Sejarah Dunia Kuno

2021 a year of miracles and 'unlocking' millions

Jun 21, 2018

Konsili Nicea I

Konsili Nicea Pertama (bahasa Inggris: First Council of Nicaea; bahasa Yunani: Νίκαια [ˈni:kaɪja]), terkadang dilafalkan Konsili Nikea atau Konsili Nisea, merupakan salah satu konsili para uskup Kristen yang dihimpunkan oleh Kaisar Romawi Konstantinus I pada tahun 325. Konsili ekumenis pertama ini merupakan upaya pertama untuk mencapai konsensus dalam Gereja melalui suatu sidang yang mewakili seluruh dunia Kekristenan, kendati konsili-konsili sebelumnya, termasuk Konsili Yerusalem sebagai konsili Gereja pertama, sudah pernah bersidang untuk menyelesaikan hal-hal yang diperdebatkan. Konsili ini dipimpin oleh Hosius, uskup Korduba yang berada dalam persekutuan dengan Sri Paus. 

Pencapaian utamanya adalah penyelesaian isu Kristologis mengenai kodrat Putra Allah dan hubungannya dengan Allah Bapa, pembentukan bagian pertama Pengakuan Iman Nicea, menetapkan keseragaman waktu perayaan Paskah, dan pengundangan hukum kanon awal. 

Konsili Nicea I merupakan konsili ekumenis pertama dalam Gereja. Hasil terpentingnya adalah keseragaman doktrin Kristen untuk yang pertama kalinya, disebut Pengakuan Iman Nicea. Dengan terbentuknya pengakuan iman (kredo atau syahadat) tersebut, terbentuk suatu preseden bagi berbagai konsili para uskup (Sinode-sinode) baik yang sifatnya setempat maupun regional untuk menyusun pernyataan-pernyataan keimanan dan kanon-kanon ortodoksi doktrinal—guna mewujudkan kesatuan keyakinan bagi seluruh dunia Kekristenan.

"Ekumenis" berasal dari kata dalam bahasa Yunani (bahasa Yunani Kuno: οἰκουμένη) yang berarti "seluruh dunia", namun umumnya diasumsikan sebatas pada Bumi yang dihuni sejauh yang dikenal, dan saat ini terkait dengan sejarah sama artinya dengan Kekaisaran Romawi; penggunaan paling awal atas istilah tersebut untuk menyebut suatu konsili terdapat dalam Riwayat Hidup Konstantinus 3.6 karya Eusebius  sekitar tahun 338, yang menyatakan kalau "ia mengundang [untuk menghadiri] suatu Konsili Ekumenis" (bahasa Yunani Kuno: σύνοδον οἰκουμενικὴν συνεκρότει) serta surat tahun 382 yang ditujukan kepada Paus Damasus I dan para uskup Latin dari Konsili Konstantinopel I. 

Salah satu tujuan diselenggarakannya konsili ini adalah untuk menyelesaikan perbedaan pendapat yang timbul dari dalam Gereja Aleksandria mengenai kodrat Putra dalam hubungannya dengan Bapa: secara khusus mengenai apakah Putra telah 'diperanakkan' oleh Bapa dari wujud-Nya sendiri, dan karenanya tidak memiliki awal, atau tercipta dari ketiadaan, dan karenanya memiliki suatu awal. St. Aleksander dari Aleksandria dan Athanasius berpegang pada pendapat pertama; seorang presbiter populer bernama Arius, yang dari namanya muncul istilah Arianisme, berpegang pada pendapat kedua. Hampir semua peserta konsili memutuskan bahwa kalangan Arian keliru (dari perkiraan 250–318 peserta konsili, semuanya selain 2 orang menandatangani kredo tersebut dan kedua orang ini, bersama dengan Arius, diasingkan ke Illyria). 

Hasil lain konsili ini adalah kesepakatan mengenai waktu perayaan Paskah, hari raya terpenting dalam kalender gerejawi, ditetapkan dalam sebuah surat kepada Gereja Aleksandria yang secara sederhana dinyatakan:

Kami juga mengirimkan kabar baik penyelesaian [isu] terkait paskah suci, yaitu bahwa sebagai jawaban atas doa-doamu permasalahan ini juga telah terselesaikan. Semua saudara di Timur yang sampai sekarang mengikuti praktik Yahudi mulai saat ini akan merayakan kebiasaan dari jemaat Roma dan dari kamu sendiri serta dari kita semua yang sejak zaman kuno telah memilihara Paskah bersama-sama denganmu. 

Konsili Nicea memiliki arti penting historis sebagai upaya pertama untuk meraih konsensus dalam Gereja melalui musyawarah yang mewakili keseluruhan umat Kristiani. Konsili ini merupakan kesempatan pertama di mana aspek-aspek teknis Kristologi didiskusikan. Melaluinya ditetapkan suatu preseden bagi konsili-konsili umum selanjutnya untuk menerapkan kredo-kredo dan kanon-kanon. Konsili ini secara umum dipandang sebagai permulaan periode tujuh Konsili Ekumenis pertama dalam Sejarah Kekristenan.

Sifat dan tujuan

Konsili Nicea I dihimpunkan oleh Kaisar Konstantinus Agung atas rekomendasi suatu sinode yang dipimpin oleh Hosius dari Korduba pada Masa Paskah tahun 325. Sinode tersebut bertujuan melakukan investigasi atas permasalahan yang timbul akibat kontroversi Arian di kawasan Timur yang berbahasa Yunani. Bagi kebanyakan uskup, ajaran-ajaran Arius dipandang sesat dan berbahaya bagi keselamatan jiwa-jiwa. Pada musim panas tahun 325, para uskup dari seluruh provinsi dipanggil ke Nicea, suatu tempat yang cukup mudah diakses oleh banyak delegasi, khususnya mereka yang datang dari Asia Kecil, Georgia, Armenia, Siria, Palestina, Mesir, Yunani, dan Trakia.

Konsili ini merupakan konsili umum pertama dalam sejarah Gereja sejak Konsili Apostolik di Yerusalem, konsili Apostolik yang menetapkan kondisi-kondisi bagaimana kaum non-Yahudi dapat bergabung dengan Gereja. Dalam Konsili Nicea, "Gereja telah mengambil langkah besar pertamanya untuk mendefinisikan secara lebih tepat doktrin yang diwahyukan sebagai tanggapan atas tantangan dari suatu teologi sesat." 

Para peserta

Konstantinus mengundang keseluruhan 1.800 uskup Gereja Kristen di dalam Kekaisaran Romawi (sekitar 1.000 uskup di Timur dan 800 uskup di Barat), namun jumlah hadirin kurang dari 1.800 dan tidak diketahui secara pasti. Menurut perhitungan Eusebius dari Kaisarea, jumlah peserta lebih dari 250 uskup, sementara perhitungan Athanasius dari Aleksandria adalah 318 uskup, dan Eustasius dari Antiokhia memperkirakan "sekitar 270" uskup  (ketiganya hadir di konsili ini). Belakangan, Sokrates Skolastikus mencatat ada lebih dari 300 uskup,  sementara Evagrius,  Hilarius dari Poitiers, Hieronimus, Dionysius Exiguus, dan Rufinus mencatat ada 318 uskup. Jumlah 318 uskup ini terlestarikan dalam liturgi-liturgi Gereja Ortodoks Timur dan Gereja Ortodoks Koptik Aleksandria.[butuh rujukan]

Delegasi-delegasi datang dari masing-masing wilayah Kekaisaran Romawi, termasuk Britania. Para uskup yang berpartisipasi diberi perjalanan gratis pulang-pergi dari takhta episkopal mereka masing-masing ke tempat berlangsungnya konsili, serta penginapan cuma-cuma. Para uskup ini tidak datang sendirian; masing-masing diizinkan membawa serta dua orang imam dan tiga orang diakon, sehingga jumlah total hadirin mungkin di atas 1.800 orang. Eusebius berbicara mengenai rombongan besar para pengiring yang terdiri atas para imam, diakon, dan akolit yang hampir tak terhitung jumlahnya.

Mayoritas peserta konsili adalah para uskup dari Timur. Dari antara mereka, peringkat pertamanya adalah ketiga patriark: Aleksander dari Aleksandria, Eustasius dari Antiokhia, dan Makarius dari Yerusalem. Banyak dari para Bapa Konsili yang hadir—misalnya, Pafnusius dari Thebes, Potamon dari Heraklea, dan Paulus dari Neokaisarea—telah mempertahankan diri sebagai para pengaku iman dan datang ke konsili dengan tanda-tanda penganiayaan yang masih berbekas di wajah mereka. Posisi ini didukung oleh sejarawan patristik bernama Timothy Barnes dalam buku karyanya yang berjudul Constantine and Eusebius. Secara historis, pengaruh para pengaku iman yang mengalami penganiayaan ini dipandang substansial, namun keilmuan terbaru mempertanyakan hal ini. 

Para peserta terkemuka lainnya yaitu Eusebius dari Nikomedia; Eusebius dari Kaisarea, yang diklaim sebagai sejawan pertama gereja; kondisi-kondisi faktual mengemukakan bahwa Nikolas dari Myra turut hadir (kisah hidupnya merupakan sumber legenda Sinterklas); Aristakes dari Armenia (putra Santo Gregorius Sang Pencerah); Leonsius dari Kaisarea; Yakub dari Nisibis, seorang mantan pertapa; Hipasius dari Granga; Protogenes dari Sardika; Melitius dari Sebastopolis; Akilius dari Larissa (dianggap Athanasius dari Thessalia) dan Spiridon dari Tremitus, seorang uskup yang mencari nafkah dengan menjadi seorang gembala. Peserta yang berasal dari luar Kekaisaran Romawi adalah Yohanes, uskup Persia dan India, Teofilus, seorang uskup Gothik, dan Stratofilus, uskup Pitius dari Georgia.

Provinsi-provinsi berbahasa Latin mengutus sekurang-kurangnya lima wakil: Markus dari Italia, Sesilianus dari Afrika, Hosius dari Hispania, Nikasius dari Gallia, dan Domnus dari provinsi Danube.

Di antara para asisten terdapat Athanasius dari Aleksandria, seorang diakon muda dan pendamping Uskup Aleksander dari Aleksandria. Athanasius kelak membaktikan hampir sebagian besar sisa umurnya untuk berjuang melawan paham Arianisme. Aleksander dari Konstantinopel, yang kelak menjadi seorang presbiter, juga hadir mewakili uskupnya yang sudah lanjut usia. 

Para pendukung Arius misalnya Sekundus dari Ptolemais, Teonus dari Marmarika, Sfirius, dan Dates, kesemuanya berasal dari Pentapolis Libya. Para pendukung yang lain misalnya Eusebius dari Nikomedia, Paulinus dari Tirus, Aktius dari Lydda, Menofantus dari Efesus, dan Teognus dari Nicea. 

"Dengan mengenakan kain ungu dan emas, Konstantinus melakukan arak-arakan masuk seremonial pada pembukaan konsili, mungkin di awal bulan Juni, namun dengan penuh penghormatan menempatkan para uskup duduk di depannya." Menurut deskripsi Eusebius, Konstantinus "sendiri lewat di tengah-tengah majelis, seperti seorang utusan surgawi dari Allah, mengenakan busana berkilauan seakan-akan terbuat dari berkas-berkas cahaya, memantulkan cahaya bersinar dari jubah ungunya, serta dihiasi kemegahan perhiasan emas dan ratna mutu manikam." Sang kaisar hadir sebagai seorang pengamat dan hadirin, tetapi tidak turut serta dalam pemungutan suara apapun. Konstantinus mengorganisir Konsili menurut tata cara Senat Romawi. Hosius dari Kordoba kemungkinan menjadi pemimpin musyawarah; ia mungkin adalah salah seorang legatus kepausan. Eusebius dari Nikomedia kemungkinan menyampaikan kata sambutan. 

Pertanyaan kaum Arian mengenai hubungan antara Allah Bapa dan Allah Putra (bukan hanya mengenai inkarnasi Putra sebagai Yesus, tetapi juga mengenai kodrat Putra sebelum penciptaan dunia ini); yaitu apakah Bapa dan Putra satu dalam kehendak ilahi saja atau juga satu hakikat?
Waktu perayaan Paskah
Skisma Meletia
Beragam hal terkait disiplin gereja, yang menghasilkan dua puluh kanon
Struktur Gereja: difokuskan pada pengurutan episkopat
Martabat kaum klerus: isu-isu penahbisan di semua level serta kesesuaian perilaku dan latar belakang bagi imam
Rekonsiliasi orang yang murtad: menetapkan norma-norma untuk silih dan tanda pertobatan di hadapan publik
Penerimaan kembali kaum bidah dan skismatik ke dalam Gereja: termasuk isu-isu seputar kapan dibutuhkan penahbisan dan/atau pembaptisan ulang
Praktik liturgis: termasuk penempatan para diakon, dan praktik berdiri saat doa selama perayaan liturgi 
Konsili ini resmi dibuka pada tanggal 20 Mei, di bagian tengah istana kekaisaran di Nicea, dengan diskusi-diskusi pendahuluan mengenai pertanyaan Arian. Dalam diskusi-diskusi ini, beberapa tokoh yang menonjol adalah Arius dengan beberapa pengikutnya. "Sekitar 22 uskup dalam konsili itu, dipimpin oleh Eusebius dari Nikomedia, hadir sebagai pendukung Arius. Akan tetapi tatkala beberapa bagian yang lebih mengejutkan dari tulisan-tulisannya dibacakan, hampir semuanya dipandang sebagai penghujatan."  Uskup Teognis dari Nicea dan Maris dari Kalsedon termasuk dalam golongan yang sebelumnya berpihak pada Arius.

Eusebius dari Kaisarea meminta hadirin untuk mempertimbangkan kredo pembaptisan yang dipergunakan keuskupannya di Kaisarea, Palestina, sebagai suatu bentuk rekonsiliasi. Mayoritas uskup menyetujuinya. Dahulu para akademisi berpikir bahwa Kredo Nicea yang asli didasarkan pada pernyataan Eusebius itu. Saat ini kebanyakan akademisi berpikir bahwa Kredo tersebut berasal dari kredo pembaptisan di Yerusalem, sebagaimana dikemukakan oleh Hans Lietzmann.

Para uskup ortodoks mendapat persetujuan dari setiap orang atas proposal-proposal mereka mengenai Kredo tersebut. Setelah bersidang sebulan penuh, konsili mengundangkan Kredo Nicea asli pada tanggal 19 Juni. Pengakuan iman ini diadopsi oleh semua uskup "kecuali dua [uskup] dari Libya yang sejak semula terkait erat dengan Arius".  Tidak ada catatan sejarah yang secara eksplisit menulis ketidaksetujuan mereka; tanda tangan para uskup tidak tercantum dalam Kredo tersebut.

Kontroversi Arian

Kontroversi Arian timbul di Aleksandria ketika presbiter Arius yang baru dipulihkan posisinya mulai penyebarkan pandangan doktrinal yang bertentangan dengan pandangan uskupnya, St. Aleksander dari Aleksandria. Isu-isu yang diperdebatkan berpusat pada kodrat dan hubungan Allah Bapa dan Allah Putra (Yesus). Perbedaan pendapat tersebut timbul dari ide-ide berbeda mengenai Kebapaan dan apa maknanya bagi Yesus sebagai putra-Nya. Aleksander menyatakan bahwa Putra (Yesus) adalah ilahi dalam arti yang sama seperti Bapa, sama kekalnya dengan Bapa, jika tidak maka tidak mungkin Yesus menjadi seorang Putra sejati. Arius menekankan supremasi dan kekhasan Allah Bapa, yang berarti bahwa hanya Bapa yang mahakuasa dan tak terbatas, dan karenanya keilahian Bapa tentu lebih besar dari Putra. Arius mengajarkan bahwa Putra memiliki suatu awal, dan bahwa Putra tidak memiliki keabadian maupun keilahian sejati Bapa, tetapi dijadikan "Allah" atas izin dan kuasa Bapa, dan dengan demikian Putra adalah ciptaan Allah yang pertama kali dan paling sempurna. 

Perdebatan dan diskusi Arian pada konsili ini berlangsung dari 20 Mei 325 sampai sekitar 19 Juni 325. Menurut laporan-laporan legendaris, perdebatan menjadi sedemikian panas hingga pada satu titik, Arius ditampar wajahnya oleh Nikolas dari Myra, yang kelak dikanonisasi. Laporan ini hampir pasti diragukan kebenarannya, karena Arius sendiri tidak mungkin hadir di ruang konsili mengingat kenyataan bahwa ia bukan seorang uskup. 

Kebanyakan perdebatan berkisar seputar perbedaan antara "dilahirkan" atau "diciptakan" dan "diperanakkan". Kaum Arian menganggap istilah-istilah tersebut sama, sementara para pengikut Aleksander membedakannya. Makna yang tepat dari banyak kata yang dipergunakan dalam perdebatan-perdebatan di Nicea masih belum jelas bagi para penutur bahasa-bahasa lain. Kosakata Yunani seperti "esensi" (ousia), "substansi" (hipostasis), "kodrat" (physis), "pribadi" (prosopon) mengandung beragam makna yang berasal dari para filsuf pra-Kristiani, yang dapat menimbulkan kesalahpahaman bila tidak diterangkan. Kata homoousia, khususnya, pada awalnya tidak disukai oleh banyak uskup karena keterkaitannya dengan kaum Gnostik (yang menggunakannya dalam teologi mereka) yang dipandang sebagai bidah, dan karena ajaran-ajaran mereka telah dikutuk pada Sinode-sinode Antiokhia tahun 264–268.

Argumen Arianisme

Menurut laporan-laporan yang masih terlestarikan, presbiter Arius memberikan argumen atas supremasi Allah Bapa, dan menyatakan bahwa Putra Allah diciptakan sebagai suatu tindakan dari kehendak Bapa, dan karenanya Putra merupakan makhluk ciptaan Allah, diperanakkan langsung dari yang tak terbatas, Allah yang kekal. Arius beralasan bahwa Putra merupakan ciptaan pertama Allah, sebelum segala masa. Pendapatnya dengan demikian menyatakan bahwa Putra memiliki awal, dan karenanya hanya Bapa yang tidak memiliki awal mula. Arius juga berpendapat bahwa segala sesuatu yang lain diciptakan melalui Putra. Sehingga, menurut kaum Arian, hanya Putra yang secara langsung diciptakan dan diperanakkan dari Allah; karena itu terdapat suatu waktu di mana Ia tidak memiliki eksistensi. Arius meyakini bahwa Putra Allah memiliki kehendak bebas tersendiri terkait apa yang benar dan apa yang salah, dan "dalam arti seorang putra yang sesungguhnya, Ia tentu ada setelah Bapa, oleh karenanya tentu ada waktu di mana Ia tidak ada, dan dengan demikian Ia adalah seorang makhluk yang terbatas", dan bahwa Ia berada di bawah Allah Bapa. Dengan alasan-alasan tersebut Arius bersikeras bahwa keilahian Bapa lebih besar daripada Putra. Kaum Arian mengutip kata-kata dalam Kitab Suci seperti "Bapa lebih besar dari pada Aku", dan juga "yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan". 

Argumen yang menentang Arianisme

Pandangan yang menentang berasal dari gagasan bahwa memperanakkan Putra dengan sendirinya berarti dalam kodrat Bapa, yang adalah kekal. Dengan demikian, Bapa senantiasa adalah seorang Bapa, dan baik Bapa maupun Putra senantiasa ada bersama-sama, setara dan sehakikat (konsubstansial). Argumen yang menentang pandangan Arian tersebut karenanya menyatakan bahwa Firman "diperanakkan dalam kekekalan", sehingga tanpa awal mula. Mereka yang menentang Arius ini meyakini bahwa pandangan Arian menghancurkan kesatuan Kebapaan, dan menjadikan Putra tidak setara dengan Bapa. Mereka menegaskan bahwa pandangan semacam itu bertentangan dengan kata-kata dalam Kitab Suci seperti "Aku dan Bapa adalah satu" dan "Firman itu adalah Allah", sebagaimana ayat-ayat tersebut ditafsirkan. Sama seperti Athanasius, mereka menyatakan bahwa Putra tidak memiliki awal, tetapi memiliki suatu "derivasi kekal" dari Bapa sehingga sama kekalnya dengan Ia, dan setara dengan Allah dalam segala aspek. 

Hasil perdebatan

Konsili Nicea mendeklarasikan bahwa Putra adalah "Allah benar" (Allah yang sejati), sama kekalnya dalam Bapa dan diperanakkan dari substansi-Nya yang sama, dengan alasan bahwa doktrin tersebut merupakan kodifikasi terbaik penyajian berdasarkan Alkitab mengenai Putra serta keyakinan Kristiani sesuai tradisi mengenai Putra yang diwariskan dari para Rasul. Keyakinan ini diungkapkan oleh para uskup dalam Pengakuan Iman Nicea (Syahadat Nicea, atau Kredo Nicea), yang kelak membentuk dasar dari apa yang sejak saat itu dikenal sebagai Syahadat Nicea–Konstantinopel. 

Syahadat Nicea

Salah satu proyek yang dilakukan oleh Konsili Nicea adalah penyusunan suatu Syahadat atau Pengakuan Iman (Kredo), yakni suatu pernyataan dan ringkasan iman Kristiani. Telah ada beberapa kredo pada saat itu; banyak kredo yang diterima oleh para peserta konsili ini, termasuk Arius. Sejak awal mula Kekristenan, beragam kredo disusun sebagai suatu sarana identifikasi bagi penganut Kristiani/Kristen, sebagai sarana penerimaan dan pengakuan, khususnya saat pembaptisan.

Di Roma, misalnya, Pengakuan Iman Rasuli (Syahadat Para Rasul) populer, khususnya untuk penggunaan dalam masa Prapaskah dan Paskah. Dalam Konsili Nicea, satu kredo khusus digunakan untuk mendefinisikan iman Gereja secara jelas, untuk menerimakan mereka yang mengakukannya, dan mengecualikan mereka yang tidak mengakukannya.

Beberapa elemen khas dalam Kredo Nicea, kemungkinan berasal dari Hosius, turut disertakan. Beberapa elemen secara khusus disertakan untuk melawan sudut pandang kaum Arian. 

Yesus Kristus dideskripsikan sebagai "Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar",
[b] menyatakan keilahian-Nya.
Yesus Kristus dikatakan "dilahirkan, bukan dijadikan",
[c] menegaskan bahwa Ia bukan ciptaan yang dibawa ke dalam keberadaan dari ketiadaan, tetapi Putra Allah yang sejati, dibawa ke dalam keberadaan 'dari substansi Bapa'.
Yesus Kristus dikatakan "sehakikat dengan Bapa". Eusebius dari Kaisarea mengaitkan istilah homoousios, atau konsubstansial, yaitu "dari substansi yang sama" (dengan Bapa), dengan Konstantinus yang pada titik ini mungkin memilih untuk menggunakan kewenangannya. Namun signifikansi klausul tersebut dianggap sangat ambigu, dan isu-isu yang diangkatnya mendapat pertentangan di kemudian hari.
Di bagian akhir kredo disertakan suatu daftar anatema, dimaksudkan untuk secara eksplisit menyangkal klaim-klaim yang dinyatakan kaum Arian.

Pandangan bahwa 'pernah ada suatu waktu Ia tidak ada' ditolak untuk mempertahankan kesetaraan kekekalan Putra dengan Bapa.
Pandangan bahwa Ia 'mungkin mengalami perubahan atau dapat berubah sewaktu-waktu' ditolak untuk mempertahankan bahwa Putra sama seperti Bapa yang berada di luar segala bentuk kelemahan ataupun kekurangan, dan yang terpenting adalah Ia tidak dapat jatuh dari kesempurnaan moral yang absolut.
Dengan demikian, bukannya suatu kredo pembaptisan yang dapat diterima baik oleh kaum Arian maupun oleh yang menentang mereka, konsili ini mengundangkan satu kredo yang jelas bertentangan dengan paham Arianisme dan tidak sesuai dengan inti keyakinan mereka. Naskah pengakuan iman tersebut terlestarikan dalam sepucuk surat dari Eusebius kepada jemaatnya, dalam tulisan Athanasius, dan tulisan-tulisan yang lain. Kendati paling vokal menentang pihak Arian, pihak Homoousian (dari kata Yunani Koine yang diterjemahkan menjadi "dari substansi yang sama") yang dikutuk di Konsili Antiokhia tahun 264–268 itu tergolong minoritas, Kredo tersebut diterima oleh konsili ini sebagai suatu ungkapan iman bersama para uskup dan iman kuno segenap Gereja.

Uskup Hosius dari Korduba, salah seorang Homoousian yang teguh, mungkin telah membantu menuntun konsili mencapai konsensus. Selama berlangsungnya konsili, dia adalah orang kepercayaan kaisar dalam segala hal terkait Gereja. Nama Hosius tertera paling atas dalam daftar nama para uskup, dan Atanasius mengaitkan perumusan kredo yang sesungguhnya dengan Hosius. Para pemimpin besar seperti Eustasius dari Antiokhia, Aleksander dari Aleksandria, Athanasius, dan Marselus dari Ancyra, semuanya berpegang pada posisi Homoousian.

Meskipun bersimpati pada Arius, Eusebius dari Kaisarea berpegang pada keputusan-keputusan konsili ini, menerima keseluruhan kredo. Terdapat sedikit uskup yang awalnya mendukung Arius. Setelah sebulan berdiskusi, pada tanggal 19 Juni, hanya tersisa 2 uskup yang mendukungnya: Teonas dari Marmarika di Libya, dan Sekundus dari Ptolemais. Maris dari Kalsedon, yang awalnya mendukung Arianisme, menyetujui keseluruhan kredo tersebut. Demikian pula Eusebius dari Nikomedia dan Teognis dari Nice juga menyetujuinya, kecuali untuk pernyataan tertentu.

Kaisar Konstantinus menepati pernyataan awalnya: siapa pun yang menolak Kredo tersebut akan diasingkan. Arius, Teonas, dan Sekundus, menolaknya dan dengan demikian mereka diasingkan ke Iliria, selain juga diekskomunikasi. Karya-karya tulis Arius diperintahkan untuk disita dan dibakar, sementara para pendukungnya dianggap sebagai "musuh-musuh Kekristenan". Bagaimanapun, kontroversi Arian berlanjut di berbagai wilayah kekaisaran. 

Kredo tersebut diamendemen ke versi barunya melalui Konsili Konstantinopel I pada tahun 381.

Pemisahan perhitungan Paskah dari kalender Yahudi
Hari raya Paskah berkaitan dengan Paskah Yahudi dan Perayaan Roti Tidak Beragi, karena umat Kristiani meyakini bahwa penyaliban dan kebangkitan Yesus terjadi pada saat perayaan-perayaan tersebut.

Saat masa kepemimpinan Paus Sixtus I, beberapa kalangan Kristiani telah menetapkan Paskah pada hari Minggu di bulan lunar Nisan. Untuk menentukan bulan lunar yang ditetapkan sebagai Nisan, umat Kristiani mengandalkan masyarakat Yahudi. Kelak, pada abad ke-3, beberapa kalangan Kristiani mulai mengungkapkan ketidakpuasan dengan metode yang mereka pandang sebagai ketidakberaturan kalender Yahudi. Mereka berpendapat bahwa kaum Yahudi kontemporer mengidentifikasi bulan lunar yang salah sebagai bulan Nisan, memilih bulan dengan hari ke-14 yang jatuh sebelum ekuinoks musim semi. 

Umat Kristiani, menurut para pemikir tersebut, seharusnya meninggalkan kebiasaan yang bergantung pada para narasumber Yahudi dan melakukan perhitungan sendiri untuk menentukan bulan apa yang akan disebut Nisan, menetapkan Paskah sesuai perhitungan independen ini, Nisan Kristiani, yang akan selalu menempatkan perayaan tersebut setelah ekuinoks. Mereka menjustifikasi perubahan tradisi ini dengan alasan bahwa pada kenyataannya kalender Yahudi kontemporer yang telah melanggar tradisi dengan mengabaikan ekuinoks, dan pada zaman dahulu tanggal 14 Nisan tidak pernah mendahului ekuinoks. Kalangan yang lain merasa bahwa praktik adat yang bergantung pada kalender Yahudi seharusnya dilanjutkan, sekalipun perhitungan Yahudi keliru jika dilihat dari sudut pandang Kristiani. 

Perdebatan antara mereka yang menginginkan perhitungan independen dan mereka yang ingin terus mengandalkan kalender Yahudi terselesaikan secara resmi melalui Konsili Nicea, yang mengesahkan prosedur independen yang telah digunakan selama beberapa waktu di Roma dan Aleksandria. Mulai saat itu, Paskah ditetapkan sebagai hari Minggu dalam suatu bulan lunar yang dipilih sesuai dengan kriteria Kristiani—pada dasarnya, suatu Nisan Kristiani—bukan dalam bulan Nisan yang didefinisikan oleh kaum Yahudi. Mereka yang menginginkan untuk terus bergantung pada kalender Yahudi (disebut "kaum protopaskit" oleh para sejarawan di kemudian hari) didesak untuk beralih ke posisi mayoritas. Bahwa tidak semua dari mereka segera melakukannya terungkap dari keberadaan berbagai khotbah, kanon, dan traktat yang dituliskan untuk menentang praktik protopaskit pada akhir abad ke-4.

Dua aturan tersebut, independensi dari kalender Yahudi dan keseragaman di seluruh dunia, merupakan satu-satunya aturan terkait Paskah yang secara eksplisit ditetapkan oleh Konsili Nicea. Tidak disebutkan rincian cara perhitungan; hal ini dilakukan dalam praktik di lapangan, suatu proses yang membutuhkan waktu berabad-abad dan menghasilkan sejumlah kontroversi. (Lihat pula Computus dan Reformasi tanggal Paskah.) Secara khusus, konsili ini tampaknya tidak mendekretkan kalau Paskah harus jatuh pada hari Minggu. 

Demikian pula konsili ini juga tidak mendekretkan kalau Paskah harus bertepatan dengan 14 Nisan (hari pertama Perayaan Roti Tidak Beragi, umumnya sekarang disebut "Paskah Yahudi") dalam kalender Ibrani. Dengan memberlakukan peralihan ke perhitungan independen, konsili ini telah memisahkan perhitungan Paskah dari segala ketergantungan, positif ataupun negatif, pada kalender Yahudi. "Zonaras proviso", klaim bahwa Paskah harus selalu jatuh pada 14 Nisan dalam kalender Ibrani, tidak dirumuskan sampai beberapa abad kemudian. Pada saat itu, akumulasi kesalahan dalam kalender lunar dan solar Julian mengungkapkan kalau Paskah Julian selalu mengikui 14 Nisan Ibrani. 

Skisma Meletian

Perlawanan terhadap skisma Meletian, suatu sekte awal yang memisahkan diri, merupakan hal penting lainnya yang terjadi sebelum Konsili Nicea. Diputuskan bahwa Meletius harus tetap tinggal di kotanya sendiri di Likopolis, Mesir, tetapi tanpa menjalankan otoritas atau kekuasaannya untuk menahbiskan klerus baru; ia dilarang masuk ke lingkungan perkotaan ataupun keuskupan lain dengan tujuan menahbiskan warganya. Gelar episkopal Meletius dipertahankan, tetapi perlu dilakukan penumpangan tangan kembali pada para klerus yang ditahbiskan olehnya, karena tahbisan yang dilakukan oleh Meletius dipandang tidak valid. Klerus yang ditahbiskan oleh Meletius diminta untuk memberikan prioritas kepada mereka yang ditahbiskan oleh Aleksander, dan mereka tidak dapat melakukan apapun tanpa persetujuan Uskup Aleksander. 

Dalam hal wafatnya seorang klerus atau uskup non-Meletian, takhta yang kosong dapat diberikan kepada seorang Meletian asalkan ia layak dan pemilihannya diratifikasi oleh Aleksander. Adapun terhadap Meletius sendiri, hak-hak episkopal dan prerogatifnya dicabut. Bagaimanapun, perlakuan-perlakuan lunak ini tampak sia-sia; kaum Meletian bergabung dengan kaum Arian dan menyebabkan lebih banyak pertikaian daripada sebelumnya, menjadi bagian dari musuh-musuh terburuk Athanasius. Paham Meletian hilang sepenuhnya sekitar pertengahan abad ke-5.

Pengundangan hukum kanon

Konsili mengundangkan dua puluh hukum gereja yang baru, yang disebut kanon, (meskipun ada ketidaksepakatan mengenai jumlah tepatnya), yaitu aturan-aturan kedisiplinan yang tidak berubah. Ke-20 hukum tersebut, sebagaimana tercantum dalam Para Bapa Nicea dan Pasca-Nicea, adalah sebagai berikut:

1. larangan pengebirian diri sendiri
2. penetapan syarat-syarat minimum untuk katekumen (calon baptis)
3. melarang kehadiran seorang perempuan yang lebih muda di rumah seorang rohaniwan karena hal itu dapat menyebabkan kecurigaan terhadap sang rohaniwan (disebut virgines subintroductae, yang mempraktikkan Sineisaktisme)
4. penahbisan seorang uskup di hadapan sekurang-kurangnya tiga uskup provinsial dan pengukuhan oleh uskup metropolit
5. dua sinode wilayah harus diselenggarakan setiap tahunnya
6. pengakuan otoritas istimewa para patriark dari Aleksandria (paus), Antiokhia, dan Roma (Sri Paus), atas wilayah mereka masing-masing
7. pengakuan terhadap hak-hak kehormatan takhta Yerusalem
8. penentuan syarat kesepakatan dengan kaum Novatian, suatu sekte awal
9–14. penentuan syarat untuk prosedur yang lunak terhadap mereka yang mengingkari imannya selama penganiayaan pada masa Lisinius
15–16. larangan pemecatan imam
17. larangan riba di antara kaum rohaniwan
18. uskup dan presbiter didahulukan sebelum diakon dalam menerima Ekaristi (Komuni Kudus);
19. pernyataan tidak validnya baptisan yang dilakukan oleh para bidah Paulian;
20. larangan berlutut pada hari Minggu dan selama Pentakosta (50 hari setelah Paskah). Berdiri adalah postur berdoa normatif pada saat tersebut, dan masih berlaku di kalangan Kekristenan Timur. Berlutut dianggap paling tepat untuk doa penitensial, berbeda dengan sifat meriah Masa Paskah dan pengenangannya setiap hari Minggu. Kanon ini sendiri dirancang hanya untuk memastikan keseragaman praktik selama waktu yang ditetapkan.
Pada tanggal 25 Juli 325, saat akhir konsili, para bapa konsili merayakan peringatan 20 tahun pemerintahan Kaisar Konstantinus. Dalam pidato perpisahannya, Konstantinus memberitahukan kepada hadirin betapa ia membenci kontroversi dogmatis; ia ingin Gereja hidup dalam keharmonisan dan damai. Dalam sebuah surat edaran, ia mengumumkan tercapainya kesatuan praktik oleh seluruh Gereja pada hari perayaan Paskah Kristen.

Dampak dari konsili

Dampak jangka panjang dari Konsili Nicea bermakna penting. Untuk pertama kalinya, perwakilan dari banyak uskup Gereja bersidang untuk menyepakati suatu pernyataan doktrinal. Juga untuk pertama kalinya, seorang kaisar menggunakan kewenangannya untuk mengumpulkan para uskup, dan menggunakan kekuasaan negara untuk secara efektif memberlakukan keputusan konsili.

Namun, dalam jangka pendek, konsili ini tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah-masalah yang menjadi tujuan diadakannya konsili; suatu periode konflik dan pergolakan masih terus berlanjut selama beberapa waktu. Konstantinus sendiri digantikan oleh dua kaisar Arian di Kekaisaran Timur: Konstantius II putranya dan Valens. Valens tidak dapat menyelesaikan isu-isu gerejawi yang penting, dan tidak mampu melawan St. Basilius berkenaan dengan Kredo Nicea. 

Kekuasaan kaum pagan di dalam kekaisaran berupaya untuk mempertahankan dan membangun paganisme kembali ke takhta kaisar (lih. Arbogastes dan Yulianus yang Murtad). Kaum Arian dan Meletian dengan segera memperoleh kembali hampir semua hak mereka yang sebelumnya dihilangkan, dan akibatnya, paham Arianisme terus menyebar serta menyebabkan perpecahan dalam Gereja selama sisa abad ke-4. Eusebius dari Nikomedia, seorang uskup Arian dan sepupu Konstantinus I, menggunakan pengaruhnya di istana untuk pelan-pelan mengalihkan keberpihakan Konstantinus dari uskup-uskup ortodoks Nicea ke kaum Arian. 

Eustasius dari Antiokhia diturunkan dari jabatannya dan diasingkan pada tahun 330. Athanasius, yang menggantikan Aleksander sebagai Uskup Aleksandria, diturunkan dari jabatannya oleh Sinode Tirus I pada tahun 335 dan Marselus dari Ancyra menyusulnya pada tahun 336. Arius sendiri kembali ke Konstantinopel untuk dapat diterima kembali ke dalam Gereja, namun ia wafat sebelum memperoleh penerimaan. Konstantinus wafat pada tahun berikutnya, setelah akhirnya menerima baptisan dari seorang uskup Arian bernama Eusebius dari Nikomedia, dan "dengan meninggalnya dia putaran pertama dalam pertempuran setelah Konsili Nicea berakhir". 

Peran Konstantinus

Dalam Kekaisaran Romawi, Kekristenan statusnya ilegal hingga pada tahun 313 kaisar Konstantinus dan Lisinius mengeluarkan suatu edik yang dikenal sebagai Edik Milan. Namun demikian, Kekristenan Nicea tidak menjadi agama negara Kekaisaran Romawi hingga dikeluarkannya Edik Tesalonika pada tahun 380. Selama beberapa waktu, paganisme masih legal dan terlihat dalam urusan-urusan publik. Uang logam dan motif resmi Konstantinus yang lain, sampai Konsili Nicea, telah mengaitkannya dengan kultus pagan Sol Invictus. Pada mulanya, Konstantinus mendorong pembangunan kuil-kuil baru dan menoleransi pengurbanan-pengurbanan tradisional. Pada masa pemerintahannya kelak, ia memerintahkan penjarahan dan penghancuran kuil-kuil Romawi. 

Peran Konstantinus berkenaan dengan Nicea adalah sebagai pimpinan sipil yang tertinggi dan otoritas dalam kekaisaran. Sebagai Kaisar, ia bertanggung jawab untuk memelihara ketertiban sipil, dan ia berupaya agar Gereja menyatukan pikiran dan damai. Ketika pertama kali diberitahu mengenai pergolakan di Aleksandria karena perselisihan Arian, ia "sangat gelisah" dan "menegur" Arius maupun Uskup Aleksander karena gangguan tersebut dan membiarkannya diketahui publik. Selain itu ia juga sadar akan "keragaman pendapat" berkenaan dengan perayaan Paskah, dan berharap agar kedua masalah tersebut terselesaikan, maka ia mengutus Uskup Hosius dari Kordova (Hispania) "yang terhormat" untuk menyelenggarakan suatu konsili gereja lokal dan "mempertemukan mereka yang terbagi". Ketika utusan itu gagal, ia mengorganisir suatu sinode di Nicea, mengundang "tokoh-tokoh gereja yang paling terkemuka di setiap negeri". 

Konstantinus membantu menghimpun konsili dengan mengatur agar biaya perjalanan pulang-pergi para uskup ke dan dari takhta episkopal masing-masing, serta akomodasi di Nicea, ditutup dari dana publik. Ia juga menyediakan dan menyiapkan sebuah "aula besar ... di istana" sebagai tempat berdiskusi sehingga para peserta "harus diperlakukan dengan lebih bermartabat". Ketika menyampaikan sambutan dalam pembukaan konsili, ia "menghimbau para Uskup untuk [mencapai] kebulatan suara dan kerukunan" serta meminta mereka untuk menuruti Kitab Suci dengan mengatakan: "Maka dari itu, biarlah semua perselisihan kontroversial disingkirkan; dan mari kita mencari dalam kata yang terinpirasi ilahiah solusi dari pertanyaan-pertanyaan yang dipermasalahkan." Lalu perdebatan seputar Arius dan doktrin Gereja dimulai. "Kaisar menaruh perhatian dengan kesabaran pada pidato-pidato kedua belah pihak" dan "tunduk" pada keputusan para uskup. Para uskup pertama-tama menyatakan ajaran-ajaran Arius sebagai anatema, merumuskan kredo sebagai suatu pernyataan dari doktrin yang benar. Ketika Arius dan dua pengikutnya menolak untuk menyetujui pernyataan itu, para uskup menjatuhkan hukuman klerikal dengan mengekskomunikasi mereka dari Gereja. Konstantinus menghormati keputusan klerikal tersebut, dan melihat potensi berlanjutnya kerusuhan, sehingga ia juga menjatuhkan hukuman sipil, yaitu mengasingkan mereka ke tempat pembuangan.

Kesalahpahaman

Tidak ada catatan sejarah tentang pembahasan apa pun seputar kanon Alkitab di Konsili Nicea. Perkembangan kanon Alkitab berlangsung berabad-abad, dan hampir terselesaikan (dengan pengecualian yang dikenal sebagai Antilegomena, teks-teks tertulis yang autentisitas atau nilainya diperdebatkan) pada saat fragmen Muratori ditulis. 

Pada tahun 331, Konstantinus menugaskan penyalinan lima puluh Alkitab untuk Gereja Konstantinopel, namun informasi lainnya hanya diketahui sedikit saja (tidak dapat dipastikan apakah permintaannya adalah lima puluh salinan dari keseluruhan Perjanjian Lama dan Baru, hanya Perjanjian Baru, atau hanya Injil). Beberapa akademisi meyakini kalau permintaannya ini mendorong dilakukannya penyusunan kanon. Dalam Kata Pengantar Kitab Yudit tulisan Hieronimus, ia mengklaim bahwa Kitab Yudit "ditetapkan oleh Konsili Nicea untuk diperhitungkan dalam keseluruhan Kitab Suci", sehingga beberapa kalangan mengemukakan bahwa hal ini berarti Konsili Nicea membahas dokumen apa saja yang termasuk dalam kitab suci, tetapi mungkin lebih tepat jika diartikan bahwa Konsili ini sekadar menggunakan Kitab Yudit dalam pembahasan seputar hal-hal yang lain dan dengan demikian kitab tersebut seharusnya dianggap kanonik.

Sumber utama dari gagasan bahwa Alkitab diciptakan di Konsili Nicea tampaknya berasal dari Voltaire, yang mempopulerkan suatu cerita kalau kanon Alkitab ditetapkan melalui penempatan semua kitab yang dinominasikan di sebuah altar selama Konsili berlangsung dan kemudian mengambil kitab-kitab yang tidak terjatuh. Sumber asli "anekdot fiktif" tersebut adalah Synodicon Vetus, sebuah laporan pseudo-historis dari tahun 887 M mengenai konsili-konsili awal Gereja: 

Kitab-kitab kanonik dan apokrif dibedakan dengan cara berikut: di rumah Allah kitab-kitab tersebut ditempatkan di altar suci; kemudian konsili meminta kepada Tuhan dalam doa agar karya-karya yang terinspirasi didapati berada di atas dan--sebagaimana terjadi dalam kenyataannya--yang palsu di bawah." (Synodicon Vetus, 35)

Trinitas

Konsili Nicea utamanya berkenaan dengan isu keilahian Yesus Kristus. Lebih dari satu abad sebelumnya istilah "Tritunggal" atau "Trinitas" (Τριάς dalam bahasa Yunani) digunakan dalam tulisan-tulisan Origenes (185–254) dan Tertulianus (160–220), sementara suatu pendapat umum tentang "tiga yang ilahi", dalam pengertian tertentu, diungkapkan dalam tulisan-tulisan abad ke-2 dari Polikarpus, Ignatius dari Antiokhia, dan Yustinus Martir. Di Nicea, pertanyaan-pertanyaan terkait Roh Kudus belum terjawab secara keseluruhan hingga hubungan antara Bapa dan Putra terselesaikan sepenuhnya sekitar tahun 362. Dengan demikian doktrin dalam suatu bentuk yang lebih lengkap belum dirumuskan hingga diselenggarakannya Konsili Konstantinopel pada tahun 360 M, dan bentuk finalnya dirumuskan pada tahun 381 M, yang utamanya disusun oleh Gregorius dari Nyssa. 

Konstantinus

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Konstantinus Agung
Konstantinus mengupayakan suatu gereja yang bersatu melalui penyelenggaraan Konsili Nicea, namun di dalam konsili ini ia tidak memaksakan pandangan kaum Homoousian mengenai kodrat Yesus Kristus (lih. Peran Konstantinus).

Konstantinus tidak menugaskan pembuatan Alkitab dalam bentuk apapun saat berlangsungnya konsili ini. Ia menugaskan penyalinan lima puluh Alkitab pada tahun 331 untuk digunakan dalam gereja-gereja di Konstantinopel, yang saat itu merupakan kota baru. Tidak ditemukan bukti historis yang menunjukkan keterlibatannya dalam pemilihan kitab-kitab yang termasuk dalam Alkitab-Alkitab tersebut.

Kendati Konstantinus menunjukkan ketertarikan dan simpatinya terhadap Gereja, ia belum dibaptis hingga sekitar 11 atau 12 tahun setelah konsili ini, menunda pembaptisan sampai ia dapat sebanyak mungkin terbebaskan dari dosa sesuai dengan keyakinan bahwa semua dosa diampuni sepenuhnya melalui pembaptisan. 

Arius

Arius atau Arius dari Alexandria (250-336) adalah seorang tokoh Kristen yang hidup pada akhir abad ke-3 sampai awal abad ke-4, di Alexandria (Iskandariah), Mesir pada masa pemerintahan Kaisar Konstantinus Agung. Arius menolak ajaran mengenai keilahian Kristus dengan pandangan bahwa Kristus hanyalah ciptaan Allah dan bukan Allah. Pandangannya ini kemudian memengaruhi munculnya sebuah gerakan yang disebut Arianisme. Pemikiran Arius mengenai keilahian Kristus kemudian ditolak dalam Konsili Nicea dan ia dikucilkan dari gereja. 

Arius lahir di Alexandria pada tahun 250, pada masa pemerintahan Kaisar Decius. Ia menerima pendidikan teologi dari Lucian, seorang teolog dari Antiokhia. Setelah Lucian meninggal pada tahun 306, Arius kembali ke Alexandria dan menetap di sana. Di Alexandria, Arius diangkat sebagai diaken oleh Uskup Petrus dari Aleksandria.  Uskup Petrus sendiri sedang bersitegang dengan Meletius dari Lycopolis, mengenai penolakan terhadap orang-orang Kristen yang murtad selama masa penyiksaan oleh kekaisaran Romawi. Namun, Arius berada di pihak Meletius, sehingga ia dikucilkan dari gereja oleh Petrus.  Tahun 311, Petrus digantikan oleh Akhillas, yang kemudian memulihkan jabatan diaken Arius, bahkan mengangkatnya sebagai presbiter. Akhillas meninggal pada tahun 312 dan digantikan oleh Alexander. 

Tahun 318 terjadi ketegangan antara Arius dan Alexander, ketika Arius mengembangkan teologinya yang khas tradisi Antiokhia. Pemikiran Arius yang kemudian menimbulkan perdebatan dan perselisihan dengan Alexander adalah mengenai keilahian Kristus. Sejalan dengan pemikiran Origenes, ia percaya bahwa Allah Bapa lebih besar daripada Sang Anak atau Kristus dan juga kemudian lebih besar daripada Roh Kudus. Namun, ia memasukkan konsep monoteisme dalam pemahaman mengenai Allah dengan berkesimpulan bahwa hanya Allah Bapa yang merupakan Allah, sedangkan Kristus atau Sang Anak hanya merupakan makhluk ciptaan Allah Bapa yang sulung dan tertinggi, tetapi bukan Allah. Sebagai makhluk ciptaan, Kristus tidak kekal. Pernah Ia tidak ada, dan kemudian diciptakan dari yang tidak ada. Pokok-pokok pemahaman Arius ini terdapat dalam buku tulisannya yang berjudul Thallia.

Alexander tidak menyetujui pandangan Arius ini. Menurut Alexander, Sang Bapa adalah kekal, namun tidak pernah ada tanpa Sang Anak, maka Sang Anak juga kekal. Sang Anak tidaklah diciptakan Allah dari ketiadaan, namun Ia sudah ada bersama Allah dan sehakikat (homoousios) dengan Allah. Menurut Alexander Sang Anak haruslah benar-benar Allah agar dapat menyelamatkan manusia. Tahun 318 Alexander mengadakan sinode di Alexandria yang memutuskan agar Arius dihukum. Alexander mengutuk ajaran Arius. Arius juga dikutuk bersama lima orang presbiter dan enam orang diaken lain.  Namun, Arius juga memiliki banyak pendukung. Ia kemudian meminta bantuan kepada Eusebius dari Nikomedia.  Eusebius memiliki posisi yang kuat untuk mendukung Arius, dan hal ini menyulut perpecahan besar. Keributan ini membagi dua gereja di Alexandria menjadi kubu Arius dan kubu Alexander. 

Perdebatan dan perselisihan di Alexandria kemudian meresahkan Kaisar Konstantinus. Ia merasa bahwa perpecahan dalam gereja dapat mengganggu keamanan dan stabilitas negara. Namun, Konstantinus tidak segera mengambil keputusan untuk menghakimi secara sepihak.  Ia memilih untuk memanggil para uskup untuk menemukan jalan menyelesaikan pertikaian ini. Kemudian pada tahun 325, Konstantinus memanggil uskup-uskup dari berbagai penjuru kekaisaran Romawi untuk berkumpul dalam konsili di Kota Nicea (sekarang Iznik di Turki). Konsili ini dibuka dengan pembahasan mengenai permasalahan pandangan Arius. Eusebius dari Nicomedia memimpin beberapa uskup yang mendukung Arius. Namun ketika Arius membacakan pandangannya mengenai keilahian Kristus dan pandangan-pandangan lainnya, banyak uskup yang kemudian menarik dukungannya dari Arius karena memandang tulisannya sebagai penghujatan. 

Para peserta konsili kemudian tidak menerima pandangan Arius dan memutuskan untuk menolaknya. Namun mereka juga harus merumuskan suatu pengakuan yang dapat melawan pandangan Arius. Kemudian Uskup Eusebius dari Kaisarea mengusulkan menggunakan pengakuan yang digunakan di Kaisarea. Pengakuan ini tidak menggunakan kata homoousios (satu hakikat) karena dianggap tidak alkitabiah. Namun, Konstantinus dan para uskup lain memilih untuk menggunakannya dalam rumusan pengakuan tersebut untuk menentang Arius, karena Arius terang-terangan menolak konsep homoousios. Hanya dua orang uskup yang mendukung pandangan Arius dan menolak konsep homoousios. Kelompok pendukung Arius memilih mengemukakan pandagan bahwa Sang Anak memiliki hakikat yang serupa dengan Sang Bapa (homoiousios). Namun pada akhirnya diputuskan bahwa Sang Anak tidak diciptakan, namun sehakikat (homoousios) dengan Sang Bapa yang dirumuskan dalam Pengakuan Iman Nicea. Pandangan Arius kemudian ditolak dan Arius bersama beberapa orang yang mendukungnya dihukum dengan cara dikucilkan dari gereja. 

Arius dan pandangannya dikutuk di Nicea. Ia bersama beberapa uskup yang mendukungnya kemudian dikucilkan dari gereja dan dibuang serta jabatannya dicopot. Bukunya, Thallia, dibakar dan pengikutnya dianggap sebagai musuh gereja. Di dalam pembuangan, Arius sangat menderita sehingga adik perempuan Konstantinus, Konstantia, meminta Konstantinus untuk memulihkan kembali jabatan Arius. Konstantinus menyetujuinya, meskipun Athanasius, uskup Alexandria yang baru, menolaknya. 

Pada tahun 336, upacara pemulihan jabatan Arius kemudian direncanakan untuk dilaksanakan di katedral Konstantinopel. Athanasius menuliskan (Epist. ad. Scrapion, Vol. I. p. 523) berdasarkan keterangan Macarius sang penatua, yang hadir saat itu dan memberi laporan bahwa Arius telah bersumpah menerima iman ortodoks (yang berlawanan dengan Arianisme, aliran yang diajarkannya), sehingga diperbolehkan untuk masuk kembali ke dalam gereja di Konstantinopel. Akan tetapi, upacara tersebut tidak pernah dilaksanakan karena pada sore hari sebelum upacara dilaksanakan, tiba-tiba Arius meninggal. Catatan Athanasius  menyebutkan bahwa uskup Konstantinopel, Alexander, mengunci diri untuk berdoa supaya Tuhan menggagalkan pemulihan itu, sementara malam itu Arius dan Eusebius dari Nicomedia mengancamnya, mencoba masuk ke dalam gedung gereja, dan Arius dengan percaya diri karena kehadiran teman-temannya menuju ke kamar kecil, dan ketika duduk di situ, tiba-tiba 'jatuh tertelungkup, terbelah di tengah badannya' dan langsung mati, sehingga kehilangan kesempatan komuni dan hidupnya sekaligus. Epifanius membandingkan kematiannya ini dengan Yudas Iskariot, ketika mencatat (Contra Haeres. l. 2. Haeres. 68.) bahwa Arius malam-malam pergi ke kamar kecil, dan tiba-tiba mati di sana dengan perut terbelah, mirip dengan Yudas, di tempat yang kotor dan najis. Ruffinus menulis bahwa ketika ia masuk ke gereja, pada saat terakhir tiba-tiba ia berniat ke kamar kecil, dan ketika duduk di sana, isi perutnya semua keluar, sehingga ia mati di sana. Ada kalangan yang melihat kematian Arius sebagai hukuman dari Tuhan, sedangkan kalangan lain melihat kematian Arius disebabkan karena ia diracun. 

Pengaruh Arius

Walaupun Arius telah dikutuk dan dan meninggal, ajaran dan pandangannya tetap berkembang dan disebarluaskan oleh para pengikutnya. Para pengikut Arius ini kemudian berkembang menjadi gerakan atau aliran yang disebut Arianisme. Mereka sangat aktif menyebarluaskan ajaran-ajaran Arius dan terus berkonfrontasi dengan kelompok yang menerima pengakuan Nicea. Arianisme sangat ditentang oleh Athanasius, uskup Alexandria. Hampir seluruh hidup Athanasius diabdikan untuk melawan Arianisme. Akan tetapi, pengikut-pengikut Arius terus dengan giat menyebarkan ajaran-ajaran Arius sampai ke Eropa, terutama di kalangan bangsa Goth. Seorang tokoh Arianisme yang terkenal adalah Ulfilas. 

Jun 7, 2018

Apollo  adalah Dewa cahaya, musik, pemanah, pengobatan, Matahari, dan penyair dalam mitologi Yunani dan mitologi Romawi. Apollo juga merupakan dewa nubuat, dan memberikan restunya kepada orakel, sehingga mereka dapat membaca masa depan. Ia merupakan anak dari Zeus dan Leto dan saudara kembar Artemis. Orakelnya di Delphi sangat terkenal. Banyak orang dari seluruh Yunani yang mengunjungi orakelnya untuk mencari tahu mengenai masa depan mereka. Dalam mitologi Etruska, dia dikenal sebagai Apullu. Apollo disembah baik oleh orang Yunani kuno maupun oleh orang Romawi kuno.

Ia mempunyai busur yang terbuat dari emas. Pohon salam, burung gagak, dan hewan lumba-lumba dikeramatkan untuknya. Pengobatan dan penyembuhan dikaitkan padanya atau pada anaknya, Asklepios (dewa pengobatan), karena Apollo dipandang sebagai dewa yang membawa kesehatan, penyakit wabah. Sebagai dewa musik, Apollo adalah pemimpin para Muse (dewi musik dan nyanyian). Hermes menciptakan lira untuk Apollo dan alat musik tersebut menjadi atribut penting Apollo. Himne yang dinyanyikan untuk Apollo disebut paian. Pada masa Yunani kuno, terutama pada abad ketiga SM, dia dikaitkan dengan Helios (dewa Matahari) dan saudarinya, Artemis, dikaitkan dengan Selene (dewi bulan). 

Asal nama Apollo tidak jelas. Plato, dalam Kratilos, menghubungkan nama Apollo dengan ἀπόλυσις (apolisis), "menebus", dengan ἀπόλουσις (apolousis), "pemurnian", dan dengan ἁπλοῦν (aploun), "sederhana". Hesikhius menghubungkan nama Apollo dengan απελλα (apella) dari bahasa Doria, yang bermakna "majelis", sehingga Apollo disebut sebagai dewa politik. Kemungkinan lain adalah bahwa apellai berasal dari bentuk kuno dari Apollo yang bisa disamakan dengan Appaliunas, dewa dari Anatolia yang namanya kemungkinan bermakna "ayah singa" atau "ayah cahaya". Orang Yunani menghubungkan nama Apollo dengan kata kerja απολλυμι (apollimi) bermakna "menghancurkan". 

Pada masa modern, ada pendapat bahwa nama Apollo berasal dari nama dewa dari mitologi Hurria dan Hittis, Aplu, yang disembah selama "masa wabah". Aplu sendiri berasal dari mitologi Akkadia, Aplu Enlil, bermakna "putra Enlil", sebuah gelar yang diberikan pada dewa Nergal, yang dihubungkan dengan Shamash, dewa Matahari Babilonia.

Ada dua pendapat umum mengenai asal usul Apollo: Salah satunya adalah bahwa Apollo berasal dari daerah timur, pendapat lainnya mengaitkan Apollo dengan bangsa Doria dan dewa mereka apellai (juga bulan Apellaios).  Walter Burkert menyatakan bahwa asal-usulnya dapat dilihat dari para penyembahnya: bangsa Yunani Doria, bangsa Kreta-Minoa, dan bangsa Syro-Hittis. Menurut pendapat pertama, baik Apollo di Yunani maupun di Etruska mulai muncul di Aegea pada Zaman Besi (antara 1100 SM - 800 SM) dari Anatolia. Homer menceritakan Apollo memihak bangsa Troya dalam Perang Troya, dan dia dihubungkan dengan dewa bangsa Luwian, Apaliunas, yang tampaknya melakukan perjalanan dari timur ke barat. Dewa Aplu (dewa dari mitologi Hittis dan Hurria pada Zaman Perunggu Akhir, antara tahun 1700–1200 SM),  juga mirip dengan Apollo yang diceritakan oleh Homer, yaitu sama-sama merupakan dewa wabah. Selain itu Aplu juga melambangkan dewa tikus Apollo Smitheus.

Tempat pemujaan Apollo yang utama adalah di Delos dan Delphi. Dalam praktik pemujaannya, Apollo Delos dan Apollo Pithia (Apollo Delphi) telah menjadi sangat berbeda sampai-sampai keduanya bisa memiliki kuil masing-masing di kota yang sama. Pemujaan pada Apollo juga ditunjukkan dengan nama-nama yang terpengaruh dari Apollo, seperti Apollodors atau Apollonios dan kota Apollonia.

Kuil

Apollo memiliki orakel terkenal di Delphi, yang lainnya ada di Klarus dan Brankhidae. Orakelnya yang berada di Abae, Fokis, tempat dia dijuluki sebagai Apollon Abaios (bahasa Yunani: Ἀπόλλων Ἀβαῖος), sering dikunjungi oleh Kroisos. Orakelnya antara lain berada di:

Di Abae, Fokis
Di Bassae, Peloponnesia
Di Klarus, pesisir barat Asia Minor
Di Korintus,
Di Khirse, Troad, kuilnya dibangun untuk Apollon Smintheus
Di Delos, kuilnya berdekatan dengan danau suci yang dipercaya sebagai tempat Apollo lahir.
Di Delphi,
Di Didyma, para pendetanya minum dari mata air suci di dekat kuil
Di Hierapolis Bambyce, Suriah (Manbij modern), menurut risalah De Dea Syria, di kuil dewi Suriah terdapat citra Apollo. 
Di Patara, Likia,
Di Segesta, Sisilia

Festival
Festival utama untuk dewa Apollo di antaranya adalah festival Boedromia, Karneia, Karpiae, Danephoria, Delia, Hyakinthia, Metageitnia, Pyanepsia, Pythia dan Thargelia.

Hewan Keramat
Hewan keramat Apollo adalah sapi, dan sapi yang dikeramatkan kepada Apollo adalah sapi yang berwarna merah.

Pemujaan Apollo di Romawi meniru dari pemujaan di Yunani. Pada dasarnya Apollo tidak memiliki padanan dalam mitologi Romawi meskipun para penyair pada masa Romawi akhir menyebutnya sebagai Foebus. Menurut tradisi, orakel Delfi dikunjungi pada masa Kerajaan Romawi dipimpin oleh Tarquinius Superbus. Ketika terjadi wabah pada tahun 430-an SM, kuil pertama Apollo di Roma didirikan di padang Flaminia, menggantikan situs pemujaan lokal yang dikenal sebagai "Apollinare".  Pada masa Perang Punisia Kedua pada 212 SM, Ludi Apollinares ("Pesta Olahraga Apollonia") digelar utnuk menghormatinya. Pada masa kaisar Augustus, yang merasa bahwa dirinya berada di bawah perlindungan khusus Apollo dan bahkan disebut sebagai anak Apollo sendiri, pemujaan pada Apollo kian berkembang dan Apollo menjadi salah satu dewa penting di Romawi. Setelah Pertempuran Actium, yang berlangsung di dekat kuil Apollo, Augustus memperluas kuil Apollo, mendedikasikan sebagian harta ramapasan untuk Apollo, dan menyelenggarakan Pesta Olahraga Quinquennial untuk Apollo. Augustus juga mendirikan sebuah kuil baru untuk Apollo di Bukit Palatine. Persembahan dan pemujaan untuk Apollo dan Diana merupakan puncak dari Pesta Olahraga Sekuler, yang digelar pada 17 SM. 

Simbol Apollo yang paling terkenal adalah busur dan anak panah. Simbol lainnya adalah alat musik kithara, pedang, dan altar ramalan, yang melambangkan kekuatan meramal Apollo. Empat tahun sekali, Pesta Olahraga Pithia digelar di Delphi untuk menghormati Apollo. Dalam perlombaan itu, pohon salam digunakan sebagai persembahan dan penghargaan. Pohon palem juga dikeramatkan untuk Apollo karena di Delos, dia lahir di bawah pohon palem. Hewan keramat Apollo di antaranya adalah serigala, lumba-lumba, rusa roe, angsa, tonggeret (melambangkan musik), elang, gagak, ular (melambangkan Apollo sebagai dewa ramalan), tikus dan griffin. Sebagai dewa kolonisasi, Apollo menjadi pemandu bagi para pencari wilayah baru.

Dalam konteks literatur, Apollo melambangkan keteraturan dan ketertiban, berlawanan dengan Dionisos, dewa yang melambangkan kegembiraan dan ketiadaan aturan. Meskipun begitu, orang Yunani menganggap mereka saling melengkapi: dua dewa itu adalah saudara, dan ketika Apollo pada musim dingin pergi ke Hiperborea, dia mempercayakan orakelnya pada Dionisos. Apollo dan Dionisos digambarkan pada dua sisi dari Vas Borghese.

Apollo digambarkan sebagai pemuda tampan tanpa janggut, kadang-kadang sambil memegang kithara (sebagai Apollo Kitharoedus) atau panah, atau sedang bersandar ke pohon (Apollo Lykeios dan Apollo Sauroktonos).

Apollo, seperti dewa-dewa Yunani lainnya, memiliki banyak julukan yang menggambarkan peran, tuags, dan aspek-aspeknya. Tetapi, meskipun Apollo mmeiliki banyak julukan Yunani, dia hanya memiliki sedikit julukan Romawi. Julukan Romawinya yang paling terkenal adalah Foebus ("yang bercahaya"), menggambarkan perannya sebagai dewa cahaya.

Sebagai dewa pengobatan, dia disebut Akesios, Iatros, dan Akestor bermakna "penyembuh". Sementara di Romawi dia dijuluki Apollo Medicus. Sebagai dewa Matahari, Apollo mendapat gelar Aiglites, dewa yang bercahaya. Apollo juga disebut sebagai Aleksikakos ("penahan kejahatan") dan Apotropaios ("dia yang mencegah kejahatan"), dan oleh orang Romawi disebut sebagai Averruncus ("pencegah kejahatan"). Sebagai dewa wabah dan penahan hama, Apollo dikenal dengan julukan Smintheus ("penangkap tikus") dan Parnopios ("belalang"). Bangsa Romawi juga memanggilnya Culicarius ("pengusir hama").

Sebagai dewa panahan, Apollo dikenal sebagai Afetoros ("dewa busur") dan Argurotoksos ("berpanah perak"). Orang Romawi menyebut Apollo sebagai Articenens ("membawa busur"). Sebagai pelindung jalan dan rumah, dia dijuluki Agieus.

Sebagai dewa kolonisasi, julukan Apollo adalah Arkhegetes ("pemimpin pendirian") dan Klarios ("pembagi lahan").

Apollo juga dikenal sebagai Delfinios ("orang Delfi"). Selain itu di Delfi dia juga disebut sebagai Pithios ("Orang Pithia"). Kinthios, julukannya yang lain, diambil dari tempat kelahirannya di Gunung Kinthos. Dia juga mendapat julukan Likios atau Likigines, bermakna "dari Likia", karena menurut beberapa pedapat, praktik pemujaannya berasal dari Likia.

Sebagai dewa ramalan, Apollo dijuluki Loksias ("samar") dan orang Romawi menyebutnya Coelispex ("dia yang melihat surga"). Apollo mendapat julukan Musagites sebagai dewa pemimpin para Muse, dan Nimfigites sebagai pemimpin pada nimfa.

Akisios adalah julukan Apollo di Elis, di sana dia mempunyai kuil di agora. Julukan ini memiliki makna seperti akestor dan aleksikakos, dan menunjukkan perannya sebagai "pengusir kejahatan". Akraifios atau Akraifiaios adalah julukannya di Akrifia, Boeotia. Pemujaan Apollo di sana menurut tradisi didirikan oleh putra Apollo sendiri, Akraifios. Sementara Aktiakos adalah julukannya di Aktium, salah satu tempat pemujaannya yang penting 

Kelt
Apollo disembah di seluruh wilayah Kekaisaran Romawi. Bangsa Kelt mengenalnya sebagai dewa pengobatan dan Matahari, dan mereka sering menyamakan Apollo dengan dewa Kelt yang memiliki peran serupa. Beberapa julukan Apollo dalam masyarakat Kelt adalah sebagai berikut:

Sebagai Apollo Atepomarus ("penunggang kuda besar" atau "pemilik kuda besar"), Apollo disembah di Mauvières (Indre). Dalam budaya Kelt, kuda berkaitan erat dengan Matahari. 
Apollo Belenus ('terang' atau 'cemerlang'). Apollo mendapat julukan ini di sebagian Galia, Italia Utara dan Noricum (sebagian Austria modern). Apollo Belenus merupakan dewa pengobatan dan Matahari. 
Apollo Cunomaglus ('pemilik anjing'), sebuah julukan untuk Apollo di kuilnya di Wiltshire. Apollo Cunomaglus kemungkinan adalah dewa pengobatan. Cunomaglus sendiri adalah dewa pengobatan. 
Apollo Grannus. Grannus adalah dewa musim semi, kemudian disamakan dengan Apollo. 
Apollo Maponus, dewa yang dikethaui dari prasasti di Britania. Ini kemungkinan adalah penggabungan dari Apollo dan dewa lokal, Maponus.
Apollo Moritasgus, julukan Apollo di Alesia, tempat dia disembah sebagai dewa pengobatan. 
Apollo Vindonnus ('cahaya terang'). Apollo Vindonnus punya kuil di Essarois, dekat Châtillon-sur-Seine di Burgundy. Dia adalah dewa pengoban, terutama mata. 
Sebagai Apollo Virotutis, dia disembah di Fins d'Annecy (Haute-Savoie) dan di Jublains (Maine-et-Loire) 

Ketika Hera mengetahui bahwa Leto hamil oleh Zeus, dia lalu melarang bumi untuk menerima persalinan Leto sehingga Leto kesulitan mencari tempat untuk melahirkan. Leto akhirnya bisa melahirkan di Delos, pulau terapung yang tidak terhubung dengan bumi. Di pulau tersebut Apollo lahir dan pulau itu kemudian dikeramatkan untuk Apollo.

Hera juga menculik Ilithyia, dewi kelahiran, supaya Leto tidak bisa melahirkan anaknya. Para dewa lain menawarkan Hera sebuah kalung dan Ilithyia pun bisa bebas. Menurut sebagian besar pendapat, Artemis lahir terlebih dahulu di pulau Ortigia, Artemis lalu membantu ibunya menuju pulau Delos dan ikut membantu kelahiran adiknya, Apollo. Apollo lahir pada hari ketujuh bulan Thargelion (menurut tradisi Delos) atau pada bulan Bysios (menurut tradisi Delfi).

Masa muda
Empat hari setelah kelahirannya, Apollo mampu membunuh naga Pithon yang tinggal di Delfi di dekat mata air Kastalia. Hera mengirim Pithon untuk membunuh Leto. Dalam usahanya melindungi ibunya, Apollo meminta busur dan anak panah pada Hefaistos. Setelah mendapatkan senjata, Apollo betarung dengan Pithon di gua suci di Delfi dan membunuhnya di sana. 

Hera lalu mengirim raksasa Titios untuk memperkosa Leto. Apollo berusaha menghentikannya, kali ini Apollo dibantu oleh saudarinya, Artemis. Zeus ikut membantu dengan menyerang Titios menggunakan petirnya sampai Titios terlempar ke Tartaros. Titios terjatuh di lantai berbatu dan hatinya dimakan oleh burung hering setiap hari.

Niobe

Niobe, Ratu Thebes dan istri Amfion, menyombongkan bahwa dia lebih hebat dari Leto karena memiliki empat belas anak, tujuh putra dan tujuh putri, sedangkan Leto hanya dua. Karena keesombongannya, Apollo membunuh semua putranya ketika mereka sedang berolahraga atletik dann Artemis membunuh semua putrinya dengan panah beracun. Menurut beberapa versi, ada beebrapa anak Niobe yang diampuni dan tidak ikut dibunuh. Amfion, melihat anak-anaknya mati, akhirnya ikut bunuh diri sementara Niobe diubah menjadi batu.

Admetos

Apollo membunuh para Kiklops sehingga membuat Zeus sangat marah. Zeus sempat berniat mengurungnya di Tartaros tetapi Leto membujuk Zeus agar meringankan hukumannya. Apollo pun akhirnya dihukum untuk menjadi gembala dan mengabdi pada raja Admetos di Ferae, Thessaly. Admetos memperlakukan Apollo dengan sangat baik sehingga Apollo pun banyak menolong Admetos. Apollo membantu Admetos meminang Alkestis, putri raja Pelias. Apollo juga berhasil meyakinkan Moirai (dewi takdir) untuk menunda kematian Admetos.

Lira
Hermes mencuri ternak Apollo, membawa ternak tersebut ke Yunani, menyembunyikannya, dan menghapus jejaknya. Ketika Apollo menuduh Hermes mencuri ternaknya, Maia membantahnya dan mengatakan bahwa Hermes bersamanya semalaman. Zeus kemudian turun tangan dan memberitahu mereka bahwa memang benar Hermeslah yang mencuri ternak Apollo. Zeus juga juga menyatakan bahwa ternak itu harus dikembalikan. Mereka berdebat dan Hermes tiba-tiba memainkan liranya dan membuat Apollo terpesona. Apollo lalu bersedia menukar ternaknya dengan lira temuan Hermes. Sejak itu, lira menjadi simbol Apollo.

Marsias

Marsias adalah seorang satir yang menantang Apollo dalam kontes bermain musik, dan para Muse menjadi jurinya. Setelah mereka berdua tampil, para Muse menyatakan bahwa hasilnya seri. Apollo kemudian mengatakan bahwa mereka harus bertanding lagi tetapi kali ini mereka harus bermain musik sambil bernyanyi. Marsias memainkan suling sehingga tidak bisa melakukannya. Apollo akhirnya dinyatakan sebagai pemenang. Apollo kemudian menguliti Marsias hidup-hidup karena berani menantang dewa. Apollo juga menggantung kulit Marsias di sebuah pohon. Darah Marsias mengalir menjadi sungai Marsyas.

Dalam versi lain, Apollo memainkan liranya dalam posisi terbalik. Marsias tidak mampu melakukannya dengan sulingnya sehingga Apollo menggantungnya di pohon dan mengulitinya hidup-hidup. 

Pan berkontes melawan Apollo dalam bermain musik. Yang menjadi juri adalah Tmolus, dewa gunung. Pan meniup pipanya dan musiknya mempesona Midas, pengikutnya yang ikut hadir. Apollo kemudian memainkan liranya. Tmolus menyatakan bahwa Apollo adalah pemenangnya dan semua orang setuju kecuali Midas. Midas menolak keputusan itu dan mempertanyakan keadilan juri. Apollo marah dan mengubah telinga Midas menjadi telinga keledai.

Perang Troya

Apollo memberi wabah penyakit pada pasukan Yunani karena Agamemnon mengambil Khriseis, anak gadis dari salah seorang pendeta Apollo. Setelah Khriseis dikembalikan, Apollo mengangkat kembali wabahnya. Ketika Diomedes melukai Aineias, Apollo menyelamatkan Aineias karena Aineias ditakdirkan untuk memimpin rakyat Troya pada masa depan. Apollo menyelimuti Aineias dengan awan tebal dan membawanya ke Pergamos, tempat suci di Troy. Apollo juga membantu Paris dalam usahanya membunuh Akhilles dengan mengarahkan panah tepat pada tumit Akhilles. Apollo melakukannya karena Akhilles pernah membunuh Troilus, putra Apollo.

Pasangan dan keturunan

Apollo mengejek Eros (Cupid). Menurut Apollo, Eros hanyalah seorang anak kecil yang bermain-main dengan senjata orang dewasa (panah). Eros membalas penghinaan Apollo dengan membuat Apollo jatuh cinta pada seorang nimfa bernama Dafne, anak dewa sungai Peneus. Tetapi Eros menjadikan Dafne tidak menyukai Apollo. Apollo pun terus berusaha mengejar Dafne, yang selalu berusaha menghindar. Dafne kemudian berdoa pada ayahnya untuk mengubahnya menjadi pohon salam dan ayahnya mengabulkan permintaannya. ketika tahu bahwa Dafne telah berubah menjadi pohon salam, Apollo menjadikan pohon itu keramat untuknya. 

Apollo memiliki hubungan dengan seorang putri bernama Leukothea, anak Orkhamos dan saudari Klitia. Apollo mendatangi kamar Leukothea dengan menyamar sebagai ibunya. Klitia, yang cemburu pada saudarinya, memberitahu ibunya tentang hubungan itu. Orkhamos pun menghukum Leukothea dengan menguburnya hidup-hidup. Apollo, yang marah karena hubungannya hancur, akhirnya mengubah Klitia menjadi tanaman.

Marpessa dicintai oleh Idas dan Apollo. Zeus menyuruhnya memilih di antara mereka berdua. Marpessa akhirnya memilih Idas karena menurutnya Apollo, yang abadi, akan bosan dengannya ketika dia menjadi tua.

Kastalia adalah seorang nimfa yang dicintai oleh Apollo. Dia menolak Apollo dan menghindarinya dengan menyelam ke dalam mata air di Delphi, di dasar Gunung Parnassos, yang kemudian dinamai mata air Kastalia. Di kemudian hari, air dari mata air ini dianggap suci dan dan gunakan untuk membersihkan kuil-kuil di Delphi.

Dari Kirene, Apollo memiliki seorang putra bernama Aristaios, yang menjadi dewa ternak, buah, pertanian, dan lebah. Dia juga mengajari manusia menggunakan perangkap dalam perburuan, serta mengolah zaitun.

Dari Hekuba, Apollo memiliki putra bernama Troilus. Dia dibunuh oleh Akhilles. Apollo juga mencintai Kassandra, anak Hekuba dan Priam, dan saudari tiri Troilus. Apllo menjanjikan Kassandra kekuatan meramal jika mau disetubuhi oleh Apollo tetapi Kassandra menolak. Apollo marah dan memberinya kekuatan untuk melihat masa depan tetapi yang bisa Kassandra lihat hanyalah peristiwa mengerikan dan tak akan dipercaya orang lain.

Koronis, putri raja Flegias, memiliki hubungan cinta dengan Apollo sampai menjadi hamil dengan bayi bernama Asklepios. Tetapi Koronis berselingkuh dengan Iskhis. Seekor gagak memberitahu Apollo tentang perselingkuan itu tetapi Apollo tidak percaya dan mengubah semua gagak menjadi berwarna hitam atas kebohongan mereka. Ketika Apollo menyadari bahwa sang gagak berkata benar, dia menjadikan hewan tersebut suci. Apollo membunuh Koronis dan menyelamatkan bayinya. Sementara ayah Koronis yang marah karena anaknya mati kemudian membakar kuil Apollo di Delphi. Apollo membunuhnya akibat perbuatannya itu.

Hiakinthos adalah salah satu kekasih lelaki Apollo. Hiakinthos merupakan seorang pnageran Sparta, dia tampan dan atletis. Suatu hari Apollo dan Hiakinthos bermain lempar cakram dan tiba-tiba cakram yang dilempar Apollo mengenai kepala Hiakinthos sampai pemuda itu mati. Cakram itu ditiup oleh Zefiros (dewa angin barat) yang cemburu pada hubungan mereka. Apollo sangat bersedih atas kematian kekasihnya dan menciptakan bunga Hyacinth dari darah Hiakinthos.

Kekasih lelaki lainnya adalah Kiparissos, seorang keturuann Herakles. Apollo memberinya seekor rusa jinak dan Kiparissos tak sengaja membunuh rusa itu dengan lembing. Kiparissos sangat menyesal dan meminta Apollo agar dia bisa menangis selamanya. Apollo mengabulkan permintaannya dengan mengubahnya menjadi tanaman Cupressaceae, yang getahnya mengalir seperti air mata.

Dalam suatu cerita, Apollo membunuh Aloadai ketika mereka berusaha menyerang Gunung Olimpus.

Selama musim dingin, Apollo menunggangi angsa ke tanah Hiperborea 

Apollo mengubah Kefissos menjadi monster laut.

Apollo pernah bertanding bermain lira melawan putranya sendiri, Kiniras. Ketika akhirnya kalah, Kiniras pun bunuh diri.

Nama Apollo menjadi nama program NASA di bulan, yaitu program Apollo pada tahun 1960-an. Apollo juga menjadi nama salah satu kawah di bagian selatan dari sisi jauh bulan.

Sebuah asteroid yang pertama kali ditemukan oleh Karl Reinmuth pada tahun 1932 diberi nama 1862 Apollo.

Dalam seni dan budaya

Apollo Belvedere adalah sebuah patung marmer yang ditemukan pada akhir abad ke-15, dan selama berabad-abad bagi Eropa telah menjadi lambang dari Era Klasik. Patung itu adalah tiruan Romawi dari patung perunggu buatan pematung Yunani, Leokhares, dan dibuat antara 350 dan 325 SM.

Patung berukurang manusia yang disebut sebagai patung "Adonis" ditemukan pada 1780 di situs villa suburbana dekat Via Labicana di pinggiran Centocelle, dan kini disimpan di Museum Ashmolean, Oxford. Patung itu, setelah diteliti oleh sejarawan modern, diketahui adalah patung Apollo, bukan Adonis.

Pada akhir abad kedua M, ada sebuah mosaik yang ditemukan di El Djem. Mosaik itu menggambarkan Apollo sebagai Apollo Helios, dicirikan dengan adanya lingkaran cahaya di kepalanya.. Mosaik lainnya yang menggambarkan Apollo dengan lingkaran cahaya ditemukan di Hadrumentum, dan kini disimpan di Museum di Sousse. 

Percy Bysshe Shelley, penyair Inggris, membuat sebuah puisi berjudul "Himne Apollo" (1820). Apollo juga menjadi inspirasi dari pagelaran balet karya Igor Stravinsky, berjudul Apollon musagète (1927–1928).

Patung Apollo di kuil Zeus di Olympia (sekarang di Museum Arkeologi Olympia) digambarkan dalam uang kertas Yunani dengan nominal 1000 drakhma pada tahun 1987–2001. 

Dalam budaya populer

Apollo Creed merupakan nama salah satu tokoh petinju dalam seri film Rocky. Captain Apollo adalah salah satu tokoh dalam seri televisi Battlestar Galactica. Dalam seri televisi Lost ada toko permen bernama Apollo Candy.

Showtime at the Apollo adalah nama sebuah acara musik yang diproduksi oleh Apollo Theater di New York. Sementara Live at the Apollo adalah acara komedi televisi di London.

Afrodit

Afrodit (bahasa Yunani: Ἀφροδίτη) adalah dewi cinta, kecantikan, seksualitas, kenikmatan, dan prokreasi dalam mitologi Yunani Ada dua legenda berbeda mengenai kelahiran Afrodit. Versi pertama, yang disebutkan oleh Homeros dalam Iliad, menyebutkan Afrodit adalah putri dari Zeus dan Dione, tetapi legenda ini kurang populer. Versi kedua, yang didasarkan pada Theogonia karya Hesiodos, menyebutkan bahwa Afrodit dilahirkan dari alat kelamin Uranus yang dipotong oleh Titan Kronos dan dilemparkan ke laut. Alat kelamin itu ditutupi oleh buih laut (aphros) dan dari buih-buih itulah Afrodit muncul. Menurut Plato dalam Simposium, dua kisah ini benar karena menceritakan dua Afrodit yang berbeda, yaitu Afrodit Urania dan Afrodit Pandemos

Karena kecantikannya, para dewa takut bahwa Afrodit akan menimbulkan perpecahan di antara para dewa, karena itu Zeus menikahkan Afrodit dengan Hefaistos. Namun Afrodit memiliki banyak kekasih, baik dari kalangan dewa, misalnya Ares, maupun dari golongan manusia, misalnya Ankhises. Afrodit merupakan tokoh penting dalam legenda Eros dan Psikhe, dan juga menjadi ibu angkat sekaligus kekasih Adonis. Banyak manusia dan dewa minor yang disebut-sebut sebagai anak Afrodit. Salah satu putra Afrodit yang terkenal adalah Eros (Cupid), dewa asmara.

Afrodit juga dikneal sebagai Kithireia (Wanita dari Kythira) dan Kipris (Wanita dari Siprus) karena kedua tempat tersebut dianggap sebagai tempat kelahiran Afrodit. Tanaman myrtle, burung dara, burung gereja, kuda dan angsa dikeramatkan untuknya.

Dalam mitologi Romawi, dia dikenal sebagai Venus. Orang Yunani juga mengidentikkan dewi Mesir kuno, Hathor, dengan Afrodit. Secara historis, pemujaannya di Yunani berasal dari, atau dipengaruhi oleh, pemujaan dewi Astarte di Punisia.

Afrodit memiliki banyak nama lokal lainnya, seperti misalnya Akidalia, Kythereia dan Kerigo, yang digunakan di daerah tertentu di Yunani. Tiap-tiap nama memiliki sedikit perbedaan dalam hal kultusnya namun secara keseluruhan orang Yunani mengenali kesamaan mereka sebagai satu Afrodit. Para filsuf Attika pada abad keempat SM memisahkan dewi Afrodit menjadi dua, yaitu Afrodit surgawi (Afrodit urania) dengan prinsip-prinsip transender dan Adoridt umum yang dikenal oleh orang-orang (Afrodit Pandemos).

Afrodit memiliki banyak padanan dalam mitologi lain, di antaranya adalah Inanna (mitologi Sumeria), Astarte (mitologi Funisia), Astghik (mitologi Armenia), Turan (mitologi Etruska), dan Venus (mitologi Romawi). Dia memiliki kesamaan dengan dewi-dewi fajar dari mitologi Indo-Eropa seperti Ushas atau Aurora. Pemujaan Afrodit berasal dari daerah timur: menurut Pausanias, pemujaan pertamanya didirikan di Asiria. Setelah itu, orang-orang Funisia menyebarkan pemujaan Afrodit pada orang-orang di Kythira. Dikatakan bahwa Afrodit mampu membuat semua pria jatuh cinta padanya pada pandangan pertama.

Afrodit juga banyak memiliki nama lainnya, seperti Akidalia, Kythiria, Pandemos dan Kerigo. Nama-nama ini digunakan di daerah-daerah tertentu di Yunani. Ketika kota-kota Yunani bergabung, nama-nama itu terabaikan, dan nama Arodit dipakai sebagai gantinya.

Etimologi
Nama Afrodit dihubungkan dengan ἀφρός (aphros) "buih," sehingga kadang-kadang Afrodit diterjemahkan sebagai "muncul dari dalam buih". Etimologi lainnya menghubungkan Afrodit dengan ἁβροδίαιτος habrodiaitos ("dia yang lembut" dari kata ἁβρός habros dan δίαιτα diaita). Aphros yang muncul dalam bahasa Messapik dan bahasa Etruska (yang kemudian diadaptasi menjadi April), kemungkinan berasal dari bahasa Yunani juga.

Meskipun Herodotus menyadari bahwa Afrodit berasal dari Funisia, tetapi dia masih mencoba mencari kaitan nama Afrodit dengan bahasa Semitik Aštoret, melalui penyeberan Hittis yang tak terdokumetasikan, dan hasilnya pun tak meyakinkan. Jika berasal dari bahasa Semitik, maka etimologi yang tak masuk akan akan muncul dari barīrītu dari mitologi Asiria, barīrītu adalah seorang setan perempuan dari Babilonia Tengah dan dietmukan dalam teks-teks Babilonia akhir Namanya kemungkinan bermakna "dia yang (datang) saat fajar," sebuah perwujudan dari planet Venus sebagai bintang fajar dan merupakan atribut dari dewi Inanna/Ishtar dalam mitologi Mesopotamia.

Sebuah pendapat dari M. Hammarström yang ditolak oleh Hjalmar Frisk menghubungkan nama Afrodit dengan πρύτανις (prytaneis), sebuah kata dalam bahasa Yunani yang berasal dari bahasa Etruska (e)pruni, "tuan". Sementara pendapat etimologi dari bahasa Indo-Eropa abhor "sangat" + dhei "bersinar" diajukan oleh J.P. Mallory dan D.Q. Adams. 

Pemujaan

Pusat pemujaannya ada di Siprus dan Kythira. Festivalnya, Afrodisia, dirayakan di seluruh Yunani terutama di kota Athena dan Korintus. Di kuil Afrodit di puncak Akrokorintus, (sebelum Romawi menghancurkan kota itu pada tahun 146 SM) persetubuhan dengan para pendeta wanitanya dianggap sebagai salah satu cara pemujaan Afrodit. Kuil ini baru dibangun kembali setelah kota itu didirikan lagi di bawah pemerintahan Romawi pada 44 SM, tetapi sepertinya ritual kesuburan tetap dilaksanakan di dekat agora.

Atribut
Afrodit diasosiasikan, dan sering digambarkan, dengan laut, lumba-lumba, angsa, merpati, delima, apel, mawar, limau, tongkat, cangkang kerang, pohon myrtle, remis, dan mutiara.

Dia diasosiasikan dengan Hesperia dan sering ditemani oleh para Oread, nimfa pegunungan.

Julukan
Julukan Afrodit Akidalia adakalanya ikut ditambahkan pada namanya, diambil dari mata air tempat dia biasa mandi, letaknya di Boeotia. Dia juga disebut Kipris atau Kithirea sesuai tempat kelahirannya di Siprus dan Kythira.

Kelahiran

Afrodit lahir dari buih lautan di dekat Paphos, Siprus, setelah Kronos memotong alat kelamin Uranus dan melemparnya ke laut, sementara para Erinya tercipta dari tetesan darah Uranus. Hesiod dalam Theogonia menggambarkan bahwa alat kelamin tersebut terbawa ombak lautan dan di sekelilingnya muncul buih, dari buih tersebut Afrodit terlahir.

Dalam Iliad, Afrodit adalah anak dari Zeus dan Dione. Dalam versi lainnya, orang tua Afrodit adalah Zeus dan Thalassa.

Afrodit tidak memiliki masa kanak-kanak: Dia dilahirkan dalam keadaan dewasa. Zeus khawatir kecantikannya akan memicu perselisihan di antara para dewa sehingga Afrodit dinikahkan dengan Hefaistos. Dalam versi lain, Afrodit dinikahkan dengan Hefaistos supaya Hefaistos bersedia melepaskan Hera yang terjebak oleh singgasana buatannya. Meskipun telah menikah, Afrodit bukanlah dewi yang setia, dia memiliki hubungan dengan Ares dan Adonis.

Adonis

Kiniras, raja Siprus, memiliki seorang putri bernama Mirrha. Ibu Mirrha menyombongkan bahwa anaknya lebih cantik dari Afrodit sehingga Afrodit menghukumnya dengan menjadikan Mirrha jatuh cinta pada ayahnya sendiri, Kiniras. Kiniras menolak cinta putrinya tetapi Mirrha tidak kehabisan akal. Mirrha menyamar menjadi seorang pramusyahwat dan bersetubuh dengan ayahnya sampai akhirnya Mirrha hamil. Ketika Kiniras tahu perbuatan putrinya, dia berusaha membunuh Mirrha. Mirrha berdoa meminta pertolongan pada para dewa dan kemudian diubah menjadi pohon dupa. Kiniras sendiri akhirnya bunuh diri.

Mirrha, yang telah berwujud pohon, melahirkan bayinya, yaitu seorang manusia bernama Adonis. Afrodit merasa kasihan dan mengambil bayi itu dan memberikannya pada Persefon di dunia bawah untuk diasuh. Adonis tumbuh menjadi pemuda yang sangat tampan. Suatu hari Afrodit datang untuk mengambil kembali Adonis tetapi Persefon menyukai Adonis dan tak mau melepaskannyanya. Afrodit dan Persefon pun bertengkar sampai akhirnya Zeus turun tangan. Zeus memutuskan bahwa selama sepertiga tahun Adonis akan bersama Afrodit, sepertiga tahun berikutnya bersama Persefon, dan sepertiga tahun berikutnya terserah pada Adonis sendiri. Adonis tentu saja lebih memilih bersama Afrodit.


Adonis dan Afrodit sering pergi berburu bersama. Suatu hari Afrodit harus meninggalkan Adonis berburu sendirian. Sebelum pergi, Afrodit berpesan pada Adonis untuk tidak mengganggu binatang buas. Setelah Afrodit pergi, Adonis melihat seekor babi hutan yang sangat besar. Adonis melupakan pesan Afrodit dan mengejar babi tersebut. Babi itu sangat kuat dan bukan tandingan Adonis. Babi itu menyerang Adonis sampai Adonis mati karena kehabisan darah. Dalam beberapa versi, babi tersebut dikatakan sebagai Ares yang cemburu pada hubungan mereka dan menyamar sebagai babi hutan. Afrodit kembali dan sangat berduka ketika melihat kekasihnya mati. Afrodit mengubah tubuh Adonis menjadi bunga anemone untuk mengenang Adonis.

Pigmalion dan Galatea

Pigmalion adalah seorang pematung yang belum menemukan wanita idamannya. Afrodit kasihan padanya. Suatu malam Afrodit hadir di mimpinya dan menginspirasikannya untuk membuat patung yang mirip Afrodit. Pigmalion pun membuat patung perempuan yang sangat cantik dari gading dan menamainya Galateia. Lama-kelamaaan Pigmalion jatuh cinta pada patung itu dan berdoa pada Afrodit supaya patungnya menjadi hidup. Afrodit mendengar doanya dan menjadikan patung itu hidup sehingga Pigmalion dan Galateia bisa hidup bersama.

Eros dan Psikhe

Psikhe adalah perempuan yang sangat cantik bahkan menyaingi kecantikan dewi Afrodit. Afrodit yang tidak rela kecantikannya tersaingi kemudian menyuruh anaknya, Eros, untuk membuat Psikhe jatuh cinta pada lelaki yang jelek. Ketika Eros hendak menembak Psikhe dengan panahnya, Eros secara tidak sengaja menggores panah tersebut ke badannya sendiri sehingga Eros menjadi jatuh cinta pada Psikhe.

Afrodit tidak menyetujui hubungan mereka dan memberi beberapa tantangan pada Psikhe. Ketika menjalankan salah satu perintah Afrodit tersebut Psikhe terkena kutukan. Eros kemudian mennyelamatkan Psikhe dan mendatangi Zeus. Zeus mengabulkan permintaan Eros dan menyatakan bahwa mereka boleh hidup bersama. Pada akhirna, Afrodit juga menyetujui hubungan mereka, bahkan Afrodit ikut menari pada pernikahan Eros dan Piskhe.

Keputusan Paris

Semua dewa-dewi dan manusia diundang ke pernikahan Peleus dan Thetis (orang tuan Akhilles). Hanya dewi Eris (dewi perselisihan) yang tidak diundang. ketika dia datang, dia melempar sebuah apel ke tengah-tengah pesta, apel tersebut beruliskan kallistēi ("untuk yang tercantik"). Afrodit, Hera, dan Athena mengklaim sebagai pemilik apel tersebut dan sebagai dewi tercantik.

Ketiga dewi tersebut mendatangi Zeus untuk menentukan siapa yang berhak memiliki apel emas itu. Zeus tidak ingin memihak siapapun dan menyuruh mereka untuk meminta keputusan pada Paris. Hera berusaha menyuap Paris dengan kekayaan, Athena berjanji akan menjadikan Paris jenderal yang berjaya dan terkenal, sementara Afrodit menawarkan wanita tercantik di dunia untuk Paris (Helen). Paris akhirnya memilih Afrodit sebagai penerima apel dan dewi tercantik. Keputusan Paris ini berujung pada Perang Troya.

Hippolitos tidak mau menyembah Afrodit dan lebih memilih untuk menyembah Artemis. Akibatnya Afrdit membuat ibu tirinya, Faedra jatuh cinta padanya. Hippolitos menolak cinta Faedra sampai akhirnya Faedra bunuh diri dengan meninggalkan catatan bahwa dia diperkosa oleh Hippolitos. Theseus, suami Faedra dan ayah Hippolitis, membaca catatan itu dan marah besar pada anaknya. Theseus lalu mengutuk Hippolitos sampai akhirnya Hippolitos mati. Setelah Hippolitos mati, Artemis muncul dan memberitahu hal yang sebenarnya pada Theseus. Artemis lalu membalaskan kematian Hippolitos dengan membunuh Adonis, kekasih Afrodit.

Glaukos dari Korintus membuat Afrodit marah. Afrodit menghukumnya dengan membuat kudanya mengamuk di acara pemakaman raja Pelias sehingga akhirnya Glaukos dibunuh

Dalam suatu versi mengenai Medusa, Afrodit iri pada kecantikan Medusa dan saudara-saudaranya sehingga dia mengutuk mereka menjadi monster.