Sejarah Dunia Kuno

2021 a year of miracles and 'unlocking' millions

Aug 27, 2014

Budaya Memeluk Pohon di India

Sejak berabad-abad, penduduk desa di India, terutama di wilayah perbukitan dan pegunungan, menggantungkan hidup pada hutan. Hutan menyediakan makanan, bahan bakar, pakan ternak, serta menjaga kelangsungan sumberdaya tanah dan air. Kekeselarasan dengan alam sangatlah penting. Hutan adalah segala-galanya.

Tapi, pada 1821, secara bertahap kendali atas wilayah hutan beralih ke tangan pemerintah. Perlawanan pun muncul. Pada 1916, para pejabat Inggris bingung atas "pembakaran rumah yang disengaja dan terorganisasi" oleh orang-orang dari Kumaon karena pembukaan hutan untuk kepentingan komersial tapi juga kehilangan hak-hak tradisional mereka. Terjadi pemogokan terhadap utar (kerja paksa). Hutan-hutan pinus dibakar di seluruh Kumaon, terutama di Almora.

Protes atas kebijakan hutan, yang bertentangan dengan kepentingan lokal, berlanjut setelah kemerdekaan. Puncaknya terjadi pada 1970-an dengan Gerakan Chipko.

Pelopornya adalah Chandi Prasad Bhatt, pekerja sosial yang menganut ajaran Mahatma Gandhi. Dia membentuk Dasholi Gram Swarajya Mandal (DGSM) di Gopeshwar pada 1964 untuk membangun kewirausahaan dan kemandirian dengan membangun usaha kecil yang memanfaatkan sumberdaya hutan. Pada akhirnya mereka berhadapan dengan para kontraktor yang hendak mengeksploitasi hutan. Mereka mulai bertekad untuk memperjuangkan hak-hak hutan. Mereka melancarkan gelombang protes. Banjir bandang di Alaknanda pada 1970 mendorong mereka terus memperkeras aksi. Pada 1972 mereka melakukan demonstrasi di Purola, Uttarkashi, dan Gopeshwar. Upaya itu gagal. Mereka terpaksa mencari cara baru.

Gerakan Chipko dimulai pada April 1973 di distrik Chamoli. Penduduk desa Mandal, dipimpin Bhatt dan Sunderlal Bahuguna, menghalangi Symonds, perusahaan alat-alat olahraga yang berkantor di Allahabad, untuk menebang pohon guna keperluan pembuatan raket tenis. Sekira seratus warga desa dan relawan DGSM memukul drum dan meneriakkan slogan-slogan yang memaksa kontraktor dan para penebang hutan mundur. Pada bulan Desember, mereka sekali lagi menghentikan orang-orang Symonds menebang hutan Phata-Rampur, sekira 60 km dari Gopeshwar.

Pada 1974, Departemen Kehutanan melelang 2.500 pohon di hutan Murenda Peng, di dekat desa Reni. Lelang dimenangkan Jagmohan Bhalla, seorang kontraktor dari Rishikesh. Warga desa resah, marah.

Bhatt ke desa Reni dan menyarankan agar para penduduk memeluk pohon sebagai taktik untuk menyelamatkan hutan –Bhaat menggunakan istilah angalwaltha yang dalam bahasa Garhwali berarti "merangkul", kemudian disesuaikan dengan bahasa Hindi, chipko, dengan makna sama.

"Para penduduk desa terus bertahan menjaga pohon-pohon mereka hingga Desember, dan dimulailah kisah panjang Gerakan Chipko," tulis Shobita Jain dalam "Standing Up For Trees: Women′s Role in The Chipko Movement", masuk antologi Women and the Environtment karya Sally Ann Sontheimer.

Gerakan Chipko dengan memeluk pohon bukanlah yang pertama. Pada abad ke-18, masyarakat di Bishnoi, Rajasthan, resah karena hutan tempat mereka menggantungkan hidup terancam rusak. Para penebang pohon dan prajurit kerajaan, yang dikirim Maharaja Marwar, akan menebangi pohon. Maharaja memerlukan kayu untuk membangun istananya. Sebanyak 350 orang, lelaki dan perempuan, melawan. Mereka memeluk pohon sembari bergandengan tangan. Akibatnya tubuh mereka tercincang.

"Ini merupakan pendahuluan (bibit) Gerakan Chipko yang tumbuh dua abad kemudian," tulis Anil Kumar De dalam Environtmental Studies.

Kali ini, dalam Gerakan Chipko, banyak perempuan terlibat. Gaura Devi, seorang perempuan dari desa Lata, memimpin 27 perempuan di desa Reni menuju lokasi dan menghadapi para penebang. Mereka mendapat intimidasi dan perlakuan kasar, bahkan ancaman kekerasan. Devi bahkan menantang seorang pria –pekerja perusahaan– bersenjata api untuk menembak dirinya ketimbang menebangi pohon. Baginya, hutan sama dengan maika (rumah ibunya).



Para perempuan berjaga sepanjang malam, menjaga pohon-pohon mereka dari para penebang hingga sebagian penebang mengalah dan meninggalkan desa. Hari berikutnya, ketika beberapa lelaki dan pemimpin mereka datang kembali, berita tentang gerakan sudah menyebar ke desa-desa lain dan lebih banyak orang bergabung. Akhirnya setelah bertahan selama empat hari, kontraktor pergi. Para perempuan Reni berhasil mengusir para pekerja kontraktor pada 26 Maret 1974. Ini adalah titik penting bagi Gerakan Chipko, yang menandai kali pertama perempuan mengambil inisiatif, terutama ketika kaum laki-laki tak melakukannya.

Insiden Reni mendorong pemerintah negara bagian membentuk sebuah komite beranggotakan sembilan orang, dipimpin ahli botani Virendra Kumar. Pemerintah juga meminta perusahaan kayu menarik orang-orangnya dari Reni hingga komite mengambil keputusan.

Setelah dua tahun bekerja, komite menghasilkan laporan: hutan Reni merupakan areal sensitif dan tak satu pohon pun boleh ditebang. Pemerintah mengeluarkan larangan komersialisasi hutan selama 10 tahun di Reni dan hampir 1.200 km persegi di daerah hulu Alaknanda. Larangan itu diperpanjang selama 10 tahun pada 1985.

Respon lainnya, pemerintah membentuk badan usaha milik negara, Nigam Van, pada 1975 untuk mengambil-alih segala bentuk eksploitasi hutan dari tangan kontraktor swasta. "Diyakini," kata Surendra Bhatt, mantan relawan Sarvodaya dari Uttarkashi sebagaimana dikutip Amit Mitra dalam "Chipko: an unfinished" yang dimuat di indiaenvironmentportal.org, "pemerintah tak akan sekejam dan sekorup kontraktor swasta dalam memanfaatkan sumber daya hutan."

Namun kenyataan berkata lain. Gerakan serupa muncul di sejumlah wilayah. Di Tehri Garhwal, misalnya, aktivis Chipko yang dipimpin Sunderlal Bahuguna mengorganisasi warga desa untuk menentang penebangan pohon di lembah Henwal pada 1977 serta hutan di Advani, Salet, dan Narendranagar pada tahun berikutnya. Beberapa relawan, termasuk Bahuguna, ditahan.

"Perjuangan di Henwal," kenang Pratap Shikhar, sebagaimana dikutip Amit Mitra, "menandai transformasi Chipko dari perjuangan ekonomi ke perjuangan untuk konservasi."

Gerakan Chipko berhasil menyelamatkan hutan. Seiring waktu, Chipko sendiri kian berkembang dan terorganisir, bahkan melintasi batas-batas geografis.

"Gerakan Chipko bisa dipertimbangkan sebagai satu kisah keberhasilan penting dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dalam proses pembangunan masyarakat lokal melalui perlindungan hutan dan lingkungan," tulis Shobita.

Bagaimana kita? Hutan sudah gundul. Bencana terus datang. Mari memeluk pohon, sumber kehidupan, sembari menyanyikan lagu seperti yang dilantunkan selama Gerakan Chipko: "Maatu hamru, hamru paani, chhan hi Hamra yi Baun bhi ... Pitron na lagai Baun, hamunahi ta bachon bhi" /Tanah kita, air kita, hutan-hutan kita. Nenek moyang kita membesarkan mereka, kita yang harus melindungi mereka

No comments: