara. Ia hanya memberikan komando  dari markas di Siborong-borong kepada Achmad bin Baun Siregar dan  Jatengger Siregar.

Penyerbuan pasukan Paderi terhenti tahun 1820, karena berjangkitnya  penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara  Paderi yang memasuki Tanah Batak tahun 1818, hanya tersisa sekitar  30.000 orang dua tahun kemudian. Sebagian terbesar bukan tewas di medan  petempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit.

Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, tahun 1820 Tuanku Rao bermaksud  menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga  rencana pengIslaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Namun  Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya  tetap di Tanah Batak, untuk menghadang masuknya tentara Belanda.

Ketika keadaan bertambah parah, akhirnya Tuanku Rao melakukan  pembangkangan terhadap perintah Tuanku Imam Bonjol, dan memerintahkan  sisa pasukannya keluar dari Tanah Batak Utara dan kembali ke Selatan.

Enam dari panglima pasukan Paderi asal Batak, yaitu Tuanku  Mandailing, Tuanku Asahan, Tuanku Kotapinang, Tuanku Daulat, Tuanku Ali  Sakti dan Tuanku Junjungan, tahun 1820 memberontak terhadap penindasan  asing dari Bonjol/Minangkabau dan menanggalkan gelar Tuanku yang  dipandang sebagai gelar Minangkabau. Bahkan Jatengger Siregar hanya  menyandang gelar tersebut selama tiga hari. Mereka sangat marah atas  perilaku pasukan Paderi yang merampok dan menguras Tanah Batak yang  telah ditaklukkan. Namun hanya karena ingin balas dendam kepada  Singamangaraja, Jatengger Siregar menahan diri sampai terlaksananya  sumpah Togar Natigor Siregar dan ia behasil membunuh Singamangaraja X.

Mansur Marpaung (Tuanku Asahan) dan Alamsyah Dasopang (Tuanku  Kotapinang) dengan tegas menyatakan tidak mau tunduk lagi kepada Tuanku  Imam Bonjol dan Tuanku Nan Renceh, dan kemudian mendirikan  kesultanan/kerajaan sendiri. Marpaung mendirikan Kesultanan Asahan dan  mengangkat dirinya menjadi sultan, sedangkan Dasopang mendirikan  Kerajaan Kotapinang, dan ia menjadi raja.

Tuanku Rao tewas ketika melakukan serangan bunuh diri untuk  mengalihkan perhatian pasukan artileri Belanda yang waktu itu sedang  memburu Pasukan Tuanku Imam Bonjol dalam pertempuran di Air bangis pada 5  September 1821.

No comments: