“Tuhan akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun, apabila engkau mendengarkan perintah Tuhan, Allahmu, yang kusampaikan pada hari ini kau lakukan dengan setia, dan apabila engkau tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri dari segala perintah yang kuberikan kepadamu pada hari ini, dengan mengikuti allah lain dan beribadah kepadanya.” (Ulangan 28; 13-14)
Jika kita baca secara keseluruhan Ulangan 28, kita akan menemukan dari ayat 1-14 berbicara tentang berkat, dan ayat 15-68 berbicara tentang kutuk. Inilah kebenaran Firman Tuhan itu, menjadi kepala bukanlah ketetapan Allah; menjadi kepala adalah berkat bagi setiap murid Tuhan yang “baik-baik mendengarkan suara TUHAN … dan melakukan dengan setia segala perintah-Nya” (Ulangan 28:1).
Menjadi kepala bukan ekor (Ul. 28:13) yang dimaksud Alkitab adalah, menjadi pemimpin, pemberi arah. Menjadi kepala itu sangat jelas. Ke mana kepala pergi ke situ ekor mengikuti. Jadi yang dimaksud menjadi kepala bukan soal kaya, atau kuantitas, tetapi sekali lagi soal kualitas. Israel tak boleh seperti bangsa lain yang kafir, tak mengenal Allah. Israel harus bisa menunjukkan keunikannya dalam monoteisnya. Israel yang ber-Allah satu. Itu unik di tengah bangsa lain yang ber-Allah banyak. Itu sebab Israel dituntut setia terhadap firman Tuhan dan mengajarkannya berulang kali kepada setiap anak-anak Israel. Dalam kesetiaan itu mereka diatur oleh hukum Allah yang berdaulat. Maka jika mereka taat, mereka akan menjadi bangsa yang besar dan berpengaruh, berkuasa dan mempengaruhi bangsa yang lainnya. Itulah menjadi kepala.
Sementara soal harta dan yang lainnya adalah bonus belaka, bukan tujuan utama. Tujuan utama kepala adalah memberi arah, memimpin di jalan yang benar. Indah bukan? Menjadi ekor sudah jelas pengekor, mengikuti arus zaman. Dunia sangat cinta uang, materialistis. Apa saja dihalalkan dalam mengumpulkan uang. Uang membuat seseorang merasa terhormat, dan dengan uang bisa membeli apa saja. Bahkan bisa belanja keadilan, dan kehormatan semu. Uang menjadi tujuan kebanyakan para imam di era Perjanjian Lama, dan semakin menggila di era Perjanjian Baru. Para imam mencari keuntungan lewat ibadah di bait Allah. Yesus pernah membongkar praktek mereka, dan menyucikan bait suci yang ternyata tak suci. Dan yang paling mengerikan, Yudas pun rela menjual Yesus dengan 30 keping perak. Uang telah membuat Yudas gelap mata, membuang kehormatan kemuridannya. Semua soal uang, soal kaya. Inikah menjadi kepala? Itu bukan kepala, tetapi sebaliknya itu ekor tanpa daya. Tertarik dengan nilai dunia, dan menjadi pengikutnya. Ironis bukan, merasa menjadi kepala, padahal murni ekor. Mengikut dunia, tetapi merasa memimpinnya.
Itu sebab tidak heran jika dunia mencemooh gereja yang semakin hari semakin berkurang saja orang setia yang beriman teguh. Mirip kisah Gideon yang mempersiapkan tentara untuk pertempuran sebanyak 30 ribu orang (Hak. 7). Tetapi ternyata tinggal sedikit ketika seleksi ilahi terjadi. Gideon pergi bertempur hanya dengan 300 tentara, dan berhasil. Gereja bagaikan 30 ribu orang yang banyak, ramai, penuh. Padahal yang sejati hanya 300 orang, kecil, sedikit, tampak tak berarti, tapi itulah pemenangnya. Kualitas bukan kuantitas. Jadi sangat jelas bukan artinya menjadi kepala. Ingat, para nabi bukan orang kaya, bahkan sebaliknya, ada yang peternak kaya dipanggil jadi nabi dan meninggalkan semuanya. Ada Elisa yang menolak uang Naaman, sementara pelayan masa kini mirip Gehazi pembantu Elisa, bukan saja menyambar uang yang ditolak Elisa, jika perlu mereka menipu dengan dalih proyek pelayanan. Dan jika kaya, mereka menyebut diri kepala. Sungguh sebuah penipuan yang licin.
Penipuan dengan pembenaran yang diindoktrinasikan, yang membuat umat terbius, dan kalaupun tahu, takut mengoreksinya. Ingat, kaya bukan dosa, bukan kaya yang jadi masalah, tetapi konsepnya dan caranya. Jika Tuhan mau memberi, apalah susahnya. Dunia ini, dan segenap isinya milik Tuhan. Tapi, berkata mewah itu dari Tuhan, dan menjadikannya gaya hidup, itulah persoalan. Umat Kristen menjadi sangat self-oriented, gila kaya, kehilangan kepekaan pada sesama. Kesaksian selalu berputar soal kuantitas, bukan lagi kualitas hidup. Seharusnya menjadi kepala, adalah menjadi orang yang berintegritas, orang yang dapat diteladani menjadi model, menjadi kepala. Alangkah indahnya dunia jika orang Kristen menjadi terang seperti tuntutan Yesus kepada setiap orang percaya.
Orang Kristen menjadi kepala, sehingga jelaslah arah kehidupan. Ini menjadi tuntutan pada setiap pemimpin. Dalam kepemimpinan umum, seharusnya seorang pemimpin memiliki jiwa kepahlawanan, menjadi pelindung kaumnya, dan sangat menjaga orang di sekitarnya. Dia bukan tipe orang yang mengamankan diri, dan pengkhianat terhadap pengabdian orangnya sendiri. Dia bukan pemim-pin yang hanya lancar bicara, tapi gagap mewujudkannya. Bukan oportunis, cinta kaya, ingin jadi idola, tetapi mengorbankan kawan-kawannya. Begitu pula dalam dunia keagamaan, sungguh tak bisa dibayangkan pemimpin agama yang oportunis bukan? Menyedot kekayaan umat, dengan meminta umat suka memberi, padahal dia sendiri sebagai pemimpin agama tak suka berbagi. Hanya menumpuk untuk diri, dan terus berjalan dalam manipulasi.
Menjadi kepala bukan ekor dalam arti yang sesungguhnya sangat dibutuhkan di tengah dunia yang oportunis ini. Menjadi kepala bukan ekor sudah seharusnya menjadi semangat yang tak pernah padam, itulah panggilan orang percaya. Cobalah mulai dengan sikap yang kritis dengan mencermati kepemimpinan agama di sekitar Anda, mulailah mengenali mana yang sejati dan mana yang hanya sekadar untuk materi. Ingat, jual beli “Firman” sudah sangat terkenal di era Bileam si nabi mata duitan. Karena itu jangan terjerumus lagi di lubang yang sama, di akhir zaman ini. Lalu mulai pula dengan berani mempertanyakan hal yang kelihatan salah. Tak perlu takut risikonya, karena Tuhan Yesus sudah mengatakannya: bahwa yang layak menjadi murid-Nya hanyalah mereka yang berani menanggung risiko.
Oleh sebab itu ‘menjadi kepala dan bukan ekor’, memiliki suatu proses melalui suatu perjalanan dari ekor sampai kepala, yang mana dalam perjalanan itu terdapat latihan yang berkorelasi dengan peningkatan tanggung jawab sedikit demi sedikit sesuai dengan kemampuan kita. Dan peningkatan tanggung jawab berkorelasi dengan peningkatan posisi. Perjalanan dari ekor sampai kepala adalah perjalanan pertumbuhan karakter, pertumbuhan iman dan ketaatan.
1. PERTUMBUHAN KARAKTER
Kita sudah menyadari bahwa dalam perjalanan kita bersama Tuhan, Tuhan melatih karakter kita sedikit demi sedikit, melalui berbagai hal yang menjengkelkan yang terjadi sehari-hari dalam hidup kita. Seberapa besar pertumbuhan karakter kita, menentukan seberapa besar Tuhan dapat memberi tanggung jawab kepada kita, korelasinya adalah seberapa tinggi Tuhan dapat memberi kita posisi, baik dalam pelayanan maupun dalam dunia sekuler. Alkitabat berkata: Matius 5: 48 Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna."
Apa yang terjadi jika Tuhan tidak repot-repot melatih karakter kita dahulu, sebelum memberi kita suatu posisi kepala ? Kita pelajari ‘raja karbitan’ yang gagal seperti Saul. Saya sebut Saul adalah ‘raja karbitan’, karena Saul begitu cepat menjadi raja setelah diurapi, tanpa latihan yang panjang seperti Daud, akibatnya Saul gagal. Kita tidak dapat menyalahkan Tuhan atas kegagalan Saul, tetapi kita juga tidak dapat seratus persen menyalahkan Saul atas kegagalannya. Ingatlah bahwa Tuhan terpaksa cepat-cepat mengangkat Saul menjadi raja, karena desakan bangsa Israel sendiri. “Sebab itu berkumpullah semua tua-tua Israel , mereka datang kepada Samuel di Rama dan berkata kepadanya : “Engkau sudah tua dan anak-anakmu tidak hidup seperti engkau; maka angkatlah sekarang seorang raja atas kami untuk memerintah kami, seperti pada segala bangsa-bangsa lain.” (1 Sam 8; 4-5)
Jadi Tuhan tidak sempat mendidik karakter Saul sebelum menjadi raja, tetapi Tuhan langsung mengangkatnya. Dari hal ini kita juga dapat belajar untuk tidak memaksa Tuhan melakukan kehendak kita, tetapi biarlah kehendak Tuhan yang terjadi dalam hidup kita, karena Tuhan tahu apa yang terbaik bagi kita, dan segala sesuatu indah pada waktunya. Dan inilah salah satu kegagalan Saul akibat karakternya belum dididik Tuhan; “Tetapi pada waktu mereka pulang, ketika Daud kembali sesudah mengalahkan orang Filistin itu, keluarlah orang-orang perempuan dari segala kota Israel menyongsong raja Saul sambil menyanyi dan menari-nari dengan memukul rebana, dengan bersukaria dan dengan membunyikan gerincing, dan perempuan yang menari-nari itu menyanyi berbalas-balasan, katanya : “Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa.” Lalu bangkitlah amarah Saul dengan sangat, dan perkataan itu menyebalkan hatinya, sebab pikirnya “Kepada Daud diperhitungkan mereka berlaksa-laksa tetapi kepadaku diperhitungkannya beribu-ribu, akhir-akhirnya jabatan raja itupun jatuh kepadanya.” Sejak hari itu maka Saul selalu mendengki Daud.” (1 Sam 18 ; 6-8). Sebagai raja, Saul punya wewenang, kekuasaan dan pengaruh besar. Hanya berkata : “Daud adalah musuh bersama,” maka seluruh rakyat mengikutinya begitu saja, tanpa mengetahui duduk perkaranya. Padahal kalau ditelusuri duduk perkaranya, hanyalah karena Saul mendengki Daud karena Daud lebih dimuliakan oleh perempuan-perempuan yang bernyanyi dan menari menyambut mereka. Hanya karena persoalan itu saja, 85 imam termasuk Ahimelekh dibunuh, dan seluruh penduduk Nod, yang adalah kota imam itu dibunuh. Begitulah bahayanya, jika seseorang begitu saja menjadi raja, tanpa karakter yang terlatih. Karena seorang raja atau seorang pemimpin mempunyai pengaruh besar terhadap bawahannya.
2. PERTUMBUHAN IMAN
Sejalan dengan bertambahnya tanggung jawab, maka iman kita juga harus bertumbuh. Oleh sebab itu Tuhan perlu melatih iman kita dari hal-hal kecil sampai hal-hal besar. Apa akibatnya jika iman tidak dilatih secara bertahap ? Kita belajar lagi dari kegagalan Saul. “Ia menunggu tujuh hari lamanya sampai waktu yang ditentukan Samuel. Tetapi ketika Samuel tidak datang ke Gilgal, mulailah rakyat itu berserak-serak meninggalkan dia. Sebab itu Saul berkata : “Bawalah kepadaku korban bakaran dan korban keselamatan itu.” Lalu ia mempersembahkan korban bakaran. Baru saja ia habis mempersembahkan korban bakaran, maka tampaklah Samuel datang. Saul pergi menyongsongnya untuk memberi salam kepadanya. Tetapi kata Samuel : “Apa yang telah kau perbuat ?” Jawab Saul : “Karena aku melihat rakyat itu berserak-serak meninggalkan aku dan engkau tidak datang pada waktu yang telah ditentukan, padahal orang Filistin telah berkumpul di Mikhmas, maka pikirku : Sebentar lagi orang Filistin akan menyerang aku di Gilgal, padahal aku belum memohonkan belas kasihan Tuhan; sebab itu aku memberanikan diri, lalu mempersembahkan korban bakaran.”
Kata Samuel kepadanya : “Perbuatanmu itu bodoh. Engkau tidak mengikuti perintah Tuhan, Allahmu yang diperintahkanNya kepadamu; sebab sedianya Tuhan mengokohkan kerajaanmu atas orang Israel untuk selama-lamanya. Tetapi sekarang kerajaanmu tidak akan tetap; Tuhan telah memilih seorang yang berkenan dihatiNya dan Tuhan telah menunjuk dia menjadi raja atas umatNya, karena engkau tidak mengikuti apa yang diperintahkan Tuhan kepadamu.” (1 Sam 13; 8-14) . Apa yang membuat Saul gagal untuk menunggu Samuel ? Imannya tidak terlatih, ia terdesak karena rakyatnya sudah berserak-serak, ia ketakutan, lalu ia gagal untuk menunggu kedatangan Saul. Bayangkan, baru ‘kemaren sore’, ia hanya bertanggung jawab mencari 3 keledai ayahnya yang hilang, dan hari itu ia harus berhadapan dengan bangsa Filistin. Imannya tidak siap. Dari hal ini kita mengerti kenapa Tuhan perlu melatih iman kita setahap demi setahap, sebelum memberi kita posisi “pinggang”, atau “bahu”, atau bahkan “kepala”.
3. KETAATAN
Mengapa dalam perjalanan dari ‘ekor sampai kepala’, melatih diri untuk hidup dalam ketaatan menjadi begitu penting ? “Jadi sama seperti oleh ketidak taatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang, semua orang menjadi orang benar.” (Rm 5:19). Jika kita berada pada posisi “pinggang”, maka ketaatan kita membuat semua orang dari ‘pinggang sampai ekor’ (yang kita pimpin), menjadi orang benar. Jika kita berada pada posisi “bahu”, maka ketaatan kita membuat semua orang dari ‘bahu sampai ekor’ (yang kita pimpin) menjadi orang benar Dan jika kita berada pada posisi “kepala”, maka ketaatan kita membuat semua orang dari “kepala sampai ekor” (yang kita pimpin) menjadi orang benar.
Kali ini kita ambil contoh pelanggaran Daud. Pelanggaran atau ketidak taatan Daud membuat semua orang yang dipimpinnya menjadi orang berdosa, dan mengakibatkan 70.000 rakyatnya mati kena tulah. “Iblis bangkit melawan orang Israel dan ia membujuk Daud untuk menghitung orang Israel . Lalu berkatalah Daud kepada Yoab dan kepada para pemuka rakyat : “Pergilah, hitunglah orang Israel dari Bersyeba sampai Dan, dan bawalah hasilnya kepadaku, supaya aku tahu jumlah mereka. (2 Taw 21; 1-2). Tetapi hal itu jahat di mata Allah, sebab itu dihajarNya orang Israel . Lalu berkatalah Daud kepada Allah : “Aku telah sangat berdosa karena melakukan hal ini; maka sekarang, jauhkanlah kiranya kesalahan hambaMu, sebab perbuatanku itu sangat bodoh.” Tetapi berfirmanlah Tuhan kepada Gad, pelihat Daud. “Pergilah, katakanlah kepada Daud : Beginilah Firman Tuhan : Tiga perkara kuhadapkan kepadamu : pilihlah salah satu dari padanya, maka Aku akan melakukannya kepadamu.”
Kemudian datanglah Gad kepada Daud, lalu berkatalah ia kepadanya :“Beginilah Firman Tuhan; Haruslah engkau memilih : tiga tahun kelaparan, atau tiga bulan lamanya melarikan diri dari hadapan lawanmu, sedang pedang musuhmu menyusul engkau, atau 3 hari pedang Tuhan, yakni penyakit sampar, ada di negeri ini, dan malaikat Tuhan mendatangkan kemusnahan di seluruh daerah orang Israel. Maka sekarang, timbanglah jawab apa yang harus kusampaikan kepada Yang Mengutus aku.” (1 Taw 21 ; 7-12). Jadi sebagai raja, ketidak taatan atau pelanggaran Daud membuat 70.000 rakyatnya mati kena tulah. Sefatal itu akibat dari pelanggaran seorang raja. Jadi dapat kita lihat betapa pentingnya berlatih untuk hidup dalam ketaatan dalam perjalanan dari ekor sampai kepala ini. Dan berlatih untuk taat juga berarti berlatih dalam kepekaan mendengar suara Tuhan dan mengerti kehendakNya.
Jadi mengapa berambisi, mengapa bersaing ? Mengapa tidak kita nikmati saja proses hidup dalam Tuhan ? Yang berada di posisi ekor, bersyukurlah karena Tuhan belum memberi tanggung jawab kepadamu. Yang berada di posisi ‘pinggang’, bersyukurlah karena Tuhan belum memberi tanggung jawab besar kepadamu. Yang berada di posisi ‘bahu’, harus mulai waspada karena tanggung jawab anda mulai besar. Dan yang berada di posisi ‘kepala’, waspadalah karena tanggung jawab anda yang besar. Dan jika anda adalah ‘raja karbitan’, atau ‘kepala’ karena warisan atau nepotisme, waspadalah dan belajarlah dari kegagalan Saul. Dan karena bersyukur, tidak perlu bukan untuk berambisi dan bersaing-saing ? Kita tahu bahwa ambisi dan persaingan menimbulkan iri hati, dan dari iri hati dan mementingkan diri sendiri timbul kekacauan dan segala macam perbuatan jahat. Jadi lebih baik kita bersyukur saja atas posisi masing-masing. Dan lebih baik kita tidak mencela ataupun iri hati pada para gembala kita, laki-laki atau perempuan, karena seperti yang sudah kita pelajari di atas, ternyata tanpa sepengetahuan kita, Tuhan telah memakai mereka untuk berjaga-jaga atas jiwa kita, dan bertanggung jawab atasnya. Ini benar-benar bukan tanggung jawab yang mudah, jadi lebih baik kita mendoakan mereka, daripada bergossip, memfitnah, menentang ataupun memberontak kepada mereka. Tuhan memberkati.
Jika kita baca secara keseluruhan Ulangan 28, kita akan menemukan dari ayat 1-14 berbicara tentang berkat, dan ayat 15-68 berbicara tentang kutuk. Inilah kebenaran Firman Tuhan itu, menjadi kepala bukanlah ketetapan Allah; menjadi kepala adalah berkat bagi setiap murid Tuhan yang “baik-baik mendengarkan suara TUHAN … dan melakukan dengan setia segala perintah-Nya” (Ulangan 28:1).
Menjadi kepala bukan ekor (Ul. 28:13) yang dimaksud Alkitab adalah, menjadi pemimpin, pemberi arah. Menjadi kepala itu sangat jelas. Ke mana kepala pergi ke situ ekor mengikuti. Jadi yang dimaksud menjadi kepala bukan soal kaya, atau kuantitas, tetapi sekali lagi soal kualitas. Israel tak boleh seperti bangsa lain yang kafir, tak mengenal Allah. Israel harus bisa menunjukkan keunikannya dalam monoteisnya. Israel yang ber-Allah satu. Itu unik di tengah bangsa lain yang ber-Allah banyak. Itu sebab Israel dituntut setia terhadap firman Tuhan dan mengajarkannya berulang kali kepada setiap anak-anak Israel. Dalam kesetiaan itu mereka diatur oleh hukum Allah yang berdaulat. Maka jika mereka taat, mereka akan menjadi bangsa yang besar dan berpengaruh, berkuasa dan mempengaruhi bangsa yang lainnya. Itulah menjadi kepala.
Sementara soal harta dan yang lainnya adalah bonus belaka, bukan tujuan utama. Tujuan utama kepala adalah memberi arah, memimpin di jalan yang benar. Indah bukan? Menjadi ekor sudah jelas pengekor, mengikuti arus zaman. Dunia sangat cinta uang, materialistis. Apa saja dihalalkan dalam mengumpulkan uang. Uang membuat seseorang merasa terhormat, dan dengan uang bisa membeli apa saja. Bahkan bisa belanja keadilan, dan kehormatan semu. Uang menjadi tujuan kebanyakan para imam di era Perjanjian Lama, dan semakin menggila di era Perjanjian Baru. Para imam mencari keuntungan lewat ibadah di bait Allah. Yesus pernah membongkar praktek mereka, dan menyucikan bait suci yang ternyata tak suci. Dan yang paling mengerikan, Yudas pun rela menjual Yesus dengan 30 keping perak. Uang telah membuat Yudas gelap mata, membuang kehormatan kemuridannya. Semua soal uang, soal kaya. Inikah menjadi kepala? Itu bukan kepala, tetapi sebaliknya itu ekor tanpa daya. Tertarik dengan nilai dunia, dan menjadi pengikutnya. Ironis bukan, merasa menjadi kepala, padahal murni ekor. Mengikut dunia, tetapi merasa memimpinnya.
Itu sebab tidak heran jika dunia mencemooh gereja yang semakin hari semakin berkurang saja orang setia yang beriman teguh. Mirip kisah Gideon yang mempersiapkan tentara untuk pertempuran sebanyak 30 ribu orang (Hak. 7). Tetapi ternyata tinggal sedikit ketika seleksi ilahi terjadi. Gideon pergi bertempur hanya dengan 300 tentara, dan berhasil. Gereja bagaikan 30 ribu orang yang banyak, ramai, penuh. Padahal yang sejati hanya 300 orang, kecil, sedikit, tampak tak berarti, tapi itulah pemenangnya. Kualitas bukan kuantitas. Jadi sangat jelas bukan artinya menjadi kepala. Ingat, para nabi bukan orang kaya, bahkan sebaliknya, ada yang peternak kaya dipanggil jadi nabi dan meninggalkan semuanya. Ada Elisa yang menolak uang Naaman, sementara pelayan masa kini mirip Gehazi pembantu Elisa, bukan saja menyambar uang yang ditolak Elisa, jika perlu mereka menipu dengan dalih proyek pelayanan. Dan jika kaya, mereka menyebut diri kepala. Sungguh sebuah penipuan yang licin.
Penipuan dengan pembenaran yang diindoktrinasikan, yang membuat umat terbius, dan kalaupun tahu, takut mengoreksinya. Ingat, kaya bukan dosa, bukan kaya yang jadi masalah, tetapi konsepnya dan caranya. Jika Tuhan mau memberi, apalah susahnya. Dunia ini, dan segenap isinya milik Tuhan. Tapi, berkata mewah itu dari Tuhan, dan menjadikannya gaya hidup, itulah persoalan. Umat Kristen menjadi sangat self-oriented, gila kaya, kehilangan kepekaan pada sesama. Kesaksian selalu berputar soal kuantitas, bukan lagi kualitas hidup. Seharusnya menjadi kepala, adalah menjadi orang yang berintegritas, orang yang dapat diteladani menjadi model, menjadi kepala. Alangkah indahnya dunia jika orang Kristen menjadi terang seperti tuntutan Yesus kepada setiap orang percaya.
Orang Kristen menjadi kepala, sehingga jelaslah arah kehidupan. Ini menjadi tuntutan pada setiap pemimpin. Dalam kepemimpinan umum, seharusnya seorang pemimpin memiliki jiwa kepahlawanan, menjadi pelindung kaumnya, dan sangat menjaga orang di sekitarnya. Dia bukan tipe orang yang mengamankan diri, dan pengkhianat terhadap pengabdian orangnya sendiri. Dia bukan pemim-pin yang hanya lancar bicara, tapi gagap mewujudkannya. Bukan oportunis, cinta kaya, ingin jadi idola, tetapi mengorbankan kawan-kawannya. Begitu pula dalam dunia keagamaan, sungguh tak bisa dibayangkan pemimpin agama yang oportunis bukan? Menyedot kekayaan umat, dengan meminta umat suka memberi, padahal dia sendiri sebagai pemimpin agama tak suka berbagi. Hanya menumpuk untuk diri, dan terus berjalan dalam manipulasi.
Menjadi kepala bukan ekor dalam arti yang sesungguhnya sangat dibutuhkan di tengah dunia yang oportunis ini. Menjadi kepala bukan ekor sudah seharusnya menjadi semangat yang tak pernah padam, itulah panggilan orang percaya. Cobalah mulai dengan sikap yang kritis dengan mencermati kepemimpinan agama di sekitar Anda, mulailah mengenali mana yang sejati dan mana yang hanya sekadar untuk materi. Ingat, jual beli “Firman” sudah sangat terkenal di era Bileam si nabi mata duitan. Karena itu jangan terjerumus lagi di lubang yang sama, di akhir zaman ini. Lalu mulai pula dengan berani mempertanyakan hal yang kelihatan salah. Tak perlu takut risikonya, karena Tuhan Yesus sudah mengatakannya: bahwa yang layak menjadi murid-Nya hanyalah mereka yang berani menanggung risiko.
Oleh sebab itu ‘menjadi kepala dan bukan ekor’, memiliki suatu proses melalui suatu perjalanan dari ekor sampai kepala, yang mana dalam perjalanan itu terdapat latihan yang berkorelasi dengan peningkatan tanggung jawab sedikit demi sedikit sesuai dengan kemampuan kita. Dan peningkatan tanggung jawab berkorelasi dengan peningkatan posisi. Perjalanan dari ekor sampai kepala adalah perjalanan pertumbuhan karakter, pertumbuhan iman dan ketaatan.
1. PERTUMBUHAN KARAKTER
Kita sudah menyadari bahwa dalam perjalanan kita bersama Tuhan, Tuhan melatih karakter kita sedikit demi sedikit, melalui berbagai hal yang menjengkelkan yang terjadi sehari-hari dalam hidup kita. Seberapa besar pertumbuhan karakter kita, menentukan seberapa besar Tuhan dapat memberi tanggung jawab kepada kita, korelasinya adalah seberapa tinggi Tuhan dapat memberi kita posisi, baik dalam pelayanan maupun dalam dunia sekuler. Alkitabat berkata: Matius 5: 48 Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna."
Apa yang terjadi jika Tuhan tidak repot-repot melatih karakter kita dahulu, sebelum memberi kita suatu posisi kepala ? Kita pelajari ‘raja karbitan’ yang gagal seperti Saul. Saya sebut Saul adalah ‘raja karbitan’, karena Saul begitu cepat menjadi raja setelah diurapi, tanpa latihan yang panjang seperti Daud, akibatnya Saul gagal. Kita tidak dapat menyalahkan Tuhan atas kegagalan Saul, tetapi kita juga tidak dapat seratus persen menyalahkan Saul atas kegagalannya. Ingatlah bahwa Tuhan terpaksa cepat-cepat mengangkat Saul menjadi raja, karena desakan bangsa Israel sendiri. “Sebab itu berkumpullah semua tua-tua Israel , mereka datang kepada Samuel di Rama dan berkata kepadanya : “Engkau sudah tua dan anak-anakmu tidak hidup seperti engkau; maka angkatlah sekarang seorang raja atas kami untuk memerintah kami, seperti pada segala bangsa-bangsa lain.” (1 Sam 8; 4-5)
Jadi Tuhan tidak sempat mendidik karakter Saul sebelum menjadi raja, tetapi Tuhan langsung mengangkatnya. Dari hal ini kita juga dapat belajar untuk tidak memaksa Tuhan melakukan kehendak kita, tetapi biarlah kehendak Tuhan yang terjadi dalam hidup kita, karena Tuhan tahu apa yang terbaik bagi kita, dan segala sesuatu indah pada waktunya. Dan inilah salah satu kegagalan Saul akibat karakternya belum dididik Tuhan; “Tetapi pada waktu mereka pulang, ketika Daud kembali sesudah mengalahkan orang Filistin itu, keluarlah orang-orang perempuan dari segala kota Israel menyongsong raja Saul sambil menyanyi dan menari-nari dengan memukul rebana, dengan bersukaria dan dengan membunyikan gerincing, dan perempuan yang menari-nari itu menyanyi berbalas-balasan, katanya : “Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa.” Lalu bangkitlah amarah Saul dengan sangat, dan perkataan itu menyebalkan hatinya, sebab pikirnya “Kepada Daud diperhitungkan mereka berlaksa-laksa tetapi kepadaku diperhitungkannya beribu-ribu, akhir-akhirnya jabatan raja itupun jatuh kepadanya.” Sejak hari itu maka Saul selalu mendengki Daud.” (1 Sam 18 ; 6-8). Sebagai raja, Saul punya wewenang, kekuasaan dan pengaruh besar. Hanya berkata : “Daud adalah musuh bersama,” maka seluruh rakyat mengikutinya begitu saja, tanpa mengetahui duduk perkaranya. Padahal kalau ditelusuri duduk perkaranya, hanyalah karena Saul mendengki Daud karena Daud lebih dimuliakan oleh perempuan-perempuan yang bernyanyi dan menari menyambut mereka. Hanya karena persoalan itu saja, 85 imam termasuk Ahimelekh dibunuh, dan seluruh penduduk Nod, yang adalah kota imam itu dibunuh. Begitulah bahayanya, jika seseorang begitu saja menjadi raja, tanpa karakter yang terlatih. Karena seorang raja atau seorang pemimpin mempunyai pengaruh besar terhadap bawahannya.
2. PERTUMBUHAN IMAN
Sejalan dengan bertambahnya tanggung jawab, maka iman kita juga harus bertumbuh. Oleh sebab itu Tuhan perlu melatih iman kita dari hal-hal kecil sampai hal-hal besar. Apa akibatnya jika iman tidak dilatih secara bertahap ? Kita belajar lagi dari kegagalan Saul. “Ia menunggu tujuh hari lamanya sampai waktu yang ditentukan Samuel. Tetapi ketika Samuel tidak datang ke Gilgal, mulailah rakyat itu berserak-serak meninggalkan dia. Sebab itu Saul berkata : “Bawalah kepadaku korban bakaran dan korban keselamatan itu.” Lalu ia mempersembahkan korban bakaran. Baru saja ia habis mempersembahkan korban bakaran, maka tampaklah Samuel datang. Saul pergi menyongsongnya untuk memberi salam kepadanya. Tetapi kata Samuel : “Apa yang telah kau perbuat ?” Jawab Saul : “Karena aku melihat rakyat itu berserak-serak meninggalkan aku dan engkau tidak datang pada waktu yang telah ditentukan, padahal orang Filistin telah berkumpul di Mikhmas, maka pikirku : Sebentar lagi orang Filistin akan menyerang aku di Gilgal, padahal aku belum memohonkan belas kasihan Tuhan; sebab itu aku memberanikan diri, lalu mempersembahkan korban bakaran.”
Kata Samuel kepadanya : “Perbuatanmu itu bodoh. Engkau tidak mengikuti perintah Tuhan, Allahmu yang diperintahkanNya kepadamu; sebab sedianya Tuhan mengokohkan kerajaanmu atas orang Israel untuk selama-lamanya. Tetapi sekarang kerajaanmu tidak akan tetap; Tuhan telah memilih seorang yang berkenan dihatiNya dan Tuhan telah menunjuk dia menjadi raja atas umatNya, karena engkau tidak mengikuti apa yang diperintahkan Tuhan kepadamu.” (1 Sam 13; 8-14) . Apa yang membuat Saul gagal untuk menunggu Samuel ? Imannya tidak terlatih, ia terdesak karena rakyatnya sudah berserak-serak, ia ketakutan, lalu ia gagal untuk menunggu kedatangan Saul. Bayangkan, baru ‘kemaren sore’, ia hanya bertanggung jawab mencari 3 keledai ayahnya yang hilang, dan hari itu ia harus berhadapan dengan bangsa Filistin. Imannya tidak siap. Dari hal ini kita mengerti kenapa Tuhan perlu melatih iman kita setahap demi setahap, sebelum memberi kita posisi “pinggang”, atau “bahu”, atau bahkan “kepala”.
3. KETAATAN
Mengapa dalam perjalanan dari ‘ekor sampai kepala’, melatih diri untuk hidup dalam ketaatan menjadi begitu penting ? “Jadi sama seperti oleh ketidak taatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang, semua orang menjadi orang benar.” (Rm 5:19). Jika kita berada pada posisi “pinggang”, maka ketaatan kita membuat semua orang dari ‘pinggang sampai ekor’ (yang kita pimpin), menjadi orang benar. Jika kita berada pada posisi “bahu”, maka ketaatan kita membuat semua orang dari ‘bahu sampai ekor’ (yang kita pimpin) menjadi orang benar Dan jika kita berada pada posisi “kepala”, maka ketaatan kita membuat semua orang dari “kepala sampai ekor” (yang kita pimpin) menjadi orang benar.
Kali ini kita ambil contoh pelanggaran Daud. Pelanggaran atau ketidak taatan Daud membuat semua orang yang dipimpinnya menjadi orang berdosa, dan mengakibatkan 70.000 rakyatnya mati kena tulah. “Iblis bangkit melawan orang Israel dan ia membujuk Daud untuk menghitung orang Israel . Lalu berkatalah Daud kepada Yoab dan kepada para pemuka rakyat : “Pergilah, hitunglah orang Israel dari Bersyeba sampai Dan, dan bawalah hasilnya kepadaku, supaya aku tahu jumlah mereka. (2 Taw 21; 1-2). Tetapi hal itu jahat di mata Allah, sebab itu dihajarNya orang Israel . Lalu berkatalah Daud kepada Allah : “Aku telah sangat berdosa karena melakukan hal ini; maka sekarang, jauhkanlah kiranya kesalahan hambaMu, sebab perbuatanku itu sangat bodoh.” Tetapi berfirmanlah Tuhan kepada Gad, pelihat Daud. “Pergilah, katakanlah kepada Daud : Beginilah Firman Tuhan : Tiga perkara kuhadapkan kepadamu : pilihlah salah satu dari padanya, maka Aku akan melakukannya kepadamu.”
Kemudian datanglah Gad kepada Daud, lalu berkatalah ia kepadanya :“Beginilah Firman Tuhan; Haruslah engkau memilih : tiga tahun kelaparan, atau tiga bulan lamanya melarikan diri dari hadapan lawanmu, sedang pedang musuhmu menyusul engkau, atau 3 hari pedang Tuhan, yakni penyakit sampar, ada di negeri ini, dan malaikat Tuhan mendatangkan kemusnahan di seluruh daerah orang Israel. Maka sekarang, timbanglah jawab apa yang harus kusampaikan kepada Yang Mengutus aku.” (1 Taw 21 ; 7-12). Jadi sebagai raja, ketidak taatan atau pelanggaran Daud membuat 70.000 rakyatnya mati kena tulah. Sefatal itu akibat dari pelanggaran seorang raja. Jadi dapat kita lihat betapa pentingnya berlatih untuk hidup dalam ketaatan dalam perjalanan dari ekor sampai kepala ini. Dan berlatih untuk taat juga berarti berlatih dalam kepekaan mendengar suara Tuhan dan mengerti kehendakNya.
Jadi mengapa berambisi, mengapa bersaing ? Mengapa tidak kita nikmati saja proses hidup dalam Tuhan ? Yang berada di posisi ekor, bersyukurlah karena Tuhan belum memberi tanggung jawab kepadamu. Yang berada di posisi ‘pinggang’, bersyukurlah karena Tuhan belum memberi tanggung jawab besar kepadamu. Yang berada di posisi ‘bahu’, harus mulai waspada karena tanggung jawab anda mulai besar. Dan yang berada di posisi ‘kepala’, waspadalah karena tanggung jawab anda yang besar. Dan jika anda adalah ‘raja karbitan’, atau ‘kepala’ karena warisan atau nepotisme, waspadalah dan belajarlah dari kegagalan Saul. Dan karena bersyukur, tidak perlu bukan untuk berambisi dan bersaing-saing ? Kita tahu bahwa ambisi dan persaingan menimbulkan iri hati, dan dari iri hati dan mementingkan diri sendiri timbul kekacauan dan segala macam perbuatan jahat. Jadi lebih baik kita bersyukur saja atas posisi masing-masing. Dan lebih baik kita tidak mencela ataupun iri hati pada para gembala kita, laki-laki atau perempuan, karena seperti yang sudah kita pelajari di atas, ternyata tanpa sepengetahuan kita, Tuhan telah memakai mereka untuk berjaga-jaga atas jiwa kita, dan bertanggung jawab atasnya. Ini benar-benar bukan tanggung jawab yang mudah, jadi lebih baik kita mendoakan mereka, daripada bergossip, memfitnah, menentang ataupun memberontak kepada mereka. Tuhan memberkati.
No comments:
Post a Comment