Al-Malik Al-Adil Nuruddin Abul Qasim Mahmud bin 'Imaduddin Zengi (Februari 1118 – 15 Mei 1174), juga diketahui dengan nama Nur ad-Din, Nur al-Din, dan lain-lain (dalam bahasa Arab: نور الدين Nūruddīn) adalah anggota dari dinasti Zengi yang menguasai Suriah dari tahun 1146 sampai tahun 1174. Ia bercita-cita untuk menyatukan pasukan Muslim dari Efrat sampai Mesir. Ia juga memimpin pasukannya melawan berbagai macam pasukan lain termasuk tentara salib.
Kehidupan Awal
Ia dilahirkan pada hari Ahad 17 Syawwal 511 H yang bertepatan dengan bulan Februari tahun 1118 di mana ia adalah anak dari Zengi, seorang atabeg Aleppo dan Mosul.
Menjadi pemimpin
Nuruddin adalah anak kedua Imaduddin Zengi, atabeg Tripoli Aleppo dan Mosul, yang adalah musuh tentara salib. Setelah ayahnya dibunuh, Nuruddin dan kakaknya Saifuddin Ghazi I membagi kerajaan tersebut di antara mereka berdua, di mana Nuruddin menguasai Aleppo Narzebha menguasai Tripoli dan Saif ad-Din menguasai Mosul. Perbatasan antara kedua kerajaan baru dibentuk oleh sungai Khabur.
Melawan tentara salib
Segera setelah ia memimpin, Nuruddin menyerang Kerajaan Antiokhia, merebut beberapa istana di utara Suriah, di mana pada waktu yang sama ia menaklukan sebuah usaha oleh Joscelin II untuk mengembalikan Kerajaan Edessa yang telah dikuasai oleh Zengi tahun 1144. Nuruddin mengusir seluruh populasi Kristen di kota tersebut sebagai hukuman karena membantu Joscelin.
Nuruddin mencoba bersekutu dengan tetangga Muslimnya di Irak utara dan Suriah untuk memperkuat Muslim melawan musuh mereka di barat. Pada tahun 1147, ia menandatangani perjanjian bilateral dengan Mu'inuddin Unur, gubernur Damaskus, sebagai bagian persetujuan ini, ia menikahi anak perempuan Mu'inuddin. Mu'inuddin dan Nuruddin menyerang kota Bosra dan Sarkhand, di mana kota itu direbut oleh pengikut Mu'in ad-Din yang memberontak yang bernama Altuntash, tetapi Mu'inuddin selalu curiga dengan tujuan Nuruddin dan tidak mau mengganggu mantan sekutu tentara salibnya di Yerusalem, yang telah membantu mempertahankan Damaskus melawan Zengi. Untuk menenangkan Mu'in ad-Din, Nuruddin mengurangi dirinya di Damaskus dan berbalik menuju kerajaan Antiokhia, di mana ia dapat merebut Artah, Kafar Latha, Basarfut, dan Balat.
Pada tahun 1148, Perang Salib Kedua tiba di Suriah, dipimpin oleh Louis VII dan Conrad III. Mereka memutuskan untuk menyerang Damaskus. Mu'inuddin dengan rasa malas memanggil bantuan dari Nuruddin. Pengepungan Damaskus hanya terjadi selama 4 hari sebelum Nuruddin tiba.
Nuruddin mengambil kesempatan dari kegagalan tentara salib dengan mempersiapkan serangan lainnya atas Antiokhia. Pada tahun 1149, ia melancarkan serangan melawan teritori yang didominasi oleh istana Harim yang terletak di tepi timur Orontes, setelah di mana ia menyerang istana Inab. Pangeran Antiokhia, Raymond dari Poitiers, dengan cepat datang untuk membantu istana yang diserang. Pasukan Muslim menghancurkan tentara salib di Inab, di mana Raymond terbunuh. Kepala Raymond dikirim ke Nuruddin, yang mengirimnya ke khalifah di Baghdad. Ia selanjutnya merebut semua teritori Antiokhia di timur Orontes, di mana segera daerah tersebut jatuh ke tangan Kekaisaran Bizantium. Pada tahun 1150, ia menaklukan Joscelin II untuk terakhir kalinya, setelah bersekutu dengan sultan Rüm, Mas'ud (di mana anak perempuan Mas'ud juga dinikahi oleh Nuruddin). Joscelin meninggal di penjaranya di Aleppo tahun 1159. Pada tahun 1152 Nuruddin merebut Tortosa setelah dibunuhnya Raymond II dari Tripoli.
Menyatukan kesultanan
Nuruddin bercita-cita untuk menyatukan berbagai pasukan Muslim dari sungai Euphrates dan sungai Nil untuk membuat kesatuan front menghadapi tentara salib. Pada tahun 1149, Saifuddin Ghazi meninggal dunia, dan adik laki-lakinya, Qutbuddin, meneruskannya. Qutbuddin mengakui Nuruddin sebagai maharaja Mosul, sehingga kota Mosul dan Aleppo kemudian disatukan dibawah satu orang.
Setelah kegagalan Perang Salib Kedua, Mu'inuddin memperbaharui perjanjiannya dengan tentara salib, dan setelah kematiannya tahun 1149, penerusnya Mujiruddin mengikuti peraturan yang sama. Pada tahun 1150 dan tahun 1151, Nuruddin mencoba menyerang Damaskus, namun mundur dengan tidak meraih kesuksesan. Ketika Ascalon direbut oleh tentara salib tahun 1153, Mujiruddin melarang Nuruddin untuk melakukan perjalanan di teritorinya. Namun Mujiruddin adalah pemimpin yang tidak sekuat pemimpin sebelumnya, dan ia juga setuju untuk membayar upeti untuk tentara salib sebagai ganti atas perlindungan yang mereka berikan. Kelemahan Damaskus dibawah Mujiruddin membuat Nuruddin menurunkannya tahun 1154 dengan bantuan penduduk kota. Damaskus menjadi bagian teritori Zengid, dan seluruh Suriah disatukan dibawah kepemimpinan Nuruddin, dari Edessa di utara sampai Hauran di selatan. Ia berhati-hati dengan tidak menyerang Yerusalem, dan meneruskan mengirim upeti tahunan yang dilakukan oleh Mujiruddin.
Pada tahun 1157 Nuruddin menyerang Ksatra Rumah Sakit di benteng tentara salib di Banias dan memukul mundur mereka, tetapi ia jatuh sakit pada tahun itu dan tentara salib dapat beristirahat dari serangannya. Pada tahun 1159, kaisar Bizantium Manuel I Comnenus tiba untuk menegaskan kekuasaannya di Antiokhia, dan tentara salib berharap ia akan mengirim ekspedisi ke Aleppo. Namun, Nuruddin mengirim duta besarnya dan menegosiasikan persekutuan dengan kaisar melawan Seljuk. Nuruddin, bersama dengan Danishmend dari Anatolia timur menyerang sultan Seljuk Kilij Arslan II dari timur pada tahun berikutnya, ketika Manuel menyerang dari barat. Nantinya pada tahun 1160, Nuruddin menangkap pangeran Antiokhia, Raynald dari Chatillon setelah serangan di pegunungan Anti-taurus. Raynald tetap ditangkap selama 16 tahun. Pada tahun 1162, dengan Antiokhia dibawah kekuasaan Bizantium dan Negara-negara Tentara Salib di selatan tidak memiliki kekuatan untuk menyerang Suriah, Nuruddin naik haji ke Mekah.Ia juga mengunjungi kota Madinah. Segera setelah Nuruddin kembali, ia belajar dari raja yang telah meninggal Baldwin III dari Yerusalem, menahan diri untuk tidak menyerang secara langsung negara-negara tentara salib. William dari Tirus melaporkan bahwa Nuruddin pada saat itu mengatakan:
Karena tidak ada yang dapat dilakukan tentara salib di Suriah, mereka terpaksa beralih ke selatan sejauh mereka memang ingin memperluas kekuasaannya. Jatuhnya Ascalon pada tahun 1153 ke tangan Raja Baldwin III dari penguasaan Kekhalifahan Fatimiyah sudah berhasil sepenuhnya memutuskan jalur logistik Mesir dari Suriah. Sementara itu Mesir pun secara politik melemah karena diperintah barbagai khalifah fatimiyah yang masih sangat muda bahkan terkadang masih anak-anak atau remaja. Pada tahun 1163, khalifah Fatimiyah adalah al-Adid (memerintah 1160-1171) yang masih muda (14 tahun), tetapi pemerintahan dijalankan oleh wazir Shawar. Pada tahun itu, Shawar disingkirkan oleh Dirgham. Dirgham menawan 3 anaknya yang bernama Thayib, Sulaiman dan Khalil. Thayib dan Sulaiman dibunuh sedangkan Khalil dipenjara. Setelah itu, Raja Yerusalem, Amalric I memulai serangan terhadap Mesir, dengan dalih bahwa Fatimiyah tidak membayar upeti selama ini seperti yang telah mereka janjikan untuk dibayar selama pemerintahan Baldwin III. Penyerangan ini gagal dan ia terpaksa menarik kembali pasukannya ke Yerusalem, tetapi hal ini telah mendorong Nuruddin untuk mengawali kampanyenya melawan tentara salib di Suriah untuk mengalihkan perhatian mereka dari Mesir. Serangannya atas Tripoli tidak berhasil, tetapi ia dikunjungi oleh Shawar, sang wazir yang terusir dari kampung halamannya sendiri, yang memohon padanya untuk mengirim pasukan khusus untuk memulihkan kedudukannya sebagai wazir di Mesir dengan kompensasi akan memberikan sepertiga hasil bumi dari tanah Mesir kepada Nurudin. Pada mulanya, Nuruddin tidak mau membagi pasukannya untuk pertahanan Mesir, tetapi panglimanya sendiri yang berasal dari suku kurdi, Shirkuh, meyakinkan dia untuk menyerang Mesir pada tahun 1164. Sebagai balasan, Dirgham bersekutu dengan Amalric, tetapi sang raja tersebut tidak dapat menggerakkan pasukannya tepat waktu untuk menyelamatkannya. Dirgham terbunuh selama invasi Shirkuh dan kepalanya dipenggal dan dipamerkan keseluruh pelosok negeri. Shawar pun dipulihkan kembali sebagai wazir. Namun ia melanggar janjinya dan bersekongkol dengan khalifah Al Adhid meminta Shirkuh segera angkat kaki dari Mesir.
Permintaan tersebut tidak ditanggapi oleh Shirkuh, malahan ia berkeliling ke pelosok Mesir, menaklukan banyak wilayah di timur dan menghimpun kekayaan yang banyak.
Shawar kemudian bersekutu dengan Amalric, yang kemudian tiba dengan pasukan yang banyak untuk mengepung Shirkuh di Bilbeis. Shirkuh bertahan di benteng tersebut selama 8 bulan. Ia dalam keadaan aman dibentengnya itu. Kepergian pasukan salib ke Mesir itu, dimanfaatkan oleh Nurudin untuk menyerang wilayah-wilayah yang dikuasai kerajaan salib. Nuruddin menyerang Antiokhia dan mengepung istana Harenc meskipun saat itu Antiokia menjadi daerah protektorat Bizantium (ketika kejadian tersebut Manuel, Raja Bizantium berada di Balkan). Disana, Nuruddin mengalahkan pasukan gabungan Antiokhia dan Tripoli bahkan Bohemond III of Antioch dan Raymond III of Tripoli ditawan olehnya. Meskipun begitu ia tidak menyerang kota Antiokhia itu sendiri, kuatir tindakan balasan dari Bizantium. Sebagai gantinya ia mengepung dan merebut Banias (kota Banias berhasil direbut pada bulan Zulhizah 560 H/ Oktober 1165 M), dan selama 2 tahun berikutnya tetap melanjutkan menyerang perbatasan Negara-negara salib. Keberhasilan Nurudin Mahmud menembus jantung wilayah-wilayah dinasti salibiyah dan menawan raja-rajanya termasuk Bohemond III of Antioch, Raymond III of Tripoli dan Dauq dari Byzantium menyebabkan pasukan Salib yang sedang berjuang mengusir Shirkuh di Mesir benar-benar terpukul mundur. Raja Amaric mengajak Shirkuh berdamai dengannya. Asadudin Shirkuh menerima tawarannya dengan syarat Shawar bin Mujirudin membayar 60.000 dinar sebagai hukuman penghianatannya.
Selanjutnya Amalric pun terpaksa pulang ke Yerusalem sedangkan Shirkuh pulang ke Syria meninggalkan Mesir. Ternyata Shawar membuat perjanjian rahasia dengan Raja Amalric lagi yang mana isi perjanjian tersebut menyatakan bahwa Raja Almaic wajib membantu Shawar bila diganggu pihak lain. Perjanjian ini diketahui oleh Nurudin. Ia berpendapat bahwa adalah bijaksana kalau membebaskan Mesir dari penghianat seperti Shawar bin Mujirudin ini. Pada tahun 1166 Shirkuh dikirim kembali ke Mesir dengan pasukan yang mungkin terdiri dari 2.000 kavaleri. Pasukan ini menyebrangi sungai Nil dan berhenti di Giza (Jizah) untuk melakukan pengepungan pada Mesir selama dua bulan dengan pengepungan yang sangat ketat. Shawar pun meminta bantuan pasukan Salib. Pasukan salib yang dipimpin Amalric masuk ke Mesir dari arah Dimyath pada awal tahun 1167. Kedatangan mereka diketahui oleh Shirkuh yang kemudian ia dan pasukannya bertolak menuju Sha’id dan memungut pajak dari warganya. Dan perang pun dimulai, dan akhirnya dimenangkan oleh pasukan yang dipimpin Asaduddin Shirkuh.
Setelah berhasil mengalahkan pasukan Salib, Asadudin Shirkuh bergerak ke kota Alexandria dan menaklukannya. Ia mengangkat keponakannya, Shalahudin Yusuf sebagai gubernur provinsi Alexandria, sedang ia sendiri pulang ke Sha’id. Rupanya Shawar menyusun kekuatan baru dan bersekutu dengan pasukan Salib untuk mengepung kota Alexandria dan merebutnya dari tangan Shalahudin Yusuf. Shalahudin mempertahankan kota tersebut dengan gigih meskipun ia dan pasukannya mengalami kesulitan dan kekurangan stok makanan. Tidak lama kemudian Asadudin Shirkuh datang dari Sha’at memberi bala bantuan. Kedatangan pasukan Shirkuh ini diketahui Shawar dan iapun merasa takut kalau kedua pasukan itu bergabung mengalahkan pasukannya. Ia menawarkan perdamaian kepada Shalahudin dengan kompensasi menyerahkan uang senilai 50.000 dinar. Asadudin Shirkuh menerima tawaran yang ia nilai cukup besar ini. Lalu ia keluar dari kota Alexandria dan menyerahkan urusan kota Alexandria pada orang-orang mesir itu sendiri. Ia pun lalu kembali ke Syria. Sementara itu Shawar memperbaharui perjanjian dengan pasukan Salib dengan memberi tentara Prancis sebesar seratus ribu dinar agar mereka tetap bermarkas pusat di Mesir. Pasukan Salib menerima tawaran Shawar walaupun tanpa menerima pembayaran pun mereka dengan senang hati membantu. Dengan demikian Tentara salib menduduki Alexandria dan Kairo serta menjadikan Mesir sebagai negara pembayar upeti bagi negara dinasti salibiyah. Akan tetapi Amalric tidak dapat menguasai Mesir secara penuh, selama Nuruddin masih menguasai Suriah. Akhirnya ia pun terpaksa kembali ke Yerusalem, dan menjadi sangat kaget karena menyaksikan Nurudin telah menaklukan benteng daerah-daerah yang dikuasai dinasti salibiyah sebelumnya dan menawan banyak sekali wanita dan anak-anak mereka serta mendapat rampasan perang yang banyak seperti perhiasan dan harta mereka.
Pada tahun 1168 Amalric bersekutu dengan Kaisar Manuel dan menyerang Mesir sekali lagi. Ia menyiapkan pasukan besar dan melengkapinya dengan senjata yang komplet dari yang dimilikinya untuk meraih kemenangan. Dengan kekuatan tersebut mereka menyerang Mesir dan menguasai Bilbeis (Balbis) dan menjadikannya markas utama pasukannya. Dari Balbis mereka bertolak ke Kairo. Hal ini diketahui oleh Shawar dan ia menyadari bahwa hal ini di luar kontrolnya. Dan tidak sesuai dengan kesepakatan yang ia buat dengan Raja Yerusalem sebelumnya. Maka ia bakar kota Fustat (Shawar sebelumnya tinggal mendiami Fustat) dan menyuruh penduduknya hijrah ke Kairo. Api menyala dan kemungkinan hanya membakar tanaman-tanaman pangan selama 54 hari. (1168) Menurut suatu sumber yang tidak diketahui apakah dapat dipercaya, dinasti salibiyah banyak menawan kaum muslimin, menguasai negara dan menjarah kekayaannya serta mengancam Khalifah al Adhid. Ancaman pasukan Salib ini mungkin saja memaksa khalifah untuk memohon bantuan kepada Nurudin. Khalifah berjanji dan menyatakan siap memberikan semua pajak yang ia dapatkan di mesir kepada Sultan Nurudin Mahmud dan meminta Sultan mau tinggal bersamanya di Kairo guna melindungi Kairo dari serangan mereka. Selain itu ia berjanji memberikan tambahan pajak kepada militer Nurudin di luar sepertiga pajak yang ia janjikan.
Awal tahun 1169 Asadudin Shirkuh diutus ke Mesir dan mengalahkan pasukan Salib serta mengusir pasukan salib dan membunuh menteri penghianat, Shawar.
Bulan Rabiul Akhir (8 Januari 1169), Asadudin Shirkuh menemui Khalifah Al Adhid dan ia diangkat sebagai wazir untuk menggantikan Shawar. Khalifah melepaskan baju dinas Shawar dan memberikannya kepada Shirkuh. Setelah itu Shirkuh pulang ke kemahnya di Dzahirul Balad. Ternyata Khalifah Al Adhid tidak menepati janjinya kepada Sultan Nurudin. Sementara Shirkuh sepertinya tidak peduli dengan sikap khalifah itu. Ia mulai merealisir rencananya, mengangkat para gubernur, mengirim duta dan memungut pajak. Ia menjabat sebagai wazir selama 2 bulan 5 hari. Ia meninggal dunia tanggal 12 Jumadil Akhir 564 H (14 Maret 1169). Ia digantikan oleh keponakannya, Shalahudin Yusuf bin Ayub sebagai wazir Kekhalifahan Fatimiyah dan sang Khalifah memberinya gelar Al Malik An Nasir.
Mulanya Nurudin kurang begitu senang dengan pengangkatan Shirkuh dan Shalahudin sebagai Wazir khalifah Fattimiyah, karena dia tidak mempercayai kaum Shi’ah. Namun Shalahudin dengan kebijaksanaannya berhasil meyakinkan Nurudin akan loyalitasnya. Di bulan Oktober 1169, Raja Almuric dan Manuel menginvasi Mesir sekali lagi. Pasukan Salib mengepung kota Damietta (Dimyat) selama 50 hari tanpa kenal lelah dan membatasi ruang gerak penduduknya.
Katanya Salahudin mengirim surat kepada sultan Nurudin minta bantuan, dan Nurudin pun secepatnya mengirim pasukan untuk memperkuat pasukan Salahudin. Pengepungan yang dilakukan Salibiyah terhadap kota Damietta ini dimanfaatkan oleh Nurudin untuk menyerang negara-negara salib tersebut dengan kekuatan besar. Ia tembus daerah-daerah kekuasaan mereka dan mendapatkan harta rampasan perang yang banyak, membunuh dan menawan banyak sekali wanita dan anak-anak mereka.
Berita penyerangan yang dilakukan oleh Sultan Nurudin itu didengar oleh Pasukan salib yang mengepung kota Damietta. Mereka pun terpaksa menarik mundur pasukan dan menghentikan pengepungan. Mendengar hal ini, Nurudin Mahmud senang sekali. Pada tahun 1171, Nurudin memerintahkan kepada Salahudin untuk mendoakan khalifah Abasiyah di Khutbah Sholat Jum’at menggantikan Khalifah Fatimiyah. Mulanya Salahudin tidak setuju takut akan ada pembrontakan masyarakat di Mesir. Namun salah seorang pengikutnya yang bernama Al Amir Al Amin meyakinkannya untuk menjalankan perintah Sultan Nurudin. Jum’at pertama bulan Muharam 567H
(September 1171), Al Amir Al Amin naik mimbar Jum’at mendahului khatib resmi kemudian berdoa untuk Khalifah Abbasiah, Al Mustanjid Billah, dan ternyata tidak satu pun yang menentangnya. Dan pada hari jum’at kedua Salahudin memerintahkan seluruh khatib Jumat untuk menghentikan doanya bagi khalifah Fatimiyah, al Adid dan menambah Khalifah Abasiyah, Al Mustanjid Billah dalam daftar doanya. Shalahudin juga memecat seluruh hakim pengadilan Mesir karena mereka berasal dari aliran Syi’ah, dan menggantinya dengan hakim pengadilan yang baru dari kalangan Sunni bermazhab Syafi’i.
Dilain pihak, Khalifah Al Adid jatuh sakit dan akhirnya wafat pada tgl 10 Muharam 567 H (14 September 1171 M), dengan demikian berakhirlah Kekhalifahan Fatimiyah.
Kematian
Selama waktu-waktu tersebut, Nurudin sibuk dengan urusan di wilayah utara negaranya, melawan dinasti artoqids, dan pada tahun 1170 ia harus menyelesaikan persengketaan di antara keponakannya ketika Qutbudin wafat. Setelah menaklukan Mesir, Nurudin meyakini bahwa ia telah mencapai tujuannya mempersatukan Negara-negara Muslim, namun terjadi keretakan hubungan antara Nurudin dan Salahudin yang dipicu oleh kesalapahaman di antara kedua pemimpin tersebut. Waktu itu Nurudin bermaksud mengepung kota Al Kurk. Ia menyurati Salahudin untuk mengirimkan pasukan ketempat yang disepakati. Salahudin pun berangkat dengan pasukannya menuju tempat tersebut. Selang beberapa hari Salahudin menyadari akan kemungkinan adanya bahaya bila Mesir ia tinggalkan. Maka ia mengirim surat kepada Sultan Nurudin tentang hal itu, dan minta maaf atas ketidakhadirannya. Salahudin pun kembali ke Mesir. Hal ini menerbitkan rasa amarah Sultan Nurudin. Ia bermaksud menyerang Mesir untuk menundukan Salahudin. Salahudin pun menggelar rapat yang dihadiri para amir di wilayah tersebut untuk membahas hal ini. Atas nasihat ayahnya, Najmudin, Salahudin menyurati Sultan Nurudin yang menyatakan ketundukannya. Nurudin pun puas dalam hal ini dan membatalkan penyerangannya. Tercatat Salahudin tidak ikut serta dalam beberapa serangan yang dipimpin Nurudin dalam melawan Yerusalem pada tahun 1171 dan 1173.
Di Tahun 1174, ketika Nurudin sedang dalam ambang saat-saat penyerangan ke Mesir karena absennya Salahudin dalam penyerangan pada tahun 1173( Saat itu Shalahudin menarik mundur pasukannya ketika mendapat kabar berita bahwa ayahnya telah meninggal dunia), Ia terkena demam karena komplikasi peritonsillar abscess, dan wafat di usianya yang ke 59. Putranya yang masih muda As-Salih Ismail al-Malik menjadi penggantinya. Shalahuddin mengirim utusan kepada As-Salih Ismail al-Malik dan menawarkan jasa bakti dan ketaatannya. Shalahuddin bahkan melanjutkan untuk menyebutkan nama sultan muda tersebut dalam khotbah-khotbahnya pada hari Jumat dan mata uangnya.
Peninggalan
Nuruddin katanya mendirikan universitas dan masjid di seluruh perkotaan yang ia kuasai. Universitas-universitas tersebut penting bagi pengajaran Quran dan Hadits. Nuruddin sendiri menikmati untuk memiliki para ahli spesialis yang membacakannya dari Hadith, dan profesornya memberinya gelar diploma dalam narasi Hadits. Ia juga mendirikan rumah sakit gratis dikotanya, dan mendirikan karavanserai di jalan untuk semua penjelajah dan peziarah. Pada dunia Muslim ia mungkin telah menjadi tokoh legenda dalam hal keberanian militer, kesalehan, dan kekuatan.
Ibnu Al Kastir mendeskrip-sikan Nurudin Mahmud dengan berkata: ‘Seluruh yang saya baca tentang raja, baik pada masa periode pra Islam dan pada masa Islam hingga sekarang, saya tidak pernah melihat seorang raja yang lebih adil dan baik kepada bawahannya setelah Khulafa Arrasyidin dan Umar bin Abdul Aziz yang punya sejarah baik dari Nuruddin, raja yang adil. Ia merupakan sosok yang pintar, cerdas dan sangat jeli akan situasi zaman itu. Ia tidak pernah menghargai seseorang karena status sosial dan hartanya. Ia hanya menghargai orang-orang yang jujur dan bekerja keras.’
Ia juga terkenal karena ketakwaannya dan ke-wara-annya (kecintaannya kepada Allah). Ia sangat berkemauan keras untuk menunaikan semua ibadah salat dan merayakan perayaan-perayaan Islam. Ia melakukan salat Isya dan bangun di tengah malam untuk salat malam hingga terbit fajar. Ia juga banyak berpuasa.
Nuruddin juga berkarakteristik punya kefakihan dan ilmu yang luas, maka ia seperti ulama dan bersuritauladan kepada sejarah para ulama salafusshaleh. Ia merupakan pengikut mazhab Hanafi dan mendapatkan izin untuk meriwayatkan hadits-hadits. Ia mengarang buku tentang konsep jihad, punya tabiat yang punya kemauan tinggi, sebagaimana ia juga dikaruniahi kepribadian dan kharisma yang kuat. Ia sangat ditakuti tetapi lembut dan penyayang. Dan dalam majelisnya tidak dibicarakan hal-hal kecuali ilmu, agama dan kemungkinan juga tentang jihad. Dan menurut sumber yang tidak diketahui belum pernah didengar darinya ucapan kalimat keji sama sekali dalam kondisi marah atau ceria. Ia benar-benar seorang pendiam.
Ia adalah seorang zuhud dan merendah diri (mutawaadhi). Konsumsi orang paling miskin pada zaman itu masih lebih tinggi dari konsumsi yang ia makan setiap hari tanpa simpanan dan tidak pula menentukan urusan dunia untuk dirinya sendiri. Dan ketika isterinya mengeluh kepadanya akan beratnya penderitaan dan kesusahan hidup yang dikondisikan oleh suaminya, Mahmud memberinya tiga toko pribadi di kota Homs dan berkata: “Itu semua yang aku miliki. Dan jangan berharap kepadaku untuk meletakkan jariku pada uang umat yang diamanatkan kepadaku, saya tidak akan mengkhianatinya. Dan saya tidak mau menceburkan diri dalam siksa Allah hanya karenamu.”
Nuruddin juga mendirikan universitas dan masjid di seluruh kota yang pernah ia kuasai. Universitas-universitas tersebut berkonsentrasi dalam bagi pengajaran Quran dan Hadits. Nuruddin sendiri menyukai mendengar Hadist dari Ulama Hadist yang membacakannya Hadits, dan ahli hadist memberinya ijazah untuk meriwayatkan Hadits. Ia juga mendirikan rumah sakit gratis dikotanya, dan mendirikan karavanserai di jalan untuk penjelajah dan peziarah. Di dunia Muslim ia menjadi figur legendaris dalam keberanian militer, kesalehan, dan kesopanan. Suatu hari, seorang Faqih yang bernama Qutbuddin Annisaburi berkata kepadanya: “Saya mohon kepadamu untuk tidak menghancurkan dirimu dan Islam. Kalau seandainya kamu terserang di tengah pertempuran maka tidak akan ada umat ini yang tersisa, semuanya terbunuh”. Maka ia menjawab: “Wahai Qutbuddin!! Siapa yang terpuji sehingga disanjung seperti ini? Sebelum saya ada yang memelihara negara dan Islam? Itu Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya”.
Ia punya komitmen yang tinggi untuk mewujudkan seluruh ajaran Islam. Ia menjadi teladan yang baik bagi para petinggi negara dan pimpinannya dalam berkomitmen kepada hukum yang ada. Sebagaimana ia juga berupaya keras untuk dapat mengembalikan hak-hak yang terampas kepada mereka yang teraniaya. Dan berkata: “Tidak boleh (haram) bagi orang yang bersahabat denganku untuk tidak menyampaikan kisah orang yang teraniaya yang tidak sampai kepada ku.” Dalam derap langkahnya mempersatukan negara-negara Islam, ia sangat menjaga komitmen untuk tidak menyebabkan adanya pertumpahan darah muslim. Maka dari itu ia sangat penyabar dan memiliki bijaksana. Nuruddin (rahimarullah) sangat komit dengan syariah dan melaksanakan hukum-hukumnya.
Kendati keterpaksaan yang mendorongnya untuk berhadapan dengan para pemimpin kota dan benteng muslim dalam upayanya untuk mewujudkan persatuan melaui aliansi dengan bangsa Eropa, namun darah seorang muslim baginya sangatlah berharga sekali meskipun ia tetap merebut wilayah muslim jika memang terpaksa dilakukan. Baik itu untuk dapat dipergunakan dalam pertempuran dengan kaum Salibiyah atau karena khawatir akan ancaman yang mungkin datang dari mereka. Dan ketika penguasa Damaskus beraliansi dengan Salibiyah pada tahun 544 H (1150 M), ia bertempur dengan mereka tanpa sedikitpun mencederai orang muslim dan melenyapkan nyawa mereka. Sebagaimana ia berkata: “Tidak ada perlunya bagi orang Islam untuk saling memerangi dan saya berusaha untuk menyenangkan mereka agar mereka tidak sungkan untuk berjihad melawan orang-orang musyrik”. Ia telah menyaksikan bahwa Damaskus telah mengharamkannya hingga ia berangan-angan dan berdoa kepada Allah agar ia menjadi bagian dari kerajaannya.
Dan ketika salah satu dari mereka (orang Damaskus) mengadukan persoalan kepada hakim, maka ia dipanggil dan berkata: “Dengan segala ketaatan Sesungguhnya perkataan orang mukmin kalau berdoa kepada Allah dan Rasulul-Nya untuk menentukan keputusan di antara mereka harus mengatakan kami mendengar dan mentaati. Sesungguhnya saya datang ke sini karena menjalankankah perintah syariah”. Pada kesempatan lain ia dipanggil oleh para hakim maka ia datang. Dan ketika terbukti bahwa kebenaran berpihak kepada Nuruddin, lawannya diganjari apa yang dituduhkan kepadanya.
Ia juga telah menghapuskan pajak-pajak yang melampaui batas syariah, walau itu adalah sumber aliran pendapatan yang besar bagi anggaran negara dan hal itu mungkin untuk disahkan menurut sebagian orang dengan kondisi negara yang serba sulit dan perang yang ada. Ia berkata: “Kita menjaga jalan dari maling dan perompak, tidakkah kita berusaha untuk memelihara agama dan mencegah apa yang merusaknya”. Dan sesuatu yang paling ia sukai adalah kalimat kebenaran yang ia dengar atau ajakan kepada sunnah yang diikutinya.
Ia menghidupkan perilaku untuk menghormati para ulama dan menghargai mereka, kendati para pemimpin dan petinggi tidak berani untuk duduk dalam suatu pertemuan tanpa perintah dan izinnya. Maka apabila ia kedatangan seorang faqih dan shaleh, ia berdiri terlebih dahulu dan mempersilahkan orang tersebut untuk duduk. Dan ia juga memperlihatkan penghormatan dan penghargaan kepadanya. Menurutnya para ulama adalah: “Tentara Allah dan dengan doa mereka kepada Allah kita akan dimenangkan melawan musuh. Dan mereka punya hak yang berlipat ganda di bait al maal yang tidak saya berikan, kalau mereka rela dengan apa yang kita lakukan atas sebagian hak mereka, maka itu adalah pemberian bagi kita”. Ia senang mendengarkan nasihat para ulama dan mengagungkannya dan berkata: “Sesungguhnya Al Balkhi bila berkata kepada ku: Mahmud, maka merindinglah seluruh bulu roma di badanku karena wibawanya dan membuat hatiku menjadi lebih halus”.
Nuruddin memperhatikan kondisi umat Islam dan menghidupkan makna-makna kebersamaan, kerjasama dan solidaritas antara sesama serta meringankan penderitaan dan kondisi sulit mereka. Ia telah bekerja untuk menyantuni para anak yatim, mengawinkan para janda, memenuhi kebutuhan anak fakir, mendirikan rumah-rumah sakit, tempat pengungsi, panti asuhan, pasar-pasar, tempat buang air besar (WC) umum, jalan-jalan umum dan memberikan orang-orang badui tempat tinggal agar mereka tidak mengganggu para jemaah haji. Pelayanan-pelayanan yang diberikan kepada umatnya terus meningkat, maka ada yang mengabarkan bahwa ia sangat dicintai rakyat dan relasinya dengan mereka menjadi kuat dan solid…jiwa konstruktif dan cinta kebajikan terus mengalir menembus dinding jiwa para bawahannya sehingga membuat mereka juga ikut berlomba melayani rakyat, membangun sekolah, rumah sakit, tempat pengungsi dan media-media pelayanan lainnya.
Nuruddin mengatur kantor pemberian zakat, mengkoordinasikan pengumpulan dan pembagiannya sesuai dengan dasar-dasar syariah. Ia juga mendorong para konglomerat untuk mengamankan infrastruktur perhubungan dan menghapuskan pajak yang terlalu membebani roda pergerakan bisnis. Ia terus menerus mengerjakan apa saja yang memungkinkan untuk memperkuat negara yang telah ia bangun dan mendorong laju pembangunan ekonominya. Nuruddin benar-benar berjuang dengan segala upaya untuk dapat merealisir persatuan Islam dengan segala kesabaran, bijaksana dan ketegaran serta dengan determinasi untuk tidak menyebabkan tumpahnya darah umat. Ia berupaya untuk dapat menarik simpati dan dukungan dari berbagai kekuatan Islam di wilayah utara Iraq dan memancing solidaritas mereka. Dan ia kemungkinan membeberkan hakikat para penguasa dan pemimpin yang menjadi batu sandungan bagi persatuan Islam di depan mata rakyatnya, mereka turut membedakan antara jihad yang ia galang dan kehinaan penguasa mereka sendiri, antara reformasinya yang dilakukannya dan kerusakan penguasa, antara loyalitasnya kepada Allah, Rasul dan orang mukmin dan loyalitas kepada penguasa, maslahat, hawa nafsu mereka dan orang-orang Salibiyah. Maka rakyatnya mungkin saja berangan-angan agar ia dapat memerintah mereka. Maka dari itu juga ia mendapat legitimasi yang luas di saat wilayah mereka sendiri bergabung dengannya pada waktunya kelak.
Kehidupan Awal
Ia dilahirkan pada hari Ahad 17 Syawwal 511 H yang bertepatan dengan bulan Februari tahun 1118 di mana ia adalah anak dari Zengi, seorang atabeg Aleppo dan Mosul.
Menjadi pemimpin
Nuruddin adalah anak kedua Imaduddin Zengi, atabeg Tripoli Aleppo dan Mosul, yang adalah musuh tentara salib. Setelah ayahnya dibunuh, Nuruddin dan kakaknya Saifuddin Ghazi I membagi kerajaan tersebut di antara mereka berdua, di mana Nuruddin menguasai Aleppo Narzebha menguasai Tripoli dan Saif ad-Din menguasai Mosul. Perbatasan antara kedua kerajaan baru dibentuk oleh sungai Khabur.
Melawan tentara salib
Segera setelah ia memimpin, Nuruddin menyerang Kerajaan Antiokhia, merebut beberapa istana di utara Suriah, di mana pada waktu yang sama ia menaklukan sebuah usaha oleh Joscelin II untuk mengembalikan Kerajaan Edessa yang telah dikuasai oleh Zengi tahun 1144. Nuruddin mengusir seluruh populasi Kristen di kota tersebut sebagai hukuman karena membantu Joscelin.
Nuruddin mencoba bersekutu dengan tetangga Muslimnya di Irak utara dan Suriah untuk memperkuat Muslim melawan musuh mereka di barat. Pada tahun 1147, ia menandatangani perjanjian bilateral dengan Mu'inuddin Unur, gubernur Damaskus, sebagai bagian persetujuan ini, ia menikahi anak perempuan Mu'inuddin. Mu'inuddin dan Nuruddin menyerang kota Bosra dan Sarkhand, di mana kota itu direbut oleh pengikut Mu'in ad-Din yang memberontak yang bernama Altuntash, tetapi Mu'inuddin selalu curiga dengan tujuan Nuruddin dan tidak mau mengganggu mantan sekutu tentara salibnya di Yerusalem, yang telah membantu mempertahankan Damaskus melawan Zengi. Untuk menenangkan Mu'in ad-Din, Nuruddin mengurangi dirinya di Damaskus dan berbalik menuju kerajaan Antiokhia, di mana ia dapat merebut Artah, Kafar Latha, Basarfut, dan Balat.
Pada tahun 1148, Perang Salib Kedua tiba di Suriah, dipimpin oleh Louis VII dan Conrad III. Mereka memutuskan untuk menyerang Damaskus. Mu'inuddin dengan rasa malas memanggil bantuan dari Nuruddin. Pengepungan Damaskus hanya terjadi selama 4 hari sebelum Nuruddin tiba.
Nuruddin mengambil kesempatan dari kegagalan tentara salib dengan mempersiapkan serangan lainnya atas Antiokhia. Pada tahun 1149, ia melancarkan serangan melawan teritori yang didominasi oleh istana Harim yang terletak di tepi timur Orontes, setelah di mana ia menyerang istana Inab. Pangeran Antiokhia, Raymond dari Poitiers, dengan cepat datang untuk membantu istana yang diserang. Pasukan Muslim menghancurkan tentara salib di Inab, di mana Raymond terbunuh. Kepala Raymond dikirim ke Nuruddin, yang mengirimnya ke khalifah di Baghdad. Ia selanjutnya merebut semua teritori Antiokhia di timur Orontes, di mana segera daerah tersebut jatuh ke tangan Kekaisaran Bizantium. Pada tahun 1150, ia menaklukan Joscelin II untuk terakhir kalinya, setelah bersekutu dengan sultan Rüm, Mas'ud (di mana anak perempuan Mas'ud juga dinikahi oleh Nuruddin). Joscelin meninggal di penjaranya di Aleppo tahun 1159. Pada tahun 1152 Nuruddin merebut Tortosa setelah dibunuhnya Raymond II dari Tripoli.
Menyatukan kesultanan
Nuruddin bercita-cita untuk menyatukan berbagai pasukan Muslim dari sungai Euphrates dan sungai Nil untuk membuat kesatuan front menghadapi tentara salib. Pada tahun 1149, Saifuddin Ghazi meninggal dunia, dan adik laki-lakinya, Qutbuddin, meneruskannya. Qutbuddin mengakui Nuruddin sebagai maharaja Mosul, sehingga kota Mosul dan Aleppo kemudian disatukan dibawah satu orang.
Setelah kegagalan Perang Salib Kedua, Mu'inuddin memperbaharui perjanjiannya dengan tentara salib, dan setelah kematiannya tahun 1149, penerusnya Mujiruddin mengikuti peraturan yang sama. Pada tahun 1150 dan tahun 1151, Nuruddin mencoba menyerang Damaskus, namun mundur dengan tidak meraih kesuksesan. Ketika Ascalon direbut oleh tentara salib tahun 1153, Mujiruddin melarang Nuruddin untuk melakukan perjalanan di teritorinya. Namun Mujiruddin adalah pemimpin yang tidak sekuat pemimpin sebelumnya, dan ia juga setuju untuk membayar upeti untuk tentara salib sebagai ganti atas perlindungan yang mereka berikan. Kelemahan Damaskus dibawah Mujiruddin membuat Nuruddin menurunkannya tahun 1154 dengan bantuan penduduk kota. Damaskus menjadi bagian teritori Zengid, dan seluruh Suriah disatukan dibawah kepemimpinan Nuruddin, dari Edessa di utara sampai Hauran di selatan. Ia berhati-hati dengan tidak menyerang Yerusalem, dan meneruskan mengirim upeti tahunan yang dilakukan oleh Mujiruddin.
Pada tahun 1157 Nuruddin menyerang Ksatra Rumah Sakit di benteng tentara salib di Banias dan memukul mundur mereka, tetapi ia jatuh sakit pada tahun itu dan tentara salib dapat beristirahat dari serangannya. Pada tahun 1159, kaisar Bizantium Manuel I Comnenus tiba untuk menegaskan kekuasaannya di Antiokhia, dan tentara salib berharap ia akan mengirim ekspedisi ke Aleppo. Namun, Nuruddin mengirim duta besarnya dan menegosiasikan persekutuan dengan kaisar melawan Seljuk. Nuruddin, bersama dengan Danishmend dari Anatolia timur menyerang sultan Seljuk Kilij Arslan II dari timur pada tahun berikutnya, ketika Manuel menyerang dari barat. Nantinya pada tahun 1160, Nuruddin menangkap pangeran Antiokhia, Raynald dari Chatillon setelah serangan di pegunungan Anti-taurus. Raynald tetap ditangkap selama 16 tahun. Pada tahun 1162, dengan Antiokhia dibawah kekuasaan Bizantium dan Negara-negara Tentara Salib di selatan tidak memiliki kekuatan untuk menyerang Suriah, Nuruddin naik haji ke Mekah.Ia juga mengunjungi kota Madinah. Segera setelah Nuruddin kembali, ia belajar dari raja yang telah meninggal Baldwin III dari Yerusalem, menahan diri untuk tidak menyerang secara langsung negara-negara tentara salib. William dari Tirus melaporkan bahwa Nuruddin pada saat itu mengatakan:
Kita harus bersimpati dengan kesedihan mereka dan karena kasihan ampuni mereka, karena mereka telah kehilangan seorang pangeran serupa dengan sisa dari dunia tidak dimiliki hari ini.Permasalahan Mesir
Karena tidak ada yang dapat dilakukan tentara salib di Suriah, mereka terpaksa beralih ke selatan sejauh mereka memang ingin memperluas kekuasaannya. Jatuhnya Ascalon pada tahun 1153 ke tangan Raja Baldwin III dari penguasaan Kekhalifahan Fatimiyah sudah berhasil sepenuhnya memutuskan jalur logistik Mesir dari Suriah. Sementara itu Mesir pun secara politik melemah karena diperintah barbagai khalifah fatimiyah yang masih sangat muda bahkan terkadang masih anak-anak atau remaja. Pada tahun 1163, khalifah Fatimiyah adalah al-Adid (memerintah 1160-1171) yang masih muda (14 tahun), tetapi pemerintahan dijalankan oleh wazir Shawar. Pada tahun itu, Shawar disingkirkan oleh Dirgham. Dirgham menawan 3 anaknya yang bernama Thayib, Sulaiman dan Khalil. Thayib dan Sulaiman dibunuh sedangkan Khalil dipenjara. Setelah itu, Raja Yerusalem, Amalric I memulai serangan terhadap Mesir, dengan dalih bahwa Fatimiyah tidak membayar upeti selama ini seperti yang telah mereka janjikan untuk dibayar selama pemerintahan Baldwin III. Penyerangan ini gagal dan ia terpaksa menarik kembali pasukannya ke Yerusalem, tetapi hal ini telah mendorong Nuruddin untuk mengawali kampanyenya melawan tentara salib di Suriah untuk mengalihkan perhatian mereka dari Mesir. Serangannya atas Tripoli tidak berhasil, tetapi ia dikunjungi oleh Shawar, sang wazir yang terusir dari kampung halamannya sendiri, yang memohon padanya untuk mengirim pasukan khusus untuk memulihkan kedudukannya sebagai wazir di Mesir dengan kompensasi akan memberikan sepertiga hasil bumi dari tanah Mesir kepada Nurudin. Pada mulanya, Nuruddin tidak mau membagi pasukannya untuk pertahanan Mesir, tetapi panglimanya sendiri yang berasal dari suku kurdi, Shirkuh, meyakinkan dia untuk menyerang Mesir pada tahun 1164. Sebagai balasan, Dirgham bersekutu dengan Amalric, tetapi sang raja tersebut tidak dapat menggerakkan pasukannya tepat waktu untuk menyelamatkannya. Dirgham terbunuh selama invasi Shirkuh dan kepalanya dipenggal dan dipamerkan keseluruh pelosok negeri. Shawar pun dipulihkan kembali sebagai wazir. Namun ia melanggar janjinya dan bersekongkol dengan khalifah Al Adhid meminta Shirkuh segera angkat kaki dari Mesir.
Permintaan tersebut tidak ditanggapi oleh Shirkuh, malahan ia berkeliling ke pelosok Mesir, menaklukan banyak wilayah di timur dan menghimpun kekayaan yang banyak.
Shawar kemudian bersekutu dengan Amalric, yang kemudian tiba dengan pasukan yang banyak untuk mengepung Shirkuh di Bilbeis. Shirkuh bertahan di benteng tersebut selama 8 bulan. Ia dalam keadaan aman dibentengnya itu. Kepergian pasukan salib ke Mesir itu, dimanfaatkan oleh Nurudin untuk menyerang wilayah-wilayah yang dikuasai kerajaan salib. Nuruddin menyerang Antiokhia dan mengepung istana Harenc meskipun saat itu Antiokia menjadi daerah protektorat Bizantium (ketika kejadian tersebut Manuel, Raja Bizantium berada di Balkan). Disana, Nuruddin mengalahkan pasukan gabungan Antiokhia dan Tripoli bahkan Bohemond III of Antioch dan Raymond III of Tripoli ditawan olehnya. Meskipun begitu ia tidak menyerang kota Antiokhia itu sendiri, kuatir tindakan balasan dari Bizantium. Sebagai gantinya ia mengepung dan merebut Banias (kota Banias berhasil direbut pada bulan Zulhizah 560 H/ Oktober 1165 M), dan selama 2 tahun berikutnya tetap melanjutkan menyerang perbatasan Negara-negara salib. Keberhasilan Nurudin Mahmud menembus jantung wilayah-wilayah dinasti salibiyah dan menawan raja-rajanya termasuk Bohemond III of Antioch, Raymond III of Tripoli dan Dauq dari Byzantium menyebabkan pasukan Salib yang sedang berjuang mengusir Shirkuh di Mesir benar-benar terpukul mundur. Raja Amaric mengajak Shirkuh berdamai dengannya. Asadudin Shirkuh menerima tawarannya dengan syarat Shawar bin Mujirudin membayar 60.000 dinar sebagai hukuman penghianatannya.
Selanjutnya Amalric pun terpaksa pulang ke Yerusalem sedangkan Shirkuh pulang ke Syria meninggalkan Mesir. Ternyata Shawar membuat perjanjian rahasia dengan Raja Amalric lagi yang mana isi perjanjian tersebut menyatakan bahwa Raja Almaic wajib membantu Shawar bila diganggu pihak lain. Perjanjian ini diketahui oleh Nurudin. Ia berpendapat bahwa adalah bijaksana kalau membebaskan Mesir dari penghianat seperti Shawar bin Mujirudin ini. Pada tahun 1166 Shirkuh dikirim kembali ke Mesir dengan pasukan yang mungkin terdiri dari 2.000 kavaleri. Pasukan ini menyebrangi sungai Nil dan berhenti di Giza (Jizah) untuk melakukan pengepungan pada Mesir selama dua bulan dengan pengepungan yang sangat ketat. Shawar pun meminta bantuan pasukan Salib. Pasukan salib yang dipimpin Amalric masuk ke Mesir dari arah Dimyath pada awal tahun 1167. Kedatangan mereka diketahui oleh Shirkuh yang kemudian ia dan pasukannya bertolak menuju Sha’id dan memungut pajak dari warganya. Dan perang pun dimulai, dan akhirnya dimenangkan oleh pasukan yang dipimpin Asaduddin Shirkuh.
Setelah berhasil mengalahkan pasukan Salib, Asadudin Shirkuh bergerak ke kota Alexandria dan menaklukannya. Ia mengangkat keponakannya, Shalahudin Yusuf sebagai gubernur provinsi Alexandria, sedang ia sendiri pulang ke Sha’id. Rupanya Shawar menyusun kekuatan baru dan bersekutu dengan pasukan Salib untuk mengepung kota Alexandria dan merebutnya dari tangan Shalahudin Yusuf. Shalahudin mempertahankan kota tersebut dengan gigih meskipun ia dan pasukannya mengalami kesulitan dan kekurangan stok makanan. Tidak lama kemudian Asadudin Shirkuh datang dari Sha’at memberi bala bantuan. Kedatangan pasukan Shirkuh ini diketahui Shawar dan iapun merasa takut kalau kedua pasukan itu bergabung mengalahkan pasukannya. Ia menawarkan perdamaian kepada Shalahudin dengan kompensasi menyerahkan uang senilai 50.000 dinar. Asadudin Shirkuh menerima tawaran yang ia nilai cukup besar ini. Lalu ia keluar dari kota Alexandria dan menyerahkan urusan kota Alexandria pada orang-orang mesir itu sendiri. Ia pun lalu kembali ke Syria. Sementara itu Shawar memperbaharui perjanjian dengan pasukan Salib dengan memberi tentara Prancis sebesar seratus ribu dinar agar mereka tetap bermarkas pusat di Mesir. Pasukan Salib menerima tawaran Shawar walaupun tanpa menerima pembayaran pun mereka dengan senang hati membantu. Dengan demikian Tentara salib menduduki Alexandria dan Kairo serta menjadikan Mesir sebagai negara pembayar upeti bagi negara dinasti salibiyah. Akan tetapi Amalric tidak dapat menguasai Mesir secara penuh, selama Nuruddin masih menguasai Suriah. Akhirnya ia pun terpaksa kembali ke Yerusalem, dan menjadi sangat kaget karena menyaksikan Nurudin telah menaklukan benteng daerah-daerah yang dikuasai dinasti salibiyah sebelumnya dan menawan banyak sekali wanita dan anak-anak mereka serta mendapat rampasan perang yang banyak seperti perhiasan dan harta mereka.
Pada tahun 1168 Amalric bersekutu dengan Kaisar Manuel dan menyerang Mesir sekali lagi. Ia menyiapkan pasukan besar dan melengkapinya dengan senjata yang komplet dari yang dimilikinya untuk meraih kemenangan. Dengan kekuatan tersebut mereka menyerang Mesir dan menguasai Bilbeis (Balbis) dan menjadikannya markas utama pasukannya. Dari Balbis mereka bertolak ke Kairo. Hal ini diketahui oleh Shawar dan ia menyadari bahwa hal ini di luar kontrolnya. Dan tidak sesuai dengan kesepakatan yang ia buat dengan Raja Yerusalem sebelumnya. Maka ia bakar kota Fustat (Shawar sebelumnya tinggal mendiami Fustat) dan menyuruh penduduknya hijrah ke Kairo. Api menyala dan kemungkinan hanya membakar tanaman-tanaman pangan selama 54 hari. (1168) Menurut suatu sumber yang tidak diketahui apakah dapat dipercaya, dinasti salibiyah banyak menawan kaum muslimin, menguasai negara dan menjarah kekayaannya serta mengancam Khalifah al Adhid. Ancaman pasukan Salib ini mungkin saja memaksa khalifah untuk memohon bantuan kepada Nurudin. Khalifah berjanji dan menyatakan siap memberikan semua pajak yang ia dapatkan di mesir kepada Sultan Nurudin Mahmud dan meminta Sultan mau tinggal bersamanya di Kairo guna melindungi Kairo dari serangan mereka. Selain itu ia berjanji memberikan tambahan pajak kepada militer Nurudin di luar sepertiga pajak yang ia janjikan.
Awal tahun 1169 Asadudin Shirkuh diutus ke Mesir dan mengalahkan pasukan Salib serta mengusir pasukan salib dan membunuh menteri penghianat, Shawar.
Bulan Rabiul Akhir (8 Januari 1169), Asadudin Shirkuh menemui Khalifah Al Adhid dan ia diangkat sebagai wazir untuk menggantikan Shawar. Khalifah melepaskan baju dinas Shawar dan memberikannya kepada Shirkuh. Setelah itu Shirkuh pulang ke kemahnya di Dzahirul Balad. Ternyata Khalifah Al Adhid tidak menepati janjinya kepada Sultan Nurudin. Sementara Shirkuh sepertinya tidak peduli dengan sikap khalifah itu. Ia mulai merealisir rencananya, mengangkat para gubernur, mengirim duta dan memungut pajak. Ia menjabat sebagai wazir selama 2 bulan 5 hari. Ia meninggal dunia tanggal 12 Jumadil Akhir 564 H (14 Maret 1169). Ia digantikan oleh keponakannya, Shalahudin Yusuf bin Ayub sebagai wazir Kekhalifahan Fatimiyah dan sang Khalifah memberinya gelar Al Malik An Nasir.
Mulanya Nurudin kurang begitu senang dengan pengangkatan Shirkuh dan Shalahudin sebagai Wazir khalifah Fattimiyah, karena dia tidak mempercayai kaum Shi’ah. Namun Shalahudin dengan kebijaksanaannya berhasil meyakinkan Nurudin akan loyalitasnya. Di bulan Oktober 1169, Raja Almuric dan Manuel menginvasi Mesir sekali lagi. Pasukan Salib mengepung kota Damietta (Dimyat) selama 50 hari tanpa kenal lelah dan membatasi ruang gerak penduduknya.
Katanya Salahudin mengirim surat kepada sultan Nurudin minta bantuan, dan Nurudin pun secepatnya mengirim pasukan untuk memperkuat pasukan Salahudin. Pengepungan yang dilakukan Salibiyah terhadap kota Damietta ini dimanfaatkan oleh Nurudin untuk menyerang negara-negara salib tersebut dengan kekuatan besar. Ia tembus daerah-daerah kekuasaan mereka dan mendapatkan harta rampasan perang yang banyak, membunuh dan menawan banyak sekali wanita dan anak-anak mereka.
Berita penyerangan yang dilakukan oleh Sultan Nurudin itu didengar oleh Pasukan salib yang mengepung kota Damietta. Mereka pun terpaksa menarik mundur pasukan dan menghentikan pengepungan. Mendengar hal ini, Nurudin Mahmud senang sekali. Pada tahun 1171, Nurudin memerintahkan kepada Salahudin untuk mendoakan khalifah Abasiyah di Khutbah Sholat Jum’at menggantikan Khalifah Fatimiyah. Mulanya Salahudin tidak setuju takut akan ada pembrontakan masyarakat di Mesir. Namun salah seorang pengikutnya yang bernama Al Amir Al Amin meyakinkannya untuk menjalankan perintah Sultan Nurudin. Jum’at pertama bulan Muharam 567H
(September 1171), Al Amir Al Amin naik mimbar Jum’at mendahului khatib resmi kemudian berdoa untuk Khalifah Abbasiah, Al Mustanjid Billah, dan ternyata tidak satu pun yang menentangnya. Dan pada hari jum’at kedua Salahudin memerintahkan seluruh khatib Jumat untuk menghentikan doanya bagi khalifah Fatimiyah, al Adid dan menambah Khalifah Abasiyah, Al Mustanjid Billah dalam daftar doanya. Shalahudin juga memecat seluruh hakim pengadilan Mesir karena mereka berasal dari aliran Syi’ah, dan menggantinya dengan hakim pengadilan yang baru dari kalangan Sunni bermazhab Syafi’i.
Dilain pihak, Khalifah Al Adid jatuh sakit dan akhirnya wafat pada tgl 10 Muharam 567 H (14 September 1171 M), dengan demikian berakhirlah Kekhalifahan Fatimiyah.
Kematian
Selama waktu-waktu tersebut, Nurudin sibuk dengan urusan di wilayah utara negaranya, melawan dinasti artoqids, dan pada tahun 1170 ia harus menyelesaikan persengketaan di antara keponakannya ketika Qutbudin wafat. Setelah menaklukan Mesir, Nurudin meyakini bahwa ia telah mencapai tujuannya mempersatukan Negara-negara Muslim, namun terjadi keretakan hubungan antara Nurudin dan Salahudin yang dipicu oleh kesalapahaman di antara kedua pemimpin tersebut. Waktu itu Nurudin bermaksud mengepung kota Al Kurk. Ia menyurati Salahudin untuk mengirimkan pasukan ketempat yang disepakati. Salahudin pun berangkat dengan pasukannya menuju tempat tersebut. Selang beberapa hari Salahudin menyadari akan kemungkinan adanya bahaya bila Mesir ia tinggalkan. Maka ia mengirim surat kepada Sultan Nurudin tentang hal itu, dan minta maaf atas ketidakhadirannya. Salahudin pun kembali ke Mesir. Hal ini menerbitkan rasa amarah Sultan Nurudin. Ia bermaksud menyerang Mesir untuk menundukan Salahudin. Salahudin pun menggelar rapat yang dihadiri para amir di wilayah tersebut untuk membahas hal ini. Atas nasihat ayahnya, Najmudin, Salahudin menyurati Sultan Nurudin yang menyatakan ketundukannya. Nurudin pun puas dalam hal ini dan membatalkan penyerangannya. Tercatat Salahudin tidak ikut serta dalam beberapa serangan yang dipimpin Nurudin dalam melawan Yerusalem pada tahun 1171 dan 1173.
Di Tahun 1174, ketika Nurudin sedang dalam ambang saat-saat penyerangan ke Mesir karena absennya Salahudin dalam penyerangan pada tahun 1173( Saat itu Shalahudin menarik mundur pasukannya ketika mendapat kabar berita bahwa ayahnya telah meninggal dunia), Ia terkena demam karena komplikasi peritonsillar abscess, dan wafat di usianya yang ke 59. Putranya yang masih muda As-Salih Ismail al-Malik menjadi penggantinya. Shalahuddin mengirim utusan kepada As-Salih Ismail al-Malik dan menawarkan jasa bakti dan ketaatannya. Shalahuddin bahkan melanjutkan untuk menyebutkan nama sultan muda tersebut dalam khotbah-khotbahnya pada hari Jumat dan mata uangnya.
Peninggalan
Nuruddin katanya mendirikan universitas dan masjid di seluruh perkotaan yang ia kuasai. Universitas-universitas tersebut penting bagi pengajaran Quran dan Hadits. Nuruddin sendiri menikmati untuk memiliki para ahli spesialis yang membacakannya dari Hadith, dan profesornya memberinya gelar diploma dalam narasi Hadits. Ia juga mendirikan rumah sakit gratis dikotanya, dan mendirikan karavanserai di jalan untuk semua penjelajah dan peziarah. Pada dunia Muslim ia mungkin telah menjadi tokoh legenda dalam hal keberanian militer, kesalehan, dan kekuatan.
Ibnu Al Kastir mendeskrip-sikan Nurudin Mahmud dengan berkata: ‘Seluruh yang saya baca tentang raja, baik pada masa periode pra Islam dan pada masa Islam hingga sekarang, saya tidak pernah melihat seorang raja yang lebih adil dan baik kepada bawahannya setelah Khulafa Arrasyidin dan Umar bin Abdul Aziz yang punya sejarah baik dari Nuruddin, raja yang adil. Ia merupakan sosok yang pintar, cerdas dan sangat jeli akan situasi zaman itu. Ia tidak pernah menghargai seseorang karena status sosial dan hartanya. Ia hanya menghargai orang-orang yang jujur dan bekerja keras.’
Ia juga terkenal karena ketakwaannya dan ke-wara-annya (kecintaannya kepada Allah). Ia sangat berkemauan keras untuk menunaikan semua ibadah salat dan merayakan perayaan-perayaan Islam. Ia melakukan salat Isya dan bangun di tengah malam untuk salat malam hingga terbit fajar. Ia juga banyak berpuasa.
Nuruddin juga berkarakteristik punya kefakihan dan ilmu yang luas, maka ia seperti ulama dan bersuritauladan kepada sejarah para ulama salafusshaleh. Ia merupakan pengikut mazhab Hanafi dan mendapatkan izin untuk meriwayatkan hadits-hadits. Ia mengarang buku tentang konsep jihad, punya tabiat yang punya kemauan tinggi, sebagaimana ia juga dikaruniahi kepribadian dan kharisma yang kuat. Ia sangat ditakuti tetapi lembut dan penyayang. Dan dalam majelisnya tidak dibicarakan hal-hal kecuali ilmu, agama dan kemungkinan juga tentang jihad. Dan menurut sumber yang tidak diketahui belum pernah didengar darinya ucapan kalimat keji sama sekali dalam kondisi marah atau ceria. Ia benar-benar seorang pendiam.
Ia adalah seorang zuhud dan merendah diri (mutawaadhi). Konsumsi orang paling miskin pada zaman itu masih lebih tinggi dari konsumsi yang ia makan setiap hari tanpa simpanan dan tidak pula menentukan urusan dunia untuk dirinya sendiri. Dan ketika isterinya mengeluh kepadanya akan beratnya penderitaan dan kesusahan hidup yang dikondisikan oleh suaminya, Mahmud memberinya tiga toko pribadi di kota Homs dan berkata: “Itu semua yang aku miliki. Dan jangan berharap kepadaku untuk meletakkan jariku pada uang umat yang diamanatkan kepadaku, saya tidak akan mengkhianatinya. Dan saya tidak mau menceburkan diri dalam siksa Allah hanya karenamu.”
Nuruddin juga mendirikan universitas dan masjid di seluruh kota yang pernah ia kuasai. Universitas-universitas tersebut berkonsentrasi dalam bagi pengajaran Quran dan Hadits. Nuruddin sendiri menyukai mendengar Hadist dari Ulama Hadist yang membacakannya Hadits, dan ahli hadist memberinya ijazah untuk meriwayatkan Hadits. Ia juga mendirikan rumah sakit gratis dikotanya, dan mendirikan karavanserai di jalan untuk penjelajah dan peziarah. Di dunia Muslim ia menjadi figur legendaris dalam keberanian militer, kesalehan, dan kesopanan. Suatu hari, seorang Faqih yang bernama Qutbuddin Annisaburi berkata kepadanya: “Saya mohon kepadamu untuk tidak menghancurkan dirimu dan Islam. Kalau seandainya kamu terserang di tengah pertempuran maka tidak akan ada umat ini yang tersisa, semuanya terbunuh”. Maka ia menjawab: “Wahai Qutbuddin!! Siapa yang terpuji sehingga disanjung seperti ini? Sebelum saya ada yang memelihara negara dan Islam? Itu Allah yang tidak ada Tuhan selain-Nya”.
Ia punya komitmen yang tinggi untuk mewujudkan seluruh ajaran Islam. Ia menjadi teladan yang baik bagi para petinggi negara dan pimpinannya dalam berkomitmen kepada hukum yang ada. Sebagaimana ia juga berupaya keras untuk dapat mengembalikan hak-hak yang terampas kepada mereka yang teraniaya. Dan berkata: “Tidak boleh (haram) bagi orang yang bersahabat denganku untuk tidak menyampaikan kisah orang yang teraniaya yang tidak sampai kepada ku.” Dalam derap langkahnya mempersatukan negara-negara Islam, ia sangat menjaga komitmen untuk tidak menyebabkan adanya pertumpahan darah muslim. Maka dari itu ia sangat penyabar dan memiliki bijaksana. Nuruddin (rahimarullah) sangat komit dengan syariah dan melaksanakan hukum-hukumnya.
Kendati keterpaksaan yang mendorongnya untuk berhadapan dengan para pemimpin kota dan benteng muslim dalam upayanya untuk mewujudkan persatuan melaui aliansi dengan bangsa Eropa, namun darah seorang muslim baginya sangatlah berharga sekali meskipun ia tetap merebut wilayah muslim jika memang terpaksa dilakukan. Baik itu untuk dapat dipergunakan dalam pertempuran dengan kaum Salibiyah atau karena khawatir akan ancaman yang mungkin datang dari mereka. Dan ketika penguasa Damaskus beraliansi dengan Salibiyah pada tahun 544 H (1150 M), ia bertempur dengan mereka tanpa sedikitpun mencederai orang muslim dan melenyapkan nyawa mereka. Sebagaimana ia berkata: “Tidak ada perlunya bagi orang Islam untuk saling memerangi dan saya berusaha untuk menyenangkan mereka agar mereka tidak sungkan untuk berjihad melawan orang-orang musyrik”. Ia telah menyaksikan bahwa Damaskus telah mengharamkannya hingga ia berangan-angan dan berdoa kepada Allah agar ia menjadi bagian dari kerajaannya.
Dan ketika salah satu dari mereka (orang Damaskus) mengadukan persoalan kepada hakim, maka ia dipanggil dan berkata: “Dengan segala ketaatan Sesungguhnya perkataan orang mukmin kalau berdoa kepada Allah dan Rasulul-Nya untuk menentukan keputusan di antara mereka harus mengatakan kami mendengar dan mentaati. Sesungguhnya saya datang ke sini karena menjalankankah perintah syariah”. Pada kesempatan lain ia dipanggil oleh para hakim maka ia datang. Dan ketika terbukti bahwa kebenaran berpihak kepada Nuruddin, lawannya diganjari apa yang dituduhkan kepadanya.
Ia juga telah menghapuskan pajak-pajak yang melampaui batas syariah, walau itu adalah sumber aliran pendapatan yang besar bagi anggaran negara dan hal itu mungkin untuk disahkan menurut sebagian orang dengan kondisi negara yang serba sulit dan perang yang ada. Ia berkata: “Kita menjaga jalan dari maling dan perompak, tidakkah kita berusaha untuk memelihara agama dan mencegah apa yang merusaknya”. Dan sesuatu yang paling ia sukai adalah kalimat kebenaran yang ia dengar atau ajakan kepada sunnah yang diikutinya.
Ia menghidupkan perilaku untuk menghormati para ulama dan menghargai mereka, kendati para pemimpin dan petinggi tidak berani untuk duduk dalam suatu pertemuan tanpa perintah dan izinnya. Maka apabila ia kedatangan seorang faqih dan shaleh, ia berdiri terlebih dahulu dan mempersilahkan orang tersebut untuk duduk. Dan ia juga memperlihatkan penghormatan dan penghargaan kepadanya. Menurutnya para ulama adalah: “Tentara Allah dan dengan doa mereka kepada Allah kita akan dimenangkan melawan musuh. Dan mereka punya hak yang berlipat ganda di bait al maal yang tidak saya berikan, kalau mereka rela dengan apa yang kita lakukan atas sebagian hak mereka, maka itu adalah pemberian bagi kita”. Ia senang mendengarkan nasihat para ulama dan mengagungkannya dan berkata: “Sesungguhnya Al Balkhi bila berkata kepada ku: Mahmud, maka merindinglah seluruh bulu roma di badanku karena wibawanya dan membuat hatiku menjadi lebih halus”.
Nuruddin memperhatikan kondisi umat Islam dan menghidupkan makna-makna kebersamaan, kerjasama dan solidaritas antara sesama serta meringankan penderitaan dan kondisi sulit mereka. Ia telah bekerja untuk menyantuni para anak yatim, mengawinkan para janda, memenuhi kebutuhan anak fakir, mendirikan rumah-rumah sakit, tempat pengungsi, panti asuhan, pasar-pasar, tempat buang air besar (WC) umum, jalan-jalan umum dan memberikan orang-orang badui tempat tinggal agar mereka tidak mengganggu para jemaah haji. Pelayanan-pelayanan yang diberikan kepada umatnya terus meningkat, maka ada yang mengabarkan bahwa ia sangat dicintai rakyat dan relasinya dengan mereka menjadi kuat dan solid…jiwa konstruktif dan cinta kebajikan terus mengalir menembus dinding jiwa para bawahannya sehingga membuat mereka juga ikut berlomba melayani rakyat, membangun sekolah, rumah sakit, tempat pengungsi dan media-media pelayanan lainnya.
Nuruddin mengatur kantor pemberian zakat, mengkoordinasikan pengumpulan dan pembagiannya sesuai dengan dasar-dasar syariah. Ia juga mendorong para konglomerat untuk mengamankan infrastruktur perhubungan dan menghapuskan pajak yang terlalu membebani roda pergerakan bisnis. Ia terus menerus mengerjakan apa saja yang memungkinkan untuk memperkuat negara yang telah ia bangun dan mendorong laju pembangunan ekonominya. Nuruddin benar-benar berjuang dengan segala upaya untuk dapat merealisir persatuan Islam dengan segala kesabaran, bijaksana dan ketegaran serta dengan determinasi untuk tidak menyebabkan tumpahnya darah umat. Ia berupaya untuk dapat menarik simpati dan dukungan dari berbagai kekuatan Islam di wilayah utara Iraq dan memancing solidaritas mereka. Dan ia kemungkinan membeberkan hakikat para penguasa dan pemimpin yang menjadi batu sandungan bagi persatuan Islam di depan mata rakyatnya, mereka turut membedakan antara jihad yang ia galang dan kehinaan penguasa mereka sendiri, antara reformasinya yang dilakukannya dan kerusakan penguasa, antara loyalitasnya kepada Allah, Rasul dan orang mukmin dan loyalitas kepada penguasa, maslahat, hawa nafsu mereka dan orang-orang Salibiyah. Maka rakyatnya mungkin saja berangan-angan agar ia dapat memerintah mereka. Maka dari itu juga ia mendapat legitimasi yang luas di saat wilayah mereka sendiri bergabung dengannya pada waktunya kelak.