Sejarah Dunia Kuno

2021 a year of miracles and 'unlocking' millions

Oct 28, 2013

Pelayanan Yesus

Semalam suntuk mereka berada di gunung, dan ketika matahari terbit, Yesus dan murid-murid-Nya turun ke lembah. Karena asyik berpikir-pikir, murid-murid itu termanggu-manggu dan bungkam. Petrus sekali pun tidak mengucapkan sepatah kata pun. Mereka senang tinggal lebih lama di tempat yang suci yang telah disinari terang surga, dan di mana Anak Allah telah menyatakan kemuliaan-Nya; tetapi ada pekerjaan yang harus dilakukan bagi orang banyak, yang sudah berusaha mencari Yesus jauh dan dekat. Di kaki gunung itu serombongan besar sudah berhimpun, dituntun ke sana oleh murid-murid yang sudah tinggal di situ, tetapi yang mengetahui ke mana Yesus telah pergi. Ketika Yesus datang mendekat, Ia memerintahkan kepada ketiga sahabat-Nya supaya berdiam diri mengenai apa yang sudah mereka saksikan, dengan berkata, "Janganlah kamu mengatakan penglihatan ini kepada seorang jua pun, sebelum Anak Manusia bangkit dari antara orang mati." Wahyu yang dinyatakan kepada murid-murid hendaknya direnungkan dalam hati mereka sendiri, bukannya disebar-luaskan. Mat. 17:9-21; Mrk. 9:9-29; Luk. 9:37-45.

Menceritakannya kepada orang banyak hanya akan membangkitkan ejekan atau keheranan yang tiada gunanya. Dan kesembilan rasul sekali pun tidak akan mengerti penglihatan itu sampai sesudah Kristus bangkit dari antara orang mati. Betapa lambatnya pengertian ketiga murid yang disenangi itu, kelihatan dalam kenyataan bahwa meski pun segala sesuatu sudah dikatakan Yesus tentang apa yang akan dihadapi-Nya, namun mereka masih bertanyatanya sama sendiri apa gerangan artinya bangkit dari antara orang mati. Meski pun demikian mereka tidak minta penjelasan dari Yesus. Perkataan-Nya mengenai masa depan telah membuat mereka amat sedih, mereka tidak berusaha mendapat wahyu selanjutnya mengenai sesuatu yang pada hemat mereka sepatutnya tidak pernah akan terjadi.

Ketika orang banyak di lembah itu memandang Yesus, berlarilah mereka mendapatkan Dia, seraya menyambut Dia dengan pernyataan hormat dan kegembiraan. Tetapi mata-Nya yang tajam melihat bahwa mereka berada dalam kebingungan besar. Murid-murid kelihatan susah. Suatu keadaan baru saja terjadi yang menyebabkan kekecewaan dan kehinaan bagi mereka.
Sementara mereka menunggu di kaki gunung, seorang ayah membawa anaknya laki-laki kepada mereka, dengan maksud supaya dilepaskan dari penyakit gila babi yang menyiksakan dia. Kuasa atas roh jahat yaitu kuasa untuk membuangkannya, telah dianugerahkan kepada murid-murid ketika Yesus mengutus kedua belas murid untuk memasyhurkan Injil di Galilea. Ketika mereka keluar dengan iman yang teguh, roh-roh jahat mentaati perintah mereka. Sekarang dalam nama Kristus mereka memerintahkan roh yang menyiksa itu meninggalkan mangsanya; tetapi Setan itu hanya mengejek mereka dengan mempertunjukkan kuasanya sekali lagi. Murid-murid yang tidak sanggup menjelaskan kekalahan mereka, merasa bahwa mereka sedang mendatangkan kecelaan ke atas diri mereka sendiri, dan Guru mereka. Dan di antara orang banyak itu terdapatlah ahli taurat yang paling banyak menggunakan kesempatan ini untuk merendahkan mereka. Sambil mengerumuni murid-murid itu, mereka melancarkan pertanyaan kepada mereka, sambil berusaha membuktikan bahwa mereka dan Guru mereka adalah penipu. Rabbi-rabbi mengumumkan dengan nada kemenangan bahwa di sinilah terdapat suatu roh jahat yang baik murid-murid mau pun Kristus Sendiri, tidak dapat mengalahkannya. Orang banyak mempunyai kecenderungan untuk rnemihak pada ahli taurat, dan suatu perasaan penghinaan dan ejekan meliputi orang banyak itu.

Tetapi tiba-tiba tuduhan itupun berhentilah. Yesus dan ketiga murid-Nya kelihatan sedang datang, dan dengan perubahan perasaan yang tiba-tiba orang banyak itu berbalik hendak berjumpa dengan mereka. Malam persekutuan dengan kemuliaan surga telah meninggalkan bekasnya pada Juruselamat dan sahabat-sahabat-Nya. Pada wajah mereka terdapatlah suatu terang yang mengherankan orang yang memandangnya. Ahli taurat mundur dengan ketakutan, sedangkan orang banyak menyambut Yesus. Seolah-olah Ia telah menyaksikan segala sesuatu yang telah terjadi, Juruselamat datang ke tempat terjadinya pergumulan itu, dan sambil menatap ahli-ahli taurat Ia menanyakan, "Apakah perkara yang kamu perbantahkan dengan orang ini?"

Tetapi suara-suara yang tadinya sangat lancang dan menentang kini menjadi diam. Sikap diam menguasai segenap rombongan itu. Sekarang ayah yang dirundung malang itu mencari jalan melalui orang banyak itu, dan sambil tersungkur di kaki Yesus, diceritakannya kesusahannya dan kekecewaannya. "Ya Guru, hamba sudah bawa kepada Guru anak hamba laki-laki yang gila babi. Barang di mana saja Setan itu merasuk dia, ia dipontang-pantingkannya. Dan hamba sudah berkata kepada murid-murid tuan, supaya mereka itu membuangkan Setan itu, tetapi tiadalah cakap mereka itu."
Yesus memandang di sekeliling-Nya kepada orang banyak yang termanggu-manggu, ahli taurat yang sedang mengeritik, serta murid-murid yang kebingungan. Ia membaca sifat kurang percaya dalam setiap hati, dan dalarn suara yang dipenuhi kesusahan Ia berseru, "Hai bangsa yang tiada percaya ini! Berapa lamakah lagi Aku beserta dengan kamu? Dan berapa lamakah harus Aku sabar akan kamu?" Kemudian Ia menyuruh ayah yang bersedih itu, "Bawalah dia kepada-Ku." Anak itu dibawa, dan ketika mata Juruselamat memandang dia, roh jahat itu mencampakkan dia ke tanah dalam kekejangan yang menyedihkan. Ia terbaring berguling-guling dan mulutnya berbuih, jeritannya memecah udara dengan bunyi yang aneh.

Sekali lagi Putera kehidupan dan putera kuasa kegelapan telah bertemu di medan pertarungan Kristus dalam memenuhi tugasnya untuk "memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas" (Luk. 4:19), Setan berusaha menahan mangsanya di bawah kuasanya. Malaikat-malaikat terang dan rombongan malaikat yang jahat yang tidak kelihatan itu, sedang berada di dekatnya untuk melihat pertarungan itu. Sesaat lamanya, Yesus membiarkan roh jahat itu menunjukkan kuasanya, supaya orang-orang yang melihatnya mengerti akan kelepasan yang hampir diadakan. Orang banyak menonton dengan menahan napas, dan ayah itu melihat dengan derita yang penuh harapan bercampur ketakutan. Yesus bertanya, "Berapa lama sudah jadi demikian padanya?" Ayah itu mengisahkan tentang tahun-tahun penderitaan yang panjang itu, dan kemudian, seakan-akan ia tidak dapat menanggung lebih dari itu, ia pun berserulah, "Sebab itu, kalau Tuhan boleh menolong dia, kasihanilah kami dan tolonglah kami.'' "Kalau Tuhan boleh!" Pada saat itu pun ayah itu meragukan kuasa Kristus.

Yesus menjawab, "Segala perkara boleh jadi bagi orang yang percaya." Tidak kurang kuasa di pihak Kristus; penyembuhan anak itu bergantung pada iman ayah itu. Dengan mencucurkan air mata karena menyadari kelemahannya sendiri, ayah itu menyerahkan dirinya pada kemurahan Kristus, dengan seruan, "Ya Tuhan, hamba percaya, tolonglah akan iman hamba yang kurang."
Yesus berpaling kepada sipenderita, dan berkata, "Hai Setan yang kelu dan tuli, Aku suruhkan engkau keluar daripadanya, dan jangan engkau masuk pula ke dalamnya." Terdengarlah suatu teriakan, suatu pergumulan yang memilukan. Ketika Setan itu keluar, tampaknya ia hampir merenggut nyawa sikorban. Kemudian anak itu terbaring dengan tidak bergerak, dan tampaknya tidak bernyawa lagi. Orang banyak berbisik, "Sudah mati ia." Tetapi Yesus memegang tangannya, dan setelah mengangkat dia, diserahkan-Nya anak itu kepada ayahnya dalam keadaan sehat pikiran dan tubuh. Ayah dan anak memuji nama Pelepas mereka. Orang banyak pun "tercenganglah akan kemuliaan Allah itu," sementara ahli-ahli taurat yang sudah dikalahkan dan patah hati itu pun berbaliklah dengan perasaan muram.

"Kalau Tuhan boleh menolong dia, kasihanilah kami dan tolonglah kami." Betapa banyaknya jiwa yang dibebani dosa telah menggemakan doa seperti itu. Dan kepada semuanya jawab Juruselamat yang penuh belas kasihan ialah, "Segala perkara boleh jadi bagi orang yang percaya." Percaya itulah yang menghubungkan kita dengan surga, dan mendatangkan kekuatan kepada kita untuk mengatasi kuasa kegelapan. Dalam Kristus, Allah sudah menyediakan ikhtiar untuk menaklukkan setiap sifat yang berdosa, dan melawan setiap pencobaan, bagaimana kerasnya sekalipun. Tetapi banyak orang merasa bahwa mereka kekurangan iman, dan itulah sebabnya mereka menjauhkan diri dari Kristus. Biarlah jiwa-jiwa ini, dalam ketidak-layakan mereka yang tidak berdaya itu, menyerahkan diri pada, kemurahan Juruselamat mereka yang penuh belas kasihan. Jangan memandang kepada diri sendiri, melainkan kepada Kristus. Ia yang menyembuhkan orang sakit dan membuangkan Setan ketika Ia berjalan di antara manusia adalah Penebus yang sama yang berkuasa dewasa ini. Iman datang oleh sabda Allah. Sebab itu peganglah janji-Nya, "Barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang." Yoh. 6:37. Rendahkanlah dirimu di kaki-Nya dengan seruan, "Ya Tuhan, hamba percaya, tolonglah akan iman hamba yang kurang." Engkau sekali-kali tidak akan binasa sementara engkau melakukan hal ini sekali-kali tidak.

Dalam waktu yang singkat murid-murid yang disenangi itu telah memandang hebatnya kemuliaan dan hebatnya kehinaan. Mereka telah melihat kemanusiaan sebagaimana yang dipermuliakan ke dalam peta Allah, dan sebagaimana yang direndahkan ke dalam rupa Setan. Dari gunung di tempat Ia telah bercakap-cakap dengan utusan-utusan surga, dan telah diumumkan sebagai Anak Allah oleh suara dari kemuliaan yang bercahaya, mereka telah melihat Yesus turun untuk mendapati pemandangan yang paling menyedihkan dan menjijikkan, anak yang dirasuk Setan, dengan muka yang menggeliat, sambil menggertakkan giginya dalam kekejangan penderitaan yang tidak dapat diringankan oleh kuasa manusia. Dan Penebus yang berkuasa ini, yang baru saja beberapa jam yang lalu berdiri dalam keadaan dipermuliakan di hadapan murid-murid-Nya yang keheran-heranan, membungkuk untuk mengangkat mangsa Setan dari tanah di tempat ia sedang berguling-guling; dan mengembalikannya kepada ayah dan rumah tangganya dalam kesehatan pikiran dan tubuh.

Itulah suatu pelajaran yang bertujuan untuk mengajarkan penebusan Makhluk Ilahi dari kemuliaan Bapa merundukkan diri untuk menyelamatkan yang hilang. Pelajaran itu menggambarkan juga tugas murid-murid. Bukan saja di atas puncak gunung dengan Yesus, dalam saat-saat penerangan rohani, kehidupan hamba-hamba Kristus itu harus digunakan. Ada pekerjaan bagi mereka di lembah. Jiwa-jiwa yang telah diperhamba oleh Setan sedang menunggu sabda iman dan doa untuk membebaskan mereka.

Kesembilan murid-murid merenungkan betapa pahitnya kegagalan mereka sendiri, dan ketika Yesus sudah bersama-sama lagi dengan mereka dalam keadaan terasing, mereka bertanya, "Apakah sebabnya kami ini tiada dapat membuangkan Setan itu?" Yesus menjawab mereka, "Oleh sebab kurang imanmu, karena dengan sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Jikalau karnu menaruh iman sebesar biji sesawi, maka kamu berani mengatakan pada gunung ini: Pindahlah engkau dari sini ke sana, niscaya berpindahlah ia kelak; bahkan, tiada barang sesuatu pun yang mustahil padamu. Tetapi sejenis ini dengan suatu pun tiada dapat keluar, hanyalah dengan doa dan puasa saja." Kurang iman mereka, yang menjauhkan mereka dari simpati yang lebih dalam kepada Kristus, serta kelalaian dalam penghargaan mereka terhadap pekerjaan yang suci yang dipercayakan kepada mereka, telah menyebabkan kegagalan mereka dalam pertentangan dengan kuasa kegelapan.
Perkataan Kristus yang menunjukkan kepada kematian-Nya telah membawa kesedihan dan kebimbangan. Dan pemilihan ketiga murid itu untuk menemani Yesus ke gunung telah membangkitkan kecemburuan kesembilan murid lainnya. Gantinya menguatkan iman mereka melalui doa dan renungan pada perkataan Kristus, mereka telah merenungkan perasaan tawar hati dan kesedihan pribadi. Dalam keadaan kegelapan ini mereka telah berusaha bergumul dengan Setan.

Supaya berhasil dalam pergumulan seperti itu, mereka harus datang kepada pekerjaan dalam suaru roh yang berbeda. Iman mereka harus dikuatkan oleh doa yang tekun dan puasa, serta kerendahan hati. Mereka harus dikosongkan dari kepentingan diri sendiri, dan dipenuhi dengan Roh dan kuasa Allah. Permohonan yang sungguh-sungguh dan tekun kepada Allah dalam iman—iman yang menuntun untuk bergantung sepenuhnya pada Allah, serta penyerahan yang tidak bersyarat pada pekerjaan-Nya hanya itulah yang dapat menolong membawa bantuan Roh Kudus kepada manusia dalam pertempuran melawan penguasa dan kuasa, dan penghulu dunia yang memerintah dan segala kuasa roh yang jahat di udara.

"Jikalau kamu menaruh iman sebesar biji sesawi," kata Yesus, "maka kamu berani mengatakan pada gunung ini: Pindahlah engkau dari sini ke sana, niscaya berpindahlah ia kelak." Meski pun biji sesawi itu sangat kecil, namun dalamnya terdapat prinsip hidup yang sama yang sukar dipahami yang menghasilkan pertumbuhan dalam pohon yang tertinggi. Bila biji sesawi dicampakkan ke tanah, maka kecambah yang kecil sekali dipelihara oleh setiap unsur yang telah disediakan Allah untuk makanannya, dan bertumbuhlah menjadi kuat dengan cepatnya. Jika engkau memiliki iman seperti ini, engkau akan berpegang pada sabda Allah, dan pada segala alat yang dapat menolong yang telah ditentukan-Nya. Dengan demikian imanmu akan dikuatkan, dan akan membawa pertolongan kuasa surga kepadamu. Rintangan-rintangan yang ditumpukkan oleh setan pada jalanmu, meskipun tampaknya tidak mungkin diatasi seperti bukit yang kekal, akan lenyap di hadapan tuntutan iman. "Tiada barang sesuatu pun yang mustahil padamu.''

5 comments:

Anonymous said...

kesaksian Jim Caviezel pemeran Yesus dalam The Passion of the Christ.


Jim Caviezel adalah aktor Hollywood yang memerankan Tuhan Yesus dalam Film “The Passion Of the Christ”. Berikut refleksi atas perannya di film itu.

JIM CAVIEZEL ADALAH SEORANG AKTOR BIASA DENGAN PERAN2 KECIL DALAM FILM2 YANG JUGA TIDAK BESAR. PERAN TERBAIK YANG PERNAH DIMILIKINYA (SEBELUM THE PASSION) ADALAH SEBUAH FILM PERANG YANG BERJUDUL “ THE THIN RED LINE”. ITUPUN HANYA SALAH SATU PERAN DARI BEGITU BANYAK AKTOR BESAR YANG BERPERAN DALAM FILM KOLOSAL ITU.

Dalam Thin Red Line, Jim berperan sebagai prajurit yang berkorban demi menolong teman-temannya yang terluka dan terkepung musuh, ia berlari memancing musuh kearah yang lain walaupun ia tahu ia akan mati, dan akhirnya musuhpun mengepung dan membunuhnya. Kharisma kebaikan, keramahan, dan rela berkorbannya ini menarik perhatian Mel Gibson, yang sedang mencari aktor yang tepat untuk memerankan konsep film yang sudah lama disimpannya, menunggu orang yang tepat untuk memerankannya.

“Saya terkejut suatu hari dikirimkan naskah sebagai peran utama dalam sebuah film besar. Belum pernah saya bermain dalam film besar apalagi sebagai peran utama. Tapi yang membuat saya lebih terkejut lagi adalah ketika tahu peran yang harus saya mainkan. Ayolah…, Dia ini Tuhan, siapa yang bisa mengetahui apa yang ada dalam pikiran Tuhan dan memerankannya? Mereka pasti bercanda.

Besok paginya saya mendapat sebuah telepon, “Hallo ini, Mel”. Kata suara dari telpon tersebut. “Mel siapa?”, Tanya saya bingung. Saya tidak menyangka kalau itu Mel Gibson, salah satu actor dan sutradara Hollywood yang terbesar. Mel kemudian meminta kami bertemu, dan saya menyanggupinya.

Saat kami bertemu, Mel kemudian menjelaskan panjang lebar tentang film yang akan dibuatnya. Film tentang Tuhan Yesus yang berbeda dari film2 lain yang pernah dibuat tentang Dia. Mel juga menyatakan bahwa akan sangat sulit dalam memerankan film ini, salah satunya saya harus belajar bahasa dan dialek alamik, bahasa yang digunakan pada masa itu.

Dan Mel kemudian menatap tajam saya, dan mengatakan sebuah resiko terbesar yang mungkin akan saya hadapi. Katanya bila saya memerankan film ini, mungkin akan menjadi akhir dari karir saya sebagai actor di Hollywood.

Anonymous said...

Sebagai manusia biasa saya menjadi gentar dengan resiko tersebut. Memang biasanya aktor pemeran Yesus di Hollywood, tidak akan dipakai lagi dalam film-film lain. Ditambah kemungkinan film ini akan dibenci oleh sekelompok orang Yahudi yang berpengaruh besar dalam bisnis pertunjukan di Hollywood . Sehingga habislah seluruh karir saya dalam dunia perfilman.

Dalam kesenyapan menanti keputusan saya apakah jadi bermain dalam film itu, saya katakan padanya. “Mel apakah engkau memilihku karena inisial namaku juga sama dengan Jesus Christ (Jim Caviezel), dan umurku sekarang 33 tahun, sama dengan umur Yesus Kristus saat Ia disalibkan?” Mel menggeleng setengah terperengah, terkejut, menurutnya ini menjadi agak menakutkan. Dia tidak tahu akan hal itu, ataupun terluput dari perhatiannya. Dia memilih saya murni karena peran saya di “Thin Red Line”. Baiklah Mel, aku rasa itu bukan sebuah kebetulan, ini tanda panggilanku, semua orang harus memikul salibnya. Bila ia tidak mau memikulnya maka ia akan hancur tertindih salib itu. Aku tanggung resikonya, mari kita buat film ini!

Maka saya pun ikut terjun dalam proyek film tersebut. Dalam persiapan karakter selama berbulan-bulan saya terus bertanya-tanya, dapatkah saya melakukannya? Keraguan meliputi saya sepanjang waktu. Apa yang seorang Anak Tuhan pikirkan, rasakan, dan lakukan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut membingungkan saya, karena begitu banya referensi mengenai Dia dari sudut pandang berbeda-beda.

Akhirnya hanya satu yang bisa saya lakukan, seperti yang Yesus banyak lakukan yaitu lebih banyak berdoa. Memohon tuntunanNya melakukan semua ini. Karena siapalah saya ini memerankan Dia yang begitu besar. Masa lalu saya bukan seorang yang dalam hubungan denganNya. Saya memang lahir dari keluarga Katolik yang taat, kebiasaan-kebiasaan baik dalam keluarga memang terus mengikuti dan menjadi dasar yang baik dalam diri saya.

Saya hanyalah seorang pemuda yang bermain bola basket dalam liga SMA dan kampus, yang bermimpi menjadi seorang pemain NBA yang besar. Namun cedera engkel menghentikan karir saya sebagai atlit bola basket. Saya sempat kecewa pada Tuhan, karena cedera itu, seperti hancur seluruh hidup saya.

Saya kemudian mencoba peruntungan dalam casting-casting, sebuah peran sangat kecil membawa saya pada sebuah harapan bahwa seni peran munkin menjadi jalan hidup saya. Kemudian saya mendalami seni peran dengan masuk dalam akademi seni peran, sambil sehari-hari saya terus mengejar casting.

Dan kini saya telah berada dipuncak peran saya. Benar Tuhan, Engkau yang telah merencanakan semuanya, dan membawaku sampai disini. Engkau yang mengalihkanku dari karir di bola basket, menuntunku menjadi aktor, dan membuatku sampai pada titik ini. Karena Engkau yang telah memilihku, maka apapun yang akan terjadi, terjadilah sesuai kehendakMu.

Saya tidak membayangkan tantangan film ini jauh lebih sulit dari pada bayangan saya.

Di make-up selama 8 jam setiap hari tanpa boleh bergerak dan tetap berdiri, saya adalah orang satu-satunya di lokasi syuting yang hampir tidak pernah duduk. Sungguh tersiksa menyaksikan kru yang lain duduk-duduk santai sambil minum kopi. Kostum kasar yang sangat tidak nyaman, menyebabkan gatal-gatal sepanjang hari syuting membuat saya sangat tertekan. Salib yang digunakan, diusahakan seasli mungkin seperti yang dipikul oleh Yesus saat itu. Saat mereka meletakkan salib itu dipundak saya, saya kaget dan berteriak kesakitan, mereka mengira itu akting yang sangat baik, padahal saya sungguh-sungguh terkejut. Salib itu terlalu berat, tidak mungkin orang biasa memikulnya, namun saya mencobanya dengan sekuat tenaga.

Yang terjadi kemudian setelah dicoba berjalan, bahu saya copot, dan tubuh saya tertimpa salib yang sangat berat itu. Dan sayapun melolong kesakitan, minta pertolongan. Para kru mengira itu akting yang luar biasa, mereka tidak tahu kalau saya dalam kecelakaan sebenarnya. Saat saya memulai memaki, menyumpah dan hampir pingsan karena tidak tahan dengan sakitnya, maka merekapun terkejut, sadar apa yang sesungguhnya terjadi dan segera memberikan saya perawatan medis.

Anonymous said...

Sungguh saya merasa seperti setan karena memaki dan menyumpah seperti itu, namun saya hanya manusia biasa yang tidak biasa menahannya. Saat dalam pemulihan dan penyembuhan, Mel datang pada saya. Ia bertanya apakah saya ingin melanjutkan film ini, ia berkata ia sangat mengerti kalau saya menolak untuk melanjutkan film itu. Saya bekata pada Mel, saya tidak tahu kalau salib yang dipikul Tuhan Yesus seberat dan semenyakitkan seperti itu. Tapi kalau Tuhan Yesus mau memikul salib itu bagi saya, maka saya akan sangat malu kalau tidak memikulnya walau sebagian kecil saja. Mari kita teruskan film ini. Maka mereka mengganti salib itu dengan ukuran yang lebih kecil dan dengan bahan yang lebih ringan, agar bahu saya tidak terlepas lagi, dan mengulang seluruh adegan pemikulan salib itu. Jadi yang penonton lihat didalam film itu merupakan salib yang lebih kecil dari aslinya.

Bagian syuting selanjutnya adalah bagian yang mungkin paling mengerikan, baik bagi penonton dan juga bagi saya, yaitu syuting penyambukan Yesus. Saya gemetar menghadapi adegan itu, Karena cambuk yang digunakan itu sungguhan. Sementara punggung saya hanya dilindungi papan setebal 3 cm. Suatu waktu para pemeran prajurit Roma itu mencambuk dan mengenai bagian sisi tubuh saya yang tidak terlindungi papan. Saya tersengat, berteriak kesakitan, bergulingan ditanah sambil memaki orang yang mencambuk saya. Semua kru kaget dan segera mengerubungi saya untuk memberi pertolongan.

Tapi bagian paling sulit, bahkan hampir gagal dibuat yaitu pada bagian penyaliban. Lokasi syuting di Italia sangat dingin, sedingin musim salju, para kru dan figuran harus manggunakan mantel yang sangat tebal untuk menahan dingin. Sementara saya harus telanjang dan tergantung diatas kayu salib, diatas bukit yang tertinggi disitu. Angin dari bukit itu bertiup seperti ribuan pisau menghujam tubuh saya. Saya terkena hypothermia (penyakit kedinginan yang biasa mematikan), seluruh tubuh saya lumpuh tak bisa bergerak, mulut saya gemetar bergoncang tak terkendalikan. Mereka harus menghentikan syuting, karena nyawa saya jadi taruhannya.

Semua tekanan, tantangan, kecelakaan dan penyakit membawa saya sungguh depresi. Adegan-adegan tersebut telah membawa saya kepada batas kemanusiaan saya. Dari adegan-keadegan lain semua kru hanya menonton dan menunggu saya sampai pada batas kemanusiaan saya, saat saya tidak mampu lagi baru mereka menghentikan adegan itu. Ini semua membawa saya pada batas-batas fisik dan jiwa saya sebagai manusia. Saya sungguh hampir gila dan tidak tahan dengan semua itu, sehingga seringkali saya harus lari jauh dari tempat syuting untuk berdoa. Hanya untuk berdoa, berseru pada Tuhan kalau saya tidak mampu lagi, memohon Dia agar memberi kekuatan bagi saya untuk melanjutkan semuanya ini. Saya tidak bisa, masih tidak bisa membayangkan bagaimana Yesus sendiri melalui semua itu, bagaimana menderitanya Dia. Dia bukan sekedar mati, tetapi mengalami penderitaan luar biasa yang panjang dan sangat menyakitkan, bagi fisik maupun jiwaNya.

Dan peristiwa terakhir yang merupakan mujizat dalam pembuatan film itu adalah saat saya ada diatas kayu salib. Saat itu tempat syuting mendung gelap karena badai akan datang, kilat sambung menyambung diatas kami. Tapi Mel tidak menghentikan pengambilan gambar, karena memang cuaca saat itu sedang ideal sama seperti yang seharusnya terjadi seperti yang diceritakan. Saya ketakutan tergantung diatas kayu salib itu, disamping kami ada dibukit yang tinggi, saya adalah objek yang paling tinggi, untuk dapat dihantam oleh halilintar. Baru saja saya berpikir ingin segera turun karena takut pada petir, sebuah sakit yang luar biasa menghantam saya beserta cahaya silau dan suara menggelegar sangat kencang (setan tidak senang dengan adanya pembuatan film seperti ini). Dan sayapun tidak sadarkan diri.

Anonymous said...

Sungguh saya merasa seperti setan karena memaki dan menyumpah seperti itu, namun saya hanya manusia biasa yang tidak biasa menahannya. Saat dalam pemulihan dan penyembuhan, Mel datang pada saya. Ia bertanya apakah saya ingin melanjutkan film ini, ia berkata ia sangat mengerti kalau saya menolak untuk melanjutkan film itu. Saya bekata pada Mel, saya tidak tahu kalau salib yang dipikul Tuhan Yesus seberat dan semenyakitkan seperti itu. Tapi kalau Tuhan Yesus mau memikul salib itu bagi saya, maka saya akan sangat malu kalau tidak memikulnya walau sebagian kecil saja. Mari kita teruskan film ini. Maka mereka mengganti salib itu dengan ukuran yang lebih kecil dan dengan bahan yang lebih ringan, agar bahu saya tidak terlepas lagi, dan mengulang seluruh adegan pemikulan salib itu. Jadi yang penonton lihat didalam film itu merupakan salib yang lebih kecil dari aslinya.

Bagian syuting selanjutnya adalah bagian yang mungkin paling mengerikan, baik bagi penonton dan juga bagi saya, yaitu syuting penyambukan Yesus. Saya gemetar menghadapi adegan itu, Karena cambuk yang digunakan itu sungguhan. Sementara punggung saya hanya dilindungi papan setebal 3 cm. Suatu waktu para pemeran prajurit Roma itu mencambuk dan mengenai bagian sisi tubuh saya yang tidak terlindungi papan. Saya tersengat, berteriak kesakitan, bergulingan ditanah sambil memaki orang yang mencambuk saya. Semua kru kaget dan segera mengerubungi saya untuk memberi pertolongan.

Tapi bagian paling sulit, bahkan hampir gagal dibuat yaitu pada bagian penyaliban. Lokasi syuting di Italia sangat dingin, sedingin musim salju, para kru dan figuran harus manggunakan mantel yang sangat tebal untuk menahan dingin. Sementara saya harus telanjang dan tergantung diatas kayu salib, diatas bukit yang tertinggi disitu. Angin dari bukit itu bertiup seperti ribuan pisau menghujam tubuh saya. Saya terkena hypothermia (penyakit kedinginan yang biasa mematikan), seluruh tubuh saya lumpuh tak bisa bergerak, mulut saya gemetar bergoncang tak terkendalikan. Mereka harus menghentikan syuting, karena nyawa saya jadi taruhannya.

Semua tekanan, tantangan, kecelakaan dan penyakit membawa saya sungguh depresi. Adegan-adegan tersebut telah membawa saya kepada batas kemanusiaan saya. Dari adegan-keadegan lain semua kru hanya menonton dan menunggu saya sampai pada batas kemanusiaan saya, saat saya tidak mampu lagi baru mereka menghentikan adegan itu. Ini semua membawa saya pada batas-batas fisik dan jiwa saya sebagai manusia. Saya sungguh hampir gila dan tidak tahan dengan semua itu, sehingga seringkali saya harus lari jauh dari tempat syuting untuk berdoa. Hanya untuk berdoa, berseru pada Tuhan kalau saya tidak mampu lagi, memohon Dia agar memberi kekuatan bagi saya untuk melanjutkan semuanya ini. Saya tidak bisa, masih tidak bisa membayangkan bagaimana Yesus sendiri melalui semua itu, bagaimana menderitanya Dia. Dia bukan sekedar mati, tetapi mengalami penderitaan luar biasa yang panjang dan sangat menyakitkan, bagi fisik maupun jiwaNya.

Dan peristiwa terakhir yang merupakan mujizat dalam pembuatan film itu adalah saat saya ada diatas kayu salib. Saat itu tempat syuting mendung gelap karena badai akan datang, kilat sambung menyambung diatas kami. Tapi Mel tidak menghentikan pengambilan gambar, karena memang cuaca saat itu sedang ideal sama seperti yang seharusnya terjadi seperti yang diceritakan. Saya ketakutan tergantung diatas kayu salib itu, disamping kami ada dibukit yang tinggi, saya adalah objek yang paling tinggi, untuk dapat dihantam oleh halilintar. Baru saja saya berpikir ingin segera turun karena takut pada petir, sebuah sakit yang luar biasa menghantam saya beserta cahaya silau dan suara menggelegar sangat kencang (setan tidak senang dengan adanya pembuatan film seperti ini). Dan sayapun tidak sadarkan diri.

Anonymous said...

Yang saya tahu kemudian banyak orang yang memanggil-manggil meneriakkan nama saya, saat saya membuka mata semua kru telah berkumpul disekeliling saya, sambil berteriak-teriak “dia sadar! dia sadar!” (dalam kondisi seperti ini mustahil bagi manusia untuk bisa selamat dari hamtaman petir yang berkekuatan berjuta-juta volt kekuatan listrik, tapi perlindungan Tuhan terjadi disini).

“Apa yang telah terjadi?” Tanya saya. Mereka bercerita bahwa sebuah halilintar telah menghantam saya diatas salib itu, sehingga mereka segera menurunkan saya dari situ. Tubuh saya menghitam karena hangus, dan rambut saya berasap, berubah menjadi model Don King. Sungguh sebuah mujizat kalau saya selamat dari peristiwa itu.

Melihat dan merenungkan semua itu seringkali saya bertanya, “Tuhan, apakah Engkau menginginkan film ini dibuat? Mengapa semua kesulitan ini terjadi, apakah Engkau menginginkan film ini untuk dihentikan”? Namun saya terus berjalan, kita harus melakukan apa yang harus kita lakukan. Selama itu benar, kita harus terus melangkah. Semuanya itu adalah ujian terhadap iman kita, agar kita tetap dekat padaNya, supaya iman kita tetap kuat dalam ujian.

Orang-orang bertanya bagaimana perasaan saya saat ditempat syuting itu memerankan Yesus. Oh… itu sangat luar biasa… mengagumkan… tidak dapat saya ungkapkan dengan kata-kata. Selama syuting film itu ada sebuah hadirat Tuhan yang kuat melingkupi kami semua, seakan-akan Tuhan sendiri berada disitu, menjadi sutradara atau merasuki saya memerankan diriNya sendiri.

Itu adalah pengalaman yang tak terkatakan. Semua yang ikut terlibat dalam film itu mengalami lawatan Tuhan dan perubahan dalam hidupnya, tidak ada yang terkecuali. Pemeran salah satu prajurit Roma yang mencambuki saya itu adalah seorang muslim, setelah adegan tersebut, ia menangis dan menerima Yesus sebagai Tuhannya. Adegan itu begitu menyentuhnya. Itu sungguh luar biasa. Padahal awalnya mereka datang hanya karena untuk panggilan profesi dan pekerjaan saja, demi uang. Namun pengalaman dalam film itu mengubahkan kami semua, pengalaman yang tidak akan terlupakan.

Dan Tuhan sungguh baik, walaupun memang film itu menjadi kontroversi. Tapi ternyata ramalan bahwa karir saya berhenti tidak terbukti. Berkat Tuhan tetap mengalir dalam pekerjaan saya sebagai aktor. Walaupun saya harus memilah-milah dan membatasi tawaran peran sejak saya memerankan film ini.

Saya harap mereka yang menonton The Passion Of Jesus Christ, tidak melihat saya sebagai aktornya. Saya hanyalah manusia biasa yang bekerja sebagai aktor, jangan kemudian melihat saya dalam sebuah film lain kemudian mengaitkannya dengan peran saya dalam The Passion dan menjadi kecewa.

Tetap pandang hanya pada Yesus saja, dan jangan lihat yang lain. Sejak banyak bergumul berdoa dalam film itu, berdoa menjadi kebiasaan yang tak terpisahkan dalam hidup saya. Film itu telah menyentuh dan mengubah hidup saya, saya berharap juga hal yang sama terjadi pada hidup anda. Amin.
“TUHAN YESUS MEMBERKATI KITA SEMUA”