Sejarah Dunia Kuno

2021 a year of miracles and 'unlocking' millions

Jun 23, 2015

Asal Usul Nenek Moyang Bongso Batak

​Misteri asal usul nenek moyang orang Batak yg hidup di Sumatera Utara, & sebahagian wilayah Aceh Singkil, Gayo, juga Alas, waktu ini telah sejak mulai ketahuan. Dari banyaknya fakta & hasil penelitian yg dilakukan sejak mulai dari dataran pegunungan di Utara Tibet, Khmer Kamboja, Thailand, sampai Tanah Gayo di Takengon, Aceh, nyatanya nenek moyang Bongso Batak berasal dari keturunan suku Mansyuria dari Ras Mongolia.

Fakta ini di sampaikan Guru Gede Sosiologi-Antropologi Kampus Negara Medan, Prof DR Bungaran Antonius Simanjuntak dalam makalah berjudul "Orang Batak dalam Histori Kuno & Moderen"

Terhadap periode itu, nenek moyang orang Batak ini diusir oleh suku Barbar Tartar dari tanah leluhurnya di Utara Tibet. Pengusiran itu menyebabkan suku Mansyuria bermigrasi ke pegunungaan Tibet lewat Tiongkok (Cina). Dari sejarah migrasi itu, waktu ini di pegunungan Tibet sanggup ditemukan satu buah danau dgn nama Toba Tartar.

"Suku Mansyuria memberikan nama danau itu utk mengenang sejarah pengusiran mereka oleh suku Barbar Tartar," terang Bungaran seraya menyambung fakta ini diketahuinya bersama membuktikan serta-merta lewat penelitian dgn dua rekannya dari Belanda & Thailand.

Terkecuali lewat peneletian cepat, pembuktian berkenaan asal usul nenek moyang orang Batak serta diperkuat lewat sebanyak literatur. Antara lain, Elizabeth Seeger, Peristiwa Tiongkok Selayang Pandang yg menegaskan nenek moyang orang Batak dari Suku Mansyuria, & Edmund Leach, Rithingking Anhtropology yg mempertegas pertalian vertikal kebudayaan Suku Mansyuria bersama Suku Batak.

Hasil penelitian kajian literatur itu, Bungaran mendapatkan bahwa sesudah dari pegunungan Tibet, suku Mansyuria turun ke Utara Burma atau perbatasan dgn Thailand. Di sini, suku Mansyuria meninggalkan budaya Dongson. Ialah suatu kebudayan original suku bangsa ini yg serupa bersama budaya Batak yg ada kini ini.

Tidak bersi kukuh lama di wilayah itu, suku Mansyuria yg konsisten dikejar-kejar suku Barbar Tartar kembali bergerak menuju arah Timur ke Kmer Kamboja, & ke Indocina. Dari Indocina, suku Mansyuria jadi manusia kapal menuju Philipina, setelah itu ke Sulawesi Utara, atau Toraja (ditandai dgn hiasan kerbau terhadap Rumah Etika Toraja).

Seterusnya mereka turun ke Tanah Bugis Sulawesi Selatan (ditandai bersama kesamaan logat bersama orang Batak), & mengikuti angin Barat dgn berlayar ke arah Lampung di wilayah Ogan Komering Ulu, & hasilnya naik ke Pusuk Buhit, Danau Toba.

Disaat berlayar dari Indocina, sebahagian suku Mansyuria melintasi Tanah Genting Kera di Semenanjung Melayu. Dari sini, mereka berlayar menuju Pantai Timur Sumatera, & mendarat di Kampung Teluk Aru di daerah Aceh.

Dari Teluk Aru ini, suku Mansyuria yg tetap bermigrasi itu naik ke Tanah Karo, & setelah itu menambahkan perjalanan sampai hingga ke Pusuk Buhit.

"Penerus keturunan suku Mansyuria yg selanjutnya jadi nenek moyang orang Batak ini tetap berpindah-pindah dikarenakan mengikuti pesan para pendahulunya bahwa utk menghindari suku Barbar Tartar, sehingga ruang tinggal mesti di wilayah dataran tinggi. Tujuannya supaya mudah mengetahui kedatangan musuh," urai Bungaran.

Dari catatan Bungaran, generasi penerus suku Mansyuria tak cuma menetap di Pusuk Buhit, namun pula di wilayah Barus, & sebahagian lagi menetap di Tanah Karo.

Lama perjalanan migrasi suku Mansyuria dari tanah leluhur di Utara Tibet sampai keturunananya menetap di Pusuk Buhit, Barus & Tanah Karo, seputar 2.000 thn. Maka website nenek moyang orang Batak di Pusuk Buhit, diperkirakan sudah berumur 5.000 thn.

"Fakta ini ketahuan lewat penemuan kerangka manusia purba di kurang lebih Takengon di daerah Gayo yg menunjukkan bahwa peninggalan manusia itu ada hubungannya bersama Budaya Dongson yg serupa budaya Batak," beber Bungaran.

Menurut sebanyak literatur, budaya Dongson mampu diidentikkan dgn sikap kebudayaan mengenang (Kommemoratif) tradisi & warisan nenek moyang yg wajib dilakukan oleh generasi penerus keturunan kebudayaan ini.

Budaya seperti ini, tetap diterapkan dengan cara nyata oleh orang Batak, terutama dalam rangka membangun persaudaraan horizontal/global. Ialah hula-hula/kalimbubu/tondong mesti konsisten dihormati, meskipun pula kondisi ekonominya teramat miskin. Begitu juga terhadap boru, biarpun pula amat sangat miskin, pun mesti masih dikasihi.

Bangsa Moor di Spanyol

​Perpecahan internal penguasa-penguasa Muslim ditambah serangan bertubi-tubi dari berbagai kerajaan Eropa membuat kekuasaan Moor di Spanyol goyah.
Bangsa Moor adalah sebut an untuk umat Islam di Semenanjung Iberia yang memerintah Spanyol antara 711 M hingga 1492. Pemimpin Islam yang mencapai Spanyol pertama kalinya adalah Abd al-Rahman. Orang-orang Kristen di Semenanjung Iberia mulai menggunakan istilah `Moor' secara eksklusif untuk umat Islam. Moor merupakan sebuah kata yang mengacu pada orang yang berasal dari Maroko. Hal tersebut dikarenakan umat Islam yang pertama tiba di Spanyol pada 711 merupakan orang Arab yang berasal dari Afrika Utara. Selain Moor, kata-kata lain seperti `Moriscos' dan `Mudejares' digunakan untuk sebutan bangsa Moor pada pertengahan abad ke-13.

Bangsa Moor tinggal di Andalusia, Spanyol, yang pada periode awal sejarah termasuk wilayah Portugal dan selatan Prancis. Pada Ramadhan 732 M, umat Islam dikalahkan di Tours-Poitiers, Prancis, yang dikenal dengan sebutan "The Pavement of the Martyrs" atau dalam bahasa Arabnya "Balaat asSyuhad" yang berarti tanah para syuhada. Akibat kekalahan tentara Moors dari pasukan Karel Martel (Charlemagne) tersebut, kontrol umat Islam di wilayah Toulouse, Narbonne, Lyon, dan wilayah Prancis Selatan lainnya menghilang hingga 975 M. Setelah Prancis gagal dikuasai, umat Islam di Spanyol memusatkan perhatian pada Andalusia, Spanyol selatan, untuk membangun sebuah peradaban.

Andalusia berasal dari bahasa Arab, `Al-Andalus', yang memiliki beberapa arti.
Salah satu artinya adalah "menjadi hijau setelah musim panas yang panjang atau kekeringan", dan sejarah Semenanjung Iberia selama berabad-abad membuktikannya ketika Muslim menguasai Spanyol. Selain mengembangkan Andalusia, bangsa Moor menciptakan berbagai istana mewah yang indah.
Salah satu yang paling terkenal di Alhambra, Granada. Istana Alhambra mulai dibangun pada 1238 oleh Sultan Muhammad ibn al-Ahmar.

Di Spanyol, Bangsa Moor menikah dengan berbagai bangsa, termasuk penduduk Spanyol-Muslim dan memerintah dengan kebijaksanaan dan keadilan. Orang-orang Kristen dan Yahudi diperlakukan dengan toleransi sehingga beberapa dari mereka banyak yang menduduki jabatan penting di pemerintahan, bahkan ada pula yang akhirnya memeluk agama Islam. Mereka pun diizinkan untuk bekerja, melayani tentara, mengelola tanah, dan bahkan mempraktikkan ajaran agama masing-masing.

Di bawah pemerintahan bangsa Moor, perekonomian Spanyol menjadi makmur.
Mereka juga meningkatkan perdagangan dan pertanian, mengembangkan seni, memberikan kontribusi berharga bagi ilmu pengetahuan, dan menjadikan Cordoba sebagai kota paling canggih di Eropa. Dalam dua dekade, mayoritas penduduk Andalus, terutama sebagian besar orang Kristen, menerima Islam sebagai pengakuan atas keamanan, perdamaian, serta kebebasan beragama dan berekspresi di bawah kekuasaan Muslim.

Selama masa pemerintahan Abdur-Rahman (755-788) bangsa Moor mulai membangun peradaban Islam seperti yang sudah berkembang di Damaskus dan Bagdad. Tempat tinggal khalifah, Madinat al-Zahra, sebuah kompleks istana yang terbuat dari marmer, semen, gading, dan onyx.
Madinat al-Zahra dibangun selama 40 tahun dengan biaya sepertiga dari pendapatan Cordoba, salah satu keajaiban dunia pada masa itu.

Pada abad ke-10, jumlah penduduk Cordoba mencapai 500 ribu. Menurut sejarah, kota ini memiliki 700 masjid, 60 ribu istana, dan 70 perpustakaan yang menyimpan lebih dari 500 ribu manuskrip. Cordoba juga memiliki sekitar 900 pemandian umum dan jalanannya dihiasi lampu, kota pertama di Eropa yang mempunyai lampu jalanan.

Selama hampir delapan abad, di bawah kekuasaan bangsa Moor Spanyol menjadi contoh negara beradab.
Kesuburan tanahnya membuat hasil pertanian sangat produktif, ditambah keterampilan teknik dari para penakluk. Kota-kota muncul tak terhitung jumlahnya. Di Cordoba terdapat segala keindahan dan ornamen yang menyenangkan mata. Kalung mutiara dan gaun yang indah menjadi seni dan industri.
Seni, sastra, dan ilmu pengetahuan berkembang dengan pesatnya.Matematika, astronomi, botani, sejarah, fil safat, dan hukum menjadi ilmu pengetahuan yang berkembang di Spanyol.

Selain itu, kecermerlangan Granada mengirimkan cahaya pengetahuan ke seluruh penjuru Eropa dengan inspirasi semangat pengetahuan.
Pada saat banyak raja Eropa tidak bisa membaca atau menulis, seorang sultan Moor memiliki perpustakaan pribadi dengan enam ratus ribu buku. Pada saat 99 persen orang Eropa masih buta huruf, Kota Moor dari Cordoba memiliki 800 sekolah umum. Tidak ada sebuah desa dalam batas-batas kesultananan Moor, kecuali mempunyai layanan pendidikan yang bisa dinikmati oleh anak-anak petani paling miskin. Sulit untuk menemukan seorang petani Moor yang tidak bisa membaca.

Bangsa Moor di Spanyol mulai melemah akibat pertikaian internal dan serangan dari kerajaan-kerajaan Kristen yang tak henti-hentinya.
Sedikit demi sedikit, kekuatan bangsa Moor mengalami kemunduran dimulai dari Spanyol Utara. Akibatnya, jutaan bangsa Moor meninggalkan Spanyol membawa harta benda mereka. Sementara itu, raja-raja Eropa merebut kembali Toledo, Cordoba, dan Sevilla. Pada abad ke-11, perlawanan orang Spanyol Kristen mulai tumbuh dan di bawah Alfonso VI pasukan Kristen mengambil kembali Toledo. .

Menghadapai perlawanan kerajaan-kerajaan Kristen, para penguasa Muslim di Spanyol meminta bantuan Murabitun, sebuah dinasti suku bangsa Berber di Afrika Utara untuk datang membantu mereka. Pasukan Murabitun datang dan berhasil menghancurkan pemberontakan Kristen di Spanyol. Tetapi, pada 1147 Dinasti Murabitun dikalahkan oleh koalisi lain suku Berber, yaitu Dinasti Muwahidun.

Pada 1482, kerajaan Islam Moor terpecah dan menanti ajal. Akhirnya, pada 2 Januari 1492, Raja Ferdinand dan Ratu Isabella akhirnya mengibarkan bendera Kristen Spanyol atas Alhambra. Pada l8 Desember 1499, sekitar 3.000 Moor dibaptis oleh Kardinal Ximenes dan sebuah masjid terkemuka di Granada diubah menjadi gereja. Ribuan buku hasil karya bangsa Moor dihancurkan oleh Ximenes, kecuali buku tentang pengobatan. Pada 1500, di sebuah mesjid besar, tempat perempuan dan anak-anak mengungsi, semua buku dalam bahasa Arab, terutama Alquran, dikumpulkan untuk dibakar. Ximenes telah membakar lebih dari 1.005.000 volume karya budaya Moor.

Simbol Kekuatan Andalusia

Saat pemerintahan 90 tahun Bani Umayyah jatuh pada 132 H, Abdurrahman bin Muawiyah yang juga dikenal dengan Abdurrahman al-Dakhel, melarikan diri dari cengkeraman Bani Abbas ke Maroko, Afrika Utara. Setelah itu, ia memanfaatkan konflik di Spanyol dan perselisihan antar kabilah Arab.

Dengan bantauan para pendukung Bani Umayyah dan kabilah-kabilah Yaman, Abdurrahman al-Dakhel berhasil memasuki Kota Andalusia, Spanyol, bersama dengan rombongannya yang berasal dari Afrika Utara. Dengan menguasai Kota Qurtuba (Cordoba), Abdurrahman membentuk pemerintahan tangguh dengan nama Pemerintah Bani Umayyah Andalus sebagai penerus Kekuasaan Dinasti Umayyah di Damaskus yang diruntuhkan oleh Dinasti Abbasiyah. Mereka pun mendapat sebutan 'Moor' oleh masyarakat Spanyol setempat.

Setelah itu, Abdurrahman III menyebut dirinya sebagai khalifah. Ia kemudian memerintahkan pembangunan Kota Madinat al-Zahra dalam program ideologi dan politiknya. Madinat al-Zahra dibangun 13 kilometer Barat Laut Cordoba, Spanyol, dengan panjang 1,52 kilometer dan lebar 745 meter. Kompleks Madinat al-Zahra terbagi menjadi tiga bagian. Bagian utama adalah istana khalifah yang disebut dengan Dar al-Mulk. Kemudian, di bagian tengah berdiri bangunan pemerintahan dan ruang resepsi untuk tamu-tamu penting. Antara bagian tengah bagian akhir berdiri sebuah masjid.

Untuk membangun Madinat al-Zahra, Abd al-Rahman III menggunakan seper tiga dari seluruh penerimaan negara untuk pembangunan kota tersebut. Pembangunan Madinah al-Zahra menghabiskan waktu 40 tahun. Sekitar 25 tahun di bawah pemerintahan Abdul Rahman III (tahun 936 hingga 961) dan 15 tahun di bawah alHakam II (tahun 961 hingga 976). Dapat dikatakan, Madinat alZahra merupakan proyek bangunan terbesar dan paling ambisius pada masa itu.

Pada 1010, Madinat al-Zahra tidak hancur ketika kelompok-kelompok pemberontak Berber mengobrak-abrik simbol kekhalifahan Cordoba. Hingga abad 12, Madinah al-Zahra masih dihuni. Pembangunan Madinat al-Zahra oleh Abdurrahman III memberikan pesan penting kepada rival-rival pemerintahannya, seperti Dinasti Fathimiyah di Mesir dan Bani Abbas di Baghdad. Pada abad 19, reruntuhan Madinat al-Zahra ditemukan di sebelah barat Cordoba. Kini, barang dan peninggalan kota Bani Umayyah di Spanyol ini disimpan di museum dekat Cordoba.

Jun 19, 2015

Penembakan Robert F Kennedy

Robert F Kennedy, adik dari mantan presiden Amerika Serikat (AS) John F Kennedy (JFK), ditembak sebanyak tiga kali pada 5 Juni 1968, yang kemudian merenggut nyawanya sehari kemudian, 6 Juni.



Dilansir dari laman History, Robert ditembak di Hotel Ambassador, Los Angeles, oleh seorang Palestina bernama Sirhan Sirhan. Apa yang menjadi motif penembakan tidak jelas hingga saat ini.

Beberapa jurnalis meyakini, Sirhan adalah bagian dari konspirasi, yang dilakukan oleh kelompok konservatif AS, terkait janji Robert untuk mengakhiri Perang Vietnam jika dia terpilih sebagai presiden.

Seperti halnya JFK, yang pembunuhannya juga diyakini bagian dari konspirasi, Robert dikenal sebagai pembela hak-hak sipil dan anti-perang. Robert ditembak, setelah memberikan pidato kemenangan pada para pendukungnya.

Robert yang lahir di Brookline, Massachusetts pada 1925, menunda studinya di Universitas Harvard, untuk bergabung dengan Angkatan Laut AS selama berlangsungnya Perang Dunia II.

Dia menjadi penasihat hukum untuk berbagai komite di Senat pada 1950-an, hingga menjadi manajer kampanye pilpres saudaranya, JFK, yang kemudian sukses terpilih sebagai presiden.

JFK menunjuk Robert menempati posisi Jaksa Agung, mengadili banyak kasus yang terkait dengan hak-hak sipil. Setelah JFK dibunuh pada 1963, Robert bergabung dengan pemerintahan presiden Lyndon B Johnson.

Robert F Kennedy dikenal sebagai pembela kaum minoritas dan anti-perang.

Elizabeth II Naik Tahta

Elizabeth II naik tahta menjadi Ratu Inggris pada 2 Juni 1953, melalui upacara yang dihadiri 1.000 tamu undangan di Westminster Abbey, London, Inggris, diikuti oleh ratusan juta pendengar radio.

Dilansir dari laman History, Elizabeth II berusia 27 tahun ketika itu. Suaminya, duke of Edinburgh, berusia 30 tahun. Elizabeth yang lahir pada 21 April 1926, adalah putri pertama Pangeran George, putra kedua Raja George V.



Saat Kakek Elizabeth itu wafat pada 1936, pamannya naik tahta sebagai Raja Edward VIII. Namun dia kemudian turun dari tahta, terkait kontroversi atas pernikahannya dengan Wallis Warfield Simpson.

Ayah Elizabeth kemudian naik menggantikan Edward, menjadi Raja George VI. Saat Perang Inggris, Putri Elizabeth dan adiknya, Putri Margaret, tinggal jauh dari London di tepi kota.

Elizabeth menikah dengan sepupunya, Philip Mountbatten, mantan pangeran Yunani dan Denmark, yang melepaskan titelnya demi menikah dengan Elizabeth. Dia kemudian mendapat gelar duke of Edinburgh.

Putra pertama mereka lahir pada 1948, Pangeran Charles. Disusul kelahiran Putri Anne pada 1950. Pasangan itu sedang dalam perjalanan di Kenya, saat Raja George VI meninggal pada 6 Februari 1952.

Elizabeth segera diumumkan sebagai Ratu Inggris, namun upacara pengangkatannya baru dilakukan pada 2 Juni 1953 di Westminster Abbey. Dia telah berusia 89 tahun pada 21 April 2015 lalu.

Itu membuatnya menjadi individu tertua ketiga, yang pernah memegang mahkota kerajaan Inggris. Walau telah melimpahkan sebagai tugas pada putranya, Charles, dia belum memberi indikasi bersedia turun tahta.

Jun 17, 2015

Hubungan Minahasa & Israel

Tulisan kuno kata Minahasa disebut Aksara Malesung terdapat di beberapa batu prasasti di antaranya berada di Pinawetengan. Aksara Malesung merupakan tulisan hieroglif, yang hingga kini masih sulit diterjemahkan.

Di Manado Terdapat Tugu Menorah Zionist Yahudi Terbesar di Dunia

Sebuah tugu baru menjulang setinggi 62 kaki (19 meter) di sebuah puncak dataran tinggi pinggiran kota Manado. Bangunan itu tidak lain sebuah menorah raksasa, yang mungkin ukurannya paling besar di seluruh dunia. Menorah adalah salah satu lambang suci peribadatan Yahudi. Lama dikenal sebagai daerah yang banyak dihuni penganut dan misionaris Kristen, wilayah tersebut kini semakin banyak menampakkan identitas Yahudi. Dengan restu dari pemerintah daerah setempat, orang-orang keturunan Yahudi Belanda membuat ruang bagi komunitas mereka di kawasan itu.

Bendera-bendera Israel terlihat di pelataran ojek dekat tugu menorah raksasa. Salah satunya terletak di dekat sebuah sinagog yang dibangun sekitar enam tahun lalu. Bintang Daud besar menghiasi langit-langit sinagog itu. Tugu, sinagog dan fasilitasnya semua dibangun dengan biaya dari kas pemerintah daerah.
Sebelum meminta bantuan dari komunitas Yahudi lain di luar Indonesia, kaum Yahudi setempat mempelajari ajaran agama mereka lewat internet. Halaman-halaman Taurat hasil cetakan dari internet mereka kumpulkan. Rekaman video berisi ajaran Yahudi mereka unduh dari YouTube. Mereka bertanya tentang agamanya kepada Rabi Google. "Kami hanya berusaha menjadi Yahudi yang baik," kata Toar Palilingan, Memimpin sebuah acara makan malam perayaaan Sabbath di kediaman keluarganya, Toar mengenakan pakaian ala Yahudi, dengan topi hitam lebar, kemeja putih dengan setelan jas warna hitam. Bersama sekitar sepuluh orang Yahudi, mereka biasanya beribadah di sebuah sinagog peninggalan Belanda di pinggiran kota Manado.

Toar Palilingan yang kini juga dikenal dengan nama Yaakov Baruch, Yahudi Indonesia
"Tapi jika dibandingkan dengan Yahudi di Yerusalem atau Brooklyn, kami belum sebanding", kata Toar Palilingan yang kini juga dikenal dengan nama Yaakov Baruch, nama Yahudi yang dipakainya. Palilingan alias Yaakov adalah angota Indonesian Jewish Community (IJC) sekaligus Ketua North Sulawesi Jewish Community (NSJC). Indonesia dan Israel tidak memiliki hubungan diplomatik, namun sejak berpuluh-puluh tahun lalu secara diam-diam pemerintah telah melakukan kerjasama di bidang militer dan ekonomi dengan negara Zionis itu. Beberapa tahun belakangan, para pengusaha dari Israel dan Yahudi dari negara lain secara diam-diam berkunjung ke Indonesia untuk mencari peluang usaha. Salah satu di antaranya adalah Moshe Kotel. Pria berusia 47 tahun ini lahir di El Salvador namun memiliki kewarganegaraan Israel dan Amerika Serikat.

Dia telah mengunjungi Manado setiap tahun sejak 2003 dan memiliki bisnis telur organik. Kotel yang memiliki istri orang Manado mengatakan gugup, ketika pertama kali mendarat di bandara setempat. "Waktu itu sudah pukul 11 malam, dan saya membawa tefilin," cerita Kotel. Tefilin adalah sepasang kotak kulit kecil hitam tempat menyimpan gulungan perkamen berisi ayat-ayat Torah yang biasa dililitkan di tangan dan lengan ketika mereka membaca kitab sucinya.
"Tapi setelah melihat ada bendera-bendera Israel di taksi-taksi bandara, saya selalu merasa diterima di sini," katanya. Pemerintah Sulawesi Utara mendirikan tugu menorah itu tahun 2010 lalu dengan biaya 150 ribu dolar AS, kata Margarita Rumokoy, kepala dinas pariwisata setempat. Denny Wowiling, seorang anggota DPRD setempat, menekankan bahwa orang Kristen dan Muslim hidup damai di provinsi Sulawesi Utara. Tetapi ia juga mengakui adanya kekhawatiran kalau mereka akan dijadikan target sasaran orang-orang dari luar untuk membuat kerusuhan. Ia juga mengatakan dirinyalah mengajukan pembangunan menorah itu setelah melihat tugu serupa yang terdapat di depan gedung Knesset di Israel. Katanya, dia berharap tugu itu dapat menarik turis-turis dan pengusaha dari Eropa berkunjung ke daerahnya. "Agar orang-orang Yahudi melihat bahwa ada simbol sakral ini, simbol sakral mereka, di luar negaranya," kata Denny yang seorang penganut Kristen Pantekosta.

Dua tahun sebelum menorah raksasa itu didirikan, sebuah developer Kristen juga mendirikan patung Yesus setinggi 98 kaki di puncak sebuah bukit di sana. Ukurannya sekitar 3/4 dari patung Kristus Redeemer yang terkenal dari kota Rio de Janeiro. Menurut Anthony Reid, seorang pakar masalah Asia Tenggara di Universitas Nasional Australia, pada masa penjajahan Belanda komunitas Yahudi menguasai bisnis di banyak kota dagang di Indonesia. Seringkali mereka menjalani usaha real estate, bertindak sebagai penghubung antara pemerintah kolonial dan penguasa setempat. Pada masa sebelum kemerdekaan, keluarga keturunan Yahudi Belanda di Menado menjalankan agama mereka secara terang-terangan. Setelah itu mereka pindah agama Kristen atau Islam dengan alasan untuk keamanan. "Kami menyuruh anak-anak agar jangan pernah bicara tentang leluhur Yahudi kami," kata Leo van Beugen, yang dibesarkan sebagai pengikut Katolik Roma. "Jadi cucu-cucu tidak tahu." Van Beugen adalah kakek-pamannya Toar Palilingan.

Baru lebih dari sepuluh tahun lalu, ketika mereka berdebat tentang Bibel dan Musa, nenek-bibinya mengungkap tentang darah Yahudi mereka. Toar Palilingan yang bekerja sebagai dosen di Universitas Sam Ratulangi, memiliki ayah seorang Kristiani dan ibu seorang Muslim.
Mereka juga menjadi dosen di tempat yang sama. Saudara dari keluarga ibunya merupakan keturunan imigran Yahudi Belanda abad ke-19, Elias van Beugen.
Nenek-bibinya menyarankan Toar menemui keluarga Bollegraf, salah satu keluarga Yahudi terpandang di Menado. Oral Bollegraf yang kini berusia 50 tahun, menganut Kristen Pantekosta sepanjang hidupnya, tapi dia tahu bahwa kakeknya adalah orang yang memelihara satu-satunya sinagog di Menado di rumah keluarganya. "Dulu kami tidak tahu kalau kami Yahudi," kata Bellograf yang belum lama ini mengunjungi Israel bersama Toar Palilingan.

Tapi semua orang di kota ini mengetahui kami keluarga Yahudi." Toar melakukan kontak dengan rabi Mordechai Abergel, seorang utusan gerakan Chabad Labavitch di Singapura. Chabad Lubavitch sendiri bermarkas di Brooklyn, Amerika Serikat. Menurut Abergel, Toar Palilingan telah melakukan sebuah "usaha yang hebat" untuk menyambung kembali akar Yahudinya, meskipun dia belum melakukan perpindahan agama secara penuh.
Untuk menunjukkan komitmennya pada apa yang dia sebut sebagai 'kemurnian' ajaran Yahudi ultra Ortodoks, Toar Palilingan kadang mengenakan pakaian khas Yahudi berupa setelan warna hitam putih saat berada di tempat-tempat umum di Manado, bahkan ketika dia berada di Jakarta. "Kebanyakan orang Indonesia belum pernah bertemu orang Yahudi, jadi mereka mengira saya dari Iran atau tempat lain," kata Toar.
Eksistensi Yahudi di Indonesia ternyata tidak hanya nampak di Synagog Surabaya. Di Manado, komunitas Kristen Pantekosta melestarikan agama dan tradisi Yahudi. New York Times dalam liputannya beberapa waktu lalu menyoroti eksistensi Yahudi Manado bertajuk "In Sliver of Indonesia, Public Embrace of Judaism."
Sebuah menorah raksasa setinggi 62 kaki, dan mungkin yang terbesar di dunia, baru saja dibangun. Menorah milik pemerintah daerah setempat ini melintasi pegunungan dan melewati kota Manado. Menorah adalah salah satu lambang suci peribadatan Yahudi. Area ini lama dikenal sebagai salah satu benteng Kristen dan apalagi baru-baru ini tempat tersebut digunakan sebagai rumah untuk kelompok Kristen evangelis dan kharismatik. Area yang berada di pinggiran utara Indonesia ini sangat menonjolkan identitas Yahudi.

Sinagog Beth Hashem, tempat peribadatan Manado Yahudi.
Hal tersebut terjadi setelah beberapa orang memeluk agama sesuai dengan nenek moyang mereka yang merupakan warga negara Belanda keturunan Yahudi.
Dengan ijin dan bantuan pemda setempat, mereka mendapat tempat untuk kalangan mereka sendiri di Indonesia, sebuah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia.

Jadi, uang rakyat dihambur-hamburkan hanya untuk segelintir minoritas kecil (micro minority) yang justru bukan suku asli asia atau justru bukan untuk suku asli Indonesia? Dan hanya untuk mencari muka kepada Israel? Tidak seperti kepercayaan lainnya yang multikultur dan dapat dianut oleh seluruh umat dunia, Hebrew hanyalah kepercayaan "satu suku" saja.

Jauh lebih baik dana sebesar itu untuk membuat Klenteng, Vihara, Gereja ataupun Pura, karena pasti lebih banyak orang yang akan mengunjunginya untuk ibadah dan merupakan kepercayaan dan agama yang sudah dianut ratusan tahun lalu oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Yahudi hanyalah rumpun suku seperti semua suku lainnya, yang sejak dulu selalu "diboncengi" oleh kaum penganut disbeliever, satanic dan juga zionist. Oleh karenanya sejak dulu pula, kaum yang dikenal sebagai penentang, pemburu dan pembunuh para Nabi ini justru diturunkanlah orang-orang terpilih tersebut di tengah-tengah kaum mereka, agar mereka sadar. Mereka adalah barometer manusia paling "bandel", namun walau begitu diantara mereka banyak yang sadar, bahkan menjadi penganut agama yang taat. Mereka juga pada awalnya selalu disusupi oleh penganut disbeliever yang justru dari kaumnya sendiri.

Penganut faham Yahudi di Indonesia, Shalom Aleichem

Oleh karenanya, nyaris semua Nabi diutus diantara mereka untuk menyadarkan. Karena sebagai barometer umat, maka jika kaum mereka mengasihi umat lainnya, maka dunia akan aman, tenteram dan damai tanpa ada peperangan.
Di Indonesia, kaum turunan Yahudi ini terpaksa membaur dengan umat dan kepercayaan lain, karena kepercayaan mereka tidak pernah diakui oleh negara.
Mereka telah berbaur dan masuk ke dalam agama-agama lainnya di Indonesia. Penganut Yahudi Kristen tetap ke Gereja dengan Al-Kitabnya namun hanya mengagungkan nabi Musa dan Daud.
Begitu pula dengan kaum Yahudi Islam dengan Al-Qur'annya namun sama seperti kaum Yahudi Kristen, mereka hanya mengagungkan Nabi mereka saja. Yahudi Islam menggunakan pakaian yang sangat mirip seorang muslim, baju koko, peci, sorban dan lainnya. Yang wanitapun berkerudung, sangat berbaur sekali dengan umat lainnya.
Saat ini sudah ada 3000 Yahudi di Surabaya, 5000 Yahudi di Jakarta dan 1000 Yahudi di Manado. Semoga saja mereka menjadi Yahudi ortodok seperti kelompok Yahudi Neturei Karta (google), yaitu Yahudi penentang zionist dan pembela bangsa-bangsa yang ditindas zionist, seperti bangsa Palestina.
Yahudi di Indonesia Berupaya Jadi Agama Resmi
Para pemeluk Yahudi di Manado ingin agamanya diakui sebagai agama resmi di Indonesia dan pernikahan dengan ajaran Yahudi pun diakui secara resmi di Indonesia. Kata Rabbi Yaakov Baruch, pemimpin ibadah Yahudi di Manado, selama ini, jika menikah, kaum Yahudi di Indonesia "meminjam" prosesi agama yang mereka peluk. Itu agar pernikahan mereka diakui pemerintah. Dulu,  mereka mencantumkan agama lain di kartu tanda penduduk (KTP). Karena itu, Yaakov bersama anggota komunitas Yahudi lainnya sedang berupaya agar Yahudi diakui sebagai agama resmi di Indonesia. Selain itu, dia meminta agama Yahudi menjadi salah satu pilihan kolom agama di KTP. Mereka sudah menyewa pengacara untuk mengusahakannya, baik lewat jalur hukum formal maupun lobi-lobi. "Berkas-berkas sudah kami siapkan. Pengacara yang tahu detail teknisnya," kata Yaakov yang juga dosen fakultas hukum ini.

Yaakov menuturkan, di masa pemerintahan Belanda di Indonesia, agama Yahudi diakui sebagai agama resmi. Begitu pula ketika masa pemerintahan Soekarno. Bahkan, hak penganut Yahudi sama dengan agama lainnya seperti Islam, Kristen, dan Katolik. Yaakov lantas menunjukkan kopi surat lawas surat Menteri Agraria yang dirilis pada 1961. Surat tersebut menyatakan mengakui bahwa kaum agama Israelit (sebutan kaum Yahudi pada masa itu) diakui sebagai agama di Indonesia. "Kenapa sekarang tidak" Kami memiliki hak yang sama," kata Yaakov. Sampai saat ini Yaakov belum mengetahui jumlah penganut Yahudi seluruh Indonesia. Yang dia ketahui baru dua komunitas. Yakni, di Manado dan di Surabaya. Namun, hanya komunitas Yahudi Manado yang terbuka kepada publik. Di daerah selain Manado dan Surabaya, bisa jadi ada karena banyak Yahudi Belanda dan Portugis yang datang ke Indonesia.
Dengan Yahudi diakui pemerintah, Yaakov berharap para penganut Yahudi berani muncul. Mereka juga bisa beribadah dengan tenang dan dokumentasi anak keturunan mereka menjadi jelas. "Kami capek kucing-kucingan terus. Sudah saatnya agama Yahudi diakui di Indonesia," katanya.

Kian Eksis
Selama ini para pemeluk agama Yahudi di Indonesia memilih beribadah secara diam-diam. Tapi, di Manado, Sulawesi Utara, mereka semakin terbuka dalam beribadah. Jumlah komunitas mereka pun mencapai ratusan orang. Di Manado dan sekitarnya, setidaknya ada dua bangunan khas Yahudi. Yakni, tempat ibadah atau yang biasa disebut sinagog dan menorah setinggi 62 kaki. Sinagog berada di Tondano, Kabupaten Minahasa, sekitar 35 kilometer dari Manado. Sedangkan menorah terletak di atas bukit Gunung Klabat di Kabupaten Minahasa Utara, sekitar 20 kilometer dari Manado. Dengan adanya sinagog, kaum Yahudi di Sulawesi Utara tidak perlu susah-susah untuk mencari tempat untuk beribadah. Jumlah penganut Yahudi di Sulawesi Utara sekitar 500 orang. Mereka tidak tinggal di kawasan tertentu atau berkumpul dalam sebuah perumahan. Mereka tinggal terpisah dan berbaur dengan masyarakat umum lainnya. Mereka hanya berkumpul setiap ada perayaan hari raya.

Para penganut Yahudi di Manado adalah Yahudi keturunan. Mereka mendapat darah Yahudi ketika Belanda datang saat masa penjajahan. Namun, pada saat itu mereka mengganti marga dan memilih agama mayoritas daerah yang ditinggalinya. Itu agar mereka bisa berbaur dengan masyarakat setempat.
Salah satu dari mereka adalah pemimpin spiritual Yahudi Manado, Rabbi Yaakov Baruch. Dia mendapat darah Yahudi dari kakeknya dan nenek dari ibunya. Dengan adanya imam Yahudi di Manado, beberapa anak keturunan Yahudi pun beralih memeluk agama Yahudi meski sebagian besar masih bertahan dengan agama lama. "Itu pilihan. Kita tidak bisa memaksa," kata Yaakov. Yaakov menuturkan, keberadaan komunitas Yahudi di Manado tidak untuk menyerukan penganut agama lain menjadi Yahudi. Sebab, untuk menjadi kaum Yahudi tidak bisa serta merta berpindah agama. Mereka harus memiliki darah keturunan Yahudi. Anak keturunan Yahudi, kata Yaakov, baru bisa menjadi penganut Yahudi jika minimal lahir dari rahim ibu Yahudi meski ayahnya dari bangsa lain. Meski ayah Yahudi, tapi ibunya tidak, mereka sejatinya tidak bisa. "Tapi kalau mau ketat begitu, jumlah Yahudi di Indonesia jadi sedikit sekali. Paling cuma ada 20 orang se-Indonesia. Saya rasa tidak harus seketat itulah," katanya.

Salah satu tokoh Yahudi di Indonesia adalah Benjamin Ketang. Dia adalah direktur eksekutif Indonesia-Israel Public Affairs Committee (IIPAC). Berbeda dengan Rabbi Yaakov Baruch yang fokus pada ibadah, Benjamin lebih fokus ke bisnis. Targetnya, mendirikan kantor perwakilan IIPAC di 33 provinsi. "Ini seperti lembaga lobi. Kami murni di bisnis. Terutama yang langsung bersinggungan dengan rakyat," kata Benjamin saat ditemui di Jakarta pekan lalu. IIPAC adalah lembaga yang didirikan pada 2002. Lembaga tersebut berkantor di Jember, Jawa Timur. Komite itu bertujuan menggalang kerja sama antara pemerintah Israel dan Indonesia. Selain itu, menghubungkan Indonesia dengan investor Yahudi meski bukan dari negara Israel.
Benjamin mengatakan, meski Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, kerja sama tetap bisa dilakukan. Memang, kerja sama tersebut bukan G to G alias antar pemerintah. Tetapi, antara investor dan pengusaha atau pemerintah daerah setempat. IIPAC, lanjut Benjamin, merancang program-program yang langsung bersentuhan dengan rakyat. Di antaranya, pemberdayaan petani, nelayan, dan bidang perkebunan. "Ini bukan menyebarkan agama Yahudi atau politik Yahudi. Ini semata untuk bisnis," tuturnya.
Selama ini, kata Benjamin, petani dan nelayan tidak pernah sejahtera. Setiap kali masa panen tiba, harganya jatuh. Akibatnya, mereka sering merugi. "Ini kan persoalan modal. Kami coba menghubungkan kebutuhan rakyat dengan pemodal Yahudi," ungkapnya. Lelaki yang menghabiskan dua tahun belajar S-2 peradaban Yahudi di Universitas Hebrew, Jerusalem, Israel, itu optimistis program tersebut bisa sukses. Sebab, manfaat program langsung dirasakan masyarakat. Apalagi dia mengklaim telah mendapat dukungan dari stakeholder. Lembaga itu juga merupakan organisasi resmi yang sudah mengantongi akta notaris.

Benjamin menambahkan, investasi bangsa Yahudi di Indonesia bukan barang baru. Sebelumnya, perusahaan Yahudi menanamkan duitnya pada perusahaan pertambangan di Indonesia. Termasuk di PT Bakrie and Brothers, perusahaan milik taipan Indonesia Aburizal Bakrie.
Lelaki 38 tahun itu mengatakan, investasi di Indonesia masih cukup sulit bagi bangsa Yahudi.
Alasannya, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Padahal, banyak pengusaha Israel yang ingin berinvestasi. Dengan membuka hubungan diplomatik, dia yakin akan ada banyak keuntungan bagi Indonesia. Mulai posisi politik Indonesia di antara negara-negara dunia hingga akses terhadap beasiswa pendidikan di Israel.
"Posisi Indonesia dengan Israel selalu sulit. Warga Indonesia tidak bisa tinggal lama di Israel. Bahkan, belajar di sana saja susah. Prosedur berbelit. Kalau punya hubungan diplomatik, Indonesia akan dianggap kawan. Negara seperti Amerika tidak akan berani intervensi," katanya.Tugu Menorah terbesar di dunia ini bukan berada di Israel, tapi berada di Manado Indonesia.

Minahasa (dahulu disebut Tanah Malesung) adalah kawasan semenanjung yang berada di provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Kawasan ini terletak di bagian timur laut pulau Sulawesi.
Minahasa juga terkenal akan tanahnya yang subur yang menjadi rumah tinggal untuk berbagai variasi tanaman dan binatang, darat maupun laut. Terdapat berbagai tumbuhan seperti kelapa dan kebun-kebun cengkeh, dan juga berbagai variasi buah-buahan dan sayuran. Fauna Sulawesi Utara mencakup antara lain binatang langka seperti burung Maleo, Kuskus, Babirusa, Anoa dan Tangkasi (Tarsius Spectrum).

Etimology Minahasa

Sebutan "Minahasa" sebenarnya berasal dari kata, Mina yang berarti telah diadakan/telah terjadi dan Asa/Esa yang berarti satu, jadi Minahasa berarti telah diadakan persatuan atau mereka yang telah bersatu. ketika peristiwa persatuan diadakan disebut "Mahasa" yang berarti bersatu. Mahasa pertama diadakan di Watu Pinawetengan untuk pembagian wilayah pemukiman, Mahasa kedua diadakan untuk melawan ekspansi kerajaan bolaang-mongondow, Mahasa ketiga dilakukan untuk menyelesaikan pertikaian antara Walak Kakaskasen yang berkedudukan diLotta(kakaskasen, Lotta dan Tateli) dengan Bantik, yang kesemuanya berasal dari satu garis keturunan Toar-Lumimuut.

Huruf

Tulisan kuno Minahasa disebut Aksara Malesung terdapat di beberapa batu prasasti di antaranya berada di Pinawetengan. Aksara Malesung merupakan tulisan hieroglif, yang hingga kini masih sulit diterjemahkan.

Pemerintahan

Pemerintahan kerajaan di Sulawesi Utara berkembang menjadi kerajaan besar yang memiliki pengaruh luas ke luar Sulawesi atau ke Maluku. Pada 670, para pemimpin suku-suku yang berbeda, yang semua berbicara bahasa yang berbeda, bertemu dengan sebuah batu yang dikenal sebagai Watu Pinawetengan. Di sana mereka mendirikan sebuah komunitas negara merdeka, yang akan membentuk satu unit dan tetap bersama dan akan melawan setiap musuh luar jika mereka diserang. Bagian anak Suku Minahasa yang mengembangkan pemerintahannya sehingga memiliki pengaruh luas adalah anak suku Tonsea pada abad 13, yang pengaruhnya sampai ke Bolaang Mongondow dan daerah lainnya. Kemudian keturunan campuran anak suku Pasan Ponosakan dan Tombulu yang membangun pemerintahan kerajaan dan terpisah dari ke empat suku lainnya di Minahasa. Baca tulisan David DS Lumoindong mengenai Kerajaan di Sulawesi Utara.

Minahasa

Minahasa secara etimologi berasal dari kata Mina-Esa (Minaesa) atau Maesa yang berarti jadi satu atau menyatukan, maksudnya harapan untuk menyatukan berbagai kelompok sub-etnik Minahasa yang terdiri dari Tontemboan, Tombulu, Tonsea, Tolour (Tondano), Tonsawang,Ponosakan, Pasan, dan Bantik.
Nama "Minahasa" sendiri baru digunakan belakangan. "Minahasa" umumnya diartikan "telah menjadi satu". Palar mencatat, berdasarkan beberapa dokumen sejarah disebut bahwa pertama kali yang menggunakan kata "minahasa" itu adalah J.D. Schierstein, Residen Manado, dalam laporannya kepada Gubernur Maluku pada 8 Oktober 1789. "Minahasa" dalam laporan itu diartikan sebagai Landraad atau "Dewan Negeri" (Dewan Negara) atau juga "Dewan Daerah".
Nama Minaesa pertama kali muncul pada perkumpulan para "Tonaas" di Watu Pinawetengan(Batu Pinabetengan). Nama Minahasa yang dipopulerkan oleh orang Belanda pertama kali muncul dalam laporan Residen J.D. Schierstein, tanggal 8 Oktober 1789, yaitu tentang perdamaian yang telah dilakukan oleh kelompok sub-etnik Bantik dan Tombulu (Tateli), peristiwa tersebut dikenang sebagai "Perang Tateli". Adapun suku Minahasa terdiri dari berbagai anak suku atau Pakasaan yang artinya kesatuan: Tonsea (meliputi Kabupaten Minahasa Utara, Kota Bitung, dan wilayah Tonsea Lama di Tondano), anak suku Toulour (meliputi Tondano, Kakas, Remboken,Eris, Lembean Timur dan Kombi), anak suku Tontemboan (meliputi Kabupaten Minahasa Selatan, dan sebagian Kabupaten Minahasa), anak suku Tombulu (meliputi Kota Tomohon, sebagian Kabupaten Minahasa, dan Kota Manado), anak suku Tonsawang (meliputi Tombatu danTouluaan), anak suku Ponosakan (meliputi Belang), dan Pasan (meliputi Ratahan). Satu-satunya anak suku yang mempunyai wilayah yang tersebar adalah anak suku Bantik yang mendiami negeri Maras, Molas, Bailang, Talawaan Bantik, Bengkol, Buha, Singkil, Malalayang (Minanga),Kalasey, Tanamon dan Somoit (tersebar di perkampungan pantai utara dan barat Sulawesi Utara). Masing-masing anak suku mempunyai bahasa, kosa kata dan dialek yang berbeda-beda namun satu dengan yang lain dapat memahami arti kosa kata tertentu misalnya kata kawanua yang artinya sama asal kampung.

Asal Usul Orang Minahasa

Daerah Minahasa dari Sulawesi Utara diperkirakan telah pertama kali dihuni oleh manusia dalam ribuan tahun SM an ketiga dan kedua. orang Austronesia awalnya dihuni China selatan sebelum pindah dan menjajah daerah di Taiwan, Filipina utara, Filipina selatan, dan ke Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Menurut mitologi Minahasa di Minahasa adalah keturunan Toar Lumimuut dan. Awalnya, keturunan Toar Lumimuut-dibagi menjadi 3 kelompok: Makatelu-pitu (tiga kali tujuh), Makaru-siuw (dua kali sembilan) dan Pasiowan-Telu (sembilan kali tiga). Mereka dikalikan dengan cepat. Tapi segera ada perselisihan antara orang-orang. Tona'as pemimpin mereka bernama kemudian memutuskan untuk bertemu dan berbicara tentang hal ini. Mereka bertemu di Awuan (utara bukit Tonderukan saat ini). Pertemuan itu disebut Pinawetengan u-nuwu (membagi bahasa) atau Pinawetengan um-posan (membagi ritual). Pada pertemuan bahwa keturunan dibagi menjadi tiga kelompok bernama Tonsea, Tombulu, Tontemboan dan sesuai dengan kelompok yang disebutkan di atas. Di tempat di mana pertemuan ini berlangsung batu peringatan yang disebut Watu Pinabetengan (Batu Membagi) kemudian dibangun. Ini adalah tujuan wisata favorit.
Kelompok-kelompok Tonsea, Tombulu, Tontemboan dan kemudian mendirikan wilayah utama mereka yang berada Maiesu, Niaranan, dan Tumaratas masing-masing. Segera beberapa desa didirikan di luar wilayah. Desa-desa baru kemudian menjadi pusat berkuasa dari sekelompok desa disebut Puak, kemudian walak, sebanding dengan kabupaten masa kini.
Selanjutnya kelompok baru orang tiba di semenanjung Pulisan. Karena berbagai konflik di daerah ini, mereka kemudian pindah ke pedalaman dan mendirikan desa-desa sekitar danau besar. Orang-orang ini karena itu disebut Tondano, Toudano atau Toulour (artinya orang air). Danau ini adalah danau Tondano sekarang. Minahasa Warriors.
Tahun-tahun berikutnya, kelompok lebih datang ke Minahasa. Ada: orang dari pulau Maju dan Tidore yang mendarat di Atep. Orang-orang ini merupakan nenek moyang dari Tonsawang subethnic. orang dari Tomori Bay. Ini merupakan nenek moyang dari subethnic Pasam-Bangko (Ratahan Dan pasan) orang dari Bolaang Mangondow yang merupakan nenek moyang Ponosakan (Belang). orang-orang dari kepulauan Bacan dan Sangi, yang kemudian menduduki Lembeh, Talisei Island, Manado Tua, Bunaken dan Mantehage. Ini adalah Bobentehu subethnic (Bajo). Mereka mendarat di tempat yang sekarang disebut Sindulang. Mereka kemudian mendirikan sebuah kerajaan yang disebut Manado yang berakhir pada 1670 dan menjadi walak Manado. orang dari Toli-toli, yang pada awal abad 18 mendarat pertama di Panimburan dan kemudian pergi ke Bolaang Mangondow- dan akhirnya ke tempat Malalayang sekarang berada. Orang-orang ini merupakan nenek moyang dari Bantik subethnic. Ini adalah sembilan sub-etnis di Minahasa, yang menjelaskan jumlah 9 di Manguni Maka-9:
Tonsea, Tombulu, Tontemboan, Tondano, Tonsawang, Ratahan pasan (Bentenan), Ponosakan, Babontehu, Bantik.
Delapan dari kelompok-kelompok etnis juga kelompok-kelompok linguistik terpisah.
Nama Minahasa itu sendiri muncul pada saat Minahasa berperang melawan Bolaang Mangondow. Di antara para pahlawan Minahasa dalam perang melawan Mangondow Bolaang adalah: Porong, Wenas, Dumanaw dan Lengkong (dalam perang dekat desa Lilang), Gerungan, Korengkeng, Walalangi (dekat Panasen, Tondano), Wungkar, Sayow, Lumi, dan Worotikan (dalam perang bersama Amurang Bay). Dalam peperangan sebelumnya, Tarumetor (Opo Retor) dari Remboken mengalahkan Ramokian dari Bolaang Mongondow di Mangket.

Kependudukan

Kebanyakan penduduk Minahasa beragama Kristen, dan juga merupakan salah satu suku-bangsa yang paling dekat hubungannya dengan negara barat. Hubungan pertama dengan orang Eropaterjadi saat pedagang Spanyol dan Portugal tiba disana. Saat orang Belanda tiba, agama Kristen tersebar terseluruhnya. Tradisi lama jadi terpengaruh oleh keberadaan orang Belanda. Kata Minahasa berasal dari konfederasi masing-masing suku-bangsa dan patung-patung yang ada jadi bukti sistem suku-suku lama.

Taman Laut Bunaken

Di depan pantai kota Manado berada pulau Manado Tua dengan daerah selam yang sangat indah dimana pulau Bunaken jadi salah satu pulau yang terkenal di sekitar lingkungan ini.

Sejarah

Orang minahasa yang dikenal dengan keturunan Toar Lumimuut, pada awalnya para leluhur orang minahasa bermukim di sekitar pegununggan Wulur Mahatus, wilayah selatan Minahasa kemudian berkembang dan berpindah ke Nietakkan (dekat tompaso baru).
Sejarah orang Minahasa umumnya di tulis oleh orang-orang asing yang datang ke tanah ini sebagian besar adalah misionaris. Beberapa antaranya: Pdt.Scwarsch, J. Albt. T. Schwarz, Dr. JGF Riedel, Pdt. Wilken, Pdt. J. Wiersma. Terdapat tiga tokoh sentral terkait dengan leluhur orang Minahasa, yaitu Lumimuut, Toar dan Karema.
Karema, dimengerti sebagai "manusia langit", dan Lumimuut dan Toar adalah leluhur dan cikal bakal dari orang-orang Minahasa. Manusia awal di Minahasa yang berasal dari Lumimuut dan Toar, tempat semula dari Lumimuut dan Toar serta keturunannya disebut Wulur Mahatus. Kelompok-kelompok awal ini kemudian berkembangan biak dan bermigrasi ke beberapa wilayah di tanah Minahasa.
Orang minahasa pada waktu itu dibagi dalam 3 (tiga) golongan yaitu : Makarua Siow (2x9) : para pengatur Ibadah dan Adat Makatelu Pitu (3x7) : yang mengatur pemerintahan Pasiowan Telu (9x7) : Rakyat

Prasasti Pinawetengan

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Watu Pinawetengan
Batu Pinawetengan terletak di Kecamatan Tompaso Barat. Merupakan batu alam yang diatasnya ditulis dengan huruf hieroglif, yang sampai kini masih belum terpecahkan cara membacanya. Batu ini merupakan tempat diadakannya Musyawarah Perdamaian keturunan Toar dan menjadi tonggak Sejarah perubahan sistem pemerintahan pada keturunan Toar Lumimuut. Menurut Paulus Lumoindong Musyawarah ini terjadi sekitar tahun 300-400 Masehi. Menurut David DS Lumoindong, bahkan penulisan Prasasti ini sejajar atau bahkan lebih tua dari Prasasti Kutai tahun 450 M. Isi tulisan ini menurut Tuturan Sastra Maeres ini berisi Musyawarah Pembagian Wilayah, Deklarasi untuk tetap menjaga kesatuan.

Deklarasi Reformasi Sistem Pemerintah

Ketika keturunan Lumimuut-Toar semakin banyak, maka pada suatu waktu mereka mengadakan rapat di sebuah tempat yang ada batu besarnya (batu itu yang kemudian disebut Watu Pinawetengan). Musyawarah dipimpin Tonaas Wangko Kopero dan Tonaas Wangko Muntu-untu I(tua/pertama).
Sistem pemerintahan kemasyarakatan akhirnya berubah setelah melalui musyawarah yang mendeklarasikan sistem pemilihan umum, pemerintahan negara demokrasi kuno, hasil musyawarah dituliskan pada sebuah batu prasasti yang kemudian dikenal dengan sebutan Watu Pinawetengan. Menurut Paulus Lumoindong peristiwa tersebut terjadi sekitar tahun 400-500 Masehi.

Hasil riset Dr. J.P.G. Riedel, bahwa hal tersebut terjadi sekitar tahun 670 di Minahasa telah terjadi suatu musyawarah di watu Pinawetengan yang dimaksud untuk menegakkan adat istiadat serta pembagian wilayah Minahasa.

Disana mereka mendirikan perhimpunan negara yang merdeka, yang akan membentuk satu kesatuan dan tinggal bersama dan akan memerangi musuh manapun dari luar jika mereka diserang, Ratahan nanti bergabung dengan perserikatan Minahasa ini sekitar tahun 1690.Pakasa'an Tou-Ure kemungkinan tidak ikut dalam musyawarah di Pinawetengan untuk berikrar satu keturunan Toar dan Lumimuut dimana semua Pakasa'an menyebut dirinya Mahasa asal kata Esa artinya satu, hingga Tou-Ure dilupakan dalam cerita tua Minahasa.
Pembagian wilayah minahasa tersebut dibagi dalam beberapa anak suku, yaitu:Anak suku Tontewoh (Tonsea) : wilayahnya ke timur laut Anak suku Tombulu : wilayahnya menuju utara Anak suku Toulour : menuju timur (atep) Anak suku Tompekawa : ke barat laut, menempati sebelah timur tombasian besarPada saat itu daratan minahasa belum dipadati penduduk, baru beberapa daerah yang dipadati penduduk, di garisan Sungai Ranoyapo, Gunung Soputan, Gunung Kawatak, Sungai Rumbia, Kalawatan. Perkembangan anak suku seperti anak suku Tonsea, Tombulu, Toulour, Tountemboan, Tonsawang, Ponosakan dan Bantik.

Pengembangan Suku {Pemekaran}

Belum dapat ditelusuri pada abad keberapa pakasa'an Tountewo pecah dua menjadi Pakasa'an Toundanou dan Tounsea hingga Minahasa memiliki empat Pakasa'an . Yakni Toumpakewa berubah menjadi Tontemboan, Toumbulu', Tonsea dan Toundanou. Kondisi Pakasa'an di Minahasa pada zaman Belanda terlihat sudah berubah lagi dimana Pakasa'an Tontemboan telah membelah dua wilayah Pakasa'an Toundanouw dan telah lahir pakasa'an Tondano, Touwuntu dan Toundanou. Pakasa'an Tondano teridiri dari walak Kakas, Romboken dan Toulour. Pakasa'an Touwuntu terdiri dari walak Tousuraya dan Toulumalak yang sekarang disebut Pasan serta Ratahan. Pakasa'an Toundanou terdiri dari walak Tombatu dan Tonsawang.
Walak dan Pakasa'an Wilayah walak Toulour agak lain karena selain meliputi daratan juga membahagi danau Tondano antara sub-walak Tounour yakni Touliang dan Toulimambot. Yang tidak memiliki Pakasa'an adalah walak Bantik yang tersebar di Malalayang, Kema dan Ratahan bahkan ada di Mongondouw-walaupun etnis Bantik juga keturunan Toar dan Lumimuut. Menurut legenda etnis Bantik zaman lampau terlambat datang pada musyawarah di batu Prasasti Pinawetengan. Ada tiga nama dotu Muntu-Untu dalam legenda Minahasa yakni Muntu-Untu abad ke-7 asal Telebusu (Tontemboan). Muntu-Untu abad 12 asal Tonsea-menurut istilah Tonsea. Dan Muntu-Untu abad 15 zaman Spanyol berarti ada tiga kali musyawarah besar di batu Pinawetengan untuk berikrar agar tetap bersatu.

Sistem Pemerintahan

Sistem Pemerintahan pada empat suku utama terdiri atas :Walian :Pemimpin agama / adat serta dukun Tonaas : Orang keras, yang ahli dibidang pertanian, kewanuaan, mereka yang dipilih menjadi kepala walak Teterusan : Panglima perang Potuasan : Penasehat
Dalam Sejarah Ratahan, Pasan, Ponosakan dari data buku terbitan tahun 1871. Pada awal abad 16 wilayah Ratahan ramai dengan perdagangan dengan Ternate dan Tidore, pelabuhannya disebutMandolang Benten (Bentenan) yang sekarang bernama Belang. Pelabuhan ini pada waktu itu lebih ramai dari pelabuhan Manado. Terbentuknya Ratahan dan Pasan dikisahkan sebagai berikut; pada zaman raja Mongondouw bernama Mokodompis menduduki wilayah Tompakewa, lalu Lengsangalu dari negeri Pontak membawa taranaknya pindah ke wilayah "Pikot" di selatan Mandolang-Bentenan (Belang). Lengsangalu punya dua anak lelaki yakni Raliu yang kemudian mendirikan negeri Pelolongan yang kemudian jadi Ratahan, dan Potangkuman menikah dengan gadis Towuntu lalu mendirikan negri Pasan. Negeri Toulumawak dipimpin oleh kepala negeri seorang wanita bersuami orang Kema Tonsea bernama Londok yang tidak lagi dapat kembali ke Kema karena dihadang armada perahu orang Tolour. Karena [Kerajaan Ratahan] bersahabat dengan Portugis maka wilayah itu diserang bajak laut "Kerang" (Philipina Selatan) dan bajak laut Tobelo.

Marga Minahasa

Marga Minahasa merujuk kepada nama keluarga atau marga yang dipakai di belakang nama depan masyarakat Minahasa/Manado. Di Indonesia Timur nama marga biasa juga disebut fam, yang menunjukkan pengaruh dari bahasa Belanda, familienaam yang berarti "nama keluarga".
Marga Minahasa diambil dari nama keluarga yang digunakan oleh kepala rumah tangga (orang tua lelaki), dengan demikian umumnya nama anak dari sebuah keluarga akan ditambahkan nama keluarga sang ayah di belakangnya. Bila seorang perempuan menikah, nama keluarga sang suaminya disisipkan di antara nama depan dan nama keluarga asli perempuan tersebut. Praktik ini menunjukkan pengaruh budaya Spanyol dan Portugis yang masih tersisa di Minahasa. Keluarga itu akan menggunakan kedua marga tersebut sebagai nama resminya. Jadi, misalnya seorang laki-laki yang bermarga "Assa" menikah dengan seorang perempuan yang bermarga "Damongilala", maka keluarga itu disebut "Keluarga Assa-Damongilala", meskipun anak-anak mereka kelak hanya akan menggunakan nama "Assa" saja sebagai marga mereka.

Jun 15, 2015

Nubuatan Rabbi Judah Ben Samuel

Di tahun 1217, salah satu Rabi Hassidic yang paling legendaris membuat prediksi mengejutkan tentang masa depan Yerusalem dan kedatangan Mesias. Ia adalah Rabbi Judah Ben Samuel. Ia tinggal di Regensburg, Jerman.

Lahir di Speyer 1140, Rabbi Judah Ben Samuel meninggal pada 22 Februari 1217 di Regensbug. Ia adalah salah pendiri Chassidei (Hassidic Yudaisme), sebuah gerakan mistisisme Yahudi di German. Chassidideis menekankan etika moral yang kuat dan doa. Pada usia 55 tahun, ia sempat menulis buku pertamanya, yaitu Sefer Hasidim, Sefer Gematriyot, dan Sefer Hakavod.

Sebelum meninggal tahun di tahun 1217, Ia meramalkan bahwa kerajaan Turki (Ottoman) kelak akan menguasai kota suci Jerusalem selama 8 tahun Yobel. Ia kemudian menerbitkan hasil penyelidikan Alkitabiahnya, yang dikenal sebagai Gematria bersama dengan perhitungan ilmu falak.

Ia mengatakan demikian:
"Bilamana kaum Ottoman menguasai Yerusalem, mereka akan memerintah di Yerusalem selama delapan Yobel (8 Yobel). Setelah itu Yerusalem akan kembali menjadi "wilayah tak bertuan" selama satu Yobel (Yobel ke-9), lalu pada Yobel berikutnya (Yobel ke-10), Yerusalem akan kembali dimiliki oleh bangsa Yahudi dan ini akan menunjukkan awal akhir zaman yang menunjukkan zaman Mesianik." (Nubuatan ini pernah dimuat dalam majalah Israel Today, November 2012)

*Catatan : 1 Yobel = 50 Tahun
8 Yobel pertama:

Fakta sejarah : Tahun 1517, Turki dibawah komando Ottoman menguasai Yerusalem. Ottoman berkuasa selama 400 tahun, tepat seperti nubuatan Rabi Ben Samuel (8×50=400 tahun). Tepat tahun 1917, Turki berhasil ditaklukkan oleh pasukan militer Inggris di bawah komando Jenderal Edmund Allenby, tepatnya 17 Desember 1917. Dan pada akhirnya Turki benar-benar menyerah pada tanggal 30 Oktober 1918.

Nubuat selanjutnya adalah, pada Yobel ke 9, Yerusalem tidak akan dikuasai oleh siapapun.

Fakta sejarah : Setelah Turki kalah oleh pasukan kerajaan Inggris, tanah Yerusalem adalah bagian dari Mandat Inggris yang sesudah Perang Dunia Kedua ditangani PBB sampai tahun 1967. Selama 50 tahun itu (1917-1967), Yerusalem dibagi dan tidak dikuasai siapapun.

Selanjutnya, pada Yobel ke 10, Yerusalem akan berada dalam genggaman Israel.

Fakta sejarah : Menutup Yobel ke-9, tepatnya, tanggal 17 Juni 1967, 50 tahun persis dari masa "status quo", yakni dari tahun 1917-1967, melalui perang 6 hari, Israel berhasil merebut kota Yerusalem. Untuk pertama kalinya Yerusalem masukm ke dalam pimpinan orang Yahudi, sejak dihancurkan pada tahun 70 Masehi. Inilah yang dimaksud permulaan ZAMAN MESIANIK oleh Rabi Ben Samuel!

Tahun Yobel sendiri terdapat dalam Imamat 25:10
"Kamu harus menguduskan tahun yang kelima puluh, dan memaklumkan kebebasan di negeri itu bagi segenap penduduknya. Itu harus menjadi tahun Yobel bagimu, dan kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya dan kepada kaumnya."

Menurut ayat tersebut, satu periode Yobel adalah 50 tahun, dimana orang akan MENDAPATKAN KEMBALI KEPEMILIKAN TANAH SUKUNYA. Sebagai Rabbi Ben melihat ke masa depan, ia mendalilkan perhitungan teoritis, yang saat ini menunjukkan ketepatan yang luar biasa akurat.

Saudara-saudara yang terkasih, kita sedang menuju ahkir dari Yobel ke-10. Jika Yobel ke-9 dimulai dari tahun 1967 dimana Yerusalem menjadi milik Israel kembali, patut di catat bahwa akhir dari Yobel ke 10 berada di tahun 2017 (1967+50=2017). Satu hari kelak, Yerusalem akan diduduki oleh Antikristus dan antek-anteknya. Kalau perhitungan ini benar, artinya sedikit waktu lagi Antikris itu muncul. Bisa jadi tahun 2017, Yerusalem bukan lagi berada dalam tangan Israel, tetapi dalam pemerintahan Antikristus.

Jun 12, 2015

Usaha Mendirikan Negara Israel

Usaha-usaha Sionisme dalam mendirikan negara Israel sebagai Tanah Air kaum Yahudi sedunia. Orang-orang Yahudi di diaspora (pengasingan) sudah dibenci dan dianiaya di Eropa dan penguasa baru di Palestina, Kerajaan Inggris juga menjadi penjajah, penganiaya dan penghalang dalam usaha mendirikan negara Israel. Di dalam beberapa artikel berikut, kita akan melihat berbagai tantangan yang dihadapi kaum Yahudi sehingga mudah disimpulkan bahwa adalah mustahil impian berdirinya bangsa Israel akan bisa menjadi realita. Bilamana Israel kemudian menjadi negara merdeka dan berdaulat adalah mukjizat sejarah dan ekistensinya ke depan tetap merupakan suatu tantangan besar.

Sionisme: Sarana untama Pemulangan Bangsa Yahudi
Sarana utama yang Allah pakai untuk memulihkan masyarakat Yahudi kembali ke tanah Israel adalah gerakan Sionisme. Sionisme adalah gerakan agamawi dan sosio-politik yang mempromosikan pemulangan bangsa Yahudi ke Tanah Israel. Di dalam hati semua orang Yahudi ada perasaan tidak utuh bila mereka di luar Israel.

Mazmur 137:4-6, "Bagaimanakah kita menyanyikan nyanyian TUHAN di negeri asing? Jika aku melupakan engkau, hai Yerusalem, biarlah menjadi kering tangan kananku! Biarlah lidahku melekat pada langit-langitku, jika aku tidak mengingat engkau, jika aku tidak jadikan Yerusalem puncak sukacitaku!"
Kerinduan itu sudah mendalam di hati setiap orang Yahudi sejak pembuangannya dari Israel pada waktu penghancuran Bait Suci di tangan Roma pada tahun 70 M. Di abad ke-19 dan abad ke-20, keinginan Yahudi itu sudah meninggi.

Mimpi Yahudi: Pemulihan Israel
Selama masa Diaspora, masa Israel mengembara di luar wilayah Palestina, selamanya ada orang-orang Yahudi yang tinggal di wilayah Palestina. Kebanyakan telah tinggal di daerah Galilea, dan kadang-kadang mereka diizinkan mengunjungi dan tinggal di dekat kawasan Bukit Moria, bukit letaknya Bait Suci dulu di Yerusalem. Tembok Ratapan menmjadi tempat ziarah yang diizinkan bagi mereka.
Walaupun jumlahnya tidak banyak, namun ada keyakinan bahwa satu ketika mereka akan melihat suatu pemulangan massal menjelang kedatangan Mesias. Hal yang sama diyakini umat Kristen sehingga baik umat Yahudi dan umat Kristen telah memiliki kepentingan yang serupa. Maimonides, seorang rabi yang terkenal, bersama dengan cukup banyak rabi lainnya mengedepankan visi itu. Mereka telah yakin sekali bahwa Mesias akan mendatangkan perdamaian universal.
Selama berabad-abad ada usaha-usaha untuk orang-orang Yahudi kembali ke Palestina tetapi kebanyakan usaha telah gagal. Hanya dengan munculnya gerakan Sionis pada bagian kedua abad ke-19, baru terjadi pemulangan signifikan sehingga kini ada 6 juta dari 16 juta orang Yahudi di dunia yang tinggal di Israel.

Peranan Inggris
Pemikiran untuk membantu pemulangan bangsa Yahudi telah mulai dibahas secara umum di Inggris pada Abad ke-19. Tidak semua masyarakat Inggris yang menyetujui pemulangan tersebut, namun mayoritas telah mendukungnya. Pandangan sebagian mereka dibentuk oleh keyakinan pada perjanjian Allah dalam Alkitab. Yang lain karena faham filosofi Semitisme, khususnya antara kaum elit yang berpendidikan tinggi atau oleh pandangan politik bahwa pemulangan tersebut akan membantu perluasan Kerajaan Inggris.
Atas dorongan Lord Shaftesbury, pemerintah Inggris telah menetapkan konsulat pertama di Yerusalem pada tahun 1838. Ini adalah pos diplomatik pertama di Tanah Israel. Pada tahun 1839, Gereja Skotlanda mengutus Andrew Bonar dan Robert Murray M'Cheyne untuk menyelidiki dan melaporkan keadaan orang-orang Yahudi di Palestina. Laporan mereka diterbitkan dan disebarkan secara luas sehingga diedarkan "Memorandum kepada semua kepala Kerajaan Protestan Eropa guna Pemulihan bangsa Yahudi ke Palestina." Pada bulan Agustus 1840, surat kabar 'The Times' telah melaporkan bahwa pemerintah Inggris sedang mempertimbangkan persetujuan untuk mendukung pemulangan bangsa Yahudi.

Lord Lindsay menulis pada tahun 1847: "Tanah ladang-ladang Palestina masih sedang menikmati sabat-sabatnya, dan sedang menantikan pemulangan anak-anaknya yang sudah dibuang, dan aplikasi industri, yang sesuai dengan kapasitas pertaniannya, agar meledak dengan perkembangan kekayaan dan kesuburan universal, lalu menjadi sama seperti pernah ada di zaman Salomo." Janji Damai Paris (1856) telah memberikan hak kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen untuk tinggal di Palestina dan janji tersebut telah membuka jalan untuk imigrasi makin banyak orang Yahudi. Dalam bukunya pada tahun 1876, Daniel Deronda, George Eliot semakin kuat mendukung pemulangan masyarakat Yahudi: "Pemulihan negara Yahudi yang didirikan di tanah yang lama sebagai pusat perasaan nasional, merupakan suatu sumber perlindungan yang terhormat, suatu jalur khusus untuk energi spesial agar ada ketambahan suara di majelis-majelis dunia." Maksudnya, pemulangan Yahudi adalah sesuatu yang penting dan terhormat bagi bangsa-bangsa.

Benjamin Disraeli, seorang Perdana Menteri Inggris, menulis sebuah artikel berjudul: "Soal Yahudi adalah Tujuan Perjuangan Mulia" (1877) yaitu bahwa di dalam jangka waktu 50 tahun akan ada sejuta orang Yahudi yang tinggal di Palestina di bawah perlindungan dan bimbingan Inggris. Seorang Yahudi terkemuka di Inggris, Moses Montefiore telah mengunjungi Tanah Israel tujuh kali untuk mengembangkan pemulihannya.

Karena Kerajaan Ottoman telah menyerah kepada tuntutan Kerajaan Inggris di wilayah Palestina sehingga Kerajaan Inggris diizinkan mendirikan Misi Diplomatik dan untuk memulai berbagai kegiatan dan proyek sosial di seluruh wilayah Palestina. Maka pemerintah Inggris telah mulai membangun banyak rumah sakit, proyek-proyek ilmiah, arkeologi dan pembangunan perkambungan baru untuk orang-orang Yahudi yang sedang kembali ke Palestina di bagian akhir abad ke-19. Hal itu terjadi demi kepentingan Inggris dalam melindungi jalan menuju India yang dianggap sangat penting demi kejayaan Inggris.
Para pemimpin Sionis telah menganggap Inggris sebagai calon sekutu dalam perjuangannya untuk pemulangan ke tanah nenek moyangnya. Pada waktu itu Inggris bukan saja negara adidaya terkuat; Inggris juga adalah negara di mana orang-orang Yahudi telah tinggal berabad-abad dalam keadaan aman dan damai – antara mereka adalah para pemimpin politik dan budaya Inggris yang sangat berpengaruh seperti Disraeli, Montefiore dan Lord Rothschild.

Penemuan Chaim Weizmann, yaitu sejenis bahan peledak (cordite) yang sangat penting demi kemenangan Inggris dan sekutunya dalam Perang Dunia Ke-1. Dalam pertemuan-pertemuannya dengan Perdana Menteri Inggris, Lloyd George dan Pemimpin Utama Angkatan Laut Inggris Winston Churchill, Weizmann, pemimpin gerakan Sionis sejak 1904, menjadi sanggup memajukan tujuan Sionis dalam masa perang yang sangat menguntungkan visi Sionis tersebut.

Harapan mereka itu terealisir pada tahun 1917 waktu Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour, membuat deklarasi yang sangat terkenal yang bertujuan untuk "mendirikan di Palestina sebuah rumah nasional untuk masyarakat Yahudi". Deklarasi tersebut telah menggunakan kata 'rumah' daripada kata 'negara' dan telah menegaskan bahwa tindakan tersebut tidak boleh "mengganggu hak sipil dan hak agama masyarakat non-Yahudi yang juga mendiami wilayah Palestina."

Dukungan Inggris dan Bangsa-bangsa lain
Sepanjang abad ke-19 sampai di awal abad ke-20, pemulangan bangsa Yahudi ke Tanah Kudus telah didukung secara luas oleh tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh, misalnya Ratu Victoria (Inggris), Raja Edward VII (Inggris), Presiden John Adams (USA), General Smuts (Afrika Selatan), President Masaryk (Czechoslovakia), Lloyd George (Perdana Menteri Inggris), Arthur Balfour (Menteri Luar Negeri dan kemudian Perdana Menteri Inggris), President Woodrow Wilson (USA), Benedetto Croce (ahli filosof dan sejarahwan Italy), Henry Dunant (pendiri Yayasan Palang Merah dan penulis Konvensi Geneva tentang hak-hak azasi), Fridtjof Nansen (ilmuwan Norwegia dan pendukung hak-hak kemanusiaan).
Di masa itu pemerintah Perancis, melalui salah satu menteri, M. Paul Cambon, telah komit secara resmi untuk mendukung "pemulihan nasional hak kewarganegaraan orang-orang Yahudi di tanah dari mana masyarakat Israel itu diusir begitu banyak abad yang lalu". Bahkan di China di zaman pemerintahan Nasionalis sebelum zaman komunis, Wang, Menteri Luar Negeri, menyatakan bahwa "pemerintah Nationalis adalah penuh simpati dengan masyarakat Yahudi dalam keinginannya untuk mendirikan sebuah negara bagi dirinya sendiri."

Pada tahun 1873, Shah Nasr-ed-Din (Raja Persia-Iran) telah bertemu dengan para pemimpin Yahudi Inggris, termasuk Sir Moses Montefiore, dalam perjalanannya ke Eropa. Pada waktu itu, pemimpin Persia telah mengusulkan bahwa orang-orang Yahudi membeli tanah di Palestina agar mendirikan negara untuk masyarakat Yahudi.

Raja Faisal I dari Iraq juga telah mendukung ide Sionisme lalu menandatangani kesepakatan Faisal-Weizmann pada tahun 1919. Dia tulis: "Kami masyarakat Arab, khususnya kami yang berpendidikan, memandang dengan simpati yang mendalam gerakan Sionis. Delegasi kami di sini di Paris memahami sepenuhnya semua proposal yang diajukan kemarin kepada wakil organisasi Sionis yang mengikuti Konferensi Perdamaian, dan kami menganggap proposal-proposal itu moderat, tepat dan sesuai."
Baik dalam mandat Palestina dari League of Nations 1922 dan mandat PBB untuk Partisi Palestina tahun 1947 telah mendukung tujuan Sionisme untuk memiliki tanah air untuk masyarakat Yahudi. Kesepakatan pada tahun 1947 itu adalah kesepakatan langkah antara Uni Soviet dan USA di zaman Perang Dingin.

Arthur Balfour: Menteri Luar Negeri dan Perdana Menteri Inggris
Balfour, seorang yang telah berjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan sebagai Perdana Menteri Inggris telah memperjuangkan Palestina sebagai "rumah" tempat kediaman Yahudi dan bukan sebagai "negara". Walaupun dia mengingini wilayah Palestina menjadi negara Israel, dia juga menyadari bahwa hak-hak masyarakat Arab yang sudah lebih 1000 tahun mendiami Palestina bersamaan dengan masyarakat Yahudi. Di kebanyakan waktu selama 1000 tahun itu, masyarakat Arab merupakan mayoritas penduduk setempat. Deklarasi Balfour diumumkan pada tanggal 2 November 1917.
Pada zaman itu, pemerintahan Inggris telah memiliki kuasa politik atas Yerusalem dan Tanah Perjanjian, dan sudah berinklinasi untuk mendukung pemulangan bangsa Yahudi. Namun, pemerintahan lokal di wilayah Palestina tidak menyetujui peningkatan masyarakat Yahudi yang tentu akan terjadi bila pemulangan Yahudi diizinkan.

Persahabatan Arthur Balfour dan Chaim Weizmann
Inti Deklarasi Balfour 1917 adalah hasil persahabatan unik antara Menteri Luar Negeri Inggris, Arthur Balfour dan seorang aktivis gerakan Sionis Chaim Weizmann, yang kemudian menjadi Presiden Organisasi Sionis Sedunia, bahkan menjadi Presiden pertama Negara Israel pada tahun 1948. Kedua pria itu sangat berpengaruh dan efektif di dalam karir masing-masing, dan bersamaan telah menjadi mitra yang sangat kuat dalam mengubah arah sejarah yang menghasilkan kelahiran bangsa Israel.

Balfour adalah seorang Kristen Injili yang menulis beberapa buku termasuk Foundations of Belief (Dasar Iman), di mana dia mengungkapkan pengajaran dasar Firman Tuhan. Dia sangat percaya nubuatan-nubuatan Alkitab tentang pemulangan bangsa Yahudi ke Israel sebagai langkah penting dalam persiapan dunia untuk kedatangan kedua Yesus di akhir zaman. Dia menjadi Perdana Menteri Inggris dari 1902 sampai 1905. Kemudian dia menjadi Menteri Luar Negeri di bawah David Lloyd George, Perdana Menteri Inggris selama Perang Dunia Ke-I.

Weizmann adalah seorang Sionis yang sangat semangat yang sering berkomunikasi dengan pelopor gerakan Sionis, Theodore Herzl, di Inggris dan Eropa. Dia sangat ingin untuk meningkatkan jumlah kibbuts (perkebunan Yahudi secara kolektif) di Palestina. Gerakan itu memang telah mulai dengan adanya penganiayaan terhadap masyarakat Yahudi di Rusia dan Eropa Timur. Mereka telah menemukan tempat aman dengan pindah ke Palestina dan membangun kibbuts-kibbuts di sana, khususnya di daerah Galilea.

Walaupun hasil karya Balfour dalam pemerintahan Inggris adalah banyak, namun, menjelang kematiannya, dia menyatakan bahwa hasil utama hidupnya adalah Deklarasi Balfour yang mendukung pemulangan bangsa Yahudi ke tanah airnya. Dalam hal ini dia telah merasa dirinya serupa Raja Farsi, Koresh, yang membebaskan bangsa Yahudi kembali ke Yerusalem pada zaman Daniel, Ezra dan Nehemia.

Palestina sebagai Mandat Inggris
Sebelum Perang Dunia Ke-1, Palestina telah di bawah kekuasaan Turki (Ottoman) sejak tahun 1453. Karena Turki menjadi sekutu Jerman pada Perang Dunia Ke-1, Inggris telah menyerangnya dari Mesir dan melalui wilayah Palestina. Zaman itu penuh drama. Jenderal Inggris, Edmund Allenby merebut Yerusalem dari Turki. Pada waktu Perang Dunia menuju kesudahannya, Palestina dinyatakan sebagai Wilayah Perlindungan Inggris. Karena itu, Inggris harus memutuskan bagaimana cara memerintah wilayah tersebut dan bagaimana mengimplementasi Deklarasi Balfour yang menjanjikan tanah air kepada bangsa Yahudi di Palestina. Pemulangan Yahudi ke Palestina telah kelihatan sebagai solusi terbaik.

Deklarasi Balfour telah memulai proses yang mengubah pemulangan Yahudi dari rintik-rintik menjadi hujan deras sehingga untuk pertama kali dalam 1800 tahun ada gerakan serius untuk pemulangan massal bangsa Yahudi ke tanah Israel. Banyak ahli nubuatan Alkitab telah melihat peristiwa ini sebagai tanda penggenapan berbagai nubuatan Alkitab dan awal dari suatu masa atau suatu abad yang disebut "zaman akhir".

Walaupun ada banyak orang percaya melihat hal-hal ini sebagai langkah positif yang akan mempercepat kedatangan kembali Yesus, ternyata masih ada sebagian nubuatan tentang Israel dan Yahudi yang belum digenapi. Di samping itu, Setan pun tidak senang untuk nubuatan-nubuatan itu digenapi karena itu adalah tanda bahwa kekalahan akhirnya mendekat. Oleh karena itu dia juga turut aktif agar semuanya ini tidak terjadi. Sejak waktu itu damai sudah diambil dari dunia. Perang dan terorisme terjadi di berbagai tempat. Namun Setan tidak akan mampu menghalangi rencana Yesus dan Dia pasti akan kembali tepat waktunya. Yang penting adalah bahwa kita adalah siap untuk menyambut Yesus waktu Dia kembali.

Gerakan Pemulihan Israel 1878-1948

Usaha-usaha Sionisme dalam mendirikan negara Israel sebagai Tanah Air kaum Yahudi sedunia. Orang-orang Yahudi di diaspora (pengasingan) sudah dibenci dan dianiaya di Eropa dan penguasa baru di Palestina, Kerajaan Inggris, juga menjadi penjajah, penganiaya dan penghalang dalam usaha mendirikan negara Israel. Berikut, kita akan melihat berbagai tantangan yang dihadapi kaum Yahudi di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sehingga mudah disimpulkan bahwa adalah mustahil agar impian berdirinya bangsa Israel akan bisa menjadi realita. Bilamana Israel kemudian menjadi negara merdeka dan berdaulat adalah mukjizat sejarah dan ekistensinya ke depan tetap merupakan suatu tantangan besar.

Gerakan dan Usaha Pemulangan ke Palestina

Gerakan Aliyah

Aliyah adalah kata bahasa Ibrani dengan arti "mendaki", yang mempunyai arti secara rohani "mendaki" ke Tanah Kudus. Istilah ini dipakai untuk menyebut rombongan-rombongan pemulangan orang-orang Israel dari Eropa sejak tahun 1878 hingga proklamasi kemerdekaan Israel pada tahun 1948.
1878 – Awal Gerakan Aliyah dan Ekspansi Pendatang Sionis
Pedesaan pertama Sionis, Petah Tikva, didirikan pada tahun 1878. Pemimpinnya, namanya Biluim telah biasa memakai kaffiyeh sebagai penutup kepala. Penduduk Petah Tikva, awalnya diduduki oleh orang-orang Yahudi yang dulu tinggal di Yerusalem yang ingin keluar dari Yerusalem Tua yang sangat padat penduduknya dan dibatasi oleh tembok-tembok besar.
Kemudian pedesaan Rishon LeSion didirikan pada tanggal 31 Juli 1882 oleh 10 orang Yahudi yang adalah anggota kelompok Sionis yang disebut Hovevei Sion yang berasal dari Kharkov, atau masa kini disebut, Ukraine. Pedesaan baru ini dipimpin oleh Zalman David Levontin. Komite Perintis Pedesaan Yahudi yang sudah dibentuk di Yaffa, pelabuhan ketibaan kebanyakan pendatang baru telah membeli 340 hektar (3.4 km²) tanah dekat desa Arab yaitu Uyun Qara.

Gerakan Sionis
Pada tahun 1883, Nathan Birnbaum, yang berumur 19 tahun, mendirikan organisasi Kadimah di Austria. Organisasi ini adalah Asosiasi Mahasiswa Yahudi pertama di Vienna. Tahun berikut terbitannya yang pertama, Selbstemanzipation atau Emasipasi Diri muncul. Tujuannya adalah untuk menggairahkan kawan-kawan Yahudi untuk mencari kebebasan dari tekanan dan aniaya yang sering menargetkan kaum Yahudi di Eropa. Di manakah tempat kebebasan itu? Jawabannya hanya satu: di Eretz Israel.
Theodor Herzl berbicara di Kongres II Sosialis Sionisme tahun 1898
Bersama dengan Nathan Birnbaum, Herzl telah merencanakan Kongres Sionis pertama di Basel, Switzerland. Pada kongres itu, hasil kesepakatannya adalah:
Sionisme akan berusaha mendirikan tanah air untuk kaum Yahudi di Eretz-Israel yang dilindungi hukum. Kongres itu sepakat untuk melakukan hal-hal berikut untuk mencapai tujuannya:
  1. Promosi secara wajar pendudukan Eretz-Israel dengan petani-petani Yahudi, kaum buruh dan pabrik-pabrik.
  2. Mengurus dan mempersatukan seluruh kaum Yahudi dengan menggunakan institusi-institusi yang wajar, baik lokal maupun internasional, sesuai dengan hukum di masing-masing negara di mana kaum Yahudi sudah berada.
  3. Menguatkan dan mendukung rasa nasionalis kaum Yahudi dan kesadaran akan kewarganegaraannya sebagai warga Yahudi.
  4. Melakukan langkah-langkah awal untuk memperoleh izin dari berbagai negara, untuk mencapai tujuan gerakan Sosialis Sionisme.
Pada tahun 1909, kibbutz Degania, didirikan di Israel Utara. Inilah yang diakui sebagai kibbutz yang pertama. Kibbutz-kibbutz merupakan desa-desa atau kebun-kebun Sosialis Sionisme yang menjadi ciri khas unik perkembangan Israel hingga masa kini.
Juga pada tahun 1909, kota Tel Aviv didirikan. Namanya berasal dari hasil karya Theodor Herzl. Kota ini yang kemudian telah menjadi kota terbesar di Israel, telah didirikan di daerah padang pasir yang kosong sedikit ke utara dari pelabuhan Yaffa.

Konflik dengan Orang Arab

Pada akhir abad ke-19, nationalisme Arab sama sekali belum ada, bahkan jumlah penduduk Arab di wilayah Palestina sangat sedikit dan mereka merupakan penduduk yang bersifat non-politik. Karena jumlah penduduk Palestina adalah mayoritas Yahudi maka kebanyakan pemimpin Sionis telah percaya bahwa tidak akan terjadi konflik di antara masyarakat orang-orang Arab dan masyarakat Yahudi baru yang sedang pulang setelah hampir 1800 tahun pengasingan yang bergabung dengan orang-orang Yahudi yang sejak awal ada di situ. Karena seluruh masyarakat itu, Yahudi yang asli dan Arab, telah hidup bersama dengan cukup damai selama lebih dari 1200 tahun maka mereka telah yakin konflik dapat dihindari dengan ketambahan Yahudi yang kembali dari pengasingan di Eropa. Pada waktu itu kedua belah pihak telah merasa untung dengan pengharapan perkembangan ekonomi yang akan terjadi. Kaum Yahudi sudah sangat mengharapkan dan percaya bahwa kaum Arab akan menyetujuinya dan akan sepenuhnya bekerja bersama. Namun, impian itu tidak pernah tercapai.

Memang, telah makan cukup banyak waktu untuk kaum Sionis menyadari betapa dalamnya perasaan dan intensitas konflik yang mulai terjadi, yang pada hakekatnya adalah konflik antara dua kelompok orang yang dua-duanya merasa memiliki hak milik atas seluruh tanah itu sebagai tanah airnya sendiri. Kaum Yahudi karena dasar keyakinan agama, sejarahnya dan bahwa daerah Palestina tidak pernah kosong dari penduduk Yahudi, walaupun di sebagian waktu mereka adalah penduduk minoritasnya. Kaum Arab merasa memilikinya sebab sudah 1200 tahun Palestina di bawah pemerintahan Arab atau Kalifat Ottoman, kerajaan Islam itu. Jadi mulai dari awal gerakan Aliyah itu, konflik sudah mulai terjadi.

Sionisme dan para penduduk Arab

Kaum Yahudi lokal Palestina yang sudah selamanya tinggal di wilayah Palestina telah hidup melalui suatu sejarah interaksi dengan penguasa Muslim dan para tetangga Arab yang sukar, yang justru menjadi semakin rumit karena permusuhan antara agama Islam dan agama Yahudi.
Di luar kota Yerusalem, kota Safed dan kota Tiberias, masyarakat Arab dan masyarakat Muslim non-Arab merupakan mayoritas besar masyarakat, sedangkan di tiga wilayah tersebut, masyarakat Yahudi adalah mayoritas besar. Kaum perintis Sionisme adalah sangat sadar tentang ketidakseimbangan ini, namun mereka mengklaim bahwa semua penduduk akan memperoleh untung dari imigrasi kaum Yahudi dari diaspora itu. Di samping itu, kaum imigran itu telah memilih untuk tidak memasuki wilayah mayoritas Arab/Islam agar menghindari konflik sehingga mereka lebih memilih untuk menduduki wilayah-wilayah yang kosong, seperti di dataran pesisir dan di Lembah Yizreel.

Slogan propaganda Sionisme, "Tanah tanpa masyarakat untuk masyarakat tanpa tanah," telah menyimpulkan visi Sionisme, yaitu untuk menduduki tanah yang kosong bukan untuk menduduki tanah milik orang lain. Namun slogan itu telah mengabaikan fakta bahwa kaum Arab adalah kaum pengembara yang merasa tanah apapun yang pernah didudukinya, walaupun kini telah ditinggalkan adalah milik abadinya. Di sini kita dapat melihat benih konflik soal hak milik Palestina sudah ditanam dan setelah bertumbuh selama puluhan tahun akan menyebabkan permusuhan, kebencian dan konflik yang meledak pada waktu proklomasi kemerdekaan negara Israel pada tahun 1948.

Sebenarnya benih-benih itu sudah lama sekali tertanam di daerah itu, tetapi setelah gerakan aliyah dan kedatangan ratusan ribu kaum Yahudi yang pulang dari diaspora, maka benih-benih itu disiram dan mulai bertunas kembali.

Peranan Kalifat Ottoman
Walaupun sebagian penduduk Arab Palestina sudah menghadap pemerintahan Ottoman pada tahun 1880an (Kalifat Ottoman adalah Kerajaan Islam Turki yang adalah penjajah Timur Tengah selama 500 ratus tahun) untuk memprotes penjualan tanah kepada pendatang Yahudi baru. Namun perlawanan serius terhadap perkembangan Sionisme dan penjualan tanah kepada kaum Yahudi yang baru datang mulai berkembang dengan cepat pada tahun 1890an setelah visi luas Sionisme menjadi semakin nyata. Adalah penting untuk diketahui bahwa perkembangan dan perluasan pembelian tanah oleh orang-orang Yahudi baik dari Kerajaan Ottoman bahkan dari masyarakat Arab disetujui oleh Kalifat Ottoman yang melihat keuntungan ekonomi dalam mengisi tanah yang kosong dengan masyarakat yang mungkin sekali akan menghasilkan untung ekonomi bagi kerajaan Ottoman itu.

Perlawanan kaum Arab pada waktu itu tidak bersumber pada rasa nasionalisme kaum Arab sebab pada waktu itu belum ada rasa nasionalisme di antara kaum Arab melainkan perlawanan itu bersumber pada rasa ancaman terhadap nafkah dan sumber pendapatan masyarakat Arab. Kekuatiran itu telah berkembang pada awal Abad ke-20 karena usaha pengembangan ekonomi oleh kaum Sionis yang tidak mau menggunakan tenaga kerja Arab, yang dianggapnya malas, sedangkan tenaga kerja Yahudi dianggap rajin dan bersedia bekerja keras. Di manapun ada usaha untuk mempekerjakan tenaga kerja Arab, terjadi perlawanan dari Perserikatan Kaum Buruh Ibrani yang menunutut agar pendatang-pendatang baru sajalah yang dipekerjakan. Dengan demikian benih-benih kekuatiran, kecurigaan, kebencian dan permusuhan terus disiram sehingga menjadi suatu kekuatan yang di kemudian waktu akan meledak dan buah-buahnya sedang dituai pada masa kini.

Dalam usaha mendirikan negara Israel setelah Kalifat Ottoman digulingkan pada tahun 1917 yang menjadi langkah yang sangat signifikan dalam lahirnya kembali negara Israel dan perkembangan konflik di Timur Tengah terhadap ekistensi negara Israel itu. Dalam hal ini peran Deklarasi Balfour di Inggris menjadi penting sekali dalam membentuk gambar masa depan wilayah Palestina.

Gerakan Sionisme (1862 - 1917)

Sepanjang sejarah 3500 tahun sejak bangsa Israel menguasai wilayah Palestina, daerah itu adalah tanah air yang dikaruniakan Allah kepadanya sebagaimana dicatat dalam Al-Qur'an (Surah Al Maidah 5:20-21) dan Alkitab (Keluaran 6:7). Kita sudah lihat pula bahwa sepanjang 3500 tahun itu tidak pernah ada waktu di mana tidak ada masyarakat Israel yang tinggal di sana.

Tujuh Periode Pengembangan dan Pembentukan Israel

    Perbudakan di Mesir – 2100 sM – 1500 sM.
    Perbudakan di Babel – 536 sM-457 sM
    Kekuasaan Farsi – 457 sM – 332 sM
    Kekuasaan Yunani – 332 sM – 52 sM
    Jajahan Roma – 52 sM – 70 M
    Pembuangan ke seluruh dunia – 70 M – 1948
    Pemulangan diaspora ke Palestina – 18 – 1948

Bangsa Israel pernah melalui berbagai masa jajahan atau perbudakan. Dalam masa-masa itu telah terjadi tiga kali masa pembangunan, kembalinya masyarakat sejarah massal atau pemulihan Israel sebagai bangsa yang menduduki Palestina. Ketiga masa itu adalah:
  1. Zaman Keluaran 3 juta orang yang keluar dari Mesir untuk menjadi bangsa Israel di Palestina – 1500 sM
  2. Zaman pemulangan dari Babel atas perintah Raja Farsi, Koresh – 457 sM
  3. Zaman pemulangan diaspora di zaman modern – 1700-1948.
Memang wilayah itu telah mengalami pergantian pemerintahan, penjajah dan penduduk berulang kali tetapi satu-satunya bangsa yang selalu dan selamanya ada di sana adalah kaum Yahudi. Walaupun sampai 85% kaum Yahudi sudah masuk diaspora di berbagai bangsa, yang 15% itu tetap tinggal di wilayah Palestina. Kadang-kadang mereka adalah penduduk mayoritas, kadang-kadang minoritas, tergantung jumlah penjajah yang masuk. Namun karena wilayah itu tandus, tidak produktif dan terdapat banyak tantangan, penduduk-penduduk baru biasanya tidak tahan lama.

Mulai pada awal 1700'an ada gerakan pemulangan antara yang 85% yang di diaspora itu berkaitan dengan situasi politik dunia, penganiayaan dan perubahan situasi ekonomi. Gerakan pemulangan ini menjadi terkenal sebagai Gerakan Sionisme. "Makna Sionisme" dan "Sebabnya Muncul Sionisme". Sekarang kita akan melihat beberapa hal lainnya yaitu Sionisme Sosialis, Religius, Nasionalis dan  Kultural dan pengaruhnya dalam pemulangan kaum Yahudi ke Palestina.

Visi Pemulangan Yahudi ke Palestina

Visi Sionisme Sosialis
Pada tahun 1862, penulis Yahudi, Moses Hess telah menerbitkan visinya untuk kaum Yahudi kembali ke Palestina. Bukunya berjudul, Rome and Jerusalem; The Last National Question. Buku ini mengemukanan visi kaum Yahudi kembali ke Palestina sebagai sarana menyelesaikan masalah identitas nasionalnya. Hess menginginkan negara sosialis di mana kaum Yahudi menjadi negara petani yang akan "menebus tanah" dan mengubahnya menjadi bangsa yang sesungguhnya yang menguasai semua lapisan ekonomi yang produktif sebagai pemilik tanah daripada yang non-produktif yaitu lapisan perdagangan. Gerakan ini telah melahirkan gerakan Sionis Sosialisme yang menjadi pelopor sistem kibbutz yang banyak dipakai di Israel sampai masa kini.

Visi Sionisme Religius
Juga pada tahun 1862, Rabbi Zvi Hirsch Kalischer seorang Yahudi Jerman Ortodoks menerbitkan tulisannya, Derishat Sion, yang mengemukakan Sionisme Religius yang menjanjikan keselamatan kepada kaum Yahudi sesuai janji-janji para nabi dan bahwa pertolongan Tuhan hanya akan terjadi bilamana bangsa Yahudi sendiri bersedia bertindak dan menolong dirinya sendiri.

Walaupun Sionisme sangat berakar dalam tradisi-tradisi agama Yahudi yang mengikat kaum Yahudi ke Tanah Israel, gerakan pemulangan modern lebih bersifat sekuler sebagai reaksi terhadap anti-Semitisme yang berkembang bahkan membludak pada akhir abad ke-19 di Eropa. Buku "The Protocols of the Elders of Zion" sebuah buku yang ditulis oleh beberapa orang yang membenci kaum Yahudi. Buku tersebut diedarkan seolah-olah ditulis tokoh-tokoh Yahudi dengan rencana besar untuk menaklukkan seluh dunia. Buku itu tidak ditulis kaum Yahudi tetapi justru oleh kaum anti-semitis guna menimbulkan lebih banyak kebencian terhadap kaum Yahudi. Tujuan mereka dicapai. Penganiayaan meningkat bahkan dipakai Hitler untuk membenarkan holocaust. Semuanya ini mendorong kaum Yahudi untuk harus pulang ke Palestina.

Visi Sionisme Nasionalis
Berkaitan dengan keinginan kembali ke Palestina telah muncul Sionisme yang bersifat Nasionalis, suatu gerakan kemerdekaan nasional kaum Yahudi. Gerakan ini telah bertumbuh pada abad ke-19 dalam konteks nastionalisme umum yang berkembang dalam semua bangsa Eropa. Sionisme menyatukan dua tujuan besar, kemerdekaan dan kesatuan. Kedua hal ini dapat dicapai dengan mengembangkan visi memerdekakan kaum Yahudi dari penganiayaan, kebencian dan penekanan pemerintahan asing di Eropa lalu memanggil semua diaspora Yahudi untuk bersatu kembali dengan suatu pemulangan global dari keempat penjuru dunia dan mendirikan kembali Tanah Airnya, Israel.

Pada tahun 1880an di Eropa Timur ada beberapa kelompok aktifis gerakan Sionisme ini seperti Hibbat Sion di mana emansipasi kaum minoritas belum terjadi seperti di Eropa Barat. Penganiayaan anti-Yahudi yang disebut pogrom telah menyusul asasinasi Kaisar Aleksander II dan ini membuat emansipasi bagi kaum Yahudi semakin sulit sehingga gerakan dan visi pemulangan menjadi semakin populer.

Di samping itu, di Perancis pada tahun 1894 terjadi skandal yang disebut The Dreyfus Affair yang melapaskan gerakan anti-Semitisme yang sangat mengejutkan Eropa. Perancis sebelumnya dianggap bangsa terkemuka dalam toleransi. Karenanya, seorang wartawan Yahudi, Theodore Herzl, telah menulis sebuah buku, "Negara Yahudi" yang mengungkapkan skandal Dreyfus sebagai pemicu mengubah visi banyak orang Yahudi yang tadinya tidak mendukung Sionisme tetapi sekarang telah menjadi seperti suatu banjir besar sehingga kerinduan kaum Yahudi untuk kembali ke tanah airnya menjadi sulit dibendung lagi. Pada tahun 1897 the Gerakan Sionis Sedunia dibentuk dan Herzl menjadi Presiden Sionisme yang pertama dan pengaruh gerakan nasionalis menjadi semakin luas.

Visi Sionisme Kultural
Sionisme juga mengembangkan visi pemulihan dan pertahanan kebudayaan Yahudi, khususnya bahasa Ibrani yang secara utuh sudah menghilang dari bahasa-bahasa dunia.

Hasil visi itu adalah bahasa Ibrani dibangkitkan kembali sebagai bahasa yang hidup yang dipakai dalam pemerintahan, perdagangan, pendidikan dan keilmuan, sebuah bahasa yang dipakai oleh semua orang Yahudi sebagai bahasa pemersatu.

Seorang pemikir Sionis, Asher Ginsberg, yang lebih dikenal dengan nama samaran Ahad Ha'am, dalam bukunya One of the People  telah menolak pentingnya Sionisme Politik untuk mencapai Negara Israel karena dia berpendapat bahwa persatuan melalui kebudayaan dan bahasa jauh lebih penting. Ahad Ha'am telah menyadari bahwa gerakan kemerdekaan dan pendirian Negara Israel pasti akan menimbulkan konflik dengan masyarakat Arab yang sudah ada di Palestina apalagi dengan penguasa daerah itu, Kerajaan Ottoman dan penguasa kolonial Eropa yang pada saat itu sedang berusaha merebutnya juga dari tangan Ottoman.

Daripada langsung mengusahakan Negara Israel lewat jalur politik, Ahad Ha'am lebih cenderung membangun gerakan pemulihan kebudayaan dan bahasa yang akan menyatukan kaum Yahudi dan tidak kelihatan sebagai ancaman terhadap penguasa-penguasa tsb. Gerakan seperti itu bisa membangun suatu momentum alamiah sehingga menjadi otomatis dan nyata bahwa ada bangsa Yahudi sebagai penduduk mayoritas Palestina.

Tokoh sebagai pelopor gerakan memulihkan bahasa Ibrani yang hidup adalah Eliezer Ben Yehuda. Pada tahun 1880'an kebanyakan kaum Yahudi Eropa hanya berbahasa bahasa Yiddish, sebuah bahasa campuran berdasarkan bahasa Jerman kuno campur kata-kata Ibrani. Ben Yehuda dan para pendukungnya mulai menganjurkan pemulihan bahasa Ibrani lalu mulai mengajarkan bahasa Ibrani modern berdasarkan bahasa Ibrani Alkitabiah. Setelah 1800 tahun bahasa Ibrani dianggap bahasa mati. Ben Yehuda telah menghidupkannya kembali.

Ben Yehuda telah tiba di Palestina mengikuti Aliyah Pertama pada tahun 1881 lalu memimpin proyek pemulihan bahasa Ibrani. Aliyah adalah kata bahasa Ibrani dengan arti 'mendaki', dan bermakna, "mendaki ke Tanah Kudus". Dengan pertolongan Nissim Bechar, Dekan Alliance Israelite Universelle, Ben Yehuda mulai mengajarkan bahasa Ibrani. Kemudian dia menerbitkan surat kabar harian Hatzvi dan mendirikan sebuah Dewan Linguistik. Karya Ben Yehuda telah berhasil menyelidiki, memulihkan dan menghidupkan kembali bahasa Ibrani sebagai bahasa modern.

Bahasa Ibrani mulai menjadi faktor pemersatu para pendatang baru dan para penduduk lama. Banyak dari mereka mulai mengambil nama-nama baru, nama-nama Ibrani.

Perkembangan kota modern baru, Tel Aviv, sebagai kota pertama yang berbahasa Ibrani modern bersamaan dengan perkembangan gerakan kibbutz, dan perkembangan institusi-institusi ekonomi Yahudi lainnya telah meletakkan dasar kuat untuk nasionalisme baru yang menjadi nyata pada Perang Dunia Pertama (1914-1918) yang juga mendukung deklarasi Inggris pada tahun 1917 yang disebut Deklarasi Balfour, yang meluncurkan gerakan dari bangsa adidaya itu untuk mendirikan kembali Negara Israel di Palestina. Realita dari deklarasi itu kemudian disaksikan setelah Perang Dunia Kedua (1939-1945) berakhir.

Kombinasi berbagai faktor ini, Sionisme Sosialis, Sionisme Religius, Sionisme Nasionalis dan Sionisme Kultural telah melahirkan suatu gerakan yang menyatukan semua elemen kaum Yahudi dengan visi bahwa pada generasi mereka, doa, kerinduan dan perjuangan mereka selama 1800 tahun untuk "tahun depan di Yerusalem" dapat terwujud dengan sesungguhnya.

Namun, munculnya Sionisme, publikasi buku fabrikasi The Protocols of the Elders of Zion, tekanan-tekanan politik dan ekonomi di antara bangsa-bangsa Eropa telah membuat gerakan anti-semitisme membludak dan memuncak dengan pogrom-pogrom dan kemudian komunisme di Rusia, penganiayaan di Perancis, fasisme di Italia dan Spanyol dan nazisme di Jerman dan sebagainya sehingga suatu solusi harus ditemukan. Untuk kaum Yahudi solusi adalah pemulangan ke Palestina. Untuk Hitler solusinya, yang dia sebut "Solusi Akhir", adalah eksterminasi semua orang Yahudi dari permukaan bumi.

Sionisme dan Gerakan Pemulihan Israel 1700-1917

Dari zaman sebelum 3500 tahun lalu wilayah Palestina diduduki dari berbagai suku kecil, kebanyakan sebagai pengembara dan pada dasarnya masa kini suku-suku itu tidak ada lagi.

3500 tahun yang lalu Tuhan telah memberikan tanah Palestina itu ke sebuah bangsa yang "lahir" di Mesir dari 70 orang keturunan Abraham, Ishak dan Yakub yang telah menjadi bangsa dengan tiga juta orang. Bahwa Palestina diberikan Tuhan kepada bangsa baru ini yang keluar dari Mesir dicatat dalam Alkitab (Keluaran 6:7) dan dalam Al-Qur'an (Surah Al Maidah 5:20-21).

Selama 1600 tahun berikut sampai tahun 70M wilayah Palestina adalah tanah Negara Israel dari zaman Yosua sampai penghancuran kota Yerusalem oleh tentara Roma yang dipimpin Jenderal Titus. Dari 70M itu masyarakat Israel yang masih hidup setelah pembantaian besar-besaran hanya sekitar 15% tetap tinggal di Palestina dan yang lain sudah menjadi diaspora ke pelbagai bangsa Eropa, Asia dan Timur Tengah. Kemudian mereka mengembara ke Amerika Serikat, Amerika Latin, Australia dll sampai 14 Maret 1948 pada waktu PBB telah mengakui kembali eksistensi Negara Israel di wilayah Palestina.

Apa menjadi faktor-faktor Israel lahir kembali setelah 1878 tahun tidak ada Negara Israel dan padang pasir Palestina menjadi rebutan berbagai bangsa? Untuk memahaminya kita perlu mempelajari latar belakang dan langkah-langkah kembalinya orang-orang Yahudi dan faham "Sionisme" yang dimilikinya yang mendorong mereka kembali mendirikan negara Israel kembali.

1. Makna Sionisme

"Sionisme" mendapat namanya dari nama kota yang disebut di Alkitab sebagai "Sion". Sion dalam sejarah telah menjadi sinonim untuk kota Yerusalem bahkan seluruh Tanah Israel. Sionisme adalah sebuah ideologi yang mengungkapkan keinginan masyarakat Yahudi di seluruh dunia untuk kembali ke kampung halaman historis mereka, Israel.

Inti pemikiran Sionisme adalah konsep bahwa Tanah Israel adalah tempat lahirnya Negara Israel (di zaman Yosua) dan keyakinan bahwa kehidupan Yahudi di tempat lain adalah kehidupan dalam pengasingan.

Berabad-abad kaum diaspora Yahudi telah memelihara hubungan kuat dan unik dengan tanah asalnya, dan kerinduan untuk kembali lagi ke Sion diungkapkan melalui berbagai ritual dan literatur sbb:
  • Dalam Doa kaum Yahudi sebagai penyembah diinstruksikan untuk menghadap ke arah timur, ke arah Israel, ke arah kota Yerusalem.
  • Dalam Ibadah Pagi, orang Yahudi berkata "Bawalah kami dengan damai dari keempat penjuru dunia dan memimpin kami dengan kebenaran ke tanah kami.
  • Para pendoa secara harian Berdoa, "Terpujilah Engkau, ya Tuhan, yang membangun Yerusalem," dan "Terpujilah Engkau, ya Tuhan, yang memulihkan hadirat-Nya ke Sion.
  • Doa Setelah Makan termasuk berkat yang berakhir dengan doa untuk pembangunan kembali "Yerusalem, Kota Kudus, dengan segera dibangun kembali pada generasi kami
  • Dalam Pemberkatan Nikah, mempelai lelaki mencari agar "mengangkat Yerusalem menjadi sukacita utama kami.
  • Waktu Penyunatan doa dari Mazmur 137:5 diucapkan, "Jika aku melupakan engkau hai Yerusalem, biarlah menjadi kering tangan kananku.
  • Waktu akhir perjamuan Paskah, setiap orang Yahudi selama 1900 tahun berkata, "Tahun depan di Yerusalem!
  • Pada saat Berduka, yang berduka dihiburkan dengan menyebut Tanah Israel: "Terpujilah Engkau, ya Tuhan, Penghibur Sion dan yang membangun Yerusalem.
  • Dalam berbagai jenis Puisi kerinduan kaum Yahudi untuk kembali ke Tanah Airnya ditulis dalam bahasa Ibrani dan dialek-dialek Yahudi lainnya, seperti Yiddish di Eropa Timur dan Ladino di Spanyol.
Inti pemikiran faham Sionisme ini dicatat dalam Deklarasi Kemerdekaan Israel (14 May 1948), yang berbunyi:

Tanah Israel adalah tempat kelahiran bangsa Yahudi. Di sini identitasnya secara rohani dan politik dibentuk. Di sini mereka mula pertama mencapai status negara, menciptakan nilai-nilai kebudayaan dengan makna penting secara nasional dan universal bahkan tanah ini melahirkan dan telah memberikan kepada dunia Kitab segala Kitab. Setelah diusir secara paksa dari tanahnya, masyarakatnya telah memelihara imannya pada bangsanya di sepanjang pembuangannya dan tidak pernah berhenti berdoa dengan pengharapan agar kembali kepadanya dan untuk memulihkan di dalamnya kebebasan politik.

Jadi tujuan Sionisme adalah agar kaum Yahudi memiliki tanah Palestina kembali yang di dalamnya berpenduduk mayoritas orang-orang Yahudi melalui pemulangan yang tidak terbatas dari semua kaum Yahudi dari berbagai bangsa dan agar mendirikan kembali Negara Israel.

2. Sebabnya Munculnya Sionisme

Ada beberapa sebab utama untuk meningkatnya Sionisme. Pertama adalah dorongan-dorongan nubuatan Alkitab yang menyatakan Israel akan dikumpulkan kembali dari berbagai bangsa setelah pembuangannya (Ulangan 28:64-66; 30:1-5; Lukas 21:20-24).

Kedua adalah meningkatnya berbagai bentuk anti-semitisme dalam penganiayaan di Eropa yang akhirnya menghasilkan holocaust (pembunuhan massal) di Jerman di bawah Adolf Hitler (1939-1945) dan pogrom-pogrom di Rusia (1870-1964) di bawah pimpinan para kaisar Rusia dan dilanjutkan oleh kaum Komunis di bawah Lenin dan Stalin yang menewaskan 10 juta orang Yahudi. Penganiayaan dan pembunuhan massal seperti itu sangat mendorong bahkan mendesak kaum Yahudi untuk kembali ke Palestina dan mendirikan kembali Negara Israel.

Ketiga adalah bangkitnya gerakan nasionalisme dan akhirnya zaman kolonialisme Ottoman dan Barat pada waktu Perang Dunia Pertama dan Kedua sehingga ada peluang untuk banyak gerakan nasionalis memproklamirkan kemerdekaan, a.l. Siria, Libanon, Arab Saudi, Yordan, Indonesia dan Israel.

Yang keempat adalah dampak Revolusi Perancis. Revolusi yang mengakhiri sistem aristokrasi dan lahirnya demokrasi membangkitkan Napoleon dan pembebasan bagi kaum Yahudi. Tidak lagi mereka terkurung dalam ghetto-ghetto (kampung etnis) kota-kota Eropa, dan mereka menjadi warga negara sama seperti masyarakat lainnya. Dengan peluang ini kaum Yahudi sangat maju dalam ilmu teknologi, politik, pendidikan, perbankan, perdagangan dan kekayaan. Dampaknya baik positif maupun negatif. Positifnya adalah kapasitasnya untuk bermigrasi kembali ke Israel meningkat. Tetapi negatifnya adalah kecemburuan ekonomi sehingga mereka semakin dibenci oleh masyarakat asli setempat.

Semua faktor ini mendukung munculnya Sionisme, yaitu kerinduan kembali ke Palestina dan membangun kembali Negara Israel.

3. Kaum Yahudi berangsur-angsur Kembali ke Palestina

Sejak zaman jajahan Roma dan penghancuran Yerusalem pada tahun 70M tetap ada populasi Yahudi yang tinggal di wilayah Palestina, kadang-kadang sebagai penduduk mayoritas, kadang-kadang sebagai penduduk minoritas. Mulai sekitar tahun 1700, para imigran Yahudi yang dipimpin oleh Rabi-Rabi mereka, dari Eropa dan dari berbagai bangsa lain dalam Khilafah Ottoman (Kerajaan Islam), telah mulai tiba di Palestina dengan berbagai programnya agar tinggal tetap di Palestina.

Misalnya, Rabi Yehuda Hehasid dan pengikutnya mendirikan perkampungannya di Yerusalem sekitar tahun 1700, tetapi tiba-tiba rabi itu meninggal, sehingga massa Arab yang marah karena hutang-hutang yang belum dibayar, telah membinasakan rumah doa Yahudi (sinagog) yang dibangun rombongan Yahudi itu. Kemudian semua pendatang Yahudi dari Eropa yang disebut Yahudi Ashkenazy dilarang tinggal di Yerusalem. Rabi Luzatto dan Rabi Ben-Attar juga memimpin rombangan besar ke Palestina pada tahun 1740. Kemudian ada rombongan-rombongan dan individu lainnya yang datang dari Lithuania dan Turki dan beberapa negara lainnya di Eropa Timur.

Jumlah pendatang pada Abad ke-18 dan awal Abad ke-19 menjadikan kaum Yahudi kelompok penduduk terbesar pada tahun 1844. Penduduk-penduduk baru ini pada awalnya mengalami banyak kesulitan secara budaya dan ekonomi karena pada tahun 1800, korupsi, perang dan pengadministrasian Khilafah Ottoman begitu merusak jalannya ekonomi Palestina sehingga populasinya turun hingga 200.000 orang.

Lalu pada tahun 1880'an, Palestina sudah mulai pulih, walaupun tetap miskin dengan banyak penyakit, populasinya berkembang menjadi 450.000. Yerusalem, pada waktu itu, hanya kota kecil yang berpenduduk 25.000 dengan 13.000 orang Yahudi dan 12.000 orang Arab dan Turki.

Usaha pertama membangun perkampungan Petah Tikva dalam tahun 1878 gagal tetapi kemudian berhasil dibangun. Waktu itu pemerintahan Ottoman tidak terlalu mentolerir pendatang-pendatang baru, khususnya mereka yang tetap mempertahankan kewarganegaraan asing, dan sewaktu-waktu pemerintah itu telah membatasi para imigran. Masalahnya ialah kalau menjadi warga negara Ottoman bisa saja disuruh ikut program wajib militer. Kependudukan waktu itu tidak terlalu stabil karena dampak penyakit, kemiskinan dan pengangguran tinggi sehingga banyak meninggal atau berangkat.

Gelombang-gelombang besar pemulangan kaum Yahudi, yang mulai pada tahun 1882, telah berlanjut di sepanjang Abad ke-20. Sebelum tahun 1890'an ada berbagai usaha untuk kaum Yahudi memperluas perkampungannya dan menduduki seluruh wilayah Palestina. Pada akhir tahun 1890'an dalam zaman Khilafah Ottoman jumlah penduduk Palestina mencapai sekitar 520.000 orang, mayoritas Arab Muslim dan Arab Kristen, namun di antaranya ada sekitar 125.000 orang Yahudi.

Pogrom-pogrom di bawah para Kaisar Rusia mendorong para filanthropis (donatur) seperti Montefiores dan keluarga Rothschild untuk mensponsori perkampungan pertanian untuk orang-orang Yahudi dari Rusia pada akhir 1870'an. Ini menjadi realita pada tahun 1882. Dalam sejarah Sionisme ini disebut sebagai Aliyah Pertama. Aliyah adalah kata bahasa Ibrani dengan arti "mendaki," yang mempunyai arti secara rohani "mendaki" atau pulang ke Tanah Kudus.

Migrasi Massal Arab ke Palestina dalam Abad ke-20

Pada awal abad ke-20, populasi Yudea dan Samaria yang kini disebut "Tepi Barat" berpenduduk kurang dari 100.000 orang, dan mayoritasnya adalah orang Yahudi. Waktu akhir perang kemerdekaan Israel pada tahun 1951, Gaza hanya memiliki 80.000 penduduk Arab dan orang Yahudinya sangat sedikit. Dalam 50 tahun sampai tahun 2001 jumlah penduduk Arab di Gaza meningkat drastis menjadi lebih dari 1 juta orang karena imigrasi besar-besaran. Di antara tahun 1948 sampai 1967 Gaza ada di tangan Mesir dan Tepi Barat ada di tangan Yordan sehingga terjadi promosi besar-besaran untuk mengisi Gaza dan Tepi Barat dengan sebanyak mungkin orang Arab dari setiap negara Arab tetapi terutama dari Mesir, Siria, Libanon, Irak dan Yordan.

Lebih dari 250 perkampungan Arab didirikan di daerah Judea and Samaria (Tepi Barat) saja. Dalam kerja sama dan dalam usaha menciptakan perdamain lewat perkembangan ekonomi pemerintah Israel telah mengizinkan 240.000 orang Arab masuk dengan izin kerja tetapi mereka telah tinggal tetap dan tidak mau kembali ke negara asal. Setelah mereka menetap lebih dari dua tahun mereka digolong oleh PBB sebagai "orang Palestina" apapun negara Arab asal mereka dan tanpa harus ada dokumentasi. Dengan demikian jumlah "orang Palestina" membludak!

Pada periode itu Arab Saudi telah mengusir lebih dari sejuta orang Arab yang kewarganegaraannya bukan Saudi dan tidak jelas asalnya dan banyak dari mereka kemudian pindah ke Gaza dan Tepi Barat.

Imigrasi massal Arab ke Palestina merupakan reaksi terhadap perkembangan Sionisme dan lahirnya kembali Negara Israel. Dulu Palestina adalah daerah padang pasir, tandus, dengan banyak penyakit, dan hampir tidak ada orang Arab yang mau tinggal di sana, tetapi setelah ada Israel dan padang pasir Palestina menjadi taman buah dan bunga, semua Arab telah menginkannya. Israel telah menjadi ancaman terhadap keadaan sosial, kebudayaan, politik, ekonomi dan agama untuk agama Islam sehingga mobilisasi massal Arab telah mulai.

Ketinggian Golan

Dalam sejarah Israel, Ketinggian Golan adalah bagian warisan suku Manasye, sejak 3500 tahun yang lalu. Pada zaman Yesus, 2000 tahun lalu, daerah itu disebut sebagai bagian Yudea wilayah jajahan Roma.

Dari tahun 1850 sampai 1920, banyak tanah di Ketinggian Golan dibeli oleh rombongan-rombangan Yahudi untuk mendirikan perkampungan-perkampungannya di situ. Tetapi pada tahun 1920 perkampungan-perkampungan itu diserang oleh gerombolan Arab sehingga banyak orang Yahudi dibunuh dan sisanya melarikan diri.

Pada tahun 1967, Israel merebut kembali Ketinggian Golan dari Siria sebagai tindakan bela diri dan sudah dikontrol Israel selama 40 tahun sejak perang itu. Pada tahun 1981 Ketinggian Golan menjadi bagian resmi Negara Israel.

Siria hanya pernah berkuasa di daerah Golan selama 26 tahun dari kemerdekaannya pada tahun 1941 sampai ke Perang Enam Hari pada tahun 1967.