Perempuan misterius 7.200 tahun di Sulawesi, temuan terbaru yang 'menambah warna ras kepada Indonesia'
Kepingan misteri siapa nenek moyang Indonesia satu per satu mulai terkuak.
Temuan terbaru kerangka manusia yang sejauh ini diyakini tertua ada di Sulawesi dan dibuktikan sebagai manusia modern gelombang awal yang menduduki Nusantara. Ini sekaligus menambah teka-teki baru bagi kalangan ilmuan untuk menelusuri asal-usulnya.
Namun, rasa penasaran harus terhenti sejauh ini, karena masih terdapat 4-5 kerangka manusia prasejarah lainnya yang ditemukan, tapi belum diteliti karena persoalan anggaran.
Profesor Akin Duli meloncat-loncat kegirangan setelah menutup sambungan telepon. Sekretarisnya sampai keheranan, tertawa dan bertanya-tanya.
"Ada berita gembira dari lapangan, ada temuan bagus," kata Guru Besar Program Studi S2 Arkeologi, Universitas Hasanuddin ini mengingat waktu pertama kali mendapat informasi temuan rangka manusia prasejarah di Leang Panninge, Sulawesi, pertengahan 2015.
"Rupanya teman-teman di lapangan ada yang sampai guling-guling dirinya di situ. Karena ini temuan langka, dalam situs yang tidak terganggu, dan kita yakin bahwa ini data yang paling baik," kata Prof Akin kepada BBC News Indonesia.
Prof Akin Duli adalah salah satu pimpinan tim arkeolog gabungan Universitas Hasanuddin dan Universiti Sains Malaysia yang mulai melakukan ekskavasi di Gua Paninnge atau Leang Panninge (Panninge = "kelalawar" dalam Bahasa Bugis) pertengahan 2015.
Namun, saat itu kerangka manusia prasejarah ini tak langsung diangkat ke permukaan karena "harus menggunakan alat yang lengkap".
Akhirnya lubang ekskavasi ditutup, dan baru dibuka kembali pada 2017. Rangka dibawa ke Laboratorium Unhas. Namun Laboratorium di sana belum mumpuni mendeteksi usia, sampai DNA rangka tersebut.
"Waktu itu kita jadi bingung, saya coba konsultasi ke Lab tertua di Amerika, di Beta Analytic Inc. Ternyata biayanya cukup tinggi. Waktu itu baru tahap awal sudah minta Rp300 juta, saya tak punya uang," kata Prof Akin.
Pada 2018, Adam Brumm, profesor arkeologi dari Universitas Griffith Australia membawa tim untuk mengkaji kerangka tersebut, sebelum akhirnya menjalin kerja sama dengan peneliti DNA asal Jerman dari Max Planck Institute for Science of Human History, Selina Carlhoff pada 2019. Pusat Penelitian Arkeologi Jakarta dan Balai Arkeologi Makassar juga berkontribusi dalam penelitian ini.
Kerja sama lintas institusi penelitian dan universitas ini membuahkan hasil berupa kajian ilmiah yang dipublikasi dalam jurnal nature pada 25 Agustus 2021.
Kerangka manusia itu diketahui perempuan berusia 17-18 tahun, dimakamkan sekitar 7.300 - 7.200 tahun silam. Dari hasil penelusuran DNA menunjukkan manusia prasejarah ini memiliki latar belakang genetik Austromelanesoid, yang deskripsi penampakkannya seperti orang-orang Papua dan Aborigin di Australia.
"Saya yakin bahwa orang Bugis-Makassar ada juga darah Austromelanesoid-nya. Cuma mungkin DNA prosentasenya kecil," kata Prof Akin.
Para peneliti kemudian menamai perempuan yang mati muda ini, Bessek—istilah penghormatan kepada perempuan yang baru lahir dalam budaya Bugis.
Besse "dikuburkan" dalam posisi tertelungkup, dan di sekitar rangkanya diapit beberapa bongkahan batu.
Dalam makam tua itu juga ditemukan budaya-budaya di masanya seperti mata panah bergerigi (Maros Points), beberapa alat-alat batu lain, serta tulang binatang.
Leang Panninge sebagai kawasan industri purba
Para peneliti juga menemukan "satu mobil" peninggalan budaya prasejarah di dalam Leang Panninge. Di antaranya kapak batu, mata panah, pisau batu, termasuk hal yang diyakini sisa makanan mereka berupa tulang babi, rusa, tikus, kelelawar, dan siput air tawar.
Prof Akin juga meyakini Leang Panninge saat itu digunakan sebagai kawasan industri membuat alat-alat berburu, mengumpulkan dan meramu makanan. Hal ini berdasarkan temuan berupa "pembentuk alat batu, sisa-sisa tatal alat batu," katanya.
Temuan ini merupakan artefak batu yang paling khas dengan era pemburu-pengumpul di Sulawesi antara 8000 - 1500 tahun yang lalu, apa yang disebut sebagai budaya "Toalean".
Penamaan ini berdasarkan penelitian naturalis dan etnolog asal Swiss, Paul dan dan Fritz Sarasin (1893-1896) di Celebes, dan memperkenalkan orang-orang di dalam gua dari peninggalannya sebagai To Ala sebagai penanda budaya di Sulawesi Selatan.
"Toala dalam bugis itu orang yang tinggal di hutan-hutan di gunung-gunung," kata Prof Akin.
Apakah mereka bunuh-bunuhan, melebur atau bergeser?
Dari mana asal Besse dan ke mana keturunannya? Hal itu masih teka-teki bagi para ilmuan. Tapi dari kajian ilmiah ini setidaknya ditemukan latar belakang genetika Asia Timur, Austromelanesoid dan Denisovan.
Peneliti genetika dari Eijkman Institute, Pradiptajati Kusuma mengatakan hal yang mengejutkan dari temuan ini adalah latar belakang genetika Asia Timur sebelum era neolitikum (zaman batu).
"Sedangkan selama ini yang diketahui adalah latar belakang genetik Asia di populasi Indonesia Timur itu berasal dari latar belakang genetik Austronesia. Maka ini hal baru," katanya.
Besse sejauh ini diyakini sebagai manusia penjelajah yang tiba lebih dulu di Nusantara sebelum Austronesia yang masuk ke Nusantara antara 4500 - 2000 tahun lalu.
Dalam Teori Out of Taiwan, orang-orang berbahasa Austronesia diyakini keluar dari Taiwan atau Kepulauan Famosa pada 5000 tahun lalu. Mereka bergerak ke arah Filipina, lalu bergerak melintasi kepulauan Indonesia, hingga ke arah pacific. Ciri-ciri fisik Austronesia diyakini kulit sawo matang, rambut lurus, mata cokelat, dan hidung pesek.
Dalam kajian kekinian, latar belakang Austromelanesoid dengan ciri fenotip Papua dan Aborigin, bergerak makin kuat ke arah Timur.
"Jadi semakin bergerak ke Timur dari garis Wallacea itu sampai ke Papua, itu latar belakang genetik Papuanya itu semakin tinggi. Jadi ada gradien," lanjut Pradiptajati, yang mengatakan latar belakang Papua makin tipis ketika ke arah Jawa, Kalimantan dan Sumatera.
Sementara itu, latar belakang genetik Denisovan juga semakin kuat ditemukan pada wilayah Indonesia bagian Timur sebesar 6%, dan makin menipis pada orang-orang yang berada di Jawa, Sumatera dan Kalimantan.
Denisovan merupakan sepupu dari Homo Sapiens (manusia modern) yang ditemukan di gua Denisova di Siberia, diperkirakan punah pada 20 -10 ribu tahun lalu. Latar belakang genetiknya masih melekat pada manusia-manusia modern saat ini—kita.
Menurut arkeolog dari Unhas, Iwan Sumantri ada sejumlah teori mengenai jejak sejarah berikutnya dari keluarga besar Besse di Sulawesi. "Apakah mereka bunuh-bunuhan, apakah mereka berkontestasi, apakah mereka saling melebur?"
Itu masih perlu bukti empirik lainnya, kata Iwan.
Namun, Iwan meyakini Besse dan keluarganya bergeser ke arah Timur Indonesia, setelah Austronesia mulai menjelajah Nusantara. Mereka kalah bersaing dalam teknologi.
"Misalnya mereka [Austronesia] sudah menggunakan perahu bercadik, sudah bisa domestifikasi binatang dan tumbuhan, mereka membawa padi dan tangga, membawa pinang, membawa babi, dan seterusnya.
"Itu yang tidak dimiliki oleh orang-orang Austromelanesoid," lanjut Iwan. Tapi bagaimana pun kata dia, "dalam arkeologi kita tidak berbicara untuk satu fakta. Tapi harus banyak fakta untuk bisa kita kemudian menghubungkan."
Apakah Bessek generasi seniman lukisan purba?
Di kawasan Karst Maros-Pangkajene Kepulauan, Sulawesi tersimpan ratusan gua yang di dalamnya terdapat jejak-jejak purbakala. Satu di antaranya lukisan gua tertua di dunia ditaksir berusia 45.000 tahun lalu.
Sejauh ini belum ada peninggalan Besse yang menghubungkan bahwa generasinya yang melukis gua-gua di Maros-Pangkep. Tapi temuan budaya seperti pmata panah batu bergerigi [Maros Points] di Leang Paninnge juga ditemukan di gua-gua yang terdapat lukisan purba.
"Ada Maros Points, jadi hampir semua gua yang menyimpan, atau gua ditemukan maros points biasanya punya gambar," kata Iwan.
Di Leang Panninge sendiri tak ditemukan adanya lukisan purba, tapi "Boleh jadi lumut itu menghapus atau lumutnya menutupi gambar, atau menghapus, atau mengklotokan."
Sementara itu, Basran Burhan yang ikut dalam proses ekskavasi Leang Panninge mengatakan keberadaan Besse diperkirakan berada di periode "sebelum Austronesia [datang], dan setelah Rock Arts [lukisan purba]".
"Sampai sekarang belum ada yang menunjukkan, bahwa mereka punya kemampuan untuk melukis. Belum ada lukisan yang ditemukan di periode itu," kata Basran.
Temuan 4-5 kerangka manusia prasejarah lainnya
Tim arkeolog dari Unhas saat ini menyatakan masih menyimpan 4-5 kerangka manusia prasejarah, tapi apakah mereka seniman yang melukis gua purba, generasi Besse atau penjelajah dari Taiwan?
Jawaban itu masih harus disimpan dulu, karena penelitian masih berlanjut.
"Di sekitar itu juga, penelitian di Bontocane [Kab. Bone], daerah Leang-Leang, kita juga dapatkan potongan-potongan rangka manusia. Tapi, yaitu tadi, karena kita keterbatasan anggaran, belum dianalisis di laboratorium," kata Prof Akin.
Sejauh ini temuan rangka-rangka tersebut dikatakan "dalam keadaan aman, karena kita sudah tahu bagaimana caranya mengamankan data."
Prof Akin Duli mengatakan biaya yang dikeluarkan untuk satu kerangka manusia, mulai dari tahap survei, ekskavasi hingga penentuan usia dan DNA-nya bisa menghabiskan Rp1 miliar.
Selama ini, hasil temuan-temuan prasejarah khususnya di Sulawesi sangat bergantung dari kerja sama pihak luar seperti Griffith University.
"Dan mungkin teman-teman dari Jerman mulai tertarik, ya kita akan fokus pada analisis-analisis pada rangka manusia," kata Prof Akin.
Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan, Laode Muhammad Aksa mengatakan bekerja sama dengan pihak luar "lebih memudahkan karena mereka yang menentukan umur itu, mereka punya biaya dan akses."
"Mungkin biaya ada, tapi nanti aksesnya bagaimana?" kata Ako—sapaan Laode Muhammad Aksa bertanya-tanya.
Lagi pula, tambah Ako, pihaknya lebih memprioritaskan pada upaya pelestarian dalam penganggaran. Seperti Leang Panninge yang saat ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, dan zonasi, sehingga tak bisa sembarangan pembangunan di lakukan di kawasan tersebut.
"Lokasi itu sudah terlindungi dengan menempatkan juru pelihara," tambah Ako.
Namun, tambahnya, untuk penelitian lebih lanjut dan mendalam, itu sangat tergantung kebijakan pusat. "Kami kan tergantung perintah. Perintah artinya, kalau sistem penganggarannya untuk penentuan umur [penelitian], [tapi] karena kita kan orientasinya lebih ke pelestarian."
Dirjen Kebudayaan Kemendikbud-Ristek, Hilmar Farid menyatakan sejauh ini pihaknya fokus terhadap pelestarian. Untuk penelitian dan eksplorasi kata dia, masih bekerja sama dengan luar negeri.
"Karena pengadaan fasilitas itu [laboratorium] memang biayanya tidak kecil, dan kita juga punya problem SDM... SDM ahli untuk periode ini misalnya juga tidak terlalu banyak di Indonesia ini," kata Hilmar Farid kepada BBC News Indonesia.
Saat ini, catatan dari direktorat kebudayaan terdapat 90.000 situs sejarah di Indonesia. Namun baru sekitar 10-15% yang sudah diteliti dengan kaidah-kaidah ilmiah. "Jadi kita masih punya banyak sekali pekerjaan rumah, dan memang ada rencana dari pemerintah untuk membuat pusat konservasi," lanjut Hilmar.
Terlebih lagi di masa pandemi, banyak anggaran yang dialihkan untuk prioritas kesehatan, sehingga "saat ini memang fokuksnya pada perlindungan. Jadi mengamankan saja terlebih dahulu."
Indonesia sebagai 'melting pot' segala ras manusia
Bagi Iwan Sumantri, temuan ini menambah keyakinannya yang sudah lebih dari tiga dekade menjadi arkeolog bahwa Indonesia merupakan "melting pot" atau kuali percampuran ras manusia seluruh dunia.
"Indonesia menjadi melting pot, daerah percampuran, sehingga tidak ada satu pun etnis yang mengatakan diri, atau mengatakan saya adalah asli Indonesia," katanya.
Ia menyusun hal ini sejak mulai dari kedatangan ras Austromelanesoid, Austronesia [melayu], pecampuran genetik Denisovan dan Neanderthal, Mongoloid, India, Persia sampai Eropa.
"Ras besar ini kemudian memberikan warna, kepada Indonesia mereka datang kemudian membawa budaya masing-masing, kemudian kita anut. Jadi pengetahuan arkeologi, memberikan kesadaran kepada saya soal keindonesiaan," kata Iwan.
Saat ini terdapat 4-5 kerangka manusia prasejarah yang menunggu untuk diteliti lebih jauh. Menguak misteri asal-usul mereka bergantung dari kerja sama dari lembaga atau institusi penelitian dari luar negeri. Tanpa itu, kemungkinan mereka akan menunggu selamanya di tempat aman, dan tak direkam dalam sejarah.
Kepingan misteri siapa nenek moyang Indonesia satu per satu mulai terkuak.
Temuan terbaru kerangka manusia yang sejauh ini diyakini tertua ada di Sulawesi dan dibuktikan sebagai manusia modern gelombang awal yang menduduki Nusantara. Ini sekaligus menambah teka-teki baru bagi kalangan ilmuan untuk menelusuri asal-usulnya.
Namun, rasa penasaran harus terhenti sejauh ini, karena masih terdapat 4-5 kerangka manusia prasejarah lainnya yang ditemukan, tapi belum diteliti karena persoalan anggaran.
Profesor Akin Duli meloncat-loncat kegirangan setelah menutup sambungan telepon. Sekretarisnya sampai keheranan, tertawa dan bertanya-tanya.
"Ada berita gembira dari lapangan, ada temuan bagus," kata Guru Besar Program Studi S2 Arkeologi, Universitas Hasanuddin ini mengingat waktu pertama kali mendapat informasi temuan rangka manusia prasejarah di Leang Panninge, Sulawesi, pertengahan 2015.
"Rupanya teman-teman di lapangan ada yang sampai guling-guling dirinya di situ. Karena ini temuan langka, dalam situs yang tidak terganggu, dan kita yakin bahwa ini data yang paling baik," kata Prof Akin kepada BBC News Indonesia.
Prof Akin Duli adalah salah satu pimpinan tim arkeolog gabungan Universitas Hasanuddin dan Universiti Sains Malaysia yang mulai melakukan ekskavasi di Gua Paninnge atau Leang Panninge (Panninge = "kelalawar" dalam Bahasa Bugis) pertengahan 2015.
Namun, saat itu kerangka manusia prasejarah ini tak langsung diangkat ke permukaan karena "harus menggunakan alat yang lengkap".
Akhirnya lubang ekskavasi ditutup, dan baru dibuka kembali pada 2017. Rangka dibawa ke Laboratorium Unhas. Namun Laboratorium di sana belum mumpuni mendeteksi usia, sampai DNA rangka tersebut.
"Waktu itu kita jadi bingung, saya coba konsultasi ke Lab tertua di Amerika, di Beta Analytic Inc. Ternyata biayanya cukup tinggi. Waktu itu baru tahap awal sudah minta Rp300 juta, saya tak punya uang," kata Prof Akin.
Pada 2018, Adam Brumm, profesor arkeologi dari Universitas Griffith Australia membawa tim untuk mengkaji kerangka tersebut, sebelum akhirnya menjalin kerja sama dengan peneliti DNA asal Jerman dari Max Planck Institute for Science of Human History, Selina Carlhoff pada 2019. Pusat Penelitian Arkeologi Jakarta dan Balai Arkeologi Makassar juga berkontribusi dalam penelitian ini.
Kerja sama lintas institusi penelitian dan universitas ini membuahkan hasil berupa kajian ilmiah yang dipublikasi dalam jurnal nature pada 25 Agustus 2021.
Kerangka manusia itu diketahui perempuan berusia 17-18 tahun, dimakamkan sekitar 7.300 - 7.200 tahun silam. Dari hasil penelusuran DNA menunjukkan manusia prasejarah ini memiliki latar belakang genetik Austromelanesoid, yang deskripsi penampakkannya seperti orang-orang Papua dan Aborigin di Australia.
"Saya yakin bahwa orang Bugis-Makassar ada juga darah Austromelanesoid-nya. Cuma mungkin DNA prosentasenya kecil," kata Prof Akin.
Para peneliti kemudian menamai perempuan yang mati muda ini, Bessek—istilah penghormatan kepada perempuan yang baru lahir dalam budaya Bugis.
Besse "dikuburkan" dalam posisi tertelungkup, dan di sekitar rangkanya diapit beberapa bongkahan batu.
Dalam makam tua itu juga ditemukan budaya-budaya di masanya seperti mata panah bergerigi (Maros Points), beberapa alat-alat batu lain, serta tulang binatang.
Leang Panninge sebagai kawasan industri purba
Para peneliti juga menemukan "satu mobil" peninggalan budaya prasejarah di dalam Leang Panninge. Di antaranya kapak batu, mata panah, pisau batu, termasuk hal yang diyakini sisa makanan mereka berupa tulang babi, rusa, tikus, kelelawar, dan siput air tawar.
Prof Akin juga meyakini Leang Panninge saat itu digunakan sebagai kawasan industri membuat alat-alat berburu, mengumpulkan dan meramu makanan. Hal ini berdasarkan temuan berupa "pembentuk alat batu, sisa-sisa tatal alat batu," katanya.
Temuan ini merupakan artefak batu yang paling khas dengan era pemburu-pengumpul di Sulawesi antara 8000 - 1500 tahun yang lalu, apa yang disebut sebagai budaya "Toalean".
Penamaan ini berdasarkan penelitian naturalis dan etnolog asal Swiss, Paul dan dan Fritz Sarasin (1893-1896) di Celebes, dan memperkenalkan orang-orang di dalam gua dari peninggalannya sebagai To Ala sebagai penanda budaya di Sulawesi Selatan.
"Toala dalam bugis itu orang yang tinggal di hutan-hutan di gunung-gunung," kata Prof Akin.
Apakah mereka bunuh-bunuhan, melebur atau bergeser?
Dari mana asal Besse dan ke mana keturunannya? Hal itu masih teka-teki bagi para ilmuan. Tapi dari kajian ilmiah ini setidaknya ditemukan latar belakang genetika Asia Timur, Austromelanesoid dan Denisovan.
Peneliti genetika dari Eijkman Institute, Pradiptajati Kusuma mengatakan hal yang mengejutkan dari temuan ini adalah latar belakang genetika Asia Timur sebelum era neolitikum (zaman batu).
"Sedangkan selama ini yang diketahui adalah latar belakang genetik Asia di populasi Indonesia Timur itu berasal dari latar belakang genetik Austronesia. Maka ini hal baru," katanya.
Besse sejauh ini diyakini sebagai manusia penjelajah yang tiba lebih dulu di Nusantara sebelum Austronesia yang masuk ke Nusantara antara 4500 - 2000 tahun lalu.
Dalam Teori Out of Taiwan, orang-orang berbahasa Austronesia diyakini keluar dari Taiwan atau Kepulauan Famosa pada 5000 tahun lalu. Mereka bergerak ke arah Filipina, lalu bergerak melintasi kepulauan Indonesia, hingga ke arah pacific. Ciri-ciri fisik Austronesia diyakini kulit sawo matang, rambut lurus, mata cokelat, dan hidung pesek.
Dalam kajian kekinian, latar belakang Austromelanesoid dengan ciri fenotip Papua dan Aborigin, bergerak makin kuat ke arah Timur.
"Jadi semakin bergerak ke Timur dari garis Wallacea itu sampai ke Papua, itu latar belakang genetik Papuanya itu semakin tinggi. Jadi ada gradien," lanjut Pradiptajati, yang mengatakan latar belakang Papua makin tipis ketika ke arah Jawa, Kalimantan dan Sumatera.
Sementara itu, latar belakang genetik Denisovan juga semakin kuat ditemukan pada wilayah Indonesia bagian Timur sebesar 6%, dan makin menipis pada orang-orang yang berada di Jawa, Sumatera dan Kalimantan.
Denisovan merupakan sepupu dari Homo Sapiens (manusia modern) yang ditemukan di gua Denisova di Siberia, diperkirakan punah pada 20 -10 ribu tahun lalu. Latar belakang genetiknya masih melekat pada manusia-manusia modern saat ini—kita.
Menurut arkeolog dari Unhas, Iwan Sumantri ada sejumlah teori mengenai jejak sejarah berikutnya dari keluarga besar Besse di Sulawesi. "Apakah mereka bunuh-bunuhan, apakah mereka berkontestasi, apakah mereka saling melebur?"
Itu masih perlu bukti empirik lainnya, kata Iwan.
Namun, Iwan meyakini Besse dan keluarganya bergeser ke arah Timur Indonesia, setelah Austronesia mulai menjelajah Nusantara. Mereka kalah bersaing dalam teknologi.
"Misalnya mereka [Austronesia] sudah menggunakan perahu bercadik, sudah bisa domestifikasi binatang dan tumbuhan, mereka membawa padi dan tangga, membawa pinang, membawa babi, dan seterusnya.
"Itu yang tidak dimiliki oleh orang-orang Austromelanesoid," lanjut Iwan. Tapi bagaimana pun kata dia, "dalam arkeologi kita tidak berbicara untuk satu fakta. Tapi harus banyak fakta untuk bisa kita kemudian menghubungkan."
Apakah Bessek generasi seniman lukisan purba?
Di kawasan Karst Maros-Pangkajene Kepulauan, Sulawesi tersimpan ratusan gua yang di dalamnya terdapat jejak-jejak purbakala. Satu di antaranya lukisan gua tertua di dunia ditaksir berusia 45.000 tahun lalu.
Sejauh ini belum ada peninggalan Besse yang menghubungkan bahwa generasinya yang melukis gua-gua di Maros-Pangkep. Tapi temuan budaya seperti pmata panah batu bergerigi [Maros Points] di Leang Paninnge juga ditemukan di gua-gua yang terdapat lukisan purba.
"Ada Maros Points, jadi hampir semua gua yang menyimpan, atau gua ditemukan maros points biasanya punya gambar," kata Iwan.
Di Leang Panninge sendiri tak ditemukan adanya lukisan purba, tapi "Boleh jadi lumut itu menghapus atau lumutnya menutupi gambar, atau menghapus, atau mengklotokan."
Sementara itu, Basran Burhan yang ikut dalam proses ekskavasi Leang Panninge mengatakan keberadaan Besse diperkirakan berada di periode "sebelum Austronesia [datang], dan setelah Rock Arts [lukisan purba]".
"Sampai sekarang belum ada yang menunjukkan, bahwa mereka punya kemampuan untuk melukis. Belum ada lukisan yang ditemukan di periode itu," kata Basran.
Temuan 4-5 kerangka manusia prasejarah lainnya
Tim arkeolog dari Unhas saat ini menyatakan masih menyimpan 4-5 kerangka manusia prasejarah, tapi apakah mereka seniman yang melukis gua purba, generasi Besse atau penjelajah dari Taiwan?
Jawaban itu masih harus disimpan dulu, karena penelitian masih berlanjut.
"Di sekitar itu juga, penelitian di Bontocane [Kab. Bone], daerah Leang-Leang, kita juga dapatkan potongan-potongan rangka manusia. Tapi, yaitu tadi, karena kita keterbatasan anggaran, belum dianalisis di laboratorium," kata Prof Akin.
Sejauh ini temuan rangka-rangka tersebut dikatakan "dalam keadaan aman, karena kita sudah tahu bagaimana caranya mengamankan data."
Prof Akin Duli mengatakan biaya yang dikeluarkan untuk satu kerangka manusia, mulai dari tahap survei, ekskavasi hingga penentuan usia dan DNA-nya bisa menghabiskan Rp1 miliar.
Selama ini, hasil temuan-temuan prasejarah khususnya di Sulawesi sangat bergantung dari kerja sama pihak luar seperti Griffith University.
"Dan mungkin teman-teman dari Jerman mulai tertarik, ya kita akan fokus pada analisis-analisis pada rangka manusia," kata Prof Akin.
Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sulawesi Selatan, Laode Muhammad Aksa mengatakan bekerja sama dengan pihak luar "lebih memudahkan karena mereka yang menentukan umur itu, mereka punya biaya dan akses."
"Mungkin biaya ada, tapi nanti aksesnya bagaimana?" kata Ako—sapaan Laode Muhammad Aksa bertanya-tanya.
Lagi pula, tambah Ako, pihaknya lebih memprioritaskan pada upaya pelestarian dalam penganggaran. Seperti Leang Panninge yang saat ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, dan zonasi, sehingga tak bisa sembarangan pembangunan di lakukan di kawasan tersebut.
"Lokasi itu sudah terlindungi dengan menempatkan juru pelihara," tambah Ako.
Namun, tambahnya, untuk penelitian lebih lanjut dan mendalam, itu sangat tergantung kebijakan pusat. "Kami kan tergantung perintah. Perintah artinya, kalau sistem penganggarannya untuk penentuan umur [penelitian], [tapi] karena kita kan orientasinya lebih ke pelestarian."
Dirjen Kebudayaan Kemendikbud-Ristek, Hilmar Farid menyatakan sejauh ini pihaknya fokus terhadap pelestarian. Untuk penelitian dan eksplorasi kata dia, masih bekerja sama dengan luar negeri.
"Karena pengadaan fasilitas itu [laboratorium] memang biayanya tidak kecil, dan kita juga punya problem SDM... SDM ahli untuk periode ini misalnya juga tidak terlalu banyak di Indonesia ini," kata Hilmar Farid kepada BBC News Indonesia.
Saat ini, catatan dari direktorat kebudayaan terdapat 90.000 situs sejarah di Indonesia. Namun baru sekitar 10-15% yang sudah diteliti dengan kaidah-kaidah ilmiah. "Jadi kita masih punya banyak sekali pekerjaan rumah, dan memang ada rencana dari pemerintah untuk membuat pusat konservasi," lanjut Hilmar.
Terlebih lagi di masa pandemi, banyak anggaran yang dialihkan untuk prioritas kesehatan, sehingga "saat ini memang fokuksnya pada perlindungan. Jadi mengamankan saja terlebih dahulu."
Indonesia sebagai 'melting pot' segala ras manusia
Bagi Iwan Sumantri, temuan ini menambah keyakinannya yang sudah lebih dari tiga dekade menjadi arkeolog bahwa Indonesia merupakan "melting pot" atau kuali percampuran ras manusia seluruh dunia.
"Indonesia menjadi melting pot, daerah percampuran, sehingga tidak ada satu pun etnis yang mengatakan diri, atau mengatakan saya adalah asli Indonesia," katanya.
Ia menyusun hal ini sejak mulai dari kedatangan ras Austromelanesoid, Austronesia [melayu], pecampuran genetik Denisovan dan Neanderthal, Mongoloid, India, Persia sampai Eropa.
"Ras besar ini kemudian memberikan warna, kepada Indonesia mereka datang kemudian membawa budaya masing-masing, kemudian kita anut. Jadi pengetahuan arkeologi, memberikan kesadaran kepada saya soal keindonesiaan," kata Iwan.
Saat ini terdapat 4-5 kerangka manusia prasejarah yang menunggu untuk diteliti lebih jauh. Menguak misteri asal-usul mereka bergantung dari kerja sama dari lembaga atau institusi penelitian dari luar negeri. Tanpa itu, kemungkinan mereka akan menunggu selamanya di tempat aman, dan tak direkam dalam sejarah.