Sejarah Dunia Kuno

2021 a year of miracles and 'unlocking' millions

Jun 21, 2018

Konsili Nicea I

Konsili Nicea Pertama (bahasa Inggris: First Council of Nicaea; bahasa Yunani: Νίκαια [ˈni:kaɪja]), terkadang dilafalkan Konsili Nikea atau Konsili Nisea, merupakan salah satu konsili para uskup Kristen yang dihimpunkan oleh Kaisar Romawi Konstantinus I pada tahun 325. Konsili ekumenis pertama ini merupakan upaya pertama untuk mencapai konsensus dalam Gereja melalui suatu sidang yang mewakili seluruh dunia Kekristenan, kendati konsili-konsili sebelumnya, termasuk Konsili Yerusalem sebagai konsili Gereja pertama, sudah pernah bersidang untuk menyelesaikan hal-hal yang diperdebatkan. Konsili ini dipimpin oleh Hosius, uskup Korduba yang berada dalam persekutuan dengan Sri Paus. 

Pencapaian utamanya adalah penyelesaian isu Kristologis mengenai kodrat Putra Allah dan hubungannya dengan Allah Bapa, pembentukan bagian pertama Pengakuan Iman Nicea, menetapkan keseragaman waktu perayaan Paskah, dan pengundangan hukum kanon awal. 

Konsili Nicea I merupakan konsili ekumenis pertama dalam Gereja. Hasil terpentingnya adalah keseragaman doktrin Kristen untuk yang pertama kalinya, disebut Pengakuan Iman Nicea. Dengan terbentuknya pengakuan iman (kredo atau syahadat) tersebut, terbentuk suatu preseden bagi berbagai konsili para uskup (Sinode-sinode) baik yang sifatnya setempat maupun regional untuk menyusun pernyataan-pernyataan keimanan dan kanon-kanon ortodoksi doktrinal—guna mewujudkan kesatuan keyakinan bagi seluruh dunia Kekristenan.

"Ekumenis" berasal dari kata dalam bahasa Yunani (bahasa Yunani Kuno: οἰκουμένη) yang berarti "seluruh dunia", namun umumnya diasumsikan sebatas pada Bumi yang dihuni sejauh yang dikenal, dan saat ini terkait dengan sejarah sama artinya dengan Kekaisaran Romawi; penggunaan paling awal atas istilah tersebut untuk menyebut suatu konsili terdapat dalam Riwayat Hidup Konstantinus 3.6 karya Eusebius  sekitar tahun 338, yang menyatakan kalau "ia mengundang [untuk menghadiri] suatu Konsili Ekumenis" (bahasa Yunani Kuno: σύνοδον οἰκουμενικὴν συνεκρότει) serta surat tahun 382 yang ditujukan kepada Paus Damasus I dan para uskup Latin dari Konsili Konstantinopel I. 

Salah satu tujuan diselenggarakannya konsili ini adalah untuk menyelesaikan perbedaan pendapat yang timbul dari dalam Gereja Aleksandria mengenai kodrat Putra dalam hubungannya dengan Bapa: secara khusus mengenai apakah Putra telah 'diperanakkan' oleh Bapa dari wujud-Nya sendiri, dan karenanya tidak memiliki awal, atau tercipta dari ketiadaan, dan karenanya memiliki suatu awal. St. Aleksander dari Aleksandria dan Athanasius berpegang pada pendapat pertama; seorang presbiter populer bernama Arius, yang dari namanya muncul istilah Arianisme, berpegang pada pendapat kedua. Hampir semua peserta konsili memutuskan bahwa kalangan Arian keliru (dari perkiraan 250–318 peserta konsili, semuanya selain 2 orang menandatangani kredo tersebut dan kedua orang ini, bersama dengan Arius, diasingkan ke Illyria). 

Hasil lain konsili ini adalah kesepakatan mengenai waktu perayaan Paskah, hari raya terpenting dalam kalender gerejawi, ditetapkan dalam sebuah surat kepada Gereja Aleksandria yang secara sederhana dinyatakan:

Kami juga mengirimkan kabar baik penyelesaian [isu] terkait paskah suci, yaitu bahwa sebagai jawaban atas doa-doamu permasalahan ini juga telah terselesaikan. Semua saudara di Timur yang sampai sekarang mengikuti praktik Yahudi mulai saat ini akan merayakan kebiasaan dari jemaat Roma dan dari kamu sendiri serta dari kita semua yang sejak zaman kuno telah memilihara Paskah bersama-sama denganmu. 

Konsili Nicea memiliki arti penting historis sebagai upaya pertama untuk meraih konsensus dalam Gereja melalui musyawarah yang mewakili keseluruhan umat Kristiani. Konsili ini merupakan kesempatan pertama di mana aspek-aspek teknis Kristologi didiskusikan. Melaluinya ditetapkan suatu preseden bagi konsili-konsili umum selanjutnya untuk menerapkan kredo-kredo dan kanon-kanon. Konsili ini secara umum dipandang sebagai permulaan periode tujuh Konsili Ekumenis pertama dalam Sejarah Kekristenan.

Sifat dan tujuan

Konsili Nicea I dihimpunkan oleh Kaisar Konstantinus Agung atas rekomendasi suatu sinode yang dipimpin oleh Hosius dari Korduba pada Masa Paskah tahun 325. Sinode tersebut bertujuan melakukan investigasi atas permasalahan yang timbul akibat kontroversi Arian di kawasan Timur yang berbahasa Yunani. Bagi kebanyakan uskup, ajaran-ajaran Arius dipandang sesat dan berbahaya bagi keselamatan jiwa-jiwa. Pada musim panas tahun 325, para uskup dari seluruh provinsi dipanggil ke Nicea, suatu tempat yang cukup mudah diakses oleh banyak delegasi, khususnya mereka yang datang dari Asia Kecil, Georgia, Armenia, Siria, Palestina, Mesir, Yunani, dan Trakia.

Konsili ini merupakan konsili umum pertama dalam sejarah Gereja sejak Konsili Apostolik di Yerusalem, konsili Apostolik yang menetapkan kondisi-kondisi bagaimana kaum non-Yahudi dapat bergabung dengan Gereja. Dalam Konsili Nicea, "Gereja telah mengambil langkah besar pertamanya untuk mendefinisikan secara lebih tepat doktrin yang diwahyukan sebagai tanggapan atas tantangan dari suatu teologi sesat." 

Para peserta

Konstantinus mengundang keseluruhan 1.800 uskup Gereja Kristen di dalam Kekaisaran Romawi (sekitar 1.000 uskup di Timur dan 800 uskup di Barat), namun jumlah hadirin kurang dari 1.800 dan tidak diketahui secara pasti. Menurut perhitungan Eusebius dari Kaisarea, jumlah peserta lebih dari 250 uskup, sementara perhitungan Athanasius dari Aleksandria adalah 318 uskup, dan Eustasius dari Antiokhia memperkirakan "sekitar 270" uskup  (ketiganya hadir di konsili ini). Belakangan, Sokrates Skolastikus mencatat ada lebih dari 300 uskup,  sementara Evagrius,  Hilarius dari Poitiers, Hieronimus, Dionysius Exiguus, dan Rufinus mencatat ada 318 uskup. Jumlah 318 uskup ini terlestarikan dalam liturgi-liturgi Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Ortodoks Koptik Aleksandria.[butuh rujukan]

Delegasi-delegasi datang dari masing-masing wilayah Kekaisaran Romawi, termasuk Britania. Para uskup yang berpartisipasi diberi perjalanan gratis pulang-pergi dari takhta episkopal mereka masing-masing ke tempat berlangsungnya konsili, serta penginapan cuma-cuma. Para uskup ini tidak datang sendirian; masing-masing diizinkan membawa serta dua orang imam dan tiga orang diakon, sehingga jumlah total hadirin mungkin di atas 1.800 orang. Eusebius berbicara mengenai rombongan besar para pengiring yang terdiri atas para imam, diakon, dan akolit yang hampir tak terhitung jumlahnya.

Mayoritas peserta konsili adalah para uskup dari Timur. Dari antara mereka, peringkat pertamanya adalah ketiga patriark: Aleksander dari Aleksandria, Eustasius dari Antiokhia, dan Makarius dari Yerusalem. Banyak dari para Bapa Konsili yang hadir—misalnya, Pafnusius dari Thebes, Potamon dari Heraklea, dan Paulus dari Neokaisarea—telah mempertahankan diri sebagai para pengaku iman dan datang ke konsili dengan tanda-tanda penganiayaan yang masih berbekas di wajah mereka. Posisi ini didukung oleh sejarawan patristik bernama Timothy Barnes dalam buku karyanya yang berjudul Constantine and Eusebius. Secara historis, pengaruh para pengaku iman yang mengalami penganiayaan ini dipandang substansial, namun keilmuan terbaru mempertanyakan hal ini. 

Para peserta terkemuka lainnya yaitu Eusebius dari Nikomedia; Eusebius dari Kaisarea, yang diklaim sebagai sejawan pertama gereja; kondisi-kondisi faktual mengemukakan bahwa Nikolas dari Myra turut hadir (kisah hidupnya merupakan sumber legenda Sinterklas); Aristakes dari Armenia (putra Santo Gregorius Sang Pencerah); Leonsius dari Kaisarea; Yakub dari Nisibis, seorang mantan pertapa; Hipasius dari Granga; Protogenes dari Sardika; Melitius dari Sebastopolis; Akilius dari Larissa (dianggap Athanasius dari Thessalia) dan Spiridon dari Tremitus, seorang uskup yang mencari nafkah dengan menjadi seorang gembala. Peserta yang berasal dari luar Kekaisaran Romawi adalah Yohanes, uskup Persia dan India, Teofilus, seorang uskup Gothik, dan Stratofilus, uskup Pitius dari Georgia.

Provinsi-provinsi berbahasa Latin mengutus sekurang-kurangnya lima wakil: Markus dari Italia, Sesilianus dari Afrika, Hosius dari Hispania, Nikasius dari Gallia, dan Domnus dari provinsi Danube.

Di antara para asisten terdapat Athanasius dari Aleksandria, seorang diakon muda dan pendamping Uskup Aleksander dari Aleksandria. Athanasius kelak membaktikan hampir sebagian besar sisa umurnya untuk berjuang melawan paham Arianisme. Aleksander dari Konstantinopel, yang kelak menjadi seorang presbiter, juga hadir mewakili uskupnya yang sudah lanjut usia. 

Para pendukung Arius misalnya Sekundus dari Ptolemais, Teonus dari Marmarika, Sfirius, dan Dates, kesemuanya berasal dari Pentapolis Libya. Para pendukung yang lain misalnya Eusebius dari Nikomedia, Paulinus dari Tirus, Aktius dari Lydda, Menofantus dari Efesus, dan Teognus dari Nicea. 

"Dengan mengenakan kain ungu dan emas, Konstantinus melakukan arak-arakan masuk seremonial pada pembukaan konsili, mungkin di awal bulan Juni, namun dengan penuh penghormatan menempatkan para uskup duduk di depannya." Menurut deskripsi Eusebius, Konstantinus "sendiri lewat di tengah-tengah majelis, seperti seorang utusan surgawi dari Allah, mengenakan busana berkilauan seakan-akan terbuat dari berkas-berkas cahaya, memantulkan cahaya bersinar dari jubah ungunya, serta dihiasi kemegahan perhiasan emas dan ratna mutu manikam." Sang kaisar hadir sebagai seorang pengamat dan hadirin, tetapi tidak turut serta dalam pemungutan suara apapun. Konstantinus mengorganisir Konsili menurut tata cara Senat Romawi. Hosius dari Kordoba kemungkinan menjadi pemimpin musyawarah; ia mungkin adalah salah seorang legatus kepausan. Eusebius dari Nikomedia kemungkinan menyampaikan kata sambutan. 

Pertanyaan kaum Arian mengenai hubungan antara Allah Bapa dan Allah Putra (bukan hanya mengenai inkarnasi Putra sebagai Yesus, tetapi juga mengenai kodrat Putra sebelum penciptaan dunia ini); yaitu apakah Bapa dan Putra satu dalam kehendak ilahi saja atau juga satu hakikat?
Waktu perayaan Paskah
Skisma Meletia
Beragam hal terkait disiplin gereja, yang menghasilkan dua puluh kanon
Struktur Gereja: difokuskan pada pengurutan episkopat
Martabat kaum klerus: isu-isu penahbisan di semua level serta kesesuaian perilaku dan latar belakang bagi imam
Rekonsiliasi orang yang murtad: menetapkan norma-norma untuk silih dan tanda pertobatan di hadapan publik
Penerimaan kembali kaum bidah dan skismatik ke dalam Gereja: termasuk isu-isu seputar kapan dibutuhkan penahbisan dan/atau pembaptisan ulang
Praktik liturgis: termasuk penempatan para diakon, dan praktik berdiri saat doa selama perayaan liturgi 
Konsili ini resmi dibuka pada tanggal 20 Mei, di bagian tengah istana kekaisaran di Nicea, dengan diskusi-diskusi pendahuluan mengenai pertanyaan Arian. Dalam diskusi-diskusi ini, beberapa tokoh yang menonjol adalah Arius dengan beberapa pengikutnya. "Sekitar 22 uskup dalam konsili itu, dipimpin oleh Eusebius dari Nikomedia, hadir sebagai pendukung Arius. Akan tetapi tatkala beberapa bagian yang lebih mengejutkan dari tulisan-tulisannya dibacakan, hampir semuanya dipandang sebagai penghujatan."  Uskup Teognis dari Nicea dan Maris dari Kalsedon termasuk dalam golongan yang sebelumnya berpihak pada Arius.

Eusebius dari Kaisarea meminta hadirin untuk mempertimbangkan kredo pembaptisan yang dipergunakan keuskupannya di Kaisarea, Palestina, sebagai suatu bentuk rekonsiliasi. Mayoritas uskup menyetujuinya. Dahulu para akademisi berpikir bahwa Kredo Nicea yang asli didasarkan pada pernyataan Eusebius itu. Saat ini kebanyakan akademisi berpikir bahwa Kredo tersebut berasal dari kredo pembaptisan di Yerusalem, sebagaimana dikemukakan oleh Hans Lietzmann.

Para uskup ortodoks mendapat persetujuan dari setiap orang atas proposal-proposal mereka mengenai Kredo tersebut. Setelah bersidang sebulan penuh, konsili mengundangkan Kredo Nicea asli pada tanggal 19 Juni. Pengakuan iman ini diadopsi oleh semua uskup "kecuali dua [uskup] dari Libya yang sejak semula terkait erat dengan Arius".  Tidak ada catatan sejarah yang secara eksplisit menulis ketidaksetujuan mereka; tanda tangan para uskup tidak tercantum dalam Kredo tersebut.

Kontroversi Arian

Kontroversi Arian timbul di Aleksandria ketika presbiter Arius yang baru dipulihkan posisinya mulai penyebarkan pandangan doktrinal yang bertentangan dengan pandangan uskupnya, St. Aleksander dari Aleksandria. Isu-isu yang diperdebatkan berpusat pada kodrat dan hubungan Allah Bapa dan Allah Putra (Yesus). Perbedaan pendapat tersebut timbul dari ide-ide berbeda mengenai Kebapaan dan apa maknanya bagi Yesus sebagai putra-Nya. Aleksander menyatakan bahwa Putra (Yesus) adalah ilahi dalam arti yang sama seperti Bapa, sama kekalnya dengan Bapa, jika tidak maka tidak mungkin Yesus menjadi seorang Putra sejati. Arius menekankan supremasi dan kekhasan Allah Bapa, yang berarti bahwa hanya Bapa yang mahakuasa dan tak terbatas, dan karenanya keilahian Bapa tentu lebih besar dari Putra. Arius mengajarkan bahwa Putra memiliki suatu awal, dan bahwa Putra tidak memiliki keabadian maupun keilahian sejati Bapa, tetapi dijadikan "Allah" atas izin dan kuasa Bapa, dan dengan demikian Putra adalah ciptaan Allah yang pertama kali dan paling sempurna. 

Perdebatan dan diskusi Arian pada konsili ini berlangsung dari 20 Mei 325 sampai sekitar 19 Juni 325. Menurut laporan-laporan legendaris, perdebatan menjadi sedemikian panas hingga pada satu titik, Arius ditampar wajahnya oleh Nikolas dari Myra, yang kelak dikanonisasi. Laporan ini hampir pasti diragukan kebenarannya, karena Arius sendiri tidak mungkin hadir di ruang konsili mengingat kenyataan bahwa ia bukan seorang uskup. 

Kebanyakan perdebatan berkisar seputar perbedaan antara "dilahirkan" atau "diciptakan" dan "diperanakkan". Kaum Arian menganggap istilah-istilah tersebut sama, sementara para pengikut Aleksander membedakannya. Makna yang tepat dari banyak kata yang dipergunakan dalam perdebatan-perdebatan di Nicea masih belum jelas bagi para penutur bahasa-bahasa lain. Kosakata Yunani seperti "esensi" (ousia), "substansi" (hipostasis), "kodrat" (physis), "pribadi" (prosopon) mengandung beragam makna yang berasal dari para filsuf pra-Kristiani, yang dapat menimbulkan kesalahpahaman bila tidak diterangkan. Kata homoousia, khususnya, pada awalnya tidak disukai oleh banyak uskup karena keterkaitannya dengan kaum Gnostik (yang menggunakannya dalam teologi mereka) yang dipandang sebagai bidah, dan karena ajaran-ajaran mereka telah dikutuk pada Sinode-sinode Antiokhia tahun 264–268.

Argumen Arianisme

Menurut laporan-laporan yang masih terlestarikan, presbiter Arius memberikan argumen atas supremasi Allah Bapa, dan menyatakan bahwa Putra Allah diciptakan sebagai suatu tindakan dari kehendak Bapa, dan karenanya Putra merupakan makhluk ciptaan Allah, diperanakkan langsung dari yang tak terbatas, Allah yang kekal. Arius beralasan bahwa Putra merupakan ciptaan pertama Allah, sebelum segala masa. Pendapatnya dengan demikian menyatakan bahwa Putra memiliki awal, dan karenanya hanya Bapa yang tidak memiliki awal mula. Arius juga berpendapat bahwa segala sesuatu yang lain diciptakan melalui Putra. Sehingga, menurut kaum Arian, hanya Putra yang secara langsung diciptakan dan diperanakkan dari Allah; karena itu terdapat suatu waktu di mana Ia tidak memiliki eksistensi. Arius meyakini bahwa Putra Allah memiliki kehendak bebas tersendiri terkait apa yang benar dan apa yang salah, dan "dalam arti seorang putra yang sesungguhnya, Ia tentu ada setelah Bapa, oleh karenanya tentu ada waktu di mana Ia tidak ada, dan dengan demikian Ia adalah seorang makhluk yang terbatas", dan bahwa Ia berada di bawah Allah Bapa. Dengan alasan-alasan tersebut Arius bersikeras bahwa keilahian Bapa lebih besar daripada Putra. Kaum Arian mengutip kata-kata dalam Kitab Suci seperti "Bapa lebih besar dari pada Aku", dan juga "yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan". 

Argumen yang menentang Arianisme

Pandangan yang menentang berasal dari gagasan bahwa memperanakkan Putra dengan sendirinya berarti dalam kodrat Bapa, yang adalah kekal. Dengan demikian, Bapa senantiasa adalah seorang Bapa, dan baik Bapa maupun Putra senantiasa ada bersama-sama, setara dan sehakikat (konsubstansial). Argumen yang menentang pandangan Arian tersebut karenanya menyatakan bahwa Firman "diperanakkan dalam kekekalan", sehingga tanpa awal mula. Mereka yang menentang Arius ini meyakini bahwa pandangan Arian menghancurkan kesatuan Kebapaan, dan menjadikan Putra tidak setara dengan Bapa. Mereka menegaskan bahwa pandangan semacam itu bertentangan dengan kata-kata dalam Kitab Suci seperti "Aku dan Bapa adalah satu" dan "Firman itu adalah Allah", sebagaimana ayat-ayat tersebut ditafsirkan. Sama seperti Athanasius, mereka menyatakan bahwa Putra tidak memiliki awal, tetapi memiliki suatu "derivasi kekal" dari Bapa sehingga sama kekalnya dengan Ia, dan setara dengan Allah dalam segala aspek. 

Hasil perdebatan

Konsili Nicea mendeklarasikan bahwa Putra adalah "Allah benar" (Allah yang sejati), sama kekalnya dalam Bapa dan diperanakkan dari substansi-Nya yang sama, dengan alasan bahwa doktrin tersebut merupakan kodifikasi terbaik penyajian berdasarkan Alkitab mengenai Putra serta keyakinan Kristiani sesuai tradisi mengenai Putra yang diwariskan dari para Rasul. Keyakinan ini diungkapkan oleh para uskup dalam Pengakuan Iman Nicea (Syahadat Nicea, atau Kredo Nicea), yang kelak membentuk dasar dari apa yang sejak saat itu dikenal sebagai Syahadat Nicea–Konstantinopel. 

Syahadat Nicea

Salah satu proyek yang dilakukan oleh Konsili Nicea adalah penyusunan suatu Syahadat atau Pengakuan Iman (Kredo), yakni suatu pernyataan dan ringkasan iman Kristiani. Telah ada beberapa kredo pada saat itu; banyak kredo yang diterima oleh para peserta konsili ini, termasuk Arius. Sejak awal mula Kekristenan, beragam kredo disusun sebagai suatu sarana identifikasi bagi penganut Kristiani/Kristen, sebagai sarana penerimaan dan pengakuan, khususnya saat pembaptisan.

Di Roma, misalnya, Pengakuan Iman Rasuli (Syahadat Para Rasul) populer, khususnya untuk penggunaan dalam masa Prapaskah dan Paskah. Dalam Konsili Nicea, satu kredo khusus digunakan untuk mendefinisikan iman Gereja secara jelas, untuk menerimakan mereka yang mengakukannya, dan mengecualikan mereka yang tidak mengakukannya.

Beberapa elemen khas dalam Kredo Nicea, kemungkinan berasal dari Hosius, turut disertakan. Beberapa elemen secara khusus disertakan untuk melawan sudut pandang kaum Arian. 

Yesus Kristus dideskripsikan sebagai "Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar",
[b] menyatakan keilahian-Nya.
Yesus Kristus dikatakan "dilahirkan, bukan dijadikan",
[c] menegaskan bahwa Ia bukan ciptaan yang dibawa ke dalam keberadaan dari ketiadaan, tetapi Putra Allah yang sejati, dibawa ke dalam keberadaan 'dari substansi Bapa'.
Yesus Kristus dikatakan "sehakikat dengan Bapa". Eusebius dari Kaisarea mengaitkan istilah homoousios, atau konsubstansial, yaitu "dari substansi yang sama" (dengan Bapa), dengan Konstantinus yang pada titik ini mungkin memilih untuk menggunakan kewenangannya. Namun signifikansi klausul tersebut dianggap sangat ambigu, dan isu-isu yang diangkatnya mendapat pertentangan di kemudian hari.
Di bagian akhir kredo disertakan suatu daftar anatema, dimaksudkan untuk secara eksplisit menyangkal klaim-klaim yang dinyatakan kaum Arian.

Pandangan bahwa 'pernah ada suatu waktu Ia tidak ada' ditolak untuk mempertahankan kesetaraan kekekalan Putra dengan Bapa.
Pandangan bahwa Ia 'mungkin mengalami perubahan atau dapat berubah sewaktu-waktu' ditolak untuk mempertahankan bahwa Putra sama seperti Bapa yang berada di luar segala bentuk kelemahan ataupun kekurangan, dan yang terpenting adalah Ia tidak dapat jatuh dari kesempurnaan moral yang absolut.
Dengan demikian, bukannya suatu kredo pembaptisan yang dapat diterima baik oleh kaum Arian maupun oleh yang menentang mereka, konsili ini mengundangkan satu kredo yang jelas bertentangan dengan paham Arianisme dan tidak sesuai dengan inti keyakinan mereka. Naskah pengakuan iman tersebut terlestarikan dalam sepucuk surat dari Eusebius kepada jemaatnya, dalam tulisan Athanasius, dan tulisan-tulisan yang lain. Kendati paling vokal menentang pihak Arian, pihak Homoousian (dari kata Yunani Koine yang diterjemahkan menjadi "dari substansi yang sama") yang dikutuk di Konsili Antiokhia tahun 264–268 itu tergolong minoritas, Kredo tersebut diterima oleh konsili ini sebagai suatu ungkapan iman bersama para uskup dan iman kuno segenap Gereja.

Uskup Hosius dari Korduba, salah seorang Homoousian yang teguh, mungkin telah membantu menuntun konsili mencapai konsensus. Selama berlangsungnya konsili, dia adalah orang kepercayaan kaisar dalam segala hal terkait Gereja. Nama Hosius tertera paling atas dalam daftar nama para uskup, dan Atanasius mengaitkan perumusan kredo yang sesungguhnya dengan Hosius. Para pemimpin besar seperti Eustasius dari Antiokhia, Aleksander dari Aleksandria, Athanasius, dan Marselus dari Ancyra, semuanya berpegang pada posisi Homoousian.

Meskipun bersimpati pada Arius, Eusebius dari Kaisarea berpegang pada keputusan-keputusan konsili ini, menerima keseluruhan kredo. Terdapat sedikit uskup yang awalnya mendukung Arius. Setelah sebulan berdiskusi, pada tanggal 19 Juni, hanya tersisa 2 uskup yang mendukungnya: Teonas dari Marmarika di Libya, dan Sekundus dari Ptolemais. Maris dari Kalsedon, yang awalnya mendukung Arianisme, menyetujui keseluruhan kredo tersebut. Demikian pula Eusebius dari Nikomedia dan Teognis dari Nice juga menyetujuinya, kecuali untuk pernyataan tertentu.

Kaisar Konstantinus menepati pernyataan awalnya: siapa pun yang menolak Kredo tersebut akan diasingkan. Arius, Teonas, dan Sekundus, menolaknya dan dengan demikian mereka diasingkan ke Iliria, selain juga diekskomunikasi. Karya-karya tulis Arius diperintahkan untuk disita dan dibakar, sementara para pendukungnya dianggap sebagai "musuh-musuh Kekristenan". Bagaimanapun, kontroversi Arian berlanjut di berbagai wilayah kekaisaran. 

Kredo tersebut diamendemen ke versi barunya melalui Konsili Konstantinopel I pada tahun 381.

Pemisahan perhitungan Paskah dari kalender Yahudi
Hari raya Paskah berkaitan dengan Paskah Yahudi dan Perayaan Roti Tidak Beragi, karena umat Kristiani meyakini bahwa penyaliban dan kebangkitan Yesus terjadi pada saat perayaan-perayaan tersebut.

Saat masa kepemimpinan Paus Sixtus I, beberapa kalangan Kristiani telah menetapkan Paskah pada hari Minggu di bulan lunar Nisan. Untuk menentukan bulan lunar yang ditetapkan sebagai Nisan, umat Kristiani mengandalkan masyarakat Yahudi. Kelak, pada abad ke-3, beberapa kalangan Kristiani mulai mengungkapkan ketidakpuasan dengan metode yang mereka pandang sebagai ketidakberaturan kalender Yahudi. Mereka berpendapat bahwa kaum Yahudi kontemporer mengidentifikasi bulan lunar yang salah sebagai bulan Nisan, memilih bulan dengan hari ke-14 yang jatuh sebelum ekuinoks musim semi. 

Umat Kristiani, menurut para pemikir tersebut, seharusnya meninggalkan kebiasaan yang bergantung pada para narasumber Yahudi dan melakukan perhitungan sendiri untuk menentukan bulan apa yang akan disebut Nisan, menetapkan Paskah sesuai perhitungan independen ini, Nisan Kristiani, yang akan selalu menempatkan perayaan tersebut setelah ekuinoks. Mereka menjustifikasi perubahan tradisi ini dengan alasan bahwa pada kenyataannya kalender Yahudi kontemporer yang telah melanggar tradisi dengan mengabaikan ekuinoks, dan pada zaman dahulu tanggal 14 Nisan tidak pernah mendahului ekuinoks. Kalangan yang lain merasa bahwa praktik adat yang bergantung pada kalender Yahudi seharusnya dilanjutkan, sekalipun perhitungan Yahudi keliru jika dilihat dari sudut pandang Kristiani. 

Perdebatan antara mereka yang menginginkan perhitungan independen dan mereka yang ingin terus mengandalkan kalender Yahudi terselesaikan secara resmi melalui Konsili Nicea, yang mengesahkan prosedur independen yang telah digunakan selama beberapa waktu di Roma dan Aleksandria. Mulai saat itu, Paskah ditetapkan sebagai hari Minggu dalam suatu bulan lunar yang dipilih sesuai dengan kriteria Kristiani—pada dasarnya, suatu Nisan Kristiani—bukan dalam bulan Nisan yang didefinisikan oleh kaum Yahudi. Mereka yang menginginkan untuk terus bergantung pada kalender Yahudi (disebut "kaum protopaskit" oleh para sejarawan di kemudian hari) didesak untuk beralih ke posisi mayoritas. Bahwa tidak semua dari mereka segera melakukannya terungkap dari keberadaan berbagai khotbah, kanon, dan traktat yang dituliskan untuk menentang praktik protopaskit pada akhir abad ke-4.

Dua aturan tersebut, independensi dari kalender Yahudi dan keseragaman di seluruh dunia, merupakan satu-satunya aturan terkait Paskah yang secara eksplisit ditetapkan oleh Konsili Nicea. Tidak disebutkan rincian cara perhitungan; hal ini dilakukan dalam praktik di lapangan, suatu proses yang membutuhkan waktu berabad-abad dan menghasilkan sejumlah kontroversi. (Lihat pula Computus dan Reformasi tanggal Paskah.) Secara khusus, konsili ini tampaknya tidak mendekretkan kalau Paskah harus jatuh pada hari Minggu. 

Demikian pula konsili ini juga tidak mendekretkan kalau Paskah harus bertepatan dengan 14 Nisan (hari pertama Perayaan Roti Tidak Beragi, umumnya sekarang disebut "Paskah Yahudi") dalam kalender Ibrani. Dengan memberlakukan peralihan ke perhitungan independen, konsili ini telah memisahkan perhitungan Paskah dari segala ketergantungan, positif ataupun negatif, pada kalender Yahudi. "Zonaras proviso", klaim bahwa Paskah harus selalu jatuh pada 14 Nisan dalam kalender Ibrani, tidak dirumuskan sampai beberapa abad kemudian. Pada saat itu, akumulasi kesalahan dalam kalender lunar dan solar Julian mengungkapkan kalau Paskah Julian selalu mengikui 14 Nisan Ibrani. 

Skisma Meletian

Perlawanan terhadap skisma Meletian, suatu sekte awal yang memisahkan diri, merupakan hal penting lainnya yang terjadi sebelum Konsili Nicea. Diputuskan bahwa Meletius harus tetap tinggal di kotanya sendiri di Likopolis, Mesir, tetapi tanpa menjalankan otoritas atau kekuasaannya untuk menahbiskan klerus baru; ia dilarang masuk ke lingkungan perkotaan ataupun keuskupan lain dengan tujuan menahbiskan warganya. Gelar episkopal Meletius dipertahankan, tetapi perlu dilakukan penumpangan tangan kembali pada para klerus yang ditahbiskan olehnya, karena tahbisan yang dilakukan oleh Meletius dipandang tidak valid. Klerus yang ditahbiskan oleh Meletius diminta untuk memberikan prioritas kepada mereka yang ditahbiskan oleh Aleksander, dan mereka tidak dapat melakukan apapun tanpa persetujuan Uskup Aleksander. 

Dalam hal wafatnya seorang klerus atau uskup non-Meletian, takhta yang kosong dapat diberikan kepada seorang Meletian asalkan ia layak dan pemilihannya diratifikasi oleh Aleksander. Adapun terhadap Meletius sendiri, hak-hak episkopal dan prerogatifnya dicabut. Bagaimanapun, perlakuan-perlakuan lunak ini tampak sia-sia; kaum Meletian bergabung dengan kaum Arian dan menyebabkan lebih banyak pertikaian daripada sebelumnya, menjadi bagian dari musuh-musuh terburuk Athanasius. Paham Meletian hilang sepenuhnya sekitar pertengahan abad ke-5.

Pengundangan hukum kanon

Konsili mengundangkan dua puluh hukum gereja yang baru, yang disebut kanon, (meskipun ada ketidaksepakatan mengenai jumlah tepatnya), yaitu aturan-aturan kedisiplinan yang tidak berubah. Ke-20 hukum tersebut, sebagaimana tercantum dalam Para Bapa Nicea dan Pasca-Nicea, adalah sebagai berikut:

1. larangan pengebirian diri sendiri
2. penetapan syarat-syarat minimum untuk katekumen (calon baptis)
3. melarang kehadiran seorang perempuan yang lebih muda di rumah seorang rohaniwan karena hal itu dapat menyebabkan kecurigaan terhadap sang rohaniwan (disebut virgines subintroductae, yang mempraktikkan Sineisaktisme)
4. penahbisan seorang uskup di hadapan sekurang-kurangnya tiga uskup provinsial dan pengukuhan oleh uskup metropolit
5. dua sinode wilayah harus diselenggarakan setiap tahunnya
6. pengakuan otoritas istimewa para patriark dari Aleksandria (paus), Antiokhia, dan Roma (Sri Paus), atas wilayah mereka masing-masing
7. pengakuan terhadap hak-hak kehormatan takhta Yerusalem
8. penentuan syarat kesepakatan dengan kaum Novatian, suatu sekte awal
9–14. penentuan syarat untuk prosedur yang lunak terhadap mereka yang mengingkari imannya selama penganiayaan pada masa Lisinius
15–16. larangan pemecatan imam
17. larangan riba di antara kaum rohaniwan
18. uskup dan presbiter didahulukan sebelum diakon dalam menerima Ekaristi (Komuni Kudus);
19. pernyataan tidak validnya baptisan yang dilakukan oleh para bidah Paulian;
20. larangan berlutut pada hari Minggu dan selama Pentakosta (50 hari setelah Paskah). Berdiri adalah postur berdoa normatif pada saat tersebut, dan masih berlaku di kalangan Kekristenan Timur. Berlutut dianggap paling tepat untuk doa penitensial, berbeda dengan sifat meriah Masa Paskah dan pengenangannya setiap hari Minggu. Kanon ini sendiri dirancang hanya untuk memastikan keseragaman praktik selama waktu yang ditetapkan.
Pada tanggal 25 Juli 325, saat akhir konsili, para bapa konsili merayakan peringatan 20 tahun pemerintahan Kaisar Konstantinus. Dalam pidato perpisahannya, Konstantinus memberitahukan kepada hadirin betapa ia membenci kontroversi dogmatis; ia ingin Gereja hidup dalam keharmonisan dan damai. Dalam sebuah surat edaran, ia mengumumkan tercapainya kesatuan praktik oleh seluruh Gereja pada hari perayaan Paskah Kristen.

Dampak dari konsili

Dampak jangka panjang dari Konsili Nicea bermakna penting. Untuk pertama kalinya, perwakilan dari banyak uskup Gereja bersidang untuk menyepakati suatu pernyataan doktrinal. Juga untuk pertama kalinya, seorang kaisar menggunakan kewenangannya untuk mengumpulkan para uskup, dan menggunakan kekuasaan negara untuk secara efektif memberlakukan keputusan konsili.

Namun, dalam jangka pendek, konsili ini tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah-masalah yang menjadi tujuan diadakannya konsili; suatu periode konflik dan pergolakan masih terus berlanjut selama beberapa waktu. Konstantinus sendiri digantikan oleh dua kaisar Arian di Kekaisaran Timur: Konstantius II putranya dan Valens. Valens tidak dapat menyelesaikan isu-isu gerejawi yang penting, dan tidak mampu melawan St. Basilius berkenaan dengan Kredo Nicea. 

Kekuasaan kaum pagan di dalam kekaisaran berupaya untuk mempertahankan dan membangun paganisme kembali ke takhta kaisar (lih. Arbogastes dan Yulianus yang Murtad). Kaum Arian dan Meletian dengan segera memperoleh kembali hampir semua hak mereka yang sebelumnya dihilangkan, dan akibatnya, paham Arianisme terus menyebar serta menyebabkan perpecahan dalam Gereja selama sisa abad ke-4. Eusebius dari Nikomedia, seorang uskup Arian dan sepupu Konstantinus I, menggunakan pengaruhnya di istana untuk pelan-pelan mengalihkan keberpihakan Konstantinus dari uskup-uskup ortodoks Nicea ke kaum Arian. 

Eustasius dari Antiokhia diturunkan dari jabatannya dan diasingkan pada tahun 330. Athanasius, yang menggantikan Aleksander sebagai Uskup Aleksandria, diturunkan dari jabatannya oleh Sinode Tirus I pada tahun 335 dan Marselus dari Ancyra menyusulnya pada tahun 336. Arius sendiri kembali ke Konstantinopel untuk dapat diterima kembali ke dalam Gereja, namun ia wafat sebelum memperoleh penerimaan. Konstantinus wafat pada tahun berikutnya, setelah akhirnya menerima baptisan dari seorang uskup Arian bernama Eusebius dari Nikomedia, dan "dengan meninggalnya dia putaran pertama dalam pertempuran setelah Konsili Nicea berakhir". 

Peran Konstantinus

Dalam Kekaisaran Romawi, Kekristenan statusnya ilegal hingga pada tahun 313 kaisar Konstantinus dan Lisinius mengeluarkan suatu edik yang dikenal sebagai Edik Milan. Namun demikian, Kekristenan Nicea tidak menjadi agama negara Kekaisaran Romawi hingga dikeluarkannya Edik Tesalonika pada tahun 380. Selama beberapa waktu, paganisme masih legal dan terlihat dalam urusan-urusan publik. Uang logam dan motif resmi Konstantinus yang lain, sampai Konsili Nicea, telah mengaitkannya dengan kultus pagan Sol Invictus. Pada mulanya, Konstantinus mendorong pembangunan kuil-kuil baru dan menoleransi pengurbanan-pengurbanan tradisional. Pada masa pemerintahannya kelak, ia memerintahkan penjarahan dan penghancuran kuil-kuil Romawi. 

Peran Konstantinus berkenaan dengan Nicea adalah sebagai pimpinan sipil yang tertinggi dan otoritas dalam kekaisaran. Sebagai Kaisar, ia bertanggung jawab untuk memelihara ketertiban sipil, dan ia berupaya agar Gereja menyatukan pikiran dan damai. Ketika pertama kali diberitahu mengenai pergolakan di Aleksandria karena perselisihan Arian, ia "sangat gelisah" dan "menegur" Arius maupun Uskup Aleksander karena gangguan tersebut dan membiarkannya diketahui publik. Selain itu ia juga sadar akan "keragaman pendapat" berkenaan dengan perayaan Paskah, dan berharap agar kedua masalah tersebut terselesaikan, maka ia mengutus Uskup Hosius dari Kordova (Hispania) "yang terhormat" untuk menyelenggarakan suatu konsili gereja lokal dan "mempertemukan mereka yang terbagi". Ketika utusan itu gagal, ia mengorganisir suatu sinode di Nicea, mengundang "tokoh-tokoh gereja yang paling terkemuka di setiap negeri". 

Konstantinus membantu menghimpun konsili dengan mengatur agar biaya perjalanan pulang-pergi para uskup ke dan dari takhta episkopal masing-masing, serta akomodasi di Nicea, ditutup dari dana publik. Ia juga menyediakan dan menyiapkan sebuah "aula besar ... di istana" sebagai tempat berdiskusi sehingga para peserta "harus diperlakukan dengan lebih bermartabat". Ketika menyampaikan sambutan dalam pembukaan konsili, ia "menghimbau para Uskup untuk [mencapai] kebulatan suara dan kerukunan" serta meminta mereka untuk menuruti Kitab Suci dengan mengatakan: "Maka dari itu, biarlah semua perselisihan kontroversial disingkirkan; dan mari kita mencari dalam kata yang terinpirasi ilahiah solusi dari pertanyaan-pertanyaan yang dipermasalahkan." Lalu perdebatan seputar Arius dan doktrin Gereja dimulai. "Kaisar menaruh perhatian dengan kesabaran pada pidato-pidato kedua belah pihak" dan "tunduk" pada keputusan para uskup. Para uskup pertama-tama menyatakan ajaran-ajaran Arius sebagai anatema, merumuskan kredo sebagai suatu pernyataan dari doktrin yang benar. Ketika Arius dan dua pengikutnya menolak untuk menyetujui pernyataan itu, para uskup menjatuhkan hukuman klerikal dengan mengekskomunikasi mereka dari Gereja. Konstantinus menghormati keputusan klerikal tersebut, dan melihat potensi berlanjutnya kerusuhan, sehingga ia juga menjatuhkan hukuman sipil, yaitu mengasingkan mereka ke tempat pembuangan.

Kesalahpahaman

Tidak ada catatan sejarah tentang pembahasan apa pun seputar kanon Alkitab di Konsili Nicea. Perkembangan kanon Alkitab berlangsung berabad-abad, dan hampir terselesaikan (dengan pengecualian yang dikenal sebagai Antilegomena, teks-teks tertulis yang autentisitas atau nilainya diperdebatkan) pada saat fragmen Muratori ditulis. 

Pada tahun 331, Konstantinus menugaskan penyalinan lima puluh Alkitab untuk Gereja Konstantinopel, namun informasi lainnya hanya diketahui sedikit saja (tidak dapat dipastikan apakah permintaannya adalah lima puluh salinan dari keseluruhan Perjanjian Lama dan Baru, hanya Perjanjian Baru, atau hanya Injil). Beberapa akademisi meyakini kalau permintaannya ini mendorong dilakukannya penyusunan kanon. Dalam Kata Pengantar Kitab Yudit tulisan Hieronimus, ia mengklaim bahwa Kitab Yudit "ditetapkan oleh Konsili Nicea untuk diperhitungkan dalam keseluruhan Kitab Suci", sehingga beberapa kalangan mengemukakan bahwa hal ini berarti Konsili Nicea membahas dokumen apa saja yang termasuk dalam kitab suci, tetapi mungkin lebih tepat jika diartikan bahwa Konsili ini sekadar menggunakan Kitab Yudit dalam pembahasan seputar hal-hal yang lain dan dengan demikian kitab tersebut seharusnya dianggap kanonik.

Sumber utama dari gagasan bahwa Alkitab diciptakan di Konsili Nicea tampaknya berasal dari Voltaire, yang mempopulerkan suatu cerita kalau kanon Alkitab ditetapkan melalui penempatan semua kitab yang dinominasikan di sebuah altar selama Konsili berlangsung dan kemudian mengambil kitab-kitab yang tidak terjatuh. Sumber asli "anekdot fiktif" tersebut adalah Synodicon Vetus, sebuah laporan pseudo-historis dari tahun 887 M mengenai konsili-konsili awal Gereja: 

Kitab-kitab kanonik dan apokrif dibedakan dengan cara berikut: di rumah Allah kitab-kitab tersebut ditempatkan di altar suci; kemudian konsili meminta kepada Tuhan dalam doa agar karya-karya yang terinspirasi didapati berada di atas dan--sebagaimana terjadi dalam kenyataannya--yang palsu di bawah." (Synodicon Vetus, 35)

Trinitas

Konsili Nicea utamanya berkenaan dengan isu keilahian Yesus Kristus. Lebih dari satu abad sebelumnya istilah "Tritunggal" atau "Trinitas" (Τριάς dalam bahasa Yunani) digunakan dalam tulisan-tulisan Origenes (185–254) dan Tertulianus (160–220), sementara suatu pendapat umum tentang "tiga yang ilahi", dalam pengertian tertentu, diungkapkan dalam tulisan-tulisan abad ke-2 dari Polikarpus, Ignatius dari Antiokhia, dan Yustinus Martir. Di Nicea, pertanyaan-pertanyaan terkait Roh Kudus belum terjawab secara keseluruhan hingga hubungan antara Bapa dan Putra terselesaikan sepenuhnya sekitar tahun 362. Dengan demikian doktrin dalam suatu bentuk yang lebih lengkap belum dirumuskan hingga diselenggarakannya Konsili Konstantinopel pada tahun 360 M, dan bentuk finalnya dirumuskan pada tahun 381 M, yang utamanya disusun oleh Gregorius dari Nyssa. 

Konstantinus

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Konstantinus Agung
Konstantinus mengupayakan suatu gereja yang bersatu melalui penyelenggaraan Konsili Nicea, namun di dalam konsili ini ia tidak memaksakan pandangan kaum Homoousian mengenai kodrat Yesus Kristus (lih. Peran Konstantinus).

Konstantinus tidak menugaskan pembuatan Alkitab dalam bentuk apapun saat berlangsungnya konsili ini. Ia menugaskan penyalinan lima puluh Alkitab pada tahun 331 untuk digunakan dalam gereja-gereja di Konstantinopel, yang saat itu merupakan kota baru. Tidak ditemukan bukti historis yang menunjukkan keterlibatannya dalam pemilihan kitab-kitab yang termasuk dalam Alkitab-Alkitab tersebut.

Kendati Konstantinus menunjukkan ketertarikan dan simpatinya terhadap Gereja, ia belum dibaptis hingga sekitar 11 atau 12 tahun setelah konsili ini, menunda pembaptisan sampai ia dapat sebanyak mungkin terbebaskan dari dosa sesuai dengan keyakinan bahwa semua dosa diampuni sepenuhnya melalui pembaptisan. 

No comments: