"Mungkin hidup di kompleks permakaman tampak aneh bagi sebagian orang, tapi kami sudah terbiasa," ujar Ana Maria Nieto, yang bermukim di Kota Arica, Chile.
Arica, yang berbatasan dengan Peru, dibangun di atas bukit pasir di Gurun Atacama, gurun terkering di dunia.
Namun, jauh sebelum kota pesisir itu didirikan pada abad ke-16, kawasan tersebut sudah dihuni orang-orang Chinchorro.
Budaya Chinchorro menjadi sorotan publik pada Juli lalu, manakala organisasi kebudayaan PBB (UNESCO) memasukkan ratusan mumi yang diawetkan orang-orang Chinchorro ke dalam Daftar Warisan Dunia.
Mumi-mumi Chinchorro pertama kali didokumentasikan oleh arkeolog asal Jerman bernama Max Uhle, setelah menemukan sejumlah mumi di pantai. Namun, perlu waktu selama berpuluh tahun guna menentukan umur mumi-mumi tersebut.
Penanggalan radiokarbon akhirnya memperlihatkan bahwa mumi-mumi tersebut berumur lebih dari 7.000 tahun lalu—lebih tua 2.000 tahun dari mumi-mumi Mesir kuno yang diketahui secara luas oleh khalayak dunia.
Fakta ini menjadi bukti arkeologis bahwa mumi-mumi Chinchorro merupakan mumi artifisial paling tua di dunia.
Bernardo Arriaza, seorang ahli antropologi yang pakar di bidang kebudayaan Chinchorro, mengatakan kaum Chinchorro sengaja berlatih teknik mumifikasi.
Itu artinya mereka menggunakan teknik pengawetan jenazah, alih-alih sengaja membiarkan jenazah menjadi mumi dalam iklim kering—walau ada pula ditemukan sejumlah jasad yang menjadi mumi secara alami di lokasi tersebut.
Orang-orang Chinchorro, menurut Arriaza, membuat sayatan kecil pada jasad yang hendak dijadikan mumi untuk mengeluarkan organ-organ tubuh. Rongga yang ada kemudian dikeringkan, sedangkan kulit jenazah dikupas.
Orang-orang Chinchorro lantas mengisi jasad dengan serat-serat alami serta ranting untuk menegakkannya sebelum menggunakan ilalang untuk menjahit kulit.
Mereka juga memasang rambut hitam tebal di bagian kepala mumi dan menutupi wajahnya dengan tanah liat serta topeng. Lubang lalu dibuat pada bagian mata dan mulut.
Akhirnya, jasad dilukis dengan warna merah atau hitam menggunakan pigmen dari mineral, oker, mangan, dan besi oksida.
Metode dan pendekatan mumifikasi orang-orang Chinchorro amat berbeda dengan teknik yang digunakan bangsa Mesir kuno, kata Arriaza.
Letak perbedaannya, bangsa Mesir kuno tak hanya menggunakan minyak dan perban. Mereka juga hanya melakukan mumifikasi untuk kaum elite yang meninggal dunia. Sedangkan orang-orang Chinchorro memumifikasi para pria, perempuan, anak, bayi, hingga janin terlepas dari status mereka.
Arica, yang berbatasan dengan Peru, dibangun di atas bukit pasir di Gurun Atacama, gurun terkering di dunia.
Namun, jauh sebelum kota pesisir itu didirikan pada abad ke-16, kawasan tersebut sudah dihuni orang-orang Chinchorro.
Budaya Chinchorro menjadi sorotan publik pada Juli lalu, manakala organisasi kebudayaan PBB (UNESCO) memasukkan ratusan mumi yang diawetkan orang-orang Chinchorro ke dalam Daftar Warisan Dunia.
Mumi-mumi Chinchorro pertama kali didokumentasikan oleh arkeolog asal Jerman bernama Max Uhle, setelah menemukan sejumlah mumi di pantai. Namun, perlu waktu selama berpuluh tahun guna menentukan umur mumi-mumi tersebut.
Penanggalan radiokarbon akhirnya memperlihatkan bahwa mumi-mumi tersebut berumur lebih dari 7.000 tahun lalu—lebih tua 2.000 tahun dari mumi-mumi Mesir kuno yang diketahui secara luas oleh khalayak dunia.
Fakta ini menjadi bukti arkeologis bahwa mumi-mumi Chinchorro merupakan mumi artifisial paling tua di dunia.
Bernardo Arriaza, seorang ahli antropologi yang pakar di bidang kebudayaan Chinchorro, mengatakan kaum Chinchorro sengaja berlatih teknik mumifikasi.
Itu artinya mereka menggunakan teknik pengawetan jenazah, alih-alih sengaja membiarkan jenazah menjadi mumi dalam iklim kering—walau ada pula ditemukan sejumlah jasad yang menjadi mumi secara alami di lokasi tersebut.
Orang-orang Chinchorro, menurut Arriaza, membuat sayatan kecil pada jasad yang hendak dijadikan mumi untuk mengeluarkan organ-organ tubuh. Rongga yang ada kemudian dikeringkan, sedangkan kulit jenazah dikupas.
Orang-orang Chinchorro lantas mengisi jasad dengan serat-serat alami serta ranting untuk menegakkannya sebelum menggunakan ilalang untuk menjahit kulit.
Mereka juga memasang rambut hitam tebal di bagian kepala mumi dan menutupi wajahnya dengan tanah liat serta topeng. Lubang lalu dibuat pada bagian mata dan mulut.
Akhirnya, jasad dilukis dengan warna merah atau hitam menggunakan pigmen dari mineral, oker, mangan, dan besi oksida.
Metode dan pendekatan mumifikasi orang-orang Chinchorro amat berbeda dengan teknik yang digunakan bangsa Mesir kuno, kata Arriaza.
Letak perbedaannya, bangsa Mesir kuno tak hanya menggunakan minyak dan perban. Mereka juga hanya melakukan mumifikasi untuk kaum elite yang meninggal dunia. Sedangkan orang-orang Chinchorro memumifikasi para pria, perempuan, anak, bayi, hingga janin terlepas dari status mereka.