Sejarah Dunia Kuno

2021 a year of miracles and 'unlocking' millions

Dec 5, 2017

Ambrosius

Santo Ambrosius (bahasa Latin: Sanctus Ambrosius, bahasa Inggris Saint Ambrose, bahasa Italia: Sant'Ambrogio; hidup sekitar 339 - 4 April 397), uskup Milan, salah satu uskup terpenting pada abad ke 4. Bersama-sama dengan Augustinus Hippo, Hieronimus, dan Gregorius I, ia dianggap sebagai empat doktor Gereja Barat dalam Sejarah Gereja kuno.

Ambrosius adalah warga Roma, lahir sekitar 339 di Trier, Jerman, di lingkungan sebuah keluarga Kristen. Ayahnya adalah gubernur (prefect) Gallia Narbonensis, ibunya seorang wanita intelek dan saleh.
Ada sebuah legenda yang mengatakan ketika anak-anak, sekelompok lebah hinggap di mukanya ketika ia berbaring di keranjangnya, meninggalkan setetes madu. Bapaknya berpikir bahwa ini adalah tanda kepandaian berbicara masa depannya dan berlidah-madu. Karena alasan ini, lebah dan sarang lebah sering tampak dalam simbol santo ini.
Setelah kematian ayahnya dalam usia muda, Ambrosius direncanakan mengikuti jejak karier ayahnya, dan oleh karena itu disekolahkan di Roma, belajar sastra, hukum dan retorika. Praetor Anicius Probus awalnya memberikannya tempat di dewan kota dan sekitar tahun 372 menjadikannya kepala dewan kota Liguria dan Emilia, dengan markas di Milano. Saat itu Milano adalah ibu kota kedua Italia selain Roma. Ambrosius menjadi administrator ulung dalam kedudukan ini dan segera menjadi popular.

Uskup Milano

Seperti banyak wilayah Gereja lainnya, Diosis Milano waktu itu sangat terpecah antara kelompok Trinitarian dan Arian. Pada 374, Auxentius, Uskup Milano meninggal dunia dan kelompok-kelompok ortodoks dan Arian saling bersaingan untuk menjadi penerusnya. Prefect pergi secara pribadi ke basilika, tempat pemilihan itu akan dilangsungkan, untuk mencegah kerusuhan yang mungkin akan terjadi dalam krisis ini. Pidatonya diinterupsi dengan seruan "Angkat Ambrosius menjadi uskup!" yang kemudian diikuti oleh orang lain sehingga ia secara aklamasi diangkat sebagai uskup.
Ambrosius adalah seorang calon yang kuat dalam keadaan ini, karena ia dikenal bersimpati kepada kaum Trinitarian, tetapi juga diterima oleh kaum Arianis karena posisinya sebagai seorang politikus dianggap secara teologis netral. Ia sendiri mulanya menolak keras jabatan ini, karena ia sama sekali tidak siap. Hingga saat itu ia hanyalah seorang calon baptisan, tanpa pendidikan teologis. Hanya karena campur tangan kaisar ia menyerah dan dalam seminggu ia dibaptiskan serta ditahbiskan, lalu diresmikan menjadi uskup Milano.

Menurut legenda, Santo Ambrosius segera dan dengan tegas menghentikan ajaran sesat di Milano. Sesungguhnya ia bergerak dengan lebih realistik dan penuh pertimbangan, karena ia tidak punya banyak masalah dengan Arianisme yang kuat pengaruhnya khususnya di antara kaum gerejawan dan kalangan atas masyarakat. Ia mulai mempelajari teologi di bawah bimbingan Simplisianus, seorang presbiter Roma. Dengan menggunakan kecakapannya dalam bahasa Yunani, yang saat itu jarang terdapat di Barat, ia mempelajari Alkitab dan para pengarang Yunani seperti Filo, Origenes, Athanasius dan Basil dari Kaisaria, yang dengannya ia banyak berkorespondensi. Ia menerapkan pengetahuannya yang baru sebagai pengkhotbah, sambil memusatkan perhatian pada eksegesis Perjanjian Lama, dan kecakapan retorikanya yang mengesankan Augustinus Hippo, yang saat itu menganggap remeh para pengkhotbah Kristen.

Sebagai uskup, ia segera mengambil cara hidup asketik, membagi-bagikan uangnya kepada orang miskin, menyerahkan tanahnya kepada Gereja, setelah sebelumnya menyisihkan sbagian kecil untuk saudara perempuannya Marselina, dan menyerahkan pemeliharaan keluarganya kepada saudara laki-lakinya.
Melawan kaum Arianis

Kefasihan Ambrosius segera bermanfaat dalam pertikaian antara kaum Arianis dengan pihak ortodoks atau Katolik, yang didukung oleh uskup yang baru. Gratianus, anak penatua Valentinianus I, mengambil sisi yang sama; tetapi Valentinianus muda, yang kini telah menjadi koleganya di kekaisaran, mengambil pandangan kaum Arianis, dan semua argumen dan kefasihan Ambrosius tidak mampu meyakinkan pangeran yang muda itu akan iman ortodoks. Theodosius I, kaisar di Romawi Timur, juga menganut keyakinan ortodoks; tetapi di sana ada banyak pengikut Arius yang tersebar di seluruh wilayahnya. Dalam menghadapi pandangan keagamaan yang terpecah ini, dua pemimpin dari kaum Arianis Palladius dan Secundianus, yang merasa yakin akan kekuatan mereka, mengalahkan Gratianus untuk mengadakan konsili gereja dari seluruh wilayah kekaisaran. Permintaan ini tampaknya begitu adil sehingga tanpa ragu ia memenuhinya, namun Ambrosius yang memahami konsekuensinya, berhasil meyakinkan kaisar agar masalah ini ditentukan oleh sebuah dewan uskup Gereja Barat.

Sebuah sinode yang terdiri atas 32 orang uskup, kemudian diadakan di Aquileia pada 381.  Ia menegaskan bahwa pertemuan itu hanya sepihak, dan bahwa tidak semua uskup dari seluruh kekaisaran itu hadir, sehingga tidak akan dapat diperoleh pemahaman yang utuh mengenai keseluruhan Gereja Kristen saat itu. Kemudian diadakan pemungutan suara, dan Palladius dan pembantunya Sekundianus dipecat dari jabatan keuskupan.

Makin kuatnya kaum Arian menjadi tugas berat yang harus dikerjakan Ambrosius. Pada 384, kaisar muda dan ibunya Justina, beserta sejumlah besar rohaniwan dan umat awam, khususnya kalangan militer, menganut ajaran Arian, dan meminta izin dari sang Uskup untuk menggunakan dua gedung gereja, satu di dalam kota, dan satunya lagi di pinggiran kota Milan.
Ambrosius menolak, dan dituntut pertanggungjawabannya di hadapan dewan kekaisaran. Dalam sidang yang dihadiri khalayak ramai itu, kegigihannya menyebabkan para menteri kaisar Valentianus memperbolehkannya pulang tanpa harus menyerahkan kedua gedung gereja tersebut. Hari berikutnya, ketika memimpin ibadat suci dalam basilika, wali kota datang membujuknya untuk menyerahkan setidaknya gedung gereja Portia di pinggiran kota. Karena dia tetap bersikeras menolak, dewan kekaisaran mulai menggunakan cara-cara kekerasan: para petugas rumah tangga kekaisaran diperintahkan mempersiapkan Basilika dan gedung gereja Portia sebagai tempat untuk melaksanakan peribadatan pada saat kaisar dan ibunya tiba menjelang perayaan Paskah.

Sadar akan makin kuatnya pengaruh prelatus itu, dewan kekaisaran memutuskan lebih aman bila membatasi permintaan mereka menjadi salah satu saja dari kedua gedung gereja itu. Namun segala upaya terbukti sia-sia, dan justru membuat sang uskup mengeluarkan pernyataan keras berikut ini: "Jika engkau menginginkan saya, saya siap untuk takluk: bawalah saya ke dalam penjara atau kematian, saya tidak akan melawan; tetapi saya tidak akan mengkhianati gereja Kristus. Saya tidak akan menyeru rakyat untuk menolong saya; lebih baik saya mati di kaki altar daripada meninggalkannya. Huru-hara rakyat tidak akan saya bangkitkan: namun hanya Allah yang mampu meredakannya." 

No comments: