Penulisan Al Quran telah dimulai pada zaman Rasulullah ﷺ. Namun, Al-Quran lebih banyak dihapalkan dari pada ditulis karena kemampuan menghapal para Sahabat radhiyallahu 'anhum sangat kuat dan cepat, dan jumlah penghapal sangat banyak.
Di sisi lain, pada masa itu jumlah orang yang dapat membaca dan menulis sedikit, serta sarananya masih terbatas, yakni pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau tulang belikat unta.
Pada zaman Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu (573-634 Masehi) tahun dua belas Hijriah, banyak penghapal Al-Quran yang wafat terbunuh dalam beberapa peperangan. Maka Abu Bakar radhiyallahu 'anhu memerintahkan para sahabat untuk mengumpulkan Al-Quran agar tidak hilang.
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa Umar Ibn Khaththab radhiyallahu 'anhu mengemukakan gagasan untuk menulis Al-Quran kepada Abu Bakar radhiyallahu 'anhu setelah selesainya perang Yamamah (632 Masehi).
Namun Abu Bakar radhiyallahu 'anhu tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar radhiyallahu 'anhu terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah ﷻ membukakan pintu hati Abu Bakar radhiyallahu 'anhu.
Kemudian, beliau memanggil Zaid Ibn Tsabit radhiyallahu 'anhu guna mencari dan mengumpulkan naskah Al-Quran yang ditulis di atas pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hapalan para sahabat.
Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar radhiyallahu 'anhu hingga wafat, kemudian dipegang oleh Umar radhiyallahu 'anhu hingga wafat, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar radhiyallahu 'anha.
Seiring dengan penyebaran Islam ke luar wilayah Arab, pada zaman Khalifah Utsman Ibn Affan radhiyallahu 'anhu (577-656 Masehi) pada tahun dua puluh lima Hijriah, muncul perbedaan di antara kaum Muslimin dalam hal dialek bacaan Al-Quran. Perbedaan itu sesuai dengan mushaf-mushaf yang berada di tangan para Sahabat radhiyallahu 'anhum.
Perbedaan dialek itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, sehingga Utsman radhiyallahu 'anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf guna menyamakan bacaan Al-Quran.
Utsman memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa'id Ibnul Ash dan Abdurrahman Ibnul Harits Ibn Hisyam radhiyallahu 'anhum untuk menuliskan kembali naskah-naskah Al-Quran yang telah ada sebelumnya (dipegang oleh Hafshah) dan memperbanyaknya.
Zaid Ibn Tsabit berasal dari kaum Anshar sementara tiga orang yang lain berasal dari Quraisy.
Setelah menyelesaikan penulisan Al-Quran dalam dialek Quraisy (karena Al-Quran diturunkan dengan dialek tersebut), Utsman radhiyallahu 'anhu mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam.
Khalifah Utsman radhiyallahu 'anhu juga memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-Qur'an selainnya.
Kebijakan Utsman radhiyallahu 'anhu menjadikan mushaf Al-Quran tak berubah dari awal sampai sekarang, disepakati oleh seluruh kaum Muslimin serta diriwayatkan secara akuntabel menurut kaidah periwayatan dalam Islam.
Di sisi lain, pada masa itu jumlah orang yang dapat membaca dan menulis sedikit, serta sarananya masih terbatas, yakni pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau tulang belikat unta.
Pada zaman Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu (573-634 Masehi) tahun dua belas Hijriah, banyak penghapal Al-Quran yang wafat terbunuh dalam beberapa peperangan. Maka Abu Bakar radhiyallahu 'anhu memerintahkan para sahabat untuk mengumpulkan Al-Quran agar tidak hilang.
Sebuah riwayat menyebutkan bahwa Umar Ibn Khaththab radhiyallahu 'anhu mengemukakan gagasan untuk menulis Al-Quran kepada Abu Bakar radhiyallahu 'anhu setelah selesainya perang Yamamah (632 Masehi).
Namun Abu Bakar radhiyallahu 'anhu tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar radhiyallahu 'anhu terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah ﷻ membukakan pintu hati Abu Bakar radhiyallahu 'anhu.
Kemudian, beliau memanggil Zaid Ibn Tsabit radhiyallahu 'anhu guna mencari dan mengumpulkan naskah Al-Quran yang ditulis di atas pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hapalan para sahabat.
Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar radhiyallahu 'anhu hingga wafat, kemudian dipegang oleh Umar radhiyallahu 'anhu hingga wafat, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar radhiyallahu 'anha.
Seiring dengan penyebaran Islam ke luar wilayah Arab, pada zaman Khalifah Utsman Ibn Affan radhiyallahu 'anhu (577-656 Masehi) pada tahun dua puluh lima Hijriah, muncul perbedaan di antara kaum Muslimin dalam hal dialek bacaan Al-Quran. Perbedaan itu sesuai dengan mushaf-mushaf yang berada di tangan para Sahabat radhiyallahu 'anhum.
Perbedaan dialek itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, sehingga Utsman radhiyallahu 'anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf guna menyamakan bacaan Al-Quran.
Utsman memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa'id Ibnul Ash dan Abdurrahman Ibnul Harits Ibn Hisyam radhiyallahu 'anhum untuk menuliskan kembali naskah-naskah Al-Quran yang telah ada sebelumnya (dipegang oleh Hafshah) dan memperbanyaknya.
Zaid Ibn Tsabit berasal dari kaum Anshar sementara tiga orang yang lain berasal dari Quraisy.
Setelah menyelesaikan penulisan Al-Quran dalam dialek Quraisy (karena Al-Quran diturunkan dengan dialek tersebut), Utsman radhiyallahu 'anhu mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam.
Khalifah Utsman radhiyallahu 'anhu juga memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-Qur'an selainnya.
Kebijakan Utsman radhiyallahu 'anhu menjadikan mushaf Al-Quran tak berubah dari awal sampai sekarang, disepakati oleh seluruh kaum Muslimin serta diriwayatkan secara akuntabel menurut kaidah periwayatan dalam Islam.
No comments:
Post a Comment