Bila kita menilai kesuksesan berdasarkan standard duniawi, kita sampai pada kesimpulan bahwa karir kepemimpinan Paulus telah gagal total dan sangat mengecewakan.
Pada masa-masa terakhir hidupnya, ketika Paulus menulis surat 2 Timotius, satu-satunya orang di dunia luar yang bisa berhubungan dengannya adalah Lukas (4:11). Paulus ditempatkan di penjara bawah tanah Romawi, menderita kedinginan menjelang musim dingin (ayat 13, 21), tanpa harapan untuk lepas dari ancaman hukuman mati yang telah dijatuhkan pada dirinya. Ia menderita siksaan kejam dari orang-orang yang membencinya. Ia bahkan ditinggalkan dan disangkal oleh beberapa sahabatnya. Ia menulis:
"Engkau tahu bahwa semua mereka yang di daerah Asia Kecil berpaling dari padaku; termasuk Figelus dan Hermogenes."
Asia kecil merupakan wilayah misi Paulus. Dan Efesus, tempat Timotius melayani, adalah ibukota Asia Kecil. Jadi Paulus bukan sedang mengatakan sesuatu yang belum diketahui Timotius. Pada masa aniaya itu, berteman dengan Paulus menjadi sangat beresiko, sehingga beberapa anak didik rohaninya tega menyangkal dan meninggalkannya. Orang-orang berpikiran dangkal, mungkin berpikir tragis sekali akhir hidup Paulus, ia sudah ditaklukan sedemikian rupa oleh para musuhnya.
Kegagalan? Yang sebenarnya adalah, rasul Paulus sama sekali bukanlah pemimpin yang gagal, apapun ukuran yang digunakan untuk menilainya. Pengaruh karyanya terasa seantero dunia sampai hari ini. Sebaliknya, Nero, penguasa korup Kekaisaran Romawi yang memerintahkan kematian Paulus, adalah salah satu figur hina dalam sejarah. Hal ini mengingatkan kita bahwa pengaruh adalah ujian sejati bagi kepemimpinan seseorang, bukan kekuasaan atau jabatan. Ternyata, dengan meneliti kehidupan pelayanan Paulus hingga kesudahannya, kita belajar banyak bagaimana mengukur sukses atau gagalnya seorang pemimpin.
Masa tahanan dan pengadilan Paulus yang pertama berakhir saat Nero membebaskannya sebelum tahun 64 masehi, karena ia menulis surat 1 Timotius dan Titus sebagai seorang bebas (1 Timotius 3:14-15; 4:13; Titus 3:12). Tapi kebebasan itu tidak lama. Bulan Juli tahun 64, 7 dari 14 wilayah di kota Roma terbakar. Ketika api pertama hampir berhasil dipadamkan, tiupan angin lebih dahulu membuat api menjalar ke wilayah lain. Kabar burung yang beredar adalah bahwa Nero sendiri yang memerintahkan pembakaran kota untuk memenuhi ambisinya mendirikan proyek pembangunan termasuk istana emas bagi dirinya.
Untuk mencegah kecurigaan, Nero menyalahkan orang-orang Kristen sebagai penyebab kebakaran. Itulah permulaan dari kampanye akbar dan agresif dari pemerintah Romawi untuk menghancurkan gereja. Orang Kristen di Roma ditangkapi dan dieksekusi secara sangat kejam. Ada yang tubuhnya dijahitkan ke kulit binatang, lalu dikeroyok dan dirobek-robek sampai mati oleh gigitan anjing. Yang lainnya dipaku ke tiang, tubuhnya dilumur ter dan dibakar hidup-hidup sebagai obor yang menerangi pesta pora Nero. Dan ada banyak lagi yang dipenggal kepalanya, diumpankan kepada singa, atau mengalami berbagai perlakuan sadis lainnya.
Selama masa aniaya itu, Paulus kembali ditahan oleh penguasa Romawi, dibawa ke Roma untuk dianiaya dan disiksa (2 Timotius 4:17), dan akhirnya dieksekusi sebagai pengkhianat, karena ketaatannya yang mati-matian terhadap Kristus. Pada waktu masa penahanan pertamanya di Roma, Paulus dikenakan tahanan rumah (Kisah 28:16, 30). Ia masih boleh berkotbah dan mengajar kepada para penjenguknya (ayat 23). Meskipun berada dalam pengawalan ketat tentara Romawi, ia diperlakukan hormat. Pengaruh pelayanannya bahkan terasa sampai ke istana Kaisar (Filipi 4:22).
Pada masa penahanan kedua Paulus, kondisinya sangat jauh berbeda. Ia benar-benar diisolasi dari dunia luar dan dirantai dalam penjara bawah tanah (2 Timotius 1:16). Kemungkinan besar tempat penahanannya adalah penjara Mamertine, yang lokasinya berdekatan dengan forum Romawi, sempit, gelap, berdinding batu kasar, pintu masuknya hanya berupa lubang kecil seukuran pas badan di bagian langit-langitnya. Ruangannya yang hanya berukuran separuh garasi mobil ini kadang diisi sampai dengan 40 orang tahanan. Sesak, gelap, bau busuk melengkapi penderitaan yang tak terkira.
Ruangan penjara itu masih ada sampai masa kini, bahkan tetap mencekam, mengerikan, menimbulkan rasa klaustrofobia. Di tempat seperti inilah Paulus menghabiskan hari-hari terakhir dalam hidupnya.
Tidak ada catatan pasti tentang proses eksekusi Paulus, tapi yang pasti ia tahu akhir hayatnya telah tiba saat menulis surat 2 Timotius. Terbukti ia sudah diadili dan divonis karena berkotbah tentang Kristus, dan kemungkinan hari eksekusinya sudah dijadwalkan. Ia menulis kepada Timotius, "Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat." (2 Timotius 4:6)
Secara wajar harusnya ada kesan kesedihan mendalam dalam surat terakhir Paulus ini. Tapi nyatanya topik yang dominan adalah kemenangan, bukan kekalahan. Paulus menulis surat terakhir kepada Timotius untuk menyemangati sang gembala muda itu supaya berani dan yakin teguh dalam meneruskan teladan yang dipelajarinya dari sang rasul pembimbingnya. Jauh dari kesan menyerah karena kegagalan, Paulus menyuarakan sorak kemenangan:
"Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hariNya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatanganNya. " (2 Timotius 4:7-8)
Menjelang kematiannya, Paulus sama sekali tidak merasakan takut, patah semangat, ataupun hasrat untuk tetap hidup di dunia ini. Ia tidak sabar ingin bersama Kristus dan bersiap-siap untuk menerima upah di kehidupan yang akan datang. Karenanya, saat ia menelaah kembali perjalanan hidupnya, ia tidak menunjukan penyesalan, ketidakpuasan ataupun merasa ada yang kurang lengkap. Tidak ada tugas, sekecil apapun, yang terabaikan olehnya. Ia telah menyelesaikan pekerjaan yang diberikan Tuhan, seperti disebut dalam Kisah 20:24, ia telah berharap dan berdoa bahwa ia "dapat mencapai garis akhir".
Paulus mengukur kesuksesannya sendiri sebagai pemimpin, sebagai rasul, dan sebagai seorang Kristen, -- yang berarti ia tetap setia kepada Kristus dan menjaga keutuhan kabar baik (Injil Kristus) sesuai dengan apa yang diterimanya. Ia memproklamirkan Firman Tuhan dengan penuh kesetiaan dan tanpa takut. Dan sekarang ia menyerahkan tongkat estafet kepada Timotius dan orang-orang "yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain." (2 Timotius 2:2)
Karenanya, Paulus menghadapi kematiannya dengan semangat kemenangan dan sukacita mendalam. Ia telah mengalami kasih karunia Tuhan menyelesaikan semua yang telah dirancangkan-Nya di dalam dia dan melalui dia, dan dia sudah siap bertemu muka dengan Kristus.
Pada masa-masa terakhir hidupnya, ketika Paulus menulis surat 2 Timotius, satu-satunya orang di dunia luar yang bisa berhubungan dengannya adalah Lukas (4:11). Paulus ditempatkan di penjara bawah tanah Romawi, menderita kedinginan menjelang musim dingin (ayat 13, 21), tanpa harapan untuk lepas dari ancaman hukuman mati yang telah dijatuhkan pada dirinya. Ia menderita siksaan kejam dari orang-orang yang membencinya. Ia bahkan ditinggalkan dan disangkal oleh beberapa sahabatnya. Ia menulis:
"Engkau tahu bahwa semua mereka yang di daerah Asia Kecil berpaling dari padaku; termasuk Figelus dan Hermogenes."
Asia kecil merupakan wilayah misi Paulus. Dan Efesus, tempat Timotius melayani, adalah ibukota Asia Kecil. Jadi Paulus bukan sedang mengatakan sesuatu yang belum diketahui Timotius. Pada masa aniaya itu, berteman dengan Paulus menjadi sangat beresiko, sehingga beberapa anak didik rohaninya tega menyangkal dan meninggalkannya. Orang-orang berpikiran dangkal, mungkin berpikir tragis sekali akhir hidup Paulus, ia sudah ditaklukan sedemikian rupa oleh para musuhnya.
Kegagalan? Yang sebenarnya adalah, rasul Paulus sama sekali bukanlah pemimpin yang gagal, apapun ukuran yang digunakan untuk menilainya. Pengaruh karyanya terasa seantero dunia sampai hari ini. Sebaliknya, Nero, penguasa korup Kekaisaran Romawi yang memerintahkan kematian Paulus, adalah salah satu figur hina dalam sejarah. Hal ini mengingatkan kita bahwa pengaruh adalah ujian sejati bagi kepemimpinan seseorang, bukan kekuasaan atau jabatan. Ternyata, dengan meneliti kehidupan pelayanan Paulus hingga kesudahannya, kita belajar banyak bagaimana mengukur sukses atau gagalnya seorang pemimpin.
Masa tahanan dan pengadilan Paulus yang pertama berakhir saat Nero membebaskannya sebelum tahun 64 masehi, karena ia menulis surat 1 Timotius dan Titus sebagai seorang bebas (1 Timotius 3:14-15; 4:13; Titus 3:12). Tapi kebebasan itu tidak lama. Bulan Juli tahun 64, 7 dari 14 wilayah di kota Roma terbakar. Ketika api pertama hampir berhasil dipadamkan, tiupan angin lebih dahulu membuat api menjalar ke wilayah lain. Kabar burung yang beredar adalah bahwa Nero sendiri yang memerintahkan pembakaran kota untuk memenuhi ambisinya mendirikan proyek pembangunan termasuk istana emas bagi dirinya.
Untuk mencegah kecurigaan, Nero menyalahkan orang-orang Kristen sebagai penyebab kebakaran. Itulah permulaan dari kampanye akbar dan agresif dari pemerintah Romawi untuk menghancurkan gereja. Orang Kristen di Roma ditangkapi dan dieksekusi secara sangat kejam. Ada yang tubuhnya dijahitkan ke kulit binatang, lalu dikeroyok dan dirobek-robek sampai mati oleh gigitan anjing. Yang lainnya dipaku ke tiang, tubuhnya dilumur ter dan dibakar hidup-hidup sebagai obor yang menerangi pesta pora Nero. Dan ada banyak lagi yang dipenggal kepalanya, diumpankan kepada singa, atau mengalami berbagai perlakuan sadis lainnya.
Selama masa aniaya itu, Paulus kembali ditahan oleh penguasa Romawi, dibawa ke Roma untuk dianiaya dan disiksa (2 Timotius 4:17), dan akhirnya dieksekusi sebagai pengkhianat, karena ketaatannya yang mati-matian terhadap Kristus. Pada waktu masa penahanan pertamanya di Roma, Paulus dikenakan tahanan rumah (Kisah 28:16, 30). Ia masih boleh berkotbah dan mengajar kepada para penjenguknya (ayat 23). Meskipun berada dalam pengawalan ketat tentara Romawi, ia diperlakukan hormat. Pengaruh pelayanannya bahkan terasa sampai ke istana Kaisar (Filipi 4:22).
Pada masa penahanan kedua Paulus, kondisinya sangat jauh berbeda. Ia benar-benar diisolasi dari dunia luar dan dirantai dalam penjara bawah tanah (2 Timotius 1:16). Kemungkinan besar tempat penahanannya adalah penjara Mamertine, yang lokasinya berdekatan dengan forum Romawi, sempit, gelap, berdinding batu kasar, pintu masuknya hanya berupa lubang kecil seukuran pas badan di bagian langit-langitnya. Ruangannya yang hanya berukuran separuh garasi mobil ini kadang diisi sampai dengan 40 orang tahanan. Sesak, gelap, bau busuk melengkapi penderitaan yang tak terkira.
Ruangan penjara itu masih ada sampai masa kini, bahkan tetap mencekam, mengerikan, menimbulkan rasa klaustrofobia. Di tempat seperti inilah Paulus menghabiskan hari-hari terakhir dalam hidupnya.
Tidak ada catatan pasti tentang proses eksekusi Paulus, tapi yang pasti ia tahu akhir hayatnya telah tiba saat menulis surat 2 Timotius. Terbukti ia sudah diadili dan divonis karena berkotbah tentang Kristus, dan kemungkinan hari eksekusinya sudah dijadwalkan. Ia menulis kepada Timotius, "Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat." (2 Timotius 4:6)
Secara wajar harusnya ada kesan kesedihan mendalam dalam surat terakhir Paulus ini. Tapi nyatanya topik yang dominan adalah kemenangan, bukan kekalahan. Paulus menulis surat terakhir kepada Timotius untuk menyemangati sang gembala muda itu supaya berani dan yakin teguh dalam meneruskan teladan yang dipelajarinya dari sang rasul pembimbingnya. Jauh dari kesan menyerah karena kegagalan, Paulus menyuarakan sorak kemenangan:
"Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hariNya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatanganNya. " (2 Timotius 4:7-8)
Menjelang kematiannya, Paulus sama sekali tidak merasakan takut, patah semangat, ataupun hasrat untuk tetap hidup di dunia ini. Ia tidak sabar ingin bersama Kristus dan bersiap-siap untuk menerima upah di kehidupan yang akan datang. Karenanya, saat ia menelaah kembali perjalanan hidupnya, ia tidak menunjukan penyesalan, ketidakpuasan ataupun merasa ada yang kurang lengkap. Tidak ada tugas, sekecil apapun, yang terabaikan olehnya. Ia telah menyelesaikan pekerjaan yang diberikan Tuhan, seperti disebut dalam Kisah 20:24, ia telah berharap dan berdoa bahwa ia "dapat mencapai garis akhir".
Paulus mengukur kesuksesannya sendiri sebagai pemimpin, sebagai rasul, dan sebagai seorang Kristen, -- yang berarti ia tetap setia kepada Kristus dan menjaga keutuhan kabar baik (Injil Kristus) sesuai dengan apa yang diterimanya. Ia memproklamirkan Firman Tuhan dengan penuh kesetiaan dan tanpa takut. Dan sekarang ia menyerahkan tongkat estafet kepada Timotius dan orang-orang "yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain." (2 Timotius 2:2)
Karenanya, Paulus menghadapi kematiannya dengan semangat kemenangan dan sukacita mendalam. Ia telah mengalami kasih karunia Tuhan menyelesaikan semua yang telah dirancangkan-Nya di dalam dia dan melalui dia, dan dia sudah siap bertemu muka dengan Kristus.
No comments:
Post a Comment