Sejarah Dunia Kuno

2021 a year of miracles and 'unlocking' millions

Feb 6, 2015

Jejak Sejarah Awal Batak

Sebagaimana diakui juga oleh Sitor Situmorang tentang adanya missing-link  dalam kepustakaan yang ada tentang berbagai bidang dari sejarah Batak dan Toba khususnya, maka hal itu dapat juga dirasakan oleh berbagai pihak termasuk penulis sendiri. Adapun yang penulis maksudkan ialah sejarah Batak-Toba yang masih perlu lebih jauh disingkapkan, sehingga terbuka dengan lebih terang benderang. Salah satu karya yang mencerahkan itu berupa buku berjudul "TOBA NA SAE: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX" (Komunitas Bambu, 2009) yang ditulis Sitor Situmorang berdasarkan hasil penelitiannya.

Pada awal abad ke-20, masyarakat Batak-Toba telah memiliki lebih dari 150 bius dengan perhitungan bahwa bius tersebut dihapus oleh Belanda pada tahun 1918 menjadi 150 negeri. Sebagian kecil dari ke-150 negeri tadi  merupakan penggabungan dari beberapa bius. Adapun bius Sianjur Mula-mula disebutkan sebagai bius pertama yang didirikan oleh keturunan Si Raja Batak. "Puluhan generasi sebelumnya, demikian bunyi silsilah para leluhur yang secara kolektif disebut Si Raja Batak, menurunkan suku bangsa Batak-Toba dan membangun sebuah paguyuban yang disebut bius, meliputi kedua lembah sebagai lembah otonom." (Situmorang, 2009:11-12). Kedua lembah dimaksud adalah Lembah Limbong dan Lembah Sagala.

Si Raja Batak adalah nama kolektif untuk para founding fathers sebagaimana disebutkan oleh Sitor Situmorang: "Si Raja Batak: nama kolektif semua leluhur marga; adat yang mempribadi, pewaris kolektif tugas pengayoman adat dan kebudayaan dari Tuan Putri Deak Parujar, Bunda Utama, Si Raja Batak, dan tercantum di setiap silsilah sebagai manusia pertama." (Situmorang, 2009:524). Dengan demikian, Si Raja Batak bukanlah seorang pribadi yang masa hidupnya sekitar abad ke-13 atau ke-14, melainkan nama kolektif  dari masa yang lebih jauh, yaitu dari awal Masehi.

Sejarah pantai Barat mengemukakan tentang Pliny yang berkunjung ke Barus mencatat di dalam bukunya "The Natural History" pada tahun 77 Masehi tentang keberadaan orang Batak. Kemudian pada sekitar tahun 150, Claudius Ptolomeus dari Alexandria (sekarang Mesir), mencatat adanya suatu Negara di wilayah masyarakat Batak yang sekarang. Negara itu disebutnya "Lima Pulau Barus" dan membuat peta Barus di dalam bukunya "Geographia". Adapun orang-orang yang sudah menyebut Barus di masa lalu antara lain: I Tsing (692), Ibnu Chordhadhbeh (846), Marcopolo (1292), Ibnu Batutah (1345), dan lain-lain termasuk adanya prasasti Tamil di Lobu Tua, Barus bertarikh 1088.

Keberadaan bius-bius yang sudah tua tersebut memperlihat adanya lembaga masyarakat yang mengatur cara hidup masyarakat Toba sejak zaman dahulu kala. Sementara Barus sudah ada sebagai pintu bagi Toba di mana Barus merupakan pelabuhan niaga dengan komoditinya yang terkenal yaitu kamfer atau kapur barus. Melihat laporan dari para musafir-musafir yang pernah datang ke Sumatera di masa lalu, maka sangatlah mungkin akan keberadaan Batak-Toba yang sudah tua.

Lebih jauh lagi, kemungkinan akan keberadaan manusia di daerah Batak-Toba telah ditunjukkan lewat hasil penelitian arkeologi. Di dalam bukunya "Prasejarah Kepuluan Indo-Malaysia" (Gramedia: 2000), Peter Bellwood menulis: "Sebagai contoh, sebuah inti polen dari rawa Pea Sim Sim dekat Danau Toba di Sumatera bagian Utara (1.450 m di atas permukaan laut) menunjukkan bahwa pembukaan hutan kecil-kecilan mungkin sudah dimulai pada 4.500 Sebelum Masehi." (Bellwood, 2000:339). Di sini Peter Bellwood sebenarnya mengutip dari laporan hasil penelitian Bernard Kevin Maloney di daerah Humbang, tepatnya di Tao Sipinggan dekat Silaban, Pea Sijajap di Simamora, Pea Bullok di dekat Sibisa - Siborong-borong, dan Pea Sim Sim di sekitar sebelah Barat dari Naga Saribu. Di dalam laporan penelitian itu diungkapkan tentang kemungkinan adanya kehidupan di Tao Sipinggan pada sekitar 2.500 tahun lalu, di Pea Sijajap pada sekitar 2.600 tahun lalu, Pea Bullock pada sekitar 2.700 tahun lalu. Sedang yang paling tua dari itu ditemukan kemungkinan kehidupan  di Pea Sim Sim pada sekitar 6.500 tahun lalu (http://ejournal.anu.edu.au/index.php/bippa/article/viewFile/432/421).

Apa yang dikemukakan oleh Peter Bellwood dan Bernard Kevin Maloney bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Bila menilik pada hasil penelitian yang sudah pernah dilakukan di sekitar daerah tersebut, maka hal itu semakin mungkin. Sebagaimana penelitian arkeologi yang pernah dilakukan telah ditemukan jejak-jejak manusia dari pendukung budaya Hoa Bin Hian di daerah pantai Timur sekitar Deli Serdang, Langkat, Aceh Tamiang, hingga Lhokseumawe. Pendukung budaya Hoa Bin Hian ini datangnya dari Vietnam bagian Utara pada masa Mesolitik, yaitu sekitar 10.000 – 6.000 tahun lalu. Dari pantai Barat ada juga kemungkinannya mengingat Pulau Nias juga sudah didatangani oleh para pendukung budaya Hoa Bin Hian ini pada masa Mesolitik dan kelompok lain yang lebih awal (Wiradnyana, 2011: 19-30; Wiradnyana & Setiawan, 2011:79-158).

Penelitian Maloney yang dipadukan dengan penelitian-penelitian di pantai Timur dan dari arah pantai Barat seperti Nias tadi memperlihatkan adanya kemungkinan yang besar tentang asal-usul Batak-Toba. Meskipun demikian masih diperlukan penelitian ilmiah selanjutnya untuk menjelaskan hubungan dari hasil penelitian barusan dengan masyarakat Toba yang memulai bius di Sianjur Mula-mula. Melihat kepada hasil-hasil penelitian tadi, maka semakin kuat dorongan agar dilakukannya penelitian arkeologi juga di daerah Samosir terutama di sekitar Sianjur Mula-mula dan Pusuk Buhit. Keahlian bertani di sawah dan kemampuan membangun organisasi bius sebagaimana telah berlangsung sejak awal Masehi memerlukan penelitian yang lebih jauh lagi. Adanya missing-link tentang berbagai bidang mengundang pertanyaan yang memerlukan jawaban, agar semuanya menjadi terang-benderang. Kiranya ini menjadi penantian kita bersama dan harapan hita bersama, agar peneliti-peneliti muncul untuk melakukan penelitian tentang berbagai hal di Tanah Batak.

No comments: