Lalibela adalah sebuah kota di Ethiopia utara yang terkenal akan gereja-gerejanya yang dipahat pada batuan monolit. Lalibela adalah salah satu kota suci Ethiopia, nomor dua setelah Aksum, dan merupakan sebuah pusat peziarahan. Tidak seperti Aksum, hampir semua penduduk Lalibela adalah umat Kristen Ortodoks Ethiopia. Ethiopia adalah salah satu bangsa terawal yang menganut agama Kristen pada paruh pertama abad ke-4, dan sejarahnya berakar pada zaman para rasul.
Pada masa pemerintahan Santo Gebre Mesqel Lalibela (dari Wangsa Zagwe, yang memerintah Ethiopia pada penghujung abad ke-12 dan permulaan abad ke-13), kota Lalibela dikenal dengan nama Roha. Raja saleh ini dinamakan demikian, konon karena sekerumunan lebah beterbangan di sekelilingnya tatkala dilahirkan, yang dianggap oleh ibundanya sebagai pertanda bahwa ia kelak akan menjadi Kaisar Ethiopia. Nama beberapa tempat di Lalibela sekarang ini dan tata letak gereja-gereja pahatan itu sendiri konon meniru nama-nama dan letak tempat yang dilihat Lalibela tatkala tinggal di Yerusalem dan Tanah Suci pada masa mudanya.
Lalibela, yang dihormati sebagai orang suci, konon pernah melihat Yerusalem, dan karena itu berusaha mendirikan sebuah Yerusalem baru sebagai ibu kota kerajaannya menggantikan Yerusalem lama yang jatuh ke tangan kaum Muslim pada 1187. Masing-masing gereja dipahatkan pada batu masif utuh, perlambang kerohanian dan kerendahan hati. Iman Kristen menginspirasi penamaan berbagai hal dengan nama-nama Alkitabiah – bahkan sungai di Lalibela pun dinamakan Sungai Yordan. Lalibela menjadi ibu kota Ethiopia sejak akhir abad ke-12 sampai dengan abad ke-13.
Orang Eropa pertama yang melihat langsung gereja-gereja itu adalah pengelana Portugis, Pêro da Covilhã (1460–1526). Padri Portugis, Francisco Álvares (1465–1540), menyertai Duta Besar Portugal saat berkunjung ke Lebna Dengel pada 1520s. Ia mencatat tentang bangunan-bangunan gereja yang unik itu sebagai berikut:
Saya penat menulis lebih banyak lagi tentang bangunan-bangunan ini, karena menurut saya agaknya orang tidak akan mempercayai saya jikalau saya menulis lebih banyak lagi...Demi Tuhan, yang berkat kuasa-Nya saya ada, saya bersumpah bahwa semua yang telah saya tulis adalah kebenaran
Meskipun Ramuso memasukkan denah-denah beberapa dari gereja-gereja itu dalam catatan Álvares yang dicetaknya pada tahun 1550, penyumbang gambar-gambar denah itu sendiri masih menjadi misteri. Pengunjung Eropa berikutnya ke Lalibela menurut laporan adalah Miguel de Castanhoso, yang bertugas sebagai seorang prajurit di bawah pimpinan Christovão da Gama dan meninggalkan Ethiopia pada 1544. Sesudah Miguel de Castanhoso, 300 tahun lebih berlalu sebelum orang Eropa berikutnya, Gerhard Rohlfs, suatu ketika mengunjungi Lalibela antara tahun 1865 sampai 1870.
Menurut Futuh al-Habasa karya Sihab ad-Din Ahmad, Ahmad Gragn membakar salah satu dari gereja-gereja di Lalibela ketika menginvasi Ethiophia. Meskipun demikian, Richard Pankhurst telah mengungkapkan keraguannya akan kebenaran catatan peristiwa itu, dengan menunjukkan bahwa sekalipun Sihab ad-Din Ahmad menyajikan deskripsi terperinci dari sebuah gereja pahatan pada batu padas ("dipahatkan pada pegunungan. Demikian pula tiang-tiangnya dipahatkan pada pegunungan." ), hanya satu gereja yang disebutkan; Pankhurst menambahkan pula bahwa "keistimewaan Lalibela, (sebagaimana yang diketahui oleh setiap wisatawan), adalah bahwasanya ia adalah situs dari sekitar sebelas gereja batu, bukan hanya satu – dan masing-masing berada dalam jarak yang kurang-lebih hanya sepelempar batu dari yang lain!" Pankhurst juga menyinggung bahwa Kronik Kerajaan, yang mencatat peristiwa penghancuran distrik itu oleh Ahmad Gragn antara Juli dan September 1531, justru tidak menyebutkan apa-apa mengenai peristiwa perusakan gereja-gereja legendaris kota itu oleh Sang Imam. Ia menyimpulkan bahwa jikalau Ahmad Gragn memang membakar sebuah gereja di Lalibela, maka kemungkinan besar gereja yang dibakar adalah Bete Medhane Alem; dan jika bala tentara Muslim telah salah sangka atau pun telah diperdaya oleh penduduk setempat, maka gereja yang dibakarnya adalah Gannata Maryam, "10 mil di timur Lalibela yang juga memiliki tiang-tiang yang dipahatkan pada pegunungan."
Kota kecil ini terkenal di seluruh dunia akan gereja-gerejanya yang dipahat dari dalam bumi dari "batu padas utuh," yang memainkan peranan penting dalam sejarah arsitektur pahatan pada batu padas. Sekalipun penanggalan dari gereja-gereja ini belum ditetapkan secara pasti, sebagian besar diduga didirikan pada masa pemerintahan Lalibela, yakni di abad ke-12 dan ke-13. Unesco mengidentifikasi 11 gereja, yang dibagi menjadi empat kelompok:
Kelompok Utara:
Biete Medhane Alem (Rumah Juru Selamat Dunia), tempat disimpannya Salib Lalibela dan diyakini sebagai gereja monolitik terbesar di dunia, kemungkinan besar meniru bangunan Santa Maria dari Zion di Aksum.
Biete Maryam (Rumah Miriam/Rumah Maria), kemungkinan besar adalah gereja yang paling tua di antara semuanya, dan dibangun sebagai replika dari makam Adam dan Kristus.
Biete Golgota Mikael (Rumah Golgota Mikael), terkenal akan seni rupanya dan konon berisi makam Raja Lalibela)
Biete Meskel (Rumah Salib)
Biete Denagel (Rumah Para Perawan)
Kelompok Barat:
Biete Giyorgis (Gereja Santo Georgius), diduga adalah gereja yang paling halus pengerjaannya dan yang paling terawat di antara semuanya.
Kelompok Timur:
Biete Amanuel (Rumah Imanuel), kemungkinan besar bekas kapel kerajaan.
Biete Qeddus Merkoreos (Rumah Santo Merkoreos/Rumah Santo Markus), mungkin bekas penjara
Biete Abba Libanos (Rumah Abbas Libanos)
Biete Gabriel-Rufael (Rumah Gabriel dan Rafael) kemungkinan besar bekas istana kerajaan, terhubung dengan sebuah tempat pembuatan roti suci.
Biete Lehem (Betlehem, bahasa Ibrani: בֵּית לֶחֶם, Rumah Roti).
Jauh dari lokasi itu terletak biara Asyetan Maryam dan Gereja Yemrehana Kristos, (kemungkinan besar dari abad ke-11, dibangun dalam gaya Aksum, tetapi di dalam sebuah gua).
Terdapat kontroversi mengenai waktu pembuatan beberapa gereja. David Buxton menetapkan kronologi yang berterima-umum, yang menerangkan bahwa "dua di antaranya dibangun dengan mengikuti, sampai sekecil-kecilnya, tradisi pendirian bangunan yang tampak pada biara Debra Damo dan telah dimodifikasi di Yemrahana Kristos." karena waktu yang diperlukan untuk memahat bangunan-bangunan ini pada batu padas utuh tentunya lebih lama dari beberapa dasawarsa masa pemerintahan Raja Lalibela, maka Buxton berasumsi bahwa pengerjaannya berlanjut sampai abad ke-14. Akan tetapi, David Phillipson, profesor arkeologi Afrika di Cambridge University, berpendapat bahwa gereja Merkorios, gereja Gabriel-Rufael, dan gereja Danagel mula-mula dipahatkan pada batu padas setengah milenium sebelumnya, sebagai benteng pertahanan atau bangunan-bangunan lain dari istana pada masa-masa kemunduran Kerajaan Aksum, dan dikait-kaitkan dengan Lalibela setelah Sang Raja wafat. Di lain pihak, sejarawan lokal, Getachew Mekonnen, mendapuk Masqal Kibra, permaisuri Lalibela, sebagai tokoh pembangun salah satu di antara gereja-gereja itu, yakni gereja Abba Libanos yang didirikan sebagai monumen peringatan suaminya setelah wafatnya.
Bertentangan dengan teori-teori yang dikemukakan para penulis seperti Graham Hancock, Buxton berpendapat bahwa gereja-gereja besar yang dipahatkan pada batu padas di Lalibela tidak dikerjakan dengan bantuan Ksatria Templar; ia mengemukakan banyak bukti yang ada untuk memperlihatkan bahwa gereja-gereja itu semata-mata adalah hasil karya peradaban zaman pertengahan Ethiopian. Sebagai contoh, meskipun Buxton menyinggung mengenai adanya tradisi yang mengatakan bahwa "Bangsa Abisinia meminta bantuan dari orang-orang asing" untuk membangun gereja-gereja monolitik ini, dan mengakui bahwa "ada tanda-tanda jelas pengaruh Koptik dalam beberapa detail hiasan" (tidaklah mengherankan mengingat adanya hubungan teologi, hubungan gerejawi, dan hubungan budaya di antara Gereja Ortodoks Ethiopia dan Gereja Ortodoks Koptik), ia bersikeras bahwa gereja-gereja itu dalah hasil karya masyarakat pribumi: "Tetapi fakta yang signifikan adalah bahwasanya gereja-gereja batu padas itu tetap melanjutkan ciri khas yang dimiliki prototipe-prototipe bangunan pribumi setempat, yang masih jelas menampakkan ciri khas warisan Aksum."
Gereja-gereja itu juga merupakan sebuah bukti kepiawaian teknik, mengingat semua bangunan itu berkaitan dengan air (yang memenuhi sumur-sumur yang terletak bersebelahan dengan sebagian besar dari gereja-gereja itu), yaitu dalam pemanfaatan sebuah sistem geologi artesis yang mendorong air naik ke tebing-tebing pegunungan tempat kota itu berada.
Laporan-laporan misi UNESCO lainnya
Dalam sebuah laporan tahun 1970 mengenai pemukiman-pemukiman bersejarah di Lalibela, Sandro Angelini mengevaluasi arsitektur pribumi berbahan baku tanah di Situs Warisan Dunia Lalibela, termasuk karakteristik-karakteristik rumah-rumah tanah tradisional, dan analisis status konservasinya.
Dalam laporannya, Angelini mendeskripsikan dua tipe rumah pribumi di Lalibela. Tipe pertama adalah sekelompok rumah yang ia sebut "tukul", yakni pondok-pondok yang terbuat dari batu dan biasanya berlantai dua. Tipe kedua adalah bangunan-bangunan "chika" berlantai satu, berbentuk bundar, terbuat dari tanah dan kayu akasia, yang menurutnya merupakan bentuk yang lebih "langka". Laporan Angelini juga memuat daftar bangunan-bangunan tradisional Lalibela, yang ia golong-golongkan ke dalam beberapa kategori menurut status konservasinya.
Lalibela juga memiliki sebuah bandar udara (ICAO kode HALL, IATA LLI), sebuah pasar besar, dua buah sekolah dan sebuah rumah sakit.
Berdasarkan data sensus 2007, populasi Lalibela berjumlah 17.367 jiwa, terdiri atas 8.112 laki-laki dan 9.255 perempuan. Berdasarkan data sebelumnya yang dikeluarkan Central Statistical Agency pada 2005, populasi Lalibela diperkirakan berjumlah 14.668 jiwa, terdiri atas 7.049 laki-laki dan 7.619 perempuan. Berdasarkan hasil sensus nasional 1994, populasi Lalibela berjumlah 8.484 jiwa, terdiri atas 3.709 laki-laki dan 4.775 perempuan.