Sejarah Dunia Kuno

2021 a year of miracles and 'unlocking' millions

May 4, 2018

Makedonia

Makedonia atau Makedon (bahasa Yunani: Μακεδονία, Makedonía) adalah sebuah kerajaan kuno di periferi Yunani Arkaik dan Klasik, dan kemudian negara dominan Yunani Hellenistik. Kerajaan tersebut dibentuk dan mula-mula diperintah oleh dinasti Argead, disusul oleh dinasti-dinasti Antipatrid dan Antigonid. Sebagai rumah dari bangsa Makedonia kuno, kerajaan terawal tersebut terpisah di bagian timur laut semenanjung Yunani, yang berbatasan dengan Epirus di bagian barat, Paeonia di bagian utara, Thrace di bagian timur dan Thessaly di bagian selatan.

Sebelum abad ke-4 SM, Makedonia merupakan sebuah kerajaan kecil di luar kawasan yang didominasi oleh negara-kota besar Athena, Sparta dan Thebes, dan sempat menjadi subordinat besar dari Persia Achaemenid. Pemerintahan Philip II (359–336 BC) dipandang sebagai kebangkitan Makedonia, dimana kerajaan tersebut meraih kekuasaan atas seluruh wilayah Yunani. Dengan reformasi tentara yang terdiri dari phalanx yang memakai tombak sarissa, Philip II mengalahkan kekuasaan lama Athena dan Thebes dalam Pertempuran Chaeronea pada 338 SM dan menaklukkan mereka. Sparta menjadi terisolasi dan ditaklukan seabad kemudian oleh Antigonus III Doson. Putra Philip II Aleksander Agung melanjutkan upaya ayahnya untuk mengomandoi seluruh Yunani dengan memimpin federasi negara-negara Yunani, sebuah hal yang membuatnya dapat menghancurkan Thebes saat mereka memberontak. Alexander kemudian memimpin sebuah kampanye penaklukan dekade panjang melawan Kekaisaran Achaemenid, dalam rangka invasi Persia oleh Yunani pada abad ke-5 SM.

Saat peperangan Aleksander Agung, ia melengserkan Kekaisaran Achaemenid dan menaklukan sebuah kawasan yang membentang sampai Sungai Indus. Selama periode tersebut, Kekaisaran Makedonia menjadi kekuatan paling besar di dunia – negara Hellenistik yang membuka periode baru bagi peradaban Yunani Kuno, seni rupa dan sastra Hellenistik|sastra Yunani]] berkembang di wilayah yang baru dikuasai dan kemajuan filsafat, teknik dan ilmu pengetahuan tersebar ke sebagian besar dunia kuno. Sebagian pengaruhnya adalah kontrobusi Aristoteles, yang menjadi pengajar Aleksander dan tulisan-tilisannya menjadi batu pijakan bagi filsafat Barat. Raja-raja Makedonia, yang memegang kekuasaan absolut dan mengkomandani sumber daya negara seperti emas dan perak, memfasilitasi operasi penambangan untuk pembuatan mata uang, membiayai tentara mereka dan, pada masa pemerintahan Philip II, angkatan laut Makedonia. Tak seperti negara-negara suksesor diadochi lainnya, pemujaan kekaisaran yang dimajukan oleh Aleksander tak pernah diadopsi di Makedonia, sehingga para penguasa Makedonia tak pernah mengasumsikan perannya sebagai pendeta tinggi kerajaan tersebut dan pelindung utama pemujaan agama Hellenistik domestik dan internasional. Otoritas raja-raja Makedonia secara teori terbatas pada lembaga ketentaraan, sementara beberapa munisipalitas dalam persemakmuran Makedonia menikmati otonomi tingkat tinggi dan bahkan memiliki pemerintahan demokratik dengan majelis-majelis populer.

Setelah Aleksander meninggal pada 323 SM, peperangan Diadochi terjadi dan kekaisaran berumur pendeknya terpecah. Makedonia menjadi pusat politik dan budaya Yunani di kawasan Laut Tengah bersama dengan Mesir Ptolemaik, Kekaisaran Seleucid dan Kerajaan Pergamon. Kota-kota penting seperti Pella, Pydna, dan Amphipolis terlibat dalam perebutan kekuasaan. Kota-kota baru didirikan, seperti Tesalonika oleh perampas kekuasaan Cassander (mengambil nama dari istrinya Thessalonike dari Makedonia). Keruntuhan Makedonia dimulai dengan Peperangan Makedonia dan kebangkitan Romawi sebagai penguasa Laut Tengah utama. Pada akhir Perang Makedonia Kedua pada 168 SM, monarki Makedonia runtuh dan digantikan oleh negara-negara klien Romawi. Kebangkitan jangka pendek monarki pada Perang Makedonia Ketiga tahun 150–148 SM berakhir dengan pendirian provinsi Romawi Makedonia.

Nama Makedonia (bahasa Yunani: Μακεδονία, Makedonía) datang dari etnonim Μακεδόνες (Makedónes), yang kata itu sendiri berasal dari kata bahasa Yunani kuno μακεδνός (makednós), artinya "tinggi", diyakini mendeskripsikan rakyatnya. Kata tersebut juga berbagi akar yang sama dengan kata μάκρος (mákros), yang artinya "panjanh" dalam bahasa Yunani kuno dan modern. Nama tersebut awalnya diyakini memiliki arti "orang dataran tinggi", "orang tinggi", atau "orang yang bertumbuh tinggi". Robert S. P. Beekes mendukung bahwa kedua istilah tersebut adalah asal muasal substrata Pra-Yunani dan tak dapat dijelaskan dalam hal morfologi Indo-Eropa. 

Para sejarawan Yunani Klasik Herodotus dan Thucydides melaporkan legenda bahwa raja-raja Makedonia dari dinasti Argead adalah keturunan dari Temenus, raja Argos, dan mengklaim Heracles sebagai salah satu leluhur mereka serta keturunan langsung dari Zeus, pemimpin dewa pantheon Yunani. Pernyataan bahwa keluarga Argead adalah kerurunan dari Temenus dalam legenda diterima oleh otoritas Hellanodikai dari Permainan Olimpiade Kuno, mengijinkan Aleksander I dari Makedonia (m. 498–454 SM) untuk memasuki kompetisi karena identitas dan warisan Yunani-nya. Masa pemerintahan ayah Alexander Amyntas I dari Makedonia (m. 547–498 SM) pada periode Arkhaik menandai titik dimana Makedonia memasukki catatan sejarah, semenjak sangat sedikit yang diketahui tentang raja-raja sebelum masa pemerintahannya. Legenda-legenda yang berseberangan menyatakan bahwa Perdiccas I dari Makedonia atau Caranus dari Makedonia adalah pendiri dinasti Argead, dengan lima atau delapan raja sebelum Amyntas I. 

Kerajaan Makedonia terletak di sepanjang sungai Haliacmon dan Axius di Makedonia Hilir, utara Gunung Olympus. Sejarawan Robert Malcolm Errington mengeluarkan teori bahwa salah satu raja Argead terawal harus mendirikan Aigai (sekarang Vergina) sebagai ibukota mereka pada pertengahan abad ke-7 SM. Sebelum abad ke-4 SM, kerajaan tersebut melingkupi kawasan di sekitaran bagian barat dan tengah kawasan Makedonia di Yunani modern. Kerajaan tersebut secara bertahap meluas ke wilayah Makedonia Hulu, yang ditinggali oleh suku Lyncestae dan Elimiotae Yunani, dan ke kawasan Emathia, Eordaia, Bottiaea, Mygdonia, Crestonia, dan Almopia, yang diduduki oleh berbagai suku bangsa seperti Thracia dan Phrygia. Para tetangga non-Yunani Makedonia meliputi Thracia, yang tinggal di kawasan timur laut, Illyria di barat laut, dan Paeonia di utara, sementara wilayah Thessaly di selatan dan Epirus di bagian barat ditinggali oleh bangsa Yunani dengan budaya sama dengan bangsa Makedonia. 

Setahun setelah Darius I dari Persia (m. 522–486 SM) meluncurkan sebuah invasi ke Eropa melawan Skitia, Paeonia, Thracia, dan beberapa negara-kota Yunani di Balkan, jenderal Persia Megabazus memakai diplomasi untuk membujuk Amyntas I agar menjadikannya vassal Kekaisaran Achaemenid, memulai periode Makedonia Achaemenid. Hegemoni Persia Achaemenid atas Makedonia banyak disebabkan oleh Pemberontakan Ionian (499–493 SM), saat jenderal Persia Mardonius membuatnya kembali berada di bawah kekuasaan Achaemenid. Meskipun Makedonia diberi tingkat otonom yang besar dan tak pernah dijadikan satrapy (semacam provinsi) Kekaisaran Achaemenid, wilayah tersebut dijadikan tempat untuk menyediakan pasukan bagi tentara Achaemenid. Alexander I menyediakan dukungan militer Makedonia kepada Xerxes I (m. 486–465 SM) pada invasi Persia kedua oleh Yunani pada 480–479 SM, dengan pasukan Makedonia bertarung di pihak Persia pada Pertempuran Platea tahun 479 SM. Setelah kemenangan Yunani di Salamis pada 480 SM, Alexander I diangkat menjadi diplomat Achaemenid untuk menyiapkan traktat perdamaian dan aliansi dengan Athena, suatu tawaran yang kemudian ditolak. Tak lama setelah itu, pasukan Achaemenid terpaksa menarim diri dari Eropa daratan, menandai akhir kekuasaan Persia atas Makedonia. 

Meskipun awalnya adalah sebuah vassal Persia Alexander I dari Makedon memajukan hubungan diplomatik bersahabat dengan bekas musuh-musuh Yunani-nya, koalisi pimpinan Athena dan Sparta dari negara-negara kota Yunani. Namun, penerusnya Perdiccas II (m. 454–413 SM) memimpin bangsa Makedonia untuk berperang dalam empat konflik terpisah melawan Athena, pemimpin Liga Delia, yang menguasai kawasan pesisirnya di Makedonia Hilir seperti halnya pergerakan-pergerakan penguasa Thracia Sitalces dari kerajaan Odrysia mengancam integritas teritorial Makedonia di timur laut. Negarawan Athena Pericles menyatakan kolonisasi terhadap Sungai Strymon dekat Kerajaan Makedonia, dimana kota kolonial Amphipolis didirikan pada 437/436 SM sehingga Athena dapat menyediakan suplai emas dan perak serta kayu dan pitch untuk mendukung angkatan laut Athena. Dua perang terpisah melawan Athena terjadi antara 433 dan 431 SM, yang timbul akibat persekutuan Athena dengan seorang saudara dan sepupu dari Perdiccas II yang tekah menberontak melawannya. Raja Makedonia kemudian menyatakan pemberontakan melawan para sekutu Athena di Chalcidice dan memenangkan kota strategis Potidaea. Kota Potidaea kemudian dikepung oleh Athena setelah mereka menaklukkan kota-kota Makedonia Therma dan Beroea, namun pengepungan tersebut gagal, Therma kembali ke tangan Makedonia dan sebagian besar Chalcidice diserahkan kepada Athena dalam sebuah traktat perdamaian yang dilakukan oleh Sitalces, yang memberi bantuan militer kepada Athena dalam pertukaran untuk mengakuisisi sekutu-sekutu Thracia yang baru. 

Pada 429 SM, pada puncak Perang Peloponnesia (431–404 SM) antara Athena dan Sparta, Perdiccas II mengirim bantuan militer kepada pasukan Sparta di Acarnania, namun pasukan Makedonia terlambat datang, membolehkan pasukan Athena menimbulkan Pertempuran Naupactus. Pasukan Athena bergerak pada tahun yang sama dengan Sitalces menginvasi Makedonia, namun pasukan Athena kemudian menawarkan dukungan angkatan laut kepada penguasa Thracia yang berkuasa di Chalcidice, diyakini karena kekhawatiran akan ambisi regionalnya. Sitalces mundur dari Makedonia karena penipisan bekal para tentara pada musim dingin. Pada 424 SM, Perdiccas II membantu sekutu-sekutu Athena di Thrace untuk berbalik bersekutu dengan Sparta. Sebagai balasannya, jenderal Sparta Brasidas sepakat untuk membantu Perdiccas II meredam pemberontakan Arrhabaeus, seorang penguasa lokal Lynkestis (di Makedonia Hulu), meskipun ia mengekspresikan perhatian atas pasukan Illyria masif yang bersekutu dengan Arrhabaeus dan meninggalkan sekutu-sekutu Chalcidia Sparta yang menangkis serangan Athena saat pasukan Sparta pergi. Di Pertempuran Lyncestis, pasukan Makedonia panik dan lari sebelum pertarungan dimulai melawan pasukan Arrhabaeus, memberikan kesempatan kepada Brasidas, yang para pasukannya merampas kereta perbekalan Makedonia yang ditinggalkan. Akibatnya, Perdiccas II berbalik dan bersekutu dengan pasukan Athena sebagai gantinya, memblok kekuatan Peloponnesia pimpinan Brasidas di Thessaly dan memaksa Arrhabaeus dan para pemberontak lainnya untuk menyerah dan menerima raja Makedonia sebagai penguasa berdaulat mereka. 

Brasidas wafat pada 422 SM, saat bangsa Athena dan Sparta mengadakan sebuah perjanjian dengan Perdamaian Nicias yang membebaskan Makedonia dari obligasi-obligasinya sebagai sekutu Athena. Setelah Pertempuran Mantinea karya 418 SM, bangsa Sparta yang menang membentuk sebuah aliansi dengan Argos, sebuah pakta militer Perdiccas II ditujukan untuk memberikan ancaman terhadap para sekutu Sparta yang masih tersisa di Chalcidice. Saat Argos mendadak beralih keterpihakan sebagai seorang demokrasi pro-Athena, angkatan laut Athena dapat membentuk sebuah blokade melawan pelabuhan-pelabuhan Makedonia dan menginvasi Chalcidice pada 417 SM. Perdiccas II mengadakan perdamaian pada 414 SM, membentuk sebuah aliansi dengan Athena yang diteruskan oleh putranya dan penerusnya Archelaus I (m. 413–399 SM). Athena kemudian menyediakan dukungan angkatan laut kepada Archelaus I saat pengepungan Pydna oleh Makedonia pada 410 SM, dalam pertukaran untuk kayu dan peralatan angkatan laut. 

Meskipun Archelaus I menghadapi beberapa pemberontakan dalam negeri dan dibayangi invasi bangsa Illyria pimpinan Sirras dari Lynkestis, ia mampu menghimpun kekuatan Makedonia di Thessaly dimana ia mengirim bantuan militer kepada para sekutunya. Meskipun ia masih mempertahankan Aigai sebagai pusat seremonial dan relijius, Archelaus I memindahkan ibukota kerajaan ke utara Pella, yang kemudian dilewati oleh sebuah danau dengan sebuah sungai yang menghubungkannya ke Laut Aegea. Ia menghimpun mata uang Makedonia dengan pembuatan koin-koin dengan kadar perak yang tinggi serta mengeluarkan koin tembaga terpisah. Pemerintahan kerajaannya diisi dengan para inteletual terkenal seperti pengarang drama Athena Euripides. Saat Archelaus I dibunuh (diyakini karena hubungan percintaan homoseksual dengan para anggota kerajaan di pemerintahannya), kerajaan tersebut diwarnai pertikaian, dalam sebuah era yang berlangsung dari 399 sampai 393 SM yang meliputi masa pemerintahan dari empat penguasa berbeda: Orestes, putra Archelaus I; Aeropus II, paman, wali raja, dan pembunuh Orestes; Pausanias, putra Aeropus II; dan Amyntas II, yang menikahi putri bungsu Archelaus I. Sangat sedikit yang diketahui tentang periode tegang tersebut; era tersebut berakhir saat Amyntas III (m. 393–370 SM), putra Arrhidaeus dan cucu Amyntas I, membunuh Pausanias dan mengklaim tahta Makedonia. 

Amyntas III terpaksa melarikan diri dari kerajaannya pada sekitar tahun 393 atau 383 SM (berdasarkan pada catatan konflik), dalam rangka menghindari invasi masif oleh Dardani Illyria pimpinan Bardylis. Pretender untuk tahta Argaeus memerintah saat ia tak ada, sehingga Amyntas III kemudian kembali ke kerajaannya dengan bantuan sekutu-sekutu Thessalia. Amyntas III juga hampir dilengserkan oleh pasukan kota Khalsidia Olynthos, namun dengan bantuan Teleutias, saudara raja Sparta Agesilaus II, pasukan Makedonia memaksa Olynthos untuk menyerah dan membubarkan Liga Khalsidia mereka pada 379 SM. 

Alexander II (m. 370–368 SM), putra dari Eurydice I dan Amyntas III, menggantikan ayahnya dan menginvasi Thessaly untuk berperang melawan tagus (pemimpin militer Thessalia tertinggi) Alexander dari Pherae, dan menaklukan kota Larissa. Pasukan Thessalia, yang memutuskan untuk menghindari Alexander II dan Alexander dari Pherae atas perintah para pemimpin mereka, meminta bantuan kepada Pelopidas dari Thebes; ia berhasil merebut kembali Larissa dan, dalam sebuah perjanjian perdamaian yang diadakan bersama dengan Makedonia, meraih sandera-sandera aristokratik termasuk saudara Alexander II dan kelak raja Philip II (m. 359–336 SM). Saat Alexander dibunuh oleh saudara iparnya Ptolemy dari Aloros, Ptolemy bertindak sebagai pemangku jabatan atas Perdiccas III (m. 368–359 SM), adik Alexander II, yang kemudian memerintahkan agar Ptolemy dieksekusi saat mencapai usia mayoritas pada 365 SM. Masa kekuasaan Perdiccas III ditandai dengan stabilitas politik dan pemulihan keuangan. Namun, sebuah invasi Athena yang dipimpin oleh Timotheus, putra Conon, membuat kota Methone dan Pydna ditaklukan, dan sebuah invasi Illyria yang dipimpin oleh Bardylis berujung pada terbunuhnya Perdiccas III dan 4,000 pasukan Makedonia dalam pertempuran. 

Kebangkitan Makedonia

Philip II berusia dua puluh empat tahun saat ia naik tahta pada 359 SM. Melalui pemakaian diplomasi, ia dapat menghindarkan pasukan Thracia di bawah kepemimpinan Berisades untuk memberikan dukungan mereka terhadap Pausanias, seorang pretender dari tahta tersebut, dan pasukan Athena berhenti mendukung pretender lainnya. Ia mewujudkannya dengan menemui pasukan Thracia dan sekutu-sekutu Paeonian dan mendirikan sebuah traktat dengan Athena yang mencairkan ulang klaim-klaimnya atas Amphipolis. Ia juga dapat menjalin perdamaian dengan Illyria yang telah mengancam perbatasan-perbatasannya. 

Philip II menjalani masa-masa awalnya dengan secara radikal mentransformasikan tentara Makedonia. Sebuah reformasi dari organisasinya, peralatannya dan pelatihannya, termasuk pengenalan phalanx Makedonia bersenjatakan tembiang panjang (semacam sarissa), agar dapat bertarung melawan musuh-musuh Illyria dan Paeonia-nya. Catatan-catatan berlawanan dalam sumber-sumber kuno membuat para cendekiawan modern mendebatkan tentang bagaimana kebanyakan pendahulu kerajaan Philip berkontribusi pada reformasi tersebut dan pernyataan bahwa gagasan-gagasannya dipengaruhi oleh tahun-tahun penahanannya di Thebes pada masa remajanya saat ketegangan politik pada masa hegemoni Theba, khususnya setelah pertemuan dengan jenderal Epaminondas. 

Bangsa Makedonia dan Yunani secara tradisional mempraktikkan monogami, namun Philip II mempraktikkan poligami dan menikahi tujuh istri dengan mungkin hanya satu istri yang tidak ikut dalam loyalitas subyek-subyek aristokratiknya atau sekutu-sekutu barunya. Pernikahan pertamanya adalah dengan Phila dari Elimeia dari kalangan aristokrasi Makedonia Hulu serta putri Illyria Audata untuk mewujudkan aliansi pernikahan. Untuk mendirikan sebuah aliansi dengan Larissa di Thessaly, ia menikahi bangsawati Thessalia Philinna pada 358 SM, yang menganugerahinya seorang putra yang kemudian memerintah dengan sebutan Philip III Arrhidaeus (m. 323–317 SM). Pada 357 SM, ia menikahi Olympias untuk menghimpun sebuah aliansi dengan Arybbas, Raja Epirus dan bangsa Molossia. Pernikahan tersebut dianugerahi seorang putra yang kemudian memerintah dengan sebutan Alexander III (lebih dikenal sebagai Alexander Agung) dan diklaim merupakan keturunan dari Achilles dalam legenda melalui warisan dinasti dari Epirus. Tak jelas apakah raja-raja Persia Achaemenid mempengaruhi praktik poligami Philip II atau tidak, meskipun pendahulunya Amyntas III memiliki tiga putra yang diyakini dari istri keduanya Gygaea: Archelaus, Arrhidaeus, dan Menelaus. Philip II menghukum mati Archelaus pada 359 SM, sementara dua saudara seayah Philip II lainnya kabur ke Olynthos, yang menyebabkan sebuah casus belli untuk Perang Olynthia (349–348 SM) melawan Liga Kalsidia. 

Saat Athena sebelumnya diduduki dengan Perang Sosial (357–355 SM), Philip II mengambil alih Amphipolis dari mereka pada 357 SM dan pada tahun berikutnya menaklukan kembali Pydna dan Potidaea, yang ia serahkan kepada Liga Kalsidia sesuai perjanjian dalam sebuah traktat. Pada 356 SM, ia mengambil alih Crenides, merombaknya menjadi Filipi, sementara jenderalnya Parmenion mengalahkan raja Illyria Grabos dari Grabaei. Pada pengepungan Methone tahun 355–354 SM, Philip II kehilangan mata kanannya akibat luka panah, namun memutuskan untuk menaklukan kota tersebut dan memperlakukan para penduduknya dengan baik, tak seperti Potidaea, yang memperbudaknya. 

Philip II kemudian melibatkan Makedonia dalam Perang Keramat Ketiga (356–346 SM). Ini dimulai saat Phocis menaklukan dan merampas kuil Apollo di Delphi sebagai balasan terhadap pengajuan gaji yang tak dibayar, menyebabkan Liga Amfiktionik mendeklarasikan perang terhadap Phocis dan sebuah perang saudara terjadi antara para anggota Liga Thessalia yang bersekutu dengan Phocis atau Thebes. Kampanye awal Philip II melawan Pherae di Thessaly [pada 353 SM atas perantaraan Larissa yang berakhir dengan dua kekalahan besar oleh jenderal Phocia Onomarchus. Philip II berbalik mengalahkan Onomarchus pada 352 SM di Pertempuran Lapangan Crocus, yang berujung pada terpilihnya Philip II menjadi pemimpin (archon) Liga Thessalia, memberikannya sebuah kursi di Dewan Amfiktionik, dan mengadakan aliansi pernikahan dengan Pherae dengan menikahi Nicesipolis, kemenakan dari tiran Jason dari Pherae. 

Setelah berkampanye melawan penguasa Thracia Cersobleptes, pada 349 SM, Philip II memulai perangnya melawan Liga Kalsidia, yang telah berdiri kembali pada 375 SM setelah pembubaran sementara. Disamping sebuah intervensi Athena oleh Charidemus, Olynthos ditaklukan olehPhilip II pada 348 SM, para penduduknya dijual menjadi budak, termasuk beberapa warga Athena. Pasukan Athena, khususnya dalam serangkaian pidato dari Demosthenes yang dikenal sebagai Olynthiacs, gagal menjalin persekutuan untuk serangan balasan dan pada 346 SM menjalin sebuah traktat dengan Makedonia yang dikenal sebagai Perdamaian Filokrates. Traktat tersebut menyatakan bahwa Athena akan mencairkan kembali klaim atas kawasan pantai Makedonia, Chalcidice, dan Amphipolis sebagai balasan terhadap pembebasan para pasukan Athena yang diperbudak serta memastikan agar Philip II tak akan menyerang pemukiman-pemukiman Athena di Thracian Chersonese. Selain itu, Phocis dan Thermopylae ditaklukan oleh pasukan Makedonia, para perompak kuil Delfik dieksekusi, dan Philip II dianugerahi dua kursi Phocia atas Dewan Amfiktionik dan jabatan pemandu acara di Dewan Amfiktionik dan jabatan pemandu acara atas Permainan Pythia. Pihak Athena awalnya menentang keanggotaannya pada dewan tersebut dan menolak untuk hadir ke acara permainan tersebut sebagai tanda protes, namun kemudian mereka menerima keadaan tersebut, diyakini setelah beberapa pernyataan dari Demosthenes dalam orasinya Tentang Perdamaian. 

Pada beberapa tahun berikutnya, Philip II mereformasi pemerintahan-pemerintahan lokal di Thessaly, berkampanye melawan penguasa Illyria Pleuratus I, melengserkan Arybbas di Epirus atas kehendak saudara iparnya Alexander I (melalui pernikahan Philip II dengan Olympias), dan mengalahkan Cersebleptes di Thrace. Ini membolehkannya menempatkan kontrol Makedonia atas aHellespont dalam antisipasi dari sebuah invasi terhadap Anatolia Achaemenid. Pada 342 SM, Philip II menaklukan sebuah kota Thracian di sebuah kawasan yang sekarang adalah Bulgaria dan mengganti namanya menjadi Philippopolis (sekarang Plovdiv). Perang pecah dengan Athena pada 340 SM saat Philip II mengadakan dua pengepungan mutlak atas Perinthus dan Byzantion, disusul oleh sebuah kampanye sukses melawan bangsa Skitia di sepanjang sungai Danube dan keterlibatan Makedonia dalam Perang Keramat Keempat melawan Amphissa pada 339 SM. Thebes menghumpun garisun Makedonia dari Nicaea (dekat Thermopylae), yang membuat Thebes tergabung dengan Athena, Megara, Korintus, Achaea, dan Euboea dalam sebuah konfrontasi terakhir melawan Makedonia di Pertempuran Chaeronea pada 338 SM. Setelah Makedonia menang, Philip II menghimpun sebuah oligarki di Thebes, sehingga menyamai Athena, dengan harapan dapat memanfaatkan angkatan laut mereka dalam sebuah rencana invasi terhadap Kekaisaran Achaemenid. Ia kemudian bertanggung jawab atas pembentukan Liga Korintus yang meliputi negara-negara kota Yunani besar kecuali Sparta. Disamping pengkhususan resmi Kerajaan Makedonia dari lima tersebut, pada 337 SM, Philip II terpilih menjadi pemimpin (hegemon) dari dewannya (synedrion) dan kepala komandan (strategos autokrator) dari sebuah kampanye mendatang untuk menginvasi Kekaisaran Achaemenid. Kekhawatiran Panhellenik terhadap invasi Persia lainnya terhadap Yunani diyakini berkontribusi terhadap keputusan Philip II untuk menginvasi Kekaisaran Achaemenid. Persia menawarkan bantuan kepada Perinthus dan Byzantion pada 341–340 SM, menyoroti kebutuhan strategis Makedonia untuk mengamankan Thrace dan Laut Aegea melawan peningkatan pengaruh Achaemenid, karena raja Persia Artaxerxes III makin mengkonsolidasikan kekuasaannya atas bagian-bagian di barat Anatolia. Kawasan yang jauh lebih kaya dan sumber dayanya lebih berharga ketimbang Balkan tersebut juga disoroti oleh raja Makedonia karena potensi ekonominya. 

Saat Philip II menikahi Cleopatra Eurydice, kemenakan jenderal Attalus, perbincangan soal para pewaris potensial baru di pesta pernikahan melirik putra Philip II, Alexander, seorang veteran Pertempuran Chaeronea, dan ibunya Olympias. Mereka kabur bersama ke Epirus sebelum Alexander dipanggil lagi ke Pella oleh Philip II. Saat Philip II mengadakan sebuah pernikahan antara putranya Arrhidaeus dan Ada dari Caria, putri Pixodarus, satrap Persia dari Caria, Alexander berintervensi dan sebagai gantinya diusulkan untuk menikahi Ada. Philip II kemudian menunda pernikahan tersebut bersmaaan dan mengasingkan para penasehat Alexander Ptolemy, Nearchus, dan Harpalus. Atas rekonsiliasi dengan Olympias, Philip II mengangkat putri mereka Cleopatra untuk menikahi saudara Olympia (dan paman Cleopatra) Alexander I dari Epirus, namun Philip II dibunuh oleh penjaganya, Pausanias dari Orestis, saat pesta pernikahan mereka dan digantikan oleh Alexander pada 336 SM. 

Kekaisaran

Para cendekiawan modern berpendapat soal kemungkinan peran Alexander III "Agung" dan ibunya Olympias dalam pembunuhan Philip II, dengan alasan bahwa Aleksander dikecualikan dari rencana invasinya ke Asia, dan sebagai gantinya memilihnya untuk bertindak sebagai pemangku raja Yunani dan deputi hegemon Liga Korintus, dan menyematkan pewaris laki-laki potensial lainnya antara Philip II dan istri barunya, Cleopatra Eurydice. Alexander III (m. 336–323 SM) diproklamasikan menjadi raja oleh sebuah majelis dari para tenara dan aristokrat utama, terutama Antipater dan Parmenion. Pada akhir masa pemerintahan dan karier militernya pada 323 SM, Aleksander memerintah atas sebuah kekaisaran yang terbentang dari Yunani daratan, Asia Kecil, Syam, Mesir kuno, Mesopotamia, Persia, dan sebagian besar Asia Tengah dan Selatan (termasuk wilayah yang sekarang menjadi Pakistan). Salah satu tindakan pertamanya adalah memakamkan ayahnya di Aigai. Para anggota Liga Korintus yang menyebarkan kabar kematian Philip II, namun kemudian ditahan oleh pasukan militer atas alasan diplomasi, memilih Alexander sebagai hegemon liga untuk melaksanakan rencana invasi terhadap Persia Achaemenid. 

Pada 335 SM, Aleksander bertarung melawan suku Thracia dari Triballi di Pegunungan Haemus dan di sepanjang sungai Danube, memaksa mereka menyerah di Pulau Peuce. Tak lama setelahnya, raja Illyria Cleitus dari Dardani mengancam untuk menyerang Makedonia, namun Aleksander memegang inisiatifnya dan mengepung Dardani di Pelion (sekarang Albania). Saat Thebes kembali memberontak dari Liga Korintus dan mengepung garisun Makedonia di Cadmea, Alexander meninggalkan front Illyria dan berpawai ke Thebes, yang ia tempatkan di bawah pengepungan. Setelah menerobos tembok, pasukan Alexander membunuh 6,000 orang Thebes, menjadikan 30,000 penduduk sebagai tahanan perang, dan membakar kota tersebut sampai rata sebagai peringatan bagi seluruh negara Yunani lainnya kecuali Sparta untuk tindak menantang Aleksander lagi. 

Sepanjang karier militernya, Aleksander memenangkan setiap pertempuran yang ia sendiri komandani. Kemenangan pertamanya melawan bangsa Persia di Asia Kecil dalam Pertempuran Granicus pada 334 SM memakai kontigen kavaleri kecil sebagai kekhasan untuk membolehkan infanterinya melintasi sungai yang disusul oleh perubahan kavaleri dari kavaleri pengikutnya. Alexander memimpin perubahan kavaleri di Pertempuran Issus pada 333 SM, memaksa raja Persia Darius III dan tentaranya untuk melarikan diri. Meskipun memiliki jumlah pasukan lebih banyak, Darius III kembali terpaksa melarikan diri dari Pertempuran Gaugamela pada 331 SM. Raja Persia kemudian ditangkap dan dieksekusi oleh satrapnya sendiri dari Bactria dan kerabatnya, Bessus, pada 330 SM. Raja Makedonia kemudian memburu dan mengeksekusi Bessus di sebuah tempat yang sekarang berada di Afghanistan, sesambil mengamankan kawasan Sogdia. Pada Pertempuran Hydaspes tahun 326 SM (sekarang di Punjab), dimana gajah-gajah perang Raja Porus dari Paurawas mengancam pasukan Aleksander, ia menempatkan orang-orang berpangkat di sekitaran gajah-gajah tersebut dan mempersenjatai mereka dengan tembiang sarissa mereka. Saat pasukan Makedonia-nya mengancam akan melakukan pemberontakan pada 324 SM di Opis, Babilonia (sekarang dekat Baghdad, Irak), Aleksander sebagai gantinya menawarkan gelar-gelar militer Makedonia dan tanggung-tanggung jawab yang lebih besar kepada unit-unit dan perwira-perwira Persia, memaksa tentaranya memberikan permintaan maaf di sebuah perjamuan makan malam dari rekonsiliasi antara Persia dan Makedonia. 

Alexander diyakini mengisi pemerintahannya sendiri dengan mengeluarkan tanda-tanda megalomania. Selain mengeluarkan propaganda efektif seperti memotong Ikatan Gordia, ia juga berupaya untuk menjadikan dirinya sendiri sebagai dewa hidup dan putra Zeus setelah ia mengunjungi orakel di Siwah, Gurun Libya (sekarang Mesir) pada 331 SM. Upayanya pada 327 SM saat ia diberi penyembahan terhadapnya di Bactra dalam sebuah tindakan proskynesis membuat raja-raja Persia menganggapnya sebagai penistaan agama oleh para kalangan Makedonia dan Yunani setelah sejarawannya Callisthenes menolak untuk ikut ritual tersebut. Saat Alexander membunuh Parmenion di Ecbatana (sekarang dekat Hamadan, Iran) pada 330 SM, ini menjadi "pendorong pertumbuhan pergumulan antara kepentingan raja dan kalangan dari negara dan masyarakatnya", menurut Errington. Pembunuhannya terhadap Cleitus si Hitam pada 328 SM disebut sebagai "kendendaman dan kesembronoan" oleh Dawn L. Gilley dan Ian Worthington. Mengikuti kebiasaan poligami ayahnya, Aleksander mendorong pasukannya untuk menikahi wanita asli di Asia, dengan memberikan contoh saat ia menikahi Roxana, seorang putri Sogdian dari Bactria. Ia kemudian menikahi Stateira II, putri sulung Darius III, dan Parysatis II, putri bungsu Artaxerxes III, di pernikahan Susa pada 324 SM. 

Sementara itu, di Yunani, raja Sparta Agis III berupaya untuk memimpin sebuah pemberontakan Yunani melawan Makedonia. Ia dikalahkan pada 331 SM di Pertempuran Megalopolis oleh Antipater, yang menjabat sebagai wali raja Makedonia dan deputi hegemon Liga Korintus di pihak Aleksander. Sebelum Antipater mengadakan kampanyenya di Peloponnese, Memnon, gubernur Thrace, memadamkan pemberontakan dengan memakai diplomasi. Antipater menyerahkan hukuman terhadap Sparta kepada Liga Korintus yang dikepalai oleh Aleksander, yang secara mutlak memajukan Sparta dalam kondisi mereka mengajukan lima bangsawan sebagai sandera. Hegemoni Antipater kurang populer di Yunani karena prakteknya (diyakini oleh tatanan Aleksander) kurang berisi dan mengarisunkan kota-kota dengan pasukan Makedonia, sehingga pada 330 SM, Aleksander mendeklarasikan bahwa tirani-tirani yang dihimpun di Yunani dibubarkan dan kebebasan Yunani direstorasikan. 

Saat Aleksander Agung wafat di Babilonia pada 323 SM, ibunya Olympias menuduh Antipater dan faksinya meracuninya, meskipun tak ada bukti yang mendukungnya. Dengan tanpa pewaris tahta resmi, komando militer Makedonia menjadi terbagi, dengan satu sisi memproklamasikan saudara tiri Aleksander, Philip III Arrhidaeus (m. 323–317 SM) sebagai raja dan sisi lainnya berpihak pada putra Alekander dengan Roxana yang masih bayi, Aleksander IV (m. 323–309 SM). Selain bangsa Euboea dan Boeotia, bangsa Yunani juga mengadakan pemberontakan melawan Antipater yang dikenal sebagai Perang Lamian (323–322 SM). Saat Antipater kalah pada 323 SM dalam Pertempuran Thermopylae, ia kabur ke Lamia dimana ia dikepung oleh komandan Athena Leosthenes. Sebuah pasukan Makedonia pimpinan Leonnatus menyelamatkan Antipater dengan mengadakan pengepungan. Antipater memadamkan pemberontakan tersebut, sehingga kematiannya pada 319 SM membuat kekuasaan menjadi lowong sehingga dua raja Makedonia yang diproklamasikan menjadi bahan pertikaian dalam sebuah perebutan kekuasaan antar diadochi, para bekas jenderal tentara Aleksander. 

Sebuah dewan tentara dibentuk di Babilonia setelah kematian Aleksander, yang mengangkat Philip III sebagai raja dan kiliarkhi Perdiccas sebagai walinya. Antipater, Antigonus Monophthalmus, Craterus, dan Ptolemy membentuk sebuah koalisi yang melawan Perdiccas dalam sebuah perang saudara yang disulut oleh perampasan kendaraan angkut jasad Aleksander Agung. Perdiccas dibunuh pada tahun 321 SM oleh para perwiranya sendiri saat kampanye gagal di Mesir melawan Ptolemy, dimana pawainya di sepanjang Sungai Nil mengakibatkan 2,000 pasukannya tenggelam. Meskipun Eumenes dari Cardia berencana membunuh Craterus dalam pertempuran, ini memiliki sedikit bahkan tak berdampak sama sekali pada timbulnya Pemisahan Triparadisus pada tahun 321 SM di Siria dimana koalisi yanbg menang memegang gak atas kawasan dan kekuasaan yang baru. Antipater diangkat menjadi wali raja atas dua raja. Sebelum Antipater wafat pada 319 SM, ia mengangkat loyalis Argead sejati Polyperchon sebagai penerusnya, dengan jaminan putranya sendiri Cassander dan menghiraukan hak raja untuk memiliki wali raja yang baru (semenjak Philip III dianggap mentalnya tidak stabil), yang juga menyebabkan pergesekan dalam koalisi tentara. 

Membentuk sebuah aliansi dengan Ptolemy, Antigonus, dan Lysimachus, Cassander memerintahkan perwiranya Nicanor untuk menaklukkan benteng Munichia di kota pelabuhan Athena Piraeus dalam rangka meneguhkan dekrit Polyperchon yang menyatakan bahwa kota-kota Yunani harus terbebas dari garisun Makedonia, menimbulkan Perang Diadochi Kedua (319–315 SM). Kegagalan militer yang timbul dari Polyperchon, pada 317 SM, Philip III, dengan cara bertunangan secara politik dengan Eurydice II dari Makedon, secara resmi menggantikannya sebagai wali raja dengan Cassander. Setelah itu, Polyperchon meminta bantuan dari Olympias di Epirus. Sebuah pasukan bersama dari Epirotes, Aetolians, dan Polyperchon menginvasi Makedonia dan memaksa tentara Philip III dan Eurydice untuk menyerah, membolehkan Olympias untuk mengeksekusi rajanya dan memaksa ratunya untuk melakukan bunuh diri. Olympias kemudian memerintahkan agar Nicanor dan puluhan bangsawan Makedonia lainnya untuk dibunuh, namun pada musim semi tahun 316 SM, Cassander mengalahkan pasukannya, menangkapnya, dan menempatkannya pada pengadilan atas dakwaan pembunuhan sebelum memutuskan agar ia dihukum mati. 

Cassander menikahi putri Philip II Thessalonike dan meluaskan kontrol Makedonia dari Illyria sampai Epidamnos. Pada 313 SM, wilayah tersebut direbut kembali oleh raja Illyria Glaucias dari Taulanti. Pada 316 SM, Antigonus mengambil wilayah Eumenes dan memutuskan untuk menggulingkan Seleucus Nicator dari satrapi Babilonia-nya, membuat Cassander, Ptolemy, dan Lysimachus untuk mengeluarkan ultimatum bersama terhadap Antigonus pada tahun 315 SM agar ia menyerahkan berbagai kawasan di Asia. Antigonus menjanjikan persekutuan dengan Polyperchon, yang sekarang berbasis di Korintus, dan mengeluarkan sebuah ultimatum-nya sendiri kepada Cassander, mendakwanya atas dakwaan pembunuhan karena mengeksekusi Olympias dan menuntut agar ia melepas kendalinya atas keluarga kerajaan, Raja Aleksander IV dan ibu suri Roxana.  Konflik tersebut berlangsung sampai musim dingin tahun 312/311 SM, saat sebuah penetapan perdamaian baru mengakui Cassander sebagai jenderal Eropa, Antigonus sebagai "pertama di Asia", Ptolemy sebagai jenderal Mesir, dan Lysimachus sebagai jenderal Thrace. Cassander memerintahkan agar Alexander IV dan Roxana dihukum mati pada musim dingin tahun 311/310 SM, dan pada tahun 306–305 SM, diadochi tersebut mendeklarasikan raja-raja dari kawasan mereka masing-masing. 

Era Hellenistik

Permulaan Yunani Hellenistik diartikan dengan perjuangan antara dinasti Antipatrid, mula-mula dipimpin oleh Cassander (m. 305–297 SM), putra Antipater, dan dinasti Antigonid, pimpinan jenderal Makedonia Antigonus I Monophthalmus (m. 306–301 SM) dan putranya, kelak raja Demetrius I (m. 294–288 SM). Cassander mengepung Athena pada 303 SM, namun terpaksa beretret ke Makedonia saat Demetrius menginvasi Boeotia dalam rangka berupaya untuk menghimpun susunan retretnya. Saat Antigonus dan Demetrius berupaya untuk merombak Liga Hellenik pimpinan Philip II dengan diri mereka sendiri sebagai hegemon ganda, sebuah koalisi saingan dari Cassander, Ptolemy I Soter (m. 305–283 SM) dari dinasti Ptolemaik Mesir, Seleucus I Nicator (m. 305–281 BC) dari Kekaisaran Seleucid, dan Lysimachus (m. 306–281 SM), Raja Thrace, mengalahkan pasukan Antigonids di Pertempuran Ipsus pada 301 SM, membunuh Antigonus dan memaksa Demetrius untuk melarikan diri. 

Cassander wafat pada 297 SM, dan putranya yang sakit Philip IV wafat pada tahun yang sama, digantikan oleh putra-putra Cassander yang lain Alexander V dari Makedon (m. 297–294 SM) dan Antipater II dari Makedon (m. 297–294 SM), dengan ibu mereka Thessalonike dari Makedon yang bertindak sebagai wali raja. Saat Demetrius bertarung melawan pasukan Antipatrid di Yunani, Antipater II membunuh ibunya sendiri untuk meraih kekuasaan. Saudaranya yang tersudut Alexander V kemudian meminta bantuan dari Pyrrhus dari Epirus (m. 297–272 SM), yang bertarung bersama dengan Demetrius di Pertempuran Ipsus, namun dikirim ke Mesir sebagai sandera sebagai bagian dari perjanjian antara Demetrius dan Ptolemy I. Dalam pertukaran atas kekalahan pasukan Antipater II dan memaksanya untuk lari ke pihak Lysimachus di Thrace, Pyrrhus dianugerahi wilayah paling barat dari kerajaan Makedonia. Demetrius membunuh keponakannya Alexander V dan kemudian diproklamasikan menjadi raja Makedonia, namun para kalangannya memprotes autokrasi gaya Timur yang ia pegang. 

Perang pecah anatara Pyrrhus dan Demetrius pada tahun 290 SM saat Lanassa, istri Pyrrhus, putri Agathocles dari Syracuse, berbalik memihak ke Demetrius dan menawarkannya mas kawin-nya dari Corcyra. Perang berlangsung sampai tahun 288 SM, saat Demetrius kehilangan dukungan dari rakyat Makedonia dan melarikan diri dari negara tersebut. Makedonia kemudian terbagi antara Pyrrhus dan Lysimachus, Pyrrhus mengambil alih barat Makedonia dan Lysimachus mengambil alih timur Makedonia. Pada tahun 286 SM, Lysimachus mengusir Pyrrhus dan pasukannya dari Makedonia. Pada 282 SM, sebuah peran baru timbul antara Seleucus I dan Lysimachus; Lysimachus tewas dalam Pertempuran Corupedion, membolehkan Seleucus I mengambil alih Thrace dan Makedonia. Dalam dua perebutan kekayaan yang dramatis, Seleucus I dibunuh pada tahun 281 SM oleh perwiranya Ptolemy Keraunos, putra Ptolemy I dan cucu Antipater, yang kemudian diproklamasikan menjadi raja Makedonia sebelum terbunuh dalam pertempuran pada tahun 279 SM oleh para penginvasi Keltik dalam invasi Yunani oleh Gallik. Tentara Makedonia memproklamasikan jenderal Sosthenes dari Makedon menjadi raja, meskipun ia tampaknya menolak gelar tersebut. Setelah mengalahkan penguasa Gallik Bolgios dan memukul mundur rombongan penyerbu dari Brennus, Sosthenes wafat dan meninggalkan Makedonia dalam situasi yang ricuh. Para penginvasi Gallik menyerang kembali Makedonia sampai Antigonus Gonatas, putra Demetrius, mengalahkan mereka di Thrace pada tahun 277 SM dalam Pertempuran Lysimachia dan kemudian diproklamasikan menjadi raja Antigonus II dari Makedon (m. 277–274 SM; 272–239 SM). 

Pada 280 SM, Pyrrhus mengadakan sebuah kampanye ke Magna Graecia (diyakini selatan Italia) melawan Republik Roma yang dikenal sebagai Perang Pyrrhic, disusul oleh invasinya ke Sisilia. Ptolemy Keraunos mengamankan posisinya pda tahta Makedonia dengan memberikan lima ribu prajurit dan dua puluh gajah perang kepada Pyrrhus sebagai bentuk dukungan. Pyrrhus kembali ke Epirus pada 275 SM setelah kegagalan mutlak dari kedua kampanye tersebut, yang berkontribusi terhadap kebangkitan Roma karena kota-kota Yunani di selatan Italia seperti Tarentum sekarang menjadi sekutu-sekutu Roma. Pyrrhus menginvasi Makedonia pada tahun 274 SM, mengalahkan sebagian besar tentara Antigonus II pada tahun 274 SM saat Pertempuran Aous dan mendorongnya keluar dari Makedonia, memaksanya mengungsi dengan armada angkatan lautnya ke Aegea. 


Lukisan Makedonia Kuno dari persenjataan militer era Hellenistik dari sebuah makam di Mieza kuno (sekarang Lefkadia), Imathia, Makedonia Tengah, Yunani, abad ke-2 SM
Pyrrhus kehilangan sebagian besar dukungannya dari rakyat Makedonia pada tahun 273 SM saat tentara Gallik-nya merusak pemakaman kerajaan Aigai. Pyrrhus membujuk Antigonus II agar pergi ke Peloponnese, sehingga Antigonus II secara mutlak dapat menaklukan kembali Makedonia. Pyrrhus tewas saat mengepung Argos pada 272 SM, membolehkan Antigonus II mengklaim kembali wilayah Yunani lainnya. Ia kemudian merestorasi pemakaman dinasti Argead di Aigai dan menganeksasi Kerajaan Paeonia. 

Liga Aetolia memberikan kekuasaan atas Yunani tengah kepada Antigonus II, dan pembentukan Liga Achaean pada 251 SM menekan pasukan Makedonia pada sebagian besar Peloponnese dan berkali-kali memasuki Athena dan Sparta. Meskipun Kekaisaran Seleucid bersekutu dengan Antigonid Makedonia melawan Mesir Ptolemaik pada masa Perang Siria, angkatan laut Prolemaik sangat terganggung dengan upaya Antigonus II untuk menguasai daratan utama Yunani. Dengan bantuan angkatasn laut Ptolemaik, negarawan Athena Chremonides memimpin sebuah pemberontakan melawan otoritas Makedonia yang dikenal sebagai Perang Chremonidea (267–261 SM). Pada 265 SM, Athena dikelilingi dan dikepung oleh pasukan Antigonus II, dan armada Ptolemaik kalah dalam Pertempuran Cos. Athena akhirnya menyerah pada 261 SM. Setelah Makedonia membentuk sebuah aliansi dengan penguasa Seleucid Antiochus II, sebuah kesepakatan damai antara Antigonus II dari Ptolemy II Philadelphus dari Mesir akhirnya tercapai pada 255 SM. 

Pada 251 SM, Aratus dari Sicyon memimpin sebuah pemberontakan melawan Antigonus II, dan pada 250 SM, Ptolemy II menyatakan dukungannya kepada Raja Alexander dari Korintus. yang memproklamasikan dirinya sendiri Meskipun Alexander wafat pada 246 SM dan Antigonus dapat mencangkupi kemenangan angkatan laut melawan Ptolemies di Andros, pasukan Makedonia kehilangan Akrokorintus dari pasukan Aratus pada 243 SM, disusul oleh penempatan Liga Achaea di Korintus. Antigonus II menjalin perdamaian dengan Liga Achaea pada 240 SM, menyerahkan kawasan yang diperebutkan darinya di Yunani. Antigonus II wafat pada 239 SM dan digantikan oleh putranya Demetrius II dari Makedon (m. 239–229 SM). Menjalin aliansi dengan Makedonia untuk bertahan melawan pasukan Aetolia, ibu suri dan wali raja Epirus, Olympias II, menawarkan putrinya Phthia dari Macedon untuk dinikahi oleh Demetrius II. Demetrius II menerima usulannya, namun ia memutus hubungannya dengan Seleucid dengan menceraikan Stratonice dari Makedon. Meskipun akibatnya pasukan Aetolia menjalin aliansi dengan Liga Achaea, Demetrius II dapat menginvasi Boeotia dan merebutnya dari pasukan Aetolia pada 236 SM. 

Liga Achaea memutuskan untuk menaklukkan Megalopolis pada 235 SM, dan pada akhir masa pemerintahan Demetrius II, sebagian besar Peloponnese selain Argos diambil alih dari bangsa Makedonia. Demetrius II juga kehilangan persekutuan di Epirus saat monarki dilengserkan dalam sebuah revolusi republikan. Demetrius II meminta bantuan kepada raja Illyria Agron untuk mempertahankan Acarnania melawan Aetolia, dan pada 229 SM, mereka memutuskan untuk mengalahkan pasukan terkombinasi dari Liga Aetolia dan Achaea di Pertempuran Paxos. Penguasa Illyria lainnya, Longarus dari Kerajaan Dardanian, menginvasi Makedonia dan mengalahkan tentara Demetrius II tak lama sebelum ia wafat pada 229 SM. Meskipun putranya yang masih muda Philip mewarisi tahta tersebut, wali rajanya Antigonus III Doson (m. 229–221 SM), keponakan Antigonus II, diproklamasikan menjadi raja oleh tentaranya, dengan Philip menjadi pewarisnya, setelah serangkaian kemenangan militer melawan pasukan Illyria di utara dan pasukan Aetolia di Thessaly. 

Aratus mengirim sebuah kedubes ke Antigonus III pada 226 SM menjalin sebuah aliansi yang tak semestinya dimana sekarang raja reformis Cleomenes III dari Sparta mengancam sisa-sisa wilayah Yunani dalam Perang Cleomenea (229–222 SM). Dalam pertukaran untuk bantuan militer, Antigonus III menuntut pengembalikan Korintus ke kekuasaan Makedonia, yang Aratus akhirnya sepakati pada 225 SM. Pada 224 SM, pasukan Antigonus III mengambil alih Arcadia dari Sparta. Setelah membentuk sebuah liga Hellenistik dalam cara yang sama dengan Liga Korintus pimpinan Philip II, ia memutuskan untuk mengalahkan Sparta di Pertempuran Sellasia pada 222 SM. Sparta diduduki oleh kekuatan asing untuk pertama kalinya dalam sejarah, merestorasi posisi Makedonia sebagai kekuatan utama di Yunani. Antigonus wafat setahun kemudian, diyakini karena tuberkulosis, meninggalkan sebuah kerajaan Hellenistik yang kuat untuk penerusnya Philip V. 

Philip V dari Makedon (m. 221–179 SM) menghadapi tantangan-tantangan langsung pada otoritasnya dari Dardani dari Illyria dan Liga Aetolia. Philip V dan para sekutunya berhasil mengalahkan pasukan Aetolia dan sekutu mereka dalam Perang Sosial (220–217 SM), sehingga ia menghimpun perdamaian dengan pasukan Aetolia yang sempat ia dengar diarahkan oleh Dardani di utara dan kemenangan Carthage atas pasukan Roma di Pertempuran Danau Trasimene pada 217 SM. Demetrius dari Pharos dituduh mendakwa Philip V mengemankan Illyria dalam memajukan sebuah invasi ke semenanjung Italia.Pada 216 SM, Philip V mengirim seratus kapal-kapal perang ringan ke Laut Adriartik untuk menyerang Illyria, sebuah pergerakan yang membuat Scerdilaidas dari Kerajaan Ardiaea meminta bantuan ke pasukan Romawi. Roma menanggapinya dengan mengirim sepuluh kuinkuireme berat dari Sisilia Romawi untuk menjaga pesisir Illyria, menyebabkan Philip V hengkang dan memerintahkan armadanya untuk menarik diri, dalam rangka menghindari konflik terbuka pada masa itu. 

Konflik dengan Roma

Pada tahun 215 SM, di puncak Perang Punic Kedua dengan Kekaisaran Carthage, otoritas Romawi menginterspeksi sebuah kapal di lepas pantai Calabria yang mengangkut seorang duta Makedonia dan duta besar Carthagine yang mencanangkan sebuah traktat yang dikomposisikan oleh Hannibal Barca yang mendeklarasikan sebuah aliansi dengan Philip V. Traktat tersebut menyatakan bahwa Carthage memiliki hak tunggal untuk menegosiasikan syarat-syarat penyerahan hipotetikal Roma dan menjanjikan bantuan saling menguntungkan dalam peristiwa dimana Roma menuntut belas terhadap Makedonia atau Carthage. Meskipun Makedonia mungkin hanya berkepentingan dalam pengamanan terhadap kawasan yang baru mereka taklukkan di Illyria, Romawi tak berarti tak pernah bisa untuk mendompleng ambisi besar Philip V untuk menaklukkan kawasan Adriartik saat Perang Makedonia Pertama (214–205 SM). Pada 214 SM, Roma memajukan sebuah armada angkatan laut di Oricus, yang diserang di sepanjang Apollonia oleh pasukan Makedonia.  Saat Makedonia menaklukkan Lissus pada 212 SM, Senat Romawi menanggapinya dengan mendorong Liga Aetolia, Sparta, Elis, Messenia, dan Attalus I (m. 241–197 SM) dari Pergamon untuk ikut serta melawan Philip V, mempertahankan kedudukannya dan dijauhkan dari Italia. 

Liga Aetolia mengadakan sebuah perjanjian perdamaian dengan Philip V pada 206 SM, dan Republik Roma menegosiasikan Traktat Phoenice pada 205 SM, mengakhiri perang dan membolehkan Maedonia untuk mempertahankan beberapa pemukiman yang diduduki di Illyria. Meskipun Romawi menolak permintaan Aetolia pada 202 SM agar Roma mendeklarasikan perang terhadap Makedonia sekali lagi, Senat Romawi memberikan tanggapan serius terhadap tawaran serupa yang dibuat oleh Pergamon dan sekutunya Rhodes pada 201 SM. Negara-negara tersebut menyoroti aliansi Philip V dengan Antiochus III Agung dari Kekaisaran Seleucid, yang meninvasi pemakaian perang dan secara finansial menghantui Kekaisaran Ptolemaik dalam Perang Siria Kelima (202–195 SM) karena Philip V menaklukkan pemukiman-pemukiman Ptolemaik di Laut Aegea. Meskipun para duta Roma memainkan peran penting dalam mendorong Athena untuk bergabung dalam aliansi anti-Makedonia dengan Pergamon dan Rhodes pada 200 SM, comitia centuriata (majelis rakyat) menolak usulan Senat Romawi untuk sebuah deklarasi perang terhadap Makedonia. Sementara itu, Philip V menaklukkan kawasan-kawasan di Hellespont dan Bosporus serta Samos Ptolemaik, yang membuat Rhodes membentuk sebuah aliansi dengan Pergamon, Bizantium, Cyzicus, dan Chios melawan Makedonia. Disamping aliansi tertulis Philip V dengan raja Seleucid, ia kehilangan angkatan lautnya dalam Pertempuran Chios pada 201 SM diblokade di Bargylia oleh angkatan laut Rhodian dan Pergamene. 

Meskipun Philip V sibuk berperang dengan para sekutu Yunani yang dipimpin oleh Roma, Roma memandangnya sebagai kesempatan untuk menekan bekas sekutu Hannibal dengan sebuah perang yang mereka harapkan akan menyuplai kemenangan dan membutuhkan sedikit sumber daya. Senat Romawi membujuk agar Philip V berhenti bertikai dengan negara-negara tetangga Yunani-nya dan menghimpun komite arbitrasi internasional untuk menjalin peredaman. Saat comitia centuriata akhirnya memutuskan untuk menyepakati deklarasi perang Senat Romawi pada tahun 200 SM dan memegang ultimatum mereka untuk Philip V, menuntut agar seorang tribunal mengganti kerusakan yang dialami Rhodes dan Pergamon, raja Makedonia menolaknya. Ini menandai permulaan Perang Makedonia Kedua (200–197 SM), dengan Publius Sulpicius Galba Maximus merebakkan operasi-operasi militer di Apollonia. 

Pasukan Makedonia berhasil mempertahankan kawasan mereka sepanjang hampir dua tahun,  namun konsul Romawi Titus Quinctius Flamininus memutuskan untuk mengusir Philip V dari Makedonia pada 198 SM, memaksa pasukannya untuk mengungsi ke Thessaly. Saat Liga Achaea mengalihkan loyalitasnya dari Makedonia ke Roma, raja Makedonia memutuskan untuk berdamai, namun persyaratan yang ditawarkan dianggap terlalu ketat, dan sehingga perang berlanjut. Pada Juni 197 SM, pasukan Makedonia dikalahkan di Pertempuran Cynoscephalae. Roma kemudian meratifikasi sebuah traktat yang memaksa Makedonia untuk mencairkan kembali kekuasaan atas sebagian besar wilayah Yunani-nya di luar kawasan Makedonia, jika hanya tindakan untuk melawan masuknya Illyria dan Thracia ke Yunani. Meskipun beberapa orang Yunani mendakwa tujuan Romawi adalah menjadikan Makedonia sebagai kekuatan hegemonik baru di Yunani, Flaminius mengumumkan di Pesta Olahraga Isthmian pada tahun 196 SM bahwa Roma bertujuan untuk memberikan kebebasan Yunani dengan tak meninggalkan garisun di baliknya dan dengan tanpa pemberian upeti dari jenis apapun. Janjinya ditunda oleh negosiasi dengan raja Sparta Nabis, yang telah menaklukan Argos, sehingga pasukan Romawi mengevakuasi Yunani pada 194 SM. 

Didorong oleh Liga Aetolia dan panggilan mereka untuk membebaskan Yunani dari Romawi, raja Seleukia Antiochus III mendaratkan pasukannya di Demetrias, Thessaly, pada 192 SM, dan dipilih menjadi strategos oleh Aetolia. Makedonia, Liga Achaea, dan negara-negara kota Yunani lainnya memegang aliansi mereka dengan Roma. Pasukan Romawi mengalahkan pasukan Seleukia pada 191 SM dalam Pertempuran Thermopylae serta Pertempuran Magnesia pada 190 SM, memaksa Seleukia membayar ganti rugi perang, menarik sebagian besar angkatan lautnya, dan meniadakan klaim-klaimnya atas teritorial apapun di utara atau barat Pegunungan Taurus pada 188 SM dalam Traktat Apamea. Dengan penerimaan Roma, Philip V dapat menaklukan beberapa kota di tengah Yunani pada 191–189 SM yang telah bersekutu dengan Antiochus III, sementara Rhodes dan Eumenes II (m. 197–159 SM) dari Pergamon meraih wilayah di Asia Kecil. 

Gagal untuk menyelesaikan semua pihak dalam berbagai sengketa wilayah, Senat Romawi memutuskan pada 184/183 SM untuk memaksa Philip V agar membubarkan Aenus dan Maronea, semenjak wilayah tersebut dideklarasikan menjadi kota bebas dalam Traktat Apamea.  Ini menimbulkan kekhawatiran Eumenes II bahwa Makedonia tak lama lagi akan menghadapi ancaman atas lahan-lahannya di Hellespont. Perseus dari Makedon (m. 179–168 SM) menggantikan Philip V dan mengeksekusi saudaranya Demetrius, yang disukai oleh Romawi namun didakwa oleh Perseus dengan alasan pengkhianatan tingkat tinggi.  Perseus kemudian berupaya untuk menjalin aliansi pernikahan dengan Prusias II dari Bithynia dan Seleucus IV Philopator dari Kekaisaran Seleukia, bersama dengan hubungan terbarukan dengan Rhodes yang sangat tak menempatkan Eumenes II. Meskipun Eumenes II berupaya menaungi hubungan diplomatik tersebut, Perseus memajukan sebuah aliansi Liga Boeotia, mengkhususkan otoritasnya di Illyria dan Thrace, dan pada 174 SM, memenangkan peran kepengurusan Kuil Apollo di Delphi sebagai anggota Dewan Amfiktionik. 

Eumenes II datang ke Roma pada 172 SM dan menyampaikan sebuah pidato kepada Senat yang mengecam tuduhan kejahatan dan transgresi Perseus.  Ini membuat Senat Romawi mendeklarasikan Perang Makedonia Ketiga (171–168 SM). Meskipun pasukan Perseus meraih kemenangan melawan pasukan Romawi di Pertempuran Callinicus pada 171 SM, tentara Makedonia kalah di Pertempuran Pydna pada Juni 168 SM. Perseus melarikan diri ke Samothrace namun ditangkap tak lama setelahnya, dibawa ke Roma untuk acara kemenangan dari Lucius Aemilius Paullus Macedonicus, dan kemudian ditempatkan dalam [[penahanan rumah] di Alba Fucens, dimana ia wafat pada 166 SM. Pasukan Romawi meniadakan monarki Makedonia dengan menghimpun empat republik sekutu terpisah dalam naungannya, ibukota-ibukota mereka berada di Amphipolis, Thessalonica, Pella, dan Pelagonia.  Pasukan Romawi merombak beberapa hukum yang terdapat dalam beberapa interaksi sosial dan ekonomi antara para penduduk republik-republik tersebut, termasuk larangan pernikahan antar mereka dan larangan (temporer) terhadap pencetakan emas dan perak.  Andriscus, yang diklaim keturunan Antigonid, memberontak melawan Romawi dan diangkat menjadi raja Makedonia, mengalahkan tentara praetor Romawi Publius Iuventius Thalna pada Perang Makedonia Keempat (150–148 SM). Disamping itu, Andriscus dikalahkan pada 148 SM di Pertempuran Pydna Kedua oleh Quintus Caecilius Metellus Macedonicus, yang para pasukannya menduduki kerajaan tersebut.  Ini disusul oleh penghancuran Carthage pada 146 SM oleh Romawi dan kemenangan atas Liga Achaea di Pertempuran Korintus, membulatkan era Yunani Romawi dan pendirian bertahap dari provinsi Makedonia Romawi. 

Pembagian kekuasaan

Kepala pemerintahan Makedonia adalah raja (basileus). Dari setidaknya masa pemerintahan Philip II, raja diiringi oleh laman kerajaan (basilikoi paides), penjaga keamanan (somatophylakes), pengikut (hetairoi), teman (philoi), sebuah majelis yang meliputi para anggota militer, dan (pada masa Hellenistik) magistrat. Kurang terdapat bukti terkait keberadaan dimana setiap kelompok berbagi otoritas dengan raja atau jika keberadaan mereka memiliki sebuah dasar dalam sebuah wadah konstitusional resmi. Sebelum masa pemerintahan Philip II, satu-satunya lembaga yang didukung oleh bukti tekstual adalah monarki. 

Kekerabatan raja dan pemerintahan kerajaan
Pemerintahan paling awal yang diketahui dari Makedonia adalah itu dari monarkinya, yang berlangsung sampai 167 SM saat itu ditiadakan oleh bangsa Romawi. Monarki warisan Makedonia berdiri sejak setidaknya zaman Yunani Arkhaik, dengan akar aristokratik Homerik di Yunani Mikenaia.  Thucydides menyatakan bahwa pada masa sebelumnya, Makedonia terbagi dalam kawasan persukuan kecil, masing-masing memiliki raja pettynya sendiri, suku-suku Makedonia Hilir kemudian disatukan di bawah satu raja besar yang memegang kekuasaan sebagai seorang pemimpin atas raja-raja kecil di Makedonia Hulu. Garis langsung dari suksesi ayah ke putra dipatahkan setelah pembunuhan Orestes dari Makedon pada 396 SM (dituduh dilakukan oleh wali raja dan penerusnya Aeropus II dari Makedon), menimbulkan masalah tentang apakah primogenitur adalah adat istiadat atau ada hak konstitusional bagi sebuah majelis tentara atau rakyat untuk memilih raja lainnya. Tak jelas jika penurunan laki-laki terhadap ratu atau permaisuri selalu ditonjolkan ketimbang yang lainnya saat pengangkatan Archelaus I dari Makedon, putra Perdiccas II dari Makedonia dan seorang wanita budak, meskipun Archelaus meneruskan tahtanya setelah membunuh pewaris tahta yang diangkat ayahnya. 

Diketahui bahwa raja-raja Makedonia sebelum Philip II memegang hak-hak tersebut dan menanggung tanggung jawab dalam menyambut para diplomat asing, menentukan kebijakan luar negeri kerajaan, dan menegosiasikan aliansi dengan kekuatan-kekuatan asing. Setelah Yunani menang di Salamis pada tahun 480 SM, komandan Persia Mardonius meminta Aleksander I dari Makedon untuk datang ke Athena sebagai duta utama untuk menghimpun sebuah aliansi antara Kekaisaran Achaemenid dan Athena. Keputusan untuk mengirim Aleksander berdasarkan pada aliansi pernikahannya dengan sebuah wangsa bangsawan Persia dan hubungan resmi sebelumnya dengan negara-kota Athena. Dengan kepemilikan mereka atas sumber-sumber daya alam yang meliputi emas, perak, kayu, dan lahan kerajaan, raja-raja Makedonia awal juga berhak atas pemberian pihak domestik dan asing dengan hadiah-hadiah menonjol. 

Sedikit yang diketahui tentang sistem yudisial dari Makedonia kuno selain bahwa raja tersebut bertindak sebagai kepala hakim dari kerajaan tersebut. Raja-raja Makedonia juga menjadi komandan tertinggi militer. Philip II juga sangat diakui atas tindakannya dalam menjabat sebagai imam besar dari negara tersebut. Ia sehari-hari menampilkan ritual pemujaan dan memimpin perayaan keagamaan. Alexander meniru berbagi aspek pemerintahan ayahnya, seperti memberikan lahan dan hadiah kepada para pengikut aristokratik setia, namun meninggalkan beberapa dukungan inti terhadap mereka yang mengadopsi beberapa penjebakan seorang penguasa Timur Perisa, seorang "kepala dan master" yang Carol J. King nyatakan, selain "pemimpin bersenjata" yang menjadi hubungan tradisional raja-raja Makedonia dengan para pengikut mereka. Ayah Aleksander, Philip II, diyakini dipengaruhi oleh tradisi-tradisi Persia saat ia mengadopsi institusi-institusi yang mirip dengan yang ditemukan di kerajaan Achaemenid, seperti sekretaris kerajaan, arsip kerajaan, laman kerajaan dan tahta yang diduduki. 

Laman kerajaan

Laman-laman kerajaan adalah para pria muda dan laki-laki remaja yang diangkat dari rumah tangga aristokratik dan melayani raja-raja Makedonia diyakini dari masa pemerintahan Philip II dan seterusnya, meskipun bukti yang lebih solid berasal dari masa pemerintahan Aleksander Agung. Laman-laman kerajaan tak memainkan peran langsung dalam politik tingkat tinggi dan diangkat sebagai sebuah alat untuk memperkenalkan mereka ke kehidupan politik. Setelah masa pelatihan dan pelayanan, laman-laman diangkat menjadi anggota pengikut raja dan pejabat pribadi raja. Pada masa pelatihan mereka, laman-laman ditugaskan untuk menjaga raja saat ia tidur, menyuplainya dengan kuda-kuda, menemaninya saat perburuan kerajaan, dan melayaninya saat symposia (seperti pesta minum-minum resmi). Meskipun sedikit bukti untuk laman-laman kerajaan pada zaman Antigonid, beberapa dari mereka diketahui kabur dengan Perseus dari Makedon ke Samothrace setelah kekalahannya oleh Romawi pada 168 SM. 

Penjaga keamanan

Penjaga keamanan kerajaan menjabat sebagai anggota terdekat raja di istana dan medan tempur. Mereka terbagi dalam dua kategori: agema dari hypaspistai, sebuah jenis dari pasukan khusus kuno yang biasanay berjumlah ratusan, dan kelompok pasukan yang lebih kecil yang ditangani oleh raja untuk tugas-tugas individual mereka atau untuk menghormati keluarga bangsawan yang mereka masuki. Sehingga, para penjaga keamanan, yang berjumlah terbatas dan membentuk lingkup dalam raja, tak selalu bertanggung jawab atas melindungi nyawa raja di dalam dan luar medan tempur; gelar dan jabatan mereka lebih merupakan tanda kekhasan, diyakini dipakai untuk memberikan persaingan antara wangsa-wangsa aristokratik. 

Para pengikut, termasuk kavaleri pengikut elit dan infanteri pezhetairoi, mewakili sebuah kelompok yang lebih besar secara substansial ketimbang para penjaga keamanan raja. Para pengikut berpangkat tertinggi dan paling terpercaya membentuk sebuah dewan yang dijadikan sebagai sebuah badan penasehat untuk raja. Sejumlah kecil bukti menunjukkan bukti dari sebuah majelis tentara pada masa-masa perang dan majelis rakyat pada masa-masa damai. 

Para anggota dewan memiliki hak untuk bebas berbicara, dan meskipun tak ada bukti langsung bahwa mereka bersuara atas urusan negara, raja secara jelas setidaknya secara khusus menerima kesepakatan atas tuntutan-tuntutan mereka. Majelis tampaknya diberi hak untuk menghakimi kasus-kasus pengkhianatan tingkat tinggi dan memberikan hukuman mati, seperti saat Aleksander Agung ditindak sebagai terdakwa dan pengadilan dan pendakwaan terhadap tiga konspirator tertuduh dalam rencana pembunuha ayahnya (meskipun beberapa orang lainnya dinyatakan bebas). Namun, kurang ada bukti yang menunjukkan bahwa dewan dan majelis giat diangkat atau didasari secara konstitusional, atau bahwa keputusan mereka selalu diterima oleh raja. Saat kematian Aleksander AGung, para pengikutnya langsung membentuk sebuah dewan untuk memegang kontrol atas kekaisarannya, namun kemudian terkendala oleh konflik dan persaingan terbuka antara para anggotanya. Tentara juga memakai dahagi sebagai alat untuk membuat politik berakhir. 

Magistrat, persemakmuran, pemerintahan lokal dan negara sekutu
Raja-raja Makedonia Antigonid memegang brbagai jabatan regional untuk mengurusi urusan-urusan negara. Ini meliputi para pejabat munisipal tingkat tinggi, seperti strategos militer dan politarkhi, yakni gubernur terpilih (archon) dari sebuah kota (polis), serta pejabat politik-keagamaandari epistates. Tak ada bukti tentang latar belakang pribadi dari para pejabat tersebut, meskipun mereka dipilih pada anggota yang sama dari aristokratik philoi dan hetairoi yang mengisi kekosongan untuk para perwira tentara. 

Di Athena kuno, demokrasi Athena direstorasi pada tiga kesempatan terpisah setelah penaklukan awal kota tersebut oleh Antipater pada 322 SM. Saat kota tersebut berulang-ulang jatuh ke tangan kekuasaan Makedonia, kota tersebut diperintah oleh sebuah oligarki yang dicanangkan Makedonia yang terdiri dari para anggota terkaya dari negara-kota tersebut. Negara-kota lainnya direbut secara cepat dan membolehkan peringkat yang lebih besar dari otonomi. Setelah Philip II merebit Amphipolis pada 357 SM, kota tersebut kembali meraih demokrasinya, termasuk konstitusi, majelis populer, dewan kota (boule), dan pemilihan tahunan untuk para pejabat baru, namun garisun Makedonia ditempatkan dalam tembok kota bersama dengan seorang komisioner kerajaan Makedonia (epistates) untuk memantau urusan politik kota tersebut. Philippi, kota yang didirikan oleh Philip II, merupakan satu-satunya kota lainnya di persemakmuran Makedonia yang memiliki sebuah pemerintahan demokratis dengan majelis populer, semenjak majelis (ecclesia) dari Thessaloniki dipandang hanya memiliki fungsi pasif dalam praktiknya. Beberapa kota juga memegang pendapatan munisipalnya sendiri. Raja Makedonia dan pemerintah pusat mengurusi pendapatan yang dikumpulkan oleh kuil-kuil dan para imam. 

Dalam persemakmuran Makedonia, beberapa bukti dari abad ke-3 SM menandakan bahwa hubungan luar negeri ditangani oleh pemerintah pusat. Meskipun kota-kota Makedonia individual secara nominal ikut serta dalam acara-acara Panhellenik sebagai entitas-entitas independen, pada kenyataannya, pemberian asylia (inviolabilitas, kekebalan diplomatik, dan hak suaka di tempat suaka) kepada kota-kota tertentu ditangani langsung oleh raja. Selain itu, kota-negara dalam kata Yunani kontemporer koina (artinya federasi kota-negara, sympoliteia) berhak memberikan suara pada dekrit-dekrit federal oleh para anggota liga mereka.  Di kota-negara yang masuk liga atau persemakmuran, pemberian proxenia (artinya pentuanrumahan para duta besar asing) biasanya menjadi hak yang dibagi oleh otoritas lokal dan pusat. Sebagian besar bukti menunjukkan pemberian proxenia sebagai prerogatif tunggal otoritas pusat di Liga Epirote tetangga, dan beberapa bukti menunjukkan aransemen yang sama dalam persemakmuran Makedonia. Kota-negara yang beraliansi dengan Makedonia mengeluarkan dekrit-dekrit mereka sendiri terkait proxenia. Liga-liga asing juga membentuk aliansi dengan raja-raja Makedonia, seperti saat Liga Kreta menandatangani traktat dengan Demetrius II Aetolicus dan Antigonus III Doson yang memasukkan pasukan Kreta dalam ketentaraan Makedonia, dan memiliki Philip V of Macedon sebagai pelindung kehormatan (prostates) dari liga tersebut. 

Militer

Struktur dasar dari tentara Makedonia kuno adalah divisi antara kavaleri pengikut (hetairoi) dan pengikut kaki (pezhetairoi), yang diserta dengan berbagai pasukan sekutu, prajurit asing, dan pasukan merkantil. Pengikut kaki diyakini telah ada sejak masa pemerintahan Aleksander I dari Makedon. Kavaleri Makedonia, yang mengenakan pelindung berotot, meraih ketenaran di Yunani pada saat dan setelah mereka terlibat dalam Perang Peloponnesia, pada masa berpihak dengan Athena atau Sparta. Infanteri Makedonia pada masa ini terdiri dari para penggembala dan petani yang kurang terlatih, sementara kavaleri terdiri dari para bangsawan. Sesuai dengan yang dibuktikan oleh karya seni awal abad ke-4, terdapat pengaruh Sparta menonjol pada tentara Makedonia sebelum Philip II. Nicholas Viktor Sekunda menyatakan bahwa dalam permulaan masa kekuasaan Philip II pada 359 SM, tentara Makedonia terdiri dari 10,000 infanteri dan 600 kavaleri, sementara Malcolm Errington menyatakan bahwa angka yang dikutip oleh para pengarang kuno seharusnya diperlakukan dengan beberapa skeptisisme. 

Philip II dan Alexander Agung
Informasi lebih lanjut: Taktik militer di Yunani Kuno dan Kavaleri Thessalia
Setelah pertikaian politik yang berjalan selama bertahun-tahun di Thebes, Philip II berniat meniru contoh Yunani dari cara-cara militer dan mengeluarkan peralatan standar bagi para prajurit, dan meneruskannya dalam mentransformasikan tentara Makedonia dari pasukan petani tak profesional menjadi tentara profesional yang terlatih. Philip II mengadopsi beberapa tektik militer dari para musuhnya, seperti formasi kavaleri embolon (sayap terbang) dari Skitia.  Infanterinya dilindungi tameng-tameng peltai menggantikan tameng bergaya hoplon pada masa sebelumnya, dialati dengan helm-helm pelindung, , greave, dan plakat dada cuirass atau band lambung kotthybos, dan dipersenjatai dengan tombak sarissa dan belati sebagai senjata sekunder.  Infanteri hypaspistai elit, yang terdiri dari pasukan berpangkat pezhetairoi, dibentuk pada masa kekuasaan Philip II dan tampaknya masih dipakai pada masa kekuasaan Alexander Agung. Philip II juga bertanggung jawab atas pendirian penjaga keamanan kerajaan (somatophylakes). 

Untuk pasukan misilnya yang lebih ringan, Philip II menempatkan pemanah Kreta serta pelempar javelin, slinger, dan pemanah Thracia, Paeonia, dan Illyria. Ia mengundang para teknisi seperti Polyidus dari Thessaly dan Diades dari Pella, yang mampu membangun mesin pengepungan dan artileri yang menembakkan busur raksasa besar. Setelah perebutan pertambangan di Krinides (berganti nama menjadi Filipi), perbendaharaan kerajaan menghimpun sebuah tentara pendirian profesional permanen. Meningkatnya pendapatan negara di bawah kekuasaan Philip II membolehkan pasukan Makedonia untuk membangun angkatan laut kecil untuk pertama kalinya, yang meliputi trireme. 

Satu-satunya unit kavaleri Makedonia yang dikerahkan di bawah kekuasaan Aleksander adalah kavaleri pengikut, sehingga ia membentuk sebuah hipparchia (unit beberapa ratus pasukan kuda) dari kavaleri pengikut yang secara keseluruhan terdiri dari orang Persia saat berkampanye di Asia. Saat mempawaikan pasukannya ke Asia, Aleksander membawa 1,800 pasukan kavaleri dari Makedonia, 1,800 pasukan kavaleri dari Thessaly, 600 pasukan kavaleri dari wilayah Yunani lainnya, dan 900 kavaleri prodromoi dari Thrace. Antipater dapat dengan cepat menghimpun pasukan 600 kavaleri Makedonia asli untuk bertarung dalam Perang Lamia saat perang tersebut dimulai pada 323 SM. Sebagian besar anggota elit dari hypaspistai pimpinan Aleksander diangkat menjadi agema, dan sebuah istilah baru untuk hypaspistai muncul setelah Pertempuran Gaugamela pada 331 SM: argyraspides (tameng perak).  Pasukan tersebut masih bertugas setelah masa pemerintahan Aleksander Agung dan berdarah Asia. Secara keseluruhan, infanteri phalanx bersenjatakan tombaknya bersjumlah sekitar 12,000 orang, 3,000 diantaranya adalah hypaspistai elit dan 9,000 diantaranya adalah pezhetairoi. Alexander masih memakai para pemanah Kreta dan mengenalkan para pemanah Makedonia asli ke dalam tentaranya. Setelah Pertempuran Gaugamela, para pemanah berlatar belakang Asia Barat dijadikan rakyat biasa. 


Tentara Makedonia masih berubah-ubah di bawah dinasti Antigonid. Tidak jelas bagaimana beberapa orang diangkat menjadi somatophylakes, yang berjumlah delapan orang pada akhir pada pemerintahan Alexander Agung, sementara hypaspistai tampaknya adalah asisten dari somatophylakes. Di Pertempuran Cynoscephalae pada 197 SM, pasukan Makedonia mengkomandani sekitar 16,000 pasukan tombak phalanx. Skuadron kerajaan Alexander dari kavaleri pengikut terdiri dari 800 orang, jumlah yang sama dengan pasukan kavaleri dalam skuadron keramat (Latin: sacra ala; Yunani: hiera ile) yang dikomandani oleh Philip V dari Makedon saat Perang Sosial pada 219 SM. Kavaleri Makedonia reguler berjumlah 3,000 di Callinicus, yang terpisah dari skuadron keramat dan kavaleri kerajaan. Dengan inskripsi-inskripsi kontemporer dari Amfipolis dan Greia masing-masing tertanggal 218 dan 181 SM, para sejarawan dapat menyaring informasi organisasi tentara Antigonid di bawah kekuasaan Philip V. 

Dari setidaknya zaman Antigonus III Doson, kebanyakan infanteri elit periode Antigonid adalah prajurit peltast, lebih ringan dan lebih bermanuver yang dipersenjatai dengan javelin peltai, pedang, dan tameng perunggu yang lebih kecil ketimbang pasukan tombak phalanx Makedonia, meskipun mereka terkadang bertugas dalam kapasitas tersebut. Diantara pada peltast, sekitar 2,000 orang terpilih untuk bertugas dalam pasukan elit agemam dengan peltast lainnya berjumlah sekitar 3,000. Jumlah peltast beragam sepanjang waktu, mungkin tak pernah lebih dari 5,000 orang. Mereka bertarung bersama dengan pasukan tombak phalanx, terbagi dalam resimen chalkaspides (tameng perunggu) dan leukaspides (tameng putih). 

Raja-raja Makedonia Antigonid masih melakukan ekspansi dan mempersenjatai angkatan laut. Cassander menghimpun sebuah armada kecil di Pydna, Demetrius I dari Makedon memiliki satu di Pella, dan Antigonus II Gonatas, saat bertugas sebagai jenderal untuk Demetrius di Yunani, memakai angkatan laut untuk mengamankan kekuasaan Makedonia di Demetrias, Chalkis, Piraeus, dan Korintus.  Angkatan laut tersebut dianggap melakukan ekspansi saat Perang Chremonidea (267–261 SM), membolehkan angkatan laut Makedonia untuk mengalahkan angkatan laut Mesir Ptolemaik di Pertempuran Cos tahun 255 SM dan Pertempuran Andros tahun 245 SM, dan membolehkan pengaruh Makedonia menyebar ke Cyclades. Antigonus III Doson memakai angkatan laut Makedonia untuk menginvasi Caria, sementara Philip V mengirim 200 kapal untuk bertarung dalam Pertempuran Chios pada 201 SM. Angkatan laut Makedonia dikurangi menjadi enam kapal sesuai yang disepakati dalam perjanjian perdamaian tahun 197 SM yang menimbulkan Perang Makedonia Kedua dengan Republik Romawi, meskipun Perseus dari Makedon dengan cepat menghimpun beberapa lemboi saat pecahnya Perang Makedonia Ketiga pada 171 SM. 

Bahasa dan dialek

Mengikuti adopsinya sebagai bahasa pemerintahan dari rezim Philip II dari Makedon, para pengarang Makedonia kuno menulis karya-karya mereka dalam bahasa Yunani Koine, lingua franca dari akhir Yunani Klasik dan Hellenistik. Bukti tektual langka mengindikasikan bahwa bahasa Makedonia asli adalah sebuah dialek bahasa Yunani yang mirip dengan bahasa Yunani Thessalia dan bahasa Yunani Barat Laut, atau sebuah bahasa yang sangat terkait dengan Yunani. Kebanyakan inskripsi yang masih ada dari Makedonia kuno ditulis dalam bahasa Yunani Attik dan penerusnya Koine. Yunani Attik (dan kemudian Koine) merupakan bahasa yang paling disukai tentara Makedonia kuno, meskipun diketahui bahwa Aleksander Agung sempat meneriakkan sebuah perintah darurat dalam bahasa Makedonia kepada para penjaga kerajaannya saat pesta minum-minum saat ia dibunuh Cleitus orang Hitam. Bahasa Makedonia menjadi bahasa punah pada zaman Hellenistik atau zaman Romawi, dan secara keseluruhan digantikan oleh bahasa Yunani Koine. 

Kepercayaan agama dan praktik pemakaman

Pada abad ke-5 SM, Makedonia dan Yunani menyembah kurang lebih dewa-dewa yang sama dari panteon Yunani. Di Makedonia, jabatan-jabatan politik dan agama seringkali bersinggungan. Contohnya, kepala negara untuk kota Amfipolis juga menjabat sebagai pendeta Asklepios, dewa pengobatan Yunani; sebuah aransemen serupa yang terjadi di Cassandreia, dimana seorang pendeta kultus menghormati pendiri kota tersebut Cassander menjadi pemimpin munisipal nominal. Kultus-kultus asing asal Mesir berkembang pada ranah pemerintahan kerajaan, seperti kuil Sarapis di Thessaloniki, sementara raja-raja Makedonia Philip III dari Makedon dan Aleksander IV dari Makedon membuat tawaran votiv kepada kompleks kuil Samothrace yang diperkirakan secara internasional berasal dari kultus misteri Cabeiri. Tempat pemujaan utama Zeus berada di Dion, sementara yang lainnya di Veria didedikasikan kepada Herakles dan dipatronkan oleh Demetrius II Aetolicus (m. 239–229 SM). 

Pada tiga makam kerajaan di Vergina, para pelukis profesional mendekorasikan dinding dengan adegan mitologi dari Hades menculik Persefon dan adegan perburuan kerajaan, sementara barang-barang makam yang diletakkan meliputi senjata, alat minum, dan barang pribadi yang ditempatkan bersama dengan jasadnya, yang tulang-tulangnya dibakar sebelum dikubur dalam peti-peti emas. Beberapa barang makam dan dekorasi merupakan hal umum di makam Makedonia lainnya, sehingga beberapa barang yang ditemukan di Vergina sangat berkaitan dengan kerajaan, yang meliputi sebuah diadem, barang mewah, dan persenjataan. Para sarjana mendebatkan tentang identitas makam yang ditemukan sejak penemuan jasad mereka pada 1977–1978,  dan pengujian riset dan forensik terkini menyatakan bahwa setidaknya satu orang yang dimakamkan adalah Philip II.  Berada di dekatnya, Makam 1 merupakan reruntuhan atas tanah dari sebuah heroon, sebuah kuil untuk penyembahan kultus terhadap orang mati. Pada 2014, Makam Kasta Makedonia kuno ditemukan di luar Amfipolis dan merupakan makam kuno terbesar yang ditemukan di Yunani (pada 2017). 

Ekonomi dan kelas sosial

Pria Makedonia muda biasanya disuruh untuk ikut serta dalam perburuan dan latihan bela diri sebagai produksi gaya hidup transhumansi mereka dari hewan ternak seperti kambing dan domba, disamping pengembangbiakan kuda dan membesarkan sapi adalah hal umum lainnya. Beberapa orang Makedonia melakukan pertanian, seringkali dengan irigasi, reklamasi lahan, dan kegiatan holtikultura yang didukung oleh negara Makedonia. Ekonomi Makedonia dan keuangan negara utamanya didukung oleh penebangan dan pertambangan mineral berharga seperti tembaga, besi, emas dan perak. Pengubahan bahan mentah menjadi produk jadi dan penjualan produk tersebut mendorong pertumbuhan pusat kota dan peralihan bertahap dari gaya hidup Makedonia rustik tradisional sepanjang abad ke-5 SM. 

Raja Makedonia adalah seorang figur otokrat di puncak pemerintahan dan masyarakat, dengan otoritas tak terbatas untuk menangani urusan negara dan kebijakan umum, namun ia juga menjadi pemimpin rezim paling pribadi dengan hubungan dekat dengan hetairoi-nya, inti aristokrasi Makedonia. Aristokrat tersebut adalah orang peringkat kedua hanya setelah raja dalam hal kekuasaan dan hak, memenuhi pangkat pemerintahannya dan menjabat sebagai perwira komando dalam militer. Ini berada dalam resim paling birokratik dari kerajaan-kerajaan Hellenistik yang menggantikan kekaisaran Aleksander Agung dimana mobilitas sosial yang lebih besar bagi para anggota masyarakat untuk bergabung dengan aristokrasi menjadi tampak, Makedonia dipandang kurang menyebarkan pemakaian budak yang terlihat di negara-negara Yunani kontemporer. 

Pada masa pemerintahan Archelaus I pada abad ke-5 SM, elit Makedonia kuno mengimpor adat istiadat dan tradisi artistik dari kawasan Yunani lain sesambil mempertahankan upacara pemakaman yang lebih arkaik, mungkin Homerik, yang berkaitan dengan simposium yang khas dengan barang-barang seperti krater metal dekoratif yang menyimpan abu-abu almarhum bangsawan Makedonia di makam-makam mereka. Salah satunya adalah Krater Derveni perunggu besar dari sebuah makam abad ke-4 SM dari Thessaloniki, didekorasi dengan adegan-adegan dari dewa Yunani Dionysus dan perjalanannya dan menjadi aristokrat yang berkarir militer. Pengerjaan metal Makedonia biasanya mengikuti gaya-gaya Athena dari bentuk-bentuk vas dari abad ke-6 SM dan seterusnya, dengan wadah minum, perhiasan, kontainer, mahkota, diadem, dan koin menjadi beberapa objek metal yang ditemukan di makam-makam Makedonia. 

Karya seni lukisan Makedonia yang masih ada meliputi fresko dan mural, selain juga dekorasi pada karya seni ukiran seperti patung dan relief. Contohnya, warna-warna yang masih ada pada relief bawah tanah dari Sarkofagus Aleksander akhir abad ke-4. Lukisan-lukisan Makedonia membolehkan para sejarawan untuk menyelidiki gaya-gaya berbusana serta busana militer yang dikenakan oleh bangsa Makedonia kuno.  Disamping pengerjaan metal dan lukisan, mozaik adalah bentuk signifikan lain dari karya seni Makedonia yang masih ada. Mozaik Perburuan Stag dari Pella, dengan gaya ilusionis dan kualitas tiga dimensionalnya, menampilkan pengaruh jelas dari karya seni lukisan dan tren seni rupa Hellenistik yang lebih besar, meskipun tema perburuan saling berkaitan dengan rasa-rasa Makedonia. Mozaik Perburuan Singa Pella serupa mengilustrasikan adegan Aleksander Agung dengan pengikutnya Kraterus, atau singkatnya sebuah ilustrasi konvensional dari peragaman perburuan kerajaan. Mozaik-mozaik dengan tema-tema mitologi meliputi adegan-adegan Dionisius mengunggangi seekor pantera dan Helen dari Troya diculik oleh Theseus, yang menampilkan kualitas ilusionis dan realistis yang mirip dengan lukisan-lukisan Makedonia. Tema-tema umum dari lukisan-lukisan dan mozaik-mozaik Makedonia meliputi perang, perburuan, dan seksualitas maskulin agresif (seperti menculik wanita untuk diperkosa atau dinikahi); subyek-subyek tersebut sepanjang waktu berpadu dalam sebuah karya tunggal dan mungkin mengindikasikan sebuah hubungan metafora. 

Teater, musik dan seni pertunjukan

Philip II dibunuh pada 336 SM di teater Aigai, Makedonia, yang mementaskan permainan dan kejutan yang merayakan pernikahan putrinya Cleopatra dari Makedon. Alexander Ahung dituduh menjadi laksamana besar dari teater dan musik tersebut. Ia secara khusus menghimpun drama-drama karya tragedian Athena Klasik Aeskilus, Sofokles, dan Euripides, yang karya-karyanya membentuk bagian dari sebuah pendidikan Yunani sebenarnya untuk subyek-subeyk timur barunya bersama dengan studi-studi dalam bahasa Yunani, termasuk epik-epik Homer. Saat ia dan pasukannya ditempatkan di Tyre (sekarang Lebanon), Alexander menempatkan para jenderalnya dengan bertindak sebagai para juri tak hanya untuk kontes-kontes atletis namun juga untuk pementasan panggung tragedi-tragedi Yunani. Para aktor terkenal kontemporer Thessalus dan Athenodorus tampil di acara tersebut. 

Musik juga diapresiasi di Makedonia. Selain agora, gimnasium, teater, dan biara keagamaan dan kuil didedikasikan kepada dewa dan dewi Yunani, salah satu pemasar utama dari sebuah kota Yunani sebenarnya di kekaisaran Aleksander Agung adalah keberadaan dari sebuah odeon untuk pementasan musikal. Ini adalah kasus tak hanya untuk Aleksandria di Mesir, namun juga kota-kota jauh seperti Ai-Khanoum yang sekarang terletak di Afghanistan. 

Sastra, pendidikan, filsafat, dan patron

Perdiccas II dari Makedon dapat mentuanrumahi para pengunjung intelektual Yunani klasik terkenal di istana kerajaannya, seperti penyair lirik Melanippides dan dokter medis terkenal Hippokrates, dan enkomion karya Pindar yang ditulis untuk Aleksander I dari Makedon dikomposisikan di istananya. Archelaus I meraih beberapa cendekiawan, seniman, dan selebriti Yunani yang lebih banyak ketimbang para pendahulunya. Para tamu kehormatannya meliputi pelukis Zeuxis, arsitek Kalimakus, para penyair Koerilus dari Samos, Timotius dari Miletus, dan Agaton, serta pengarang drama Athena terkenal Euripides.  Filsuf Aristoteles, yang belajar di Akademi Platonik, Athena dan mendirikan aliran pemikiran Aristotelian, pindah ke Makedonia, dan dikatakan membimbing Aleksander Agung, serta menjabat sebagai diplomat estimasi untuk Philip II. Salah satu sineman, penulis, dan filsuf yang menjalin hubungan dengan Aleksander adalah Pyrrho dari Elis, pendiri Pyrrhonisme, aliran skeptisisme filsafat. Pada periode Antigonid, Antigonos Gonatas memajukan hubungan kordial dengan Menedemos dari Eretria, pendiri aliran Eretria dari bidang filsafat, dan Zenon, pendiri Stoikisme. 

Dalam hal historiografi Yunani awal dan kemudian historiografi Romawi, Felix Jacoby mengidentifikasikan tiha belas sejarawan kuno yang mungkin menulis tentang Makedonia dalam Fragmente der griechischen Historiker. Disamping dari catatan-catatan Herodotus dan Thucydides, karya-karya yang dikompilasikan oleh Jacoby hanyalah fragmenter, karena karya-karya lainnya secara menyeluruh hilang, seperti sejarah perang Illyria yang dilakukan oleh Perdiccas III yang ditulis oleh Antipater.  Para sejarawan Makedonia Marsyas dari Pella dan Marsyas dari Filipi menulis sejarah Makedonia, raja Ptolemaik Ptolemy I Soter mengarang sejarah tentang Aleksander, dan Hieronymus dari Cardia menulis sejarah tentang para penerus kerajaan Aleksander. Setelah Kampanye Aleksander di India, perwira militer Makedonia Nearchus menulis sebuah karya perjalanannya dari mulut sungai Indus menuju Teluk Persia. Sejarawan Kraterus asal Makedonia menerbitkan sebuah klompilasi dari dekrit-dekrit yang dibuat oleh majelis populer demokrasi Athena, saat memasuki sekolah Aristoteles. Philip V dari Makedon memiliki manuskrip-manuskrip dari sejarah Philip II yang ditulis oleh Theopompus dikumpulkan oleh para cendekiawannya dan kemudian disalin. 

Olahraga dan waktu luang

Saat Aleksander I dari Makedonia membuat petisi untuk berkompetisi dalam balap lari dari Permainan Olimpiade kuno, para penyelenggara acara tersebut mula-mula menolak permintaannya, dengan alasan hanya orang-orang Yunani yang dapat ikut serta. Namun, Aleksander I membuat kesepakatan dari sebuah silsilah kerajaan Argead yang menunjukkan garis Argive Temenid kuno, sebuah tindakan yang secara mutlak membuat otoritas Hellanodikai Olimpiade dari darah Yunaninya dan layak untuk ikut serta. Pada akhir abad ke-5 SM, raja Makedonia Archelaus I dimahkotai dengan rangkaian zaitun di Olympia dan Delphi (di Permainan Pitia) atas kemenangan kontes balap kereta perang. Philip II dituduh meraih kemenangan Olimpiade dari kudanya (dalam balap kuda individual atau balap kereta perang) pada hari yang sama saat putranya Aleksander Agung lahir, pada 19 atau 20 Juli 356 SM. Selain kontes sastra, Aleksander AGung juga mengikuti kontes musik dan atletis di sepanjang kekaisarannya. 

Gaya makan dan masakan

Makedonia kuno hanya memproduksi sedikit makanan atau minuman murni yang sangat diapresiasi di tempat lain di dunia Yunani, yang meliputi eel dari Teluk Strimonia dan wine khusus yang diproduksi di Chalcidice. Pemakaian awal yang diketahui dari roti datar sebagai piringan untuk daging dibuat di Makedonia pada abad ke-3 SM, yang diyakini mempengaruhi roti trencher dari Eropa abad pertengahan.  Sapi dan kambing disantap, meskipun tak ada catatan keju gunung Makedonia dalam kesusastraan sampai Abad Pertengahan.  Pengarang drama komedi Menander menyatakan bahwa kebiasaan gaya makan Makedonia bersinggungan dengan masyarakat tingkat tinggi Athena; contohnya, pengenalan daging dalam hidangan penutup.  Bangsa Makedonia juga tampaknya memperkenalkan mattye pada masakan Athena, sebuah hidangan yang biasanya dibuat dari ayam atau daging yang diberi rempah-rempah, garam, dan saus lainnya yang disajikan saat menghidangkan wine. Hidangan tersebut dipandang buruk dan dikaitkan dengan kebejatan dan mabuk-mabukan dalam sebuah drama karya penyair komika Athena Aleksis tentang penurunan moral dari orang Athena pada zaman Demetrius I dari Makedon. 

Simposium di Makedonia dan sebagian besar wilayah Yunani adalah tempat makan besar bagi kaum bangsawan dan ningrat, sebuah tempat untuk makan, minum, melihat hiburan, dan terkadang diskusi filsafat.  Hetairoi, para anggota utama dari aristokrasi Makedonia, dikhususkan untuk menghadiri acara semacam itu dengan raja mereka. Mereka juga dikhususkan untuk menemaninya saat perburuan kerajaan untuk akuisisi daging permainan serta untuk olahraga. 

Identitas etnis

Terdapat beberapa ketidaksepakatan di kalangan pengarang kuno dan cendekiawan modern tentang identitas etnis dari bangsa Makedonia kuno. Ernst Badian menyatakan bahwa hampir seluruh rujukan yang masih ada berlawanan dan perbedaan antara orang Yunani dan Makedonia tertuang dalam pidato-pidato tertulis Arrian, yang hidup pada zaman Kekaisaran Romawi, saat catatan dari disparitas etnis antara orang Makedonia dan Yunani lainnya bersifat inkomprehensif. 

Hatzopoulos berpendapat bahwa tak ada perbedaan etnis sebenarnya antara orang Makedonia dan Yunani, hanya kekhasan politik yang masih berlanjut setelah pembuatan Liga Korintus pada tahun 337 SM (yang dipimpin oleh Makedonia melalui hegemon Philip II yang dipilih liga tersebut, saat ia bukanlah anggota liga itu sendiri). Para akademisi lainnya yang menyatakan bahwa perbedaan antara orang Makedonia dan Yunani lebih bersifat politik ketimbang diskrepasi etnis sebenarnya meliputi Michael B. Sakellariou,  Malcolm Errington, dan Craige B. Champion. 

Anson berpendapat bahwa beberapa pengarang Hellenik mengekspresikan kompleks atau bahkan hahasan ambigu dan berubah-ubah tentang identitas etnis yang ada dari orang Makedonia, yang dianggap oleh beberapa orang seperti Aristoteles dalam karyanya Politik sebagai orang barbar dan beberapa orang lainnya sebagai semi-Yunani atau Yunani seutuhnya. Roger D. Woodard menyatakan bahwa selain ketidakmenentuan pada zaman modern tentang klasifikasi sebenarnya dari bahasa Makedonia dan kaitannya dengan Yunani, para pengarang kuno juga menghadirkan gagasan berlawanan tentang orang Makedonia. Perbedaan etnis apapun antara orang Yunani dan Makedonia terpadu pada tahun 148 SM tak lama setelah Romawi menaklukkan Makedonia dan kemudian wilayah Yunani lainnya dengan kekalahan Liga Achaea oleh Republik Romawi di Pertempuran Korintus (146 SM). 

Teknologi dan teknik

Meskipun memakai campuran bentuk dan gaya berbeda dari wilayah Yunani lainnya, arsitektur Makedonia tak mewakili gaya unik atau beragam dari arsitektur Yunani kuno lainnya. Diantara tatanan klasik, para arsitek Makedonia menyukai tatanan Ionik, khususnya dalam halaman peristile dari rumah-rumah pribadi. Terdapat beberapa contoh yang masih ada, terutama di reruntuhan arsitektur palatial Makedonia, yang meliputi sebuah istana di situs ibukota Pella, kediaman musim panas Vergina dekat ibukota lama Aigeiai, dan kediaman kerajaan di Demetrias dekat Volos modern. Di Vergina, reruntuhan tiga balai makan besar dengan lantai berteras marmer (ditutupi dengan sayap genting atap) dengan dimensi-dimensi rencana lantai berukuran sekitar 16.7 x 17.6 m (54.8 x 57.7 kaki) diyakini menunjukkan contoh terawal dari pembangunan atas segitita monumental, jika tertanggal sebelum masa pemerintahan Antigonus II Gonatas atau bahkan permulaan periode Hellenistik. Arsitektur Makedonia pada masa berikutnya juga meliputi lengkungan dan vault.  Istana-istana Vergina dan Demetrias memiliki tembok yang terbuat dari bata, sementara istana Demetrias memiliki empat menara sudut di sekitaran halaman istana utama dalam rangka dijadikan kediaman berbenteng bagi raja atau setidaknya gubernur militer. 

Para penguasa Makedonia juga mensponsori pengerjaan arsitektur di luar Makedonia sebenarnya. Contohnya, setelah kemenangannya di Pertempuran Chaeronea (338 SM), Philip II menghimpun sebuah gedung peringatan melingkar di Olympia yang dikenal sebagai Philippeion, yang bagian dalam ruangannya didekorasi dengan patung-patung yang menggambarkannya, orangtuanya Amyntas III dari Makedon dan Eurydice I dari Makedon, istrinya Olympias,dan putranya Aleksander Agung. 

Reruntuhan dari sekitar dua puluh teater Yunani masih ada di kawasan Makedonia dan Thrace di Yunani pada masa sekarang: enam belas teater ruangan terbuka, tiga odea, dan sebuah bangunan yang diyakini teater di ekskavasi yang sedang berjalan di Veria. 

Teknologi militer dan teknik

Pada zaman Hellenistik, negara-negara Yunani menjadi lazim membiayai pembangunan dan proliferasi dari mesin pengepungan torsi, kapal angkatan laut, dan rancangan terstandarisasi untuk persenjataan. Di bawah kepemimpinan Philip II dan Aleksander Agung, penunjangan dibuat untuk artileri pengepungan seperti ballista tembak dan mesin-mesin pengepungan seperti menara pengepungan melingkar khusus.  E. W. Marsden dan M. Y. Treister menekankan bahwa penguasa Makedonia Antigonus I Monophthalmus dan penerusnya Demetrius I dari Makedon memiliki artileri pengepungan paling kuat dari dunia Hellenistik pada akhir abad ke-4 SM. Pengepungan di Salamis, Siprus, pada tahun 306 SM mengerahkan peluncuran mesin-mesin pengepungan besar dan pengerahan para pengrajin dari wilayah Asia Barat. Menara pengepungan dihimpun oleh Demetrius I untuk Pengepungan Rhodes (305–304 SM) oleh Makedonia dan mengerahkan lebih dari tiga ribu prajurit untuk membangun sampai ketinggian sembilan tingkat.  Ini memiliki pangkal selebar 4.300 square feet (399 square metres), delapan roda yang disetir langsung oleh orang-orang, tiga sisi yang ditutupi oleh plakat besi untuk melindunginya dari api, dan secara mekanikal membuka jendela-jendela (ditamengi dengan tirai kulit berselimutkan kayu untuk melembutkan ledakan dari putaran-putaran ballista) dari ukuran-ukuran berbeda untuk mengakomodasikan penembakan misil-misil dari panah sampai persenjataan yang berukuran lebih besar. 

Saat pengepungan Echinus oleh Philip V dari Makedon pada tahun 211 SM, pasukan pengepung membangun terowongan-terowongan bawah tanah untuk melindungi para prajurit dan sapper agar mereka dapat bolak balik dari kamp ke pengerjaan pengepungan. Ini meliputi dua menara pengepungan yang terhubung dengan sebuah tembok tirai anyaman yang disertai dengan ballista pelempar batu, dan tameng untuk melindungi pelantak tubruk. Disamping reputasi awal Makedon sebagai pemimpin dalam teknologi pengepungan, Aleksandria di Mesir Ptolemaik menjadi pusat penunjangan teknologi untuk ketapel tempur pada abad ke-3 SM, sesuai yang dibuktikan oleh tulisan-tulisan Filo dari Aleksandria. 

Inovasi lain

Meskipun tak semenguntungkan wilayah Yunani lainnya dalam hal inovasi teknologi, terdapat beberapa penemuan yang bermula di Makedonia dari mesin pengepungan dan artileri. Pres zaitun yang beroperasi rotari untuk membuat minyak zaitun ditemukan di Makedonia kuno ataubagian Yunani lainnya, atau bahjan wilayah paing timur Syam atau Anatolia. Kaca berpres lama mula-mula muncul di Makedonia pada abad ke-4 SM (meskipun ini serentak dipakai di Kekaisaran Achaemenid); Pecahan kaca transkulen bersh pertama yang diketahui dari dunia Yunani ditemukan di Makedonia dan Rhodes da tertanggal paruh kedua abad ke-4 SM. Kesusastraan saintifik dan teknikal Yunani dimulai di Athena Klask pada abad ke-5 SM, sementara pusat-pusat produksi besar untuk inovasi teknikal dan teks pada zaman Hellenistik adalah Aleksandria, Rhodes, dan Pergamon. 

Mata uang, keuangan, dan sumber daya

Pencetakan koin perak dimulai pada masa pemerintahan Aleksander I sebagai alat bayar untuk pengeluaran kerajaan. Archelaus I meningkatkan kadar perak dari koin-koinnya serta mencetak koin-koin perunggu untuk mempromosikan perdagangan dalam negeri dan luar negeri. Pencetakan koin secara signifikan meningkat pada masa pemerintahan Philip II dan Aleksander Agung, khususnya setelah peningkatan pendapatan negara setelah perebutan Perbukitan Pangaion. Pada zaman Hellenistik, wangsa-wangsa kerajaan Makedonia, Mesir Ptolemaik, dan Kerajaan Pergamon memegang kontrol monopolistik penuh atas kegiatan pencetakan, sebagian besar untuk mewujudkan pendanaan tentara mereka. Pada akhir penaklukan Aleksander Agung, hampir tiga puluh pencetakan tersebar dari Makedonia sampai Babilonia yang memproduksi koin-koin standar. Hak untuk mencetak koin dibagi oleh pemerintah pusat dan beberapa pemerintah lokal, seperti pemerintahan munisipal otonom Thessaloniki, Pella, dan Amphipolis dalam persemakmuran Makedonia. Bangsa Makedonia juga merupakan bangsa pertama yang mengeluarkan koin-koin berbeda untuk peredaran dalam dan luar negeri. 

Pendapatan negara juga dikembangkan oleh pengumpulan hasil panen dari lahan subur, kayu dari hutan, dan pajak pada impor dan ekspor di pelabuhan. Beberapa penambangan, grove, lahan pertanian dan hutan yang masuk negara Makedonia dieksplitasi oleh raja Makedonia, meskipun ikut seringkali disewa sebagai aset atau diberikan sebagai pemberian kepada para anggota ningrat seperti hetairoi dan philoi. Tarif dikenakan pada barang-barang yang melewati pelabuhan-pelabuhan Makedonia yang berdiri setidaknya dari masa pemerintahan Amyntas III, dan Kalistratus dari Aphidnae (wafat sekitar tahun 350 SM) membantu Perdiccas III dalam menggandakan laba tahunan kerajaan tersebut pada tugas adat dari 20 sampai 40 talenta. 

Setelah kekalahan Perseus di Pydna pada tahun 168 SM, Senat Romawi diperbolehkan kembali pembukaan pertambangan besi dan tembaga, namun dilarang penambangan emas dan perak oleh empat negara klien otonom yang baru berdiri yang menggantikan monarki tersebut di Makedonia. Hukumnya aslinya dihimpun oleh Senat tersebut karena kekhawatiran bahwa kekayaan matrial yang diraih dari operasi penambangan emas dan perak akan membolehkan rakyat Makedonia untuk mendanai pemberontakan bersenjata. Romawi mungkin juga menyoroti arus inflasi yang disebabkan oleh meningkatnya suplai uang dari penambangan perak Makedonia.  Makedonia masih mencetak koin perak antara tahun 167 dan 148 SM (tepat sebelum pendirian provinsi Makedonia Romawi), dan kemudian Romawi mengangkat larangan penambangan perak Makedonia pada tahun 158 SM yang secara sederhanan merefleksikan realitas lokal dari praktik ilisit ini yang berlanjut berkaitan dengan dekrit Senat. 

Warisan

Masa pemerintahan Philip II dan Aleksander Agung diiringi dengan akhir Yunani Klasik dan kelahiran perabadan Hellenistik, setelah penyebaran budaya Yunani ke Timur Dekat saat dan setelah penaklukan Aleksander. Bangsa Makedonia kemudian bermigrasi ke Mesir dan sebagian Asia, namun kolonisasi intensif terhadap wilayah-wilayah asing mengusap sumber daya manusia yang tersedia di Makedonia sebenarnya, menghadapkan kerajaan tersebut dalam pertikaiannya dengan kekuatan-kekuatan Hellenistik lainnya dan berkontribusi pada kejatuhannya dan penaklukan oleh Romawi. Namun, difusi budaya dan bahasa Yunani yang dipadatkan oleh penaklukan Aleksander di Asia Barat dan Afrika Utara dijadikan sebagai "pra-kondisi" bagi ekspansi Romawi pada masa berikutnya ke kawasan-kawasan tersebut dan basis keseluruhan bagi Kekaisaran Bizantium, menurut Errington. 

Para penguasa Ptolemaik beretnis Makedonia dan negara-negara penerus Seleukia menerima orang dari seluruh penjuru dunia Yunani sebagai pengikut hetairoi mereka dan tak memajukan identitas nasional seperti Antigonid. Pembelajaran modern berfokus pada bagaimana kerajaan-kerajaan penerus Hellenistik tersebut lebih dipengaruh oleh asal muasal Makedonia mereka ketimbang tradisi-tradisi Yunani timur atau selatan. Meskipun masyarakat Sparta sebagian besar masih insuler dan Athena masih menempatkan batasan-batasan ketat pada penyematan kewarganegaraan, kota-kota Hellenistik kosmopolitan dari Asia dan timur laut Afrika menyematkan kenangan yang lebih besar besar pada kota-kota Makedonia dan berisi perpaduan subyek yang meliputi orang asli, kolonis Yunani dan Makedonia, dan orang timur ter-Hellenisasi yang memakai bahasa Yunani, beberapa diantaranya adalah hasil perkawinan silang antara orang Yunani dan penduduk asli. 

Deifikasi para penguasa Makedonia diyakini dimulai saat kematian Philip II, namun merupakan putranya Aleksander Agung yang tanpa ragu diklaim menjadi dewa hidup. Setwlah ia berkunjung ke orakel Didyma pada tahun 334 SM yang menyatakan keilahiannya, Aleksander mengunjungi Orakel Zeus Ammon — kesetaraan Yunani dari dewa Mesir Amun-Ra  di Oasis Siwa, Gurun Libya pada 332 SM untuk mengkonfirmasikan status ilahinya. Meskipun kekaisaran-kekaisaran Ptolemaik dan Seleukia memegang pemujaan leluhur dan mendewakan para penguasa mereka, para raja tak disembah di Kerajaan Makedonia. Meskipun Zeus Ammon telah mengenal bangsa Yunani sebelum masa pemerintahan Aleksander, terutama di koloni Yunani Cyrene, Libya, Aleksander adalah penguasa Makedonia pertama yang mempatronisasi para imam dan dewa Mesir, Persia dan Babilonia, memperkuat perpaduan kepercayaan agama Timur Dekat dan Yunani. Setelah masa pemerintahannya, pemujaan Isis secara bertahap menyebar ke seluruh dunia Hellenistik dan Romawi, sementara kepercayaan terhadap dewa Mesir Sarapis di-Hellenisasi-kan oleh para penguasa Ptolemaik dari Mesir sebelum pemujaannya menyebar ke Makedonia dan kawasan Aegea. Sejarawan Jerman Johann Gustav Droysen berpendapat bahwa penaklukan Aleksander Agung dan pembentukan dunia Hellenistik membolehkan pertumbuhan dan pendirian Kekristenan pada era Romawi. 

No comments: