Sejarah Dunia Kuno

2021 a year of miracles and 'unlocking' millions

Jul 4, 2020

Gereja Ortodoks Timur

Gereja Ortodoks Timur, dengan nama resmi Gereja Katolik Ortodoks,  juga disebut Gereja Ortodoks, Ortodoksi Timur, dan Ortodoksi,  adalah Gereja Kristen terbesar kedua di dunia,  dengan perkiraan jumlah umat sekitar 225–300 juta orang. Gereja ini bukan bagian dari Gereja Katolik Ritus Timur.

Gereja Ortodoks Timur termasuk salah satu lembaga keagamaan tertua di dunia,  yang mengajarkan bahwa Gereja yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik didirikan oleh Yesus Kristus dalam Amanat Agung-Nya kepada para rasul, dan mempraktikkan apa yang dipahami sebagai iman asli yang diwariskan dari para Rasul.

Gereja Ortodoks Timur berada dalam persekutuan dengan Gereja Latin sebelum Skisma Timur–Barat tahun 1054, dan dengan gereja-gereja Oriental selama kuartal pertama sejarahnya. Ortodoksi menyebar di seluruh Kekaisaran Romawi dan kemudian Bizantium serta daerah sekitarnya,  memainkan suatu peran penting dalam budaya Eropa, Timur Dekat, Slavia, dan beberapa budaya Afrika. Tahta episkopalnya yang paling utama adalah Konstantinopel.

Ortodoksi tidak memiliki Kepausan ataupun keuskupan dengan ortoritas serupa. Sebutan "Timur" biasa digunakan, walaupun tidak resmi, diambil dari kaitannya secara geografis dengan gereja-gereja "Barat", yang sekarang dikenal sebagai Gereja Katolik Roma, dan karena Konstantinopel merupakan ibu kota Kekaisaran Romawi Timur.

Perbedaan dengan Gereja Barat

Ada perbedaan dengan Gereja Katolik Roma namun banyak pula persamaannya. Kalangan Kristen lainnya cenderung menganggap bahwa perbedaan utamanya ialah bahwa Gereja Ortodoks banyak menekankan ritus dan doa dalam bahasa tertentu, terutama dalam Bahasa Yunani Kuno atau "Bahasa Slavonik Kuno Gerejawi" (Old Church Slavonic). Sebenarnya Gereja Ortodoks menganut prinsip bahwa ibadah atau liturgi hendaknya dimengerti oleh umat. Oleh karena itu sejak permulaan, Gereja Ortodoks mendukung usaha penerjemahan Kitab Suci dan liturgi ke bahasa setempat. Bahasa Yunani Perjanjian Baru (bahasa Yunani Koine) adalah bahasa asli Kitab Suci Perjanjian Baru, jadi bahasa ini menduduki tempat khusus dalam kehidupan Gereja. Namun, di Yunani sekarang ibadah dirayakan dalam bahasa Yunani yang dimengerti umat, bukan bahasa Yunani abad pertama.

Pemakaian bahasa Slavonik sebenarnya merupakan bukti prinsip penerjemahan tersebut. Santo Cyril dan Santo Methodius menyebarkan agama Kristen (Ortodoks) ke bangsa-bangsa Slavia (Eropa Timur) pada abad ke-10 dan menerjemahkan Kitab Suci dan liturgi ke bahasa mereka saat itu. Bahasa Slavonik yang dipakai mereka menjadi semacam bahasa klasik bagi bangsa-bangsa Slavia termasuk Rusia. Walau mungkin gereja-gereja di sana masih memakai bahasa Slavonik Kuno, secara prinsip Gereja Ortodoks menekankan bahwa bahasa liturgi hendaklah dimengerti oleh umat. Gereja-gereja Ortodoks di Eropa Barat, Amerika dan Asia biasanya memakai bahasa setempat.

Lalu teologi gereja Ortodoks lebih bersifat mistik. Gereja-gereja Ortodoks juga cenderung menjadi gereja nasional, misalkan Gereja Ortodoks Rusia, Yunani dan sebagainya.

Jumlah Umat

Berdasarkan jumlah umat, Ortodoksi Timur adalah komunitas Kristiani terbesar kedua di dunia sesudah Gereja Katolik Roma.  Estimasi paling umum mengenai jumlah umat Kristen Ortodoks Timur di seluruh dunia berkisar antara 225-300 juta jiwa   Ortodoksi Timur adalah agama tunggal terbesar di Belarusia (89%), Bulgaria (86%), Republik Siprus (88%), Georgia (89%), Yunani (98%), Republik Makedonia (70%), Moldova (98%), Montenegro (84%), Romania (89%), Rusia (88%), Serbia (88%), dan Ukraina (83%). Ortodoksi Timur juga merupakan agama dominan di Republika Srpska (92%) entitas di Bosnia dan Herzegovina, serta agama dominan di Kazakhstan Utara (48% dari populasi Kazakhstan). Selain itu, ada pula sejumlah besar komunitas Ortodoks di Afrika, Asia, Australia, Amerika Utara, dan Amerika Selatan.

Ortodoks Timur dan Ortodoks Oriental

Gereja-Gereja Ortodoks mengklaim diri sebagai kelanjutan dari jemaah Kristiani perdana, yang didirikan oleh Yesus Kristus sendiri serta para Rasul-Nya. Namun, perlu diperhatikan bahwa ada dua persekutuan Ortodoks yang berbeda. Persekutuan Ortodoks yang pertama dan yang terbesar adalah yang disebut Gereja Ortodoks Timur, yakni gereja-gereja Ortodoks yang menerima hasil ketujuh Konsili ekumenis seperti Gereja Katolik Roma. Komunitas Ortodoks yang lain dibedakan dari Ortodoksi Timur dengan menggunakan sebutan Gereja Ortodoks Oriental. Ortodoksi Oriental hanya menerima hasil dari 3 Konsili Ekumenis yang pertama, yaitu Konsili Nicea I, Konsili Konstantinopel I, dan Konsili Efesus. Komunitas ini terpisah setelah beberapa Uskup peserta Konsili Khalsedon memutuskan untuk tidak menerima hasil Konsili tersebut.

Persamaan dengan Gereja Barat

Persamaan dengan Gereja Katolik Roma ialah Gereja Ortodoks mengakui semua keputusan-keputusan ke-7 Konsili Ekumenis sebelum tahun 1054. Misalkan Doa Syahadat Nicea juga dipakai tetapi tanpa kata filioque yang merupakan tambahan dari Katolik Roma tanpa persetujuan dari 4 Patriarkh di Timur. Imam Gereja Ortodoks dan Gereja Katolik Ritus Timur diizinkan menikah, tetapi para uskupnya dipilih hanya dari mereka yang selibat (tidak menikah).

Penaklukkan Konstantinopel oleh tentara Perang Salib Keempat pada tahun 1204 sering dipandang sebagai puncak konflik antara Gereja Barat dan Gereja Timur. Perampokan Church of Holy Wisdom dan pendirian Kekaisaran Latin sebagai upaya nyata menggantikan Kekaisaran Romawi Timur pada 1204 masih menyisakan dendam hingga sekian lama. Namun pada tahun 2004, Paus Yohanes Paulus II menyampaikan permintaan maaf secara formal atas kejadian tahun 1204 tersebut, yang mana perbuatan tersebut juga dikecam dengan keras oleh Paus Innosensius III (paus pada saat itu); permintaan maaf tersebut secara resmi diterima oleh Patriark Ekumenis Bartolomeus I. Permintaan maaf dari Gereja Barat juga disertai dengan pengembalian relikwi Santo Yohanes Krisostomus dan Santo Gregorius dari Nazianzus, yang dipercayai telah dicuri dari Konstantinopel saat peristiwa tahun 1204.

Usaha persekutuan setelah peristiwa penaklukkan Konstantinopel tahun 1204 sempat terjadi pada Konsili Lyon II tahun 1274 dan Konsili Florence tahun 1439. Konsili Florence berhasil membangun kembali persekutuan antara Timur dan Barat, yang bertahan sampai jatuhnya Konstantinopel pada tahun 1453. Usaha penyatuan menjadi sangat sulit secara politis sejak Konstantinopel berada di bawah kekuasaan Ottoman. Beberapa Gereja Timur lokal membangun persekutuan dengan Roma sejak saat itu (Lihat: Gereja Katolik Timur). Namun dalam beberapa dekade terakhir telah terlihat pembaruan semangat ekumenis dan dialog antara kedua Gereja, terutama dipelopori oleh Paus Paulus VI dan Patriark Ekumenis Atenagoras I.

Semenjak tahun 1917 dengan Revolusi Oktober di Rusia, Gereja Ortodoks Rusia mulai ditindas dengan kejam oleh rezim komunis. Banyak rohaniwan dibunuh atau dideportasi ke Siberia. Gedung-gedung gereja banyak yang berubah fungsi menjadi tempat-tempat lain, bahkan kadang-kadang dipakai sebagai penjara. Mereka baru boleh bebas beribadah lagi pada awal dasawarsa terakhir abad ke-20.

Konstantinus Agung

BKonstantinus Agung (bahasa Latin: Flavius Valerius Aurelius Constantinus Augustus; bahasa Yunani: Κωνσταντῖνος ὁ Μέγας, Konstantinos ho Megas; 27 Februari kr. 272 M – 22 Mei 337 M), juga dikenal sebagai Konstantinus I atau Santo Konstantinus (dalam Gereja Ortodoks sebagai Santo Konstantinus Agung, Setara Rasul),  merupakan seorang Kaisar Romawi dari tahun 306 sampai 337 M. Konstantinus adalah putra dari Flavius Valerius Konstantius, seorang perwira tentara Romawi, dan Helena istrinya. Ayahnya menjadi Caesar, wakil kaisar, di barat pada tahun 293 M. Konstantinus diutus ke timur, di mana ia menapaki pangkat-pangkatnya hingga menjadi seorang tribun militer di bawah Kaisar Diokletianus dan Galerius. Pada tahun 305 Konstantius meraih pangkat Augustus, kaisar barat senior, dan Konstantinus dipanggil ke barat untuk membantu ayahnya melangsungkan kampanye di Britania. Dengan pengakuan sebagai kaisar oleh pasukannya di Eboracum (York masa kini) setelah ayahnya meninggal dunia pada tahun 306 M, Konstantinus meraih kemenangan dalam serangkaian perang saudara melawan Kaisar Maxentius dan Lisinius hingga ia menjadi penguasa tunggal di barat maupun timur pada tahun 324 M.

Sebagai kaisar, Konstantinus melakukan banyak reformasi di bidang administrasi, keuangan, sosial, dan militer untuk memperkuat kekaisaran. Pemerintahan direstrukturisasi, serta dilakukan pemisahan kewenangan sipil dan militer. Koin emas baru, yakni solidus, dikeluarkan untuk mengatasi inflasi. Ini menjadi standar mata uang Bizantin dan Eropa selama lebih dari seribu tahun. Sebagai kaisar Romawi pertama yang mengaku melakukan konversi ke Kekristenan, Konstantinus memainkan suatu peranan penting dalam mendeklarasikan Maklumat Milan pada tahun 313, yang menetapkan toleransi bagi Kekristenan di dalam kekaisaran. Ia menghimpun Konsili Nicea Pertama pada tahun 325; pada saat itu kaum Kristiani menyatakan pengakuan iman mereka melalui Kredo Nicea. Dalam bidang militer, tentara Romawi direorganisasi sehingga terdiri dari unit lapangan yang mobil dan tentara garnisun yang mampu menghadapi ancaman internal dan invasi kaum barbar. Konstantinus melakukan kampanye-kampanye militer yang sukses terhadap suku-suku di perbatasan Romawi suku Franka, Alemanni, Goth, dan Sarmatia bahkan memukimkan kembali wilayah-wilayah yang ditinggalkan oleh para pendahulunya selama gejolak pada abad sebelumnya.

Masa pemerintahan Konstantinus menandai suatu zaman yang berbeda dalam sejarah Kekaisaran Romawi. Ia membangun kediaman kekaisaran yang baru di Bizantium dan mengganti nama kota itu menjadi Konstantinopel (Kota Konstantinus) menurut namanya sendiri (julukan "Roma Baru" yang bersifat pujian baru timbul belakangan, dan tidak pernah menjadi julukan resmi). Kota ini nantinya menjadi ibu kota Kekaisaran selama lebih dari seribu tahun, dan karenanya Kekaisaran Timur yang terbentuk kelak menjadi dikenal sebagai Kekaisaran Bizantin. Warisan politiknya yang lebih berdampak langsung yaitu, ketika meninggalkan kekaisaran untuk para putranya, ia menggantikan sistem tetrarki Diokletianus dengan prinsip suksesi dinasti. Reputasinya berkembang selama masa pemerintahan anak-anaknya dan berabad-abad setelah pemerintahannya. Gereja abad pertengahan mempertahankannya sebagai salah seorang teladan kebajikan, sementara para penguasa sekuler merujuknya sebagai suatu prototipe, titik acuan, serta simbol identitas dan legitimasi kekaisaran. Mulai dari Masa Renaisans, timbul penilaian-penilaian yang lebih kritis atas pemerintahannya karena ditemukannya kembali sumber-sumber anti-Konstantinian. Para kritikus menggambarkannya sebagai seorang tiran. Tren dalam keilmuan modern dan baru-baru ini berupaya untuk menyeimbangkan kedua sisi ekstrem keilmuan sebelumnya.

Konstantinus merupakan seorang tokoh penting dalam sejarah Kekristenan. Gereja Makam Kudus, yang dibangun atas perintahnya di lokasi yang diklaim sebagai makam Yesus di Yerusalem, menjadi tempat tersuci dalam dunia Kristiani. Klaim Kepausan atas kekuasaan temporal pada Abad Pertengahan Tinggi didasarkan pada sebuah dokumen yang disebut Donasi Konstantinus. Konstantinus Agung dihormati sebagai orang kudus (santo) oleh kalangan Ortodoks Timur, Katolik Bizantin, dan Anglikan.

Konstantinus adalah salah seorang penguasa besar yang penting dalam sejarah, dan ia senantiasa menjadi salah seorang tokoh yang kontroversial. Naik turunnya reputasi Konstantinus mencerminkan sifat dari sumber-sumber kuno seputar pemerintahannya. Sumber-sumber ini sangat banyak tersedia dan terperinci, namun sangat dipengaruhi oleh propaganda resmi periode tersebut, dan sering kali hanya sepihak. Tidak terdapat cerita sejarah ataupun biografi yang masih terlestarikan hingga sekarang berkenaan dengan pemerintahan dan kehidupan Konstantinus. Sumber pengganti yang terdekat adalah Vita Constantini karya Eusebius dari Kaisarea, suatu karya yang merupakan paduan dari eulogi dan hagiografi. Ditulis antara tahun 335 M dan kr. 339 M,  Vita meninggikan kebajikan religius dan moral dari Konstantinus.  Vita menciptakan suatu citra positif Konstantinus yang menimbulkan perdebatan, dan para sejarawan modern sering kali menantang keandalannya. Seluruh kehidupan sekuler Konstantinus dikisahkan dalam sebuah karya anonim berjudul Origo Constantini. Sebagai sebuah karya yang tidak jelas tarikhnya, Origo berfokus pada peristiwa-peristiwa militer dan politik, mengabaikan hal-hal religius dan kultural.

De Mortibus Persecutorum karya Laktansius, sebuah pamflet politis Kristiani pada masa pemerintahan Diokletianus dan periode Tetrarki, menyajikan informasi berharga namun terdapat rincian tendesius mengenai para pendahulu dan kehidupan awal Konstantinus. Sejarah-sejarah gerejawi dari Sokrates, Sozomen, dan Teodoretus mendeskripsikan perselisihan keagamaan pada masa akhir pemerintahan Konstantinus. Karya-karya para sejarawan gerejawi itu ditulis pada masa pemerintahan Teodosius II (408–50 M), seabad setelah pemerintahan Konstantinus, serta dianggap mengaburkan peristiwa-peristiwa dan teologi-teologi pada zaman Konstantinus melalui penyimpangan, kekeliruan, dan ketidakjelasan yang disengaja. Tulisan-tulisan kontemporer dari dari seorang Kristiani ortodoks bernama Athanasius dan sejarah gerejawi dari seorang Arian bernama Filostorgius juga masih terlestarikan hingga saat ini, kendati terdapat bias yang tidak kalah tegasnya.

Berbagai epitome dari Aurelius Victor (De Caesaribus), Eutropius (Breviarium), Festus (Breviarium), dan penulis anonim Epitome de Caesaribus menyajikan sejarah militer dan politik sekuler yang dipadatkan dari periode tersebut. Meskipun bukan sumber Kristiani, epitome-epitome itu melukiskan suatu citra baik Konstantinus, tetapi tidak mengandung referensi seputar kebijakan-kebijakan keagamaan Konstantinus.  Panegyrici Latini, suatu kumpulan panegirik dari akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4, menyajikan informasi berharga mengenai politik dan ideologi pada periode tetrarki dan kehidupan awal Konstantinus.  Arsitektur kontemporer, seperti Pelengkung Konstantinus di Roma dan istana-istana di Gamzigrad dan Kordoba, peninggalan epigrafi, dan uang logam dari era tersebut melengkapi sumber-sumber literer yang tersedia.

Kehidupan awal

Flavius Valerius Konstantinus, nama aslinya, dilahirkan di kota Naissus (sekarang Niš, Serbia), bagian dari Provinsi Dardania di Moesia pada tanggal 27 Februari,  mungkin kr. 272 M. Ayahnya adalah Flavius Konstantius, orang Iliria, dan asli dari Provinsi Dardania di Moesia (Dacia Ripensis kelak).  Konstantinus kemungkinan hanya menghabiskan sedikit waktu dengan ayahnya, yang adalah seorang perwira tentara Romawi dan termasuk salah seorang pengawal imperial Kaisar Aurelianus. Sang ayah, Konstantius, digambarkan sebagai seorang yang toleran dan memiliki ketrampilan berpolitik, yang menapaki kariernya tahap demi tahap, dijadikan gubernur Dalmatia oleh Kaisar Diokletianus, salah seorang kolega Aurelianus dari Ilirikum, pada tahun 284 atau 285.  Ibu Konstantinus adalah Helena, kemungkinan seorang Bitinia dengan status sosial rendah. Tidak dapat dipastikan apakah ia menikah secara sah dengan Konstantius, atau hanya menjadi selirnya. Tidak ada kejelasan apakah Konstantinus dapat berbicara bahasa Trakia, bahasa utamanya adalah Latin dan ia membutuhkan penerjemah Yunani saat berpidato di hadapan publik.

Pada bulan Juli 285 M, Diokletianus mendeklarasikan Maximianus, koleganya yang lain dari Ilirikum, sebagai rekan-kaisar. Masing-masing kaisar memiliki istana sendiri, kekuasaan administratif serta militer tersendiri, dan masing-masing memerintah dengan prefek praetoria terpisah sebagai deputi kepala. Maximianus memerintah di Barat, dari ibu kotanya di Mediolanum (Milan, Italia) atau Augusta Treverorum (Trier, Jerman), sementara Diokletianus memerintah di Timur, dari Nikomedia (İzmit, Turki). Pembagian ini dianggap pragmatis: Kekaisaran disebut "tak terbagi" dalam panegirik resmi,  dan kedua kaisar dapat bergerak dengan bebas di seluruh Kekaisaran. Pada tahun 288, Maximianus menunjuk Konstantius sebagai prefek praetorianya di Galia. Konstantius meninggalkan Helena untuk menikahi Teodora, anak tiri Maximianus, pada tahun 288 atau 289.

Diokletianus kembali membagi Kekaisaran pada tahun 293 M, menunjuk dua Caesar (kaisar junior) untuk memerintah atas wilayah pembagian lanjutan di Timur dan Barat. Keduanya berada di bawah Augustus (kaisar senior) masing-masing, tetapi mereka dapat bertindak dengan otoritas tertinggi dalam wilayah kekuasaan masing-masing. Sistem ini kelak disebut Tetrarki. Penunjukkan pertama Diokletianus untuk jabatan Caesar adalah Konstantius; penunjukkan kedua adalah Galerius, yang berasal dari Felix Romuliana. Menurut Laktansius, Galerius adalah seorang yang brutal dan bersifat kebinatangan. Kendati sama-sama menganut paganisme dari aristokrasi Roma, ia dipandang oleh mereka sebagai seorang sosok asing, seorang semibarbar.  Pada tanggal 1 Maret, Konstantius dipromosikan ke jabatan Caesar, dikirim ke Galia untuk memerangi pemberontakan Karausius dan Alektus. Kendati terdapat implikasi meritokratis, Tetrarki tersebut mempertahankan peninggalan dari hak istimewa keturunan, dan Konstantinus segera menjadi kandidat utama Caesar di masa mendatang setelah ayahnya mendapatkan posisi tersebut. Konstantinus mendiami istana Diokletianus, tempat ia hidup sebagai pewaris ayahnya sebagaimana dihipotesiskan.

Di Timur

Konstantinus menerima pendidikan formal di istana Diokletianus, tempat ia belajar sastra Latin, bahasa Yunani, dan filsafat. Lingkungan budaya di Nikomedia bersifat terbuka, fleksibel, dan kesosialannya luwes; Konstantinus mampu berbaur dengan para intelektual baik dari kaum pagan maupun Kristiani. Ia mungkin menghadiri pengajaran yang diberikan Laktansius, seorang akademisi Kristiani dalam keilmuan Latin di kota tersebut.  Karena Diokletianus tidak sepenuhnya mempercayai Konstantius tak satu pun dari para penguasa Tetrarki yang sepenuhnya percaya pada kolega mereka Konstantinus dijaga sebagai semacam sandera, suatu alat untuk memastikan Konstantius menunjukkan sikapnya yang terbaik. Bagaimanapun Konstantinus tetap seorang anggota keluarga istana yang menonjol: ia berperang bagi Diokletianus dan Galerius di Asia, dan melayani dalam beragam tribunat; ia melangsungkan kampanye militer terhadap kaum barbar di Danube pada tahun 296 M, serta bertempur melawan bangsa Persia yang berada di bawah kekuasaan Diokletianus di Siria (297 M) dan di bawah kekuasaan Galerius di Mesopotamia (298–299 M). Pada akhir tahun 305 M, ia telah menjadi seorang tribunus peringkat pertama, seorang tribunus ordinis primi.

Konstantinus telah kembali ke Nikomedia dari front timur pada musim semi tahun 303 M, sehingga turut menyaksikan awal mula "Penganiayaan Besar" yang dilangsungkan Diokletianus, penganiayaan terhadap umat Kristiani yang paling berat dalam sejarah Romawi.  Pada tahun 302 akhir, Diokletianus dan Galerius mengirim seorang utusan ke orakel Apollo di Didima dengan suatu pertanyaan terkait umat Kristiani. Konstantinus dapat mengingat kehadirannya di istana saat utusan tersebut kembali, ketika Diokletianus mengabulkan tuntutan kalangan istananya untuk melangsungkan penganiayaan secara universal. Pada tanggal 23 Februari 303 M, Diokletianus memerintahkan penghancuran bangunan gereja baru di Nikomedia, membakar kitab-kitab suci yang terdapat di dalamnya, dan menyita hartanya. Selama bulan-bulan berikutnya, berbagai bangunan gereja dan kitab suci dihancurkan, orang-orang Kristiani kehilangan jabatan resminya, dan para imam dipenjarakan

Konstantinus tidak memainkan peranan apapun dalam penganiayaan tersebut. Dalam tulisan-tulisannya kelak ia berupaya menampilkan dirinya sebagai seorang penentang dari "maklumat-maklumat berdarah" Diokletianus terhadap "jemaah Allah", namun tidak terlihat indikasi kalau ia melakukan penentangan secara efektif pada saat tersebut. Meskipun tidak ada kalangan Kristiani kontemporer yang menantang Konstantinus karena ia tidak berbuat apa-apa selama masa penganiayaan, hal ini tetap dianggap sebagai suatu beban politis sepanjang hidupnya.

Pada tanggal 1 Mei 305 M, Diokletianus, sebagai akibat dari suatu penyakit parah yang dideritanya sejak musim dingin tahun 304–305 M, mengumumkan pengunduran dirinya. Dalam suatu upacara paralel di Milan, Maximianus melakukan hal yang sama. Laktansius menyatakan bahwa Galerius memanipulasi Diokletianus yang berada dalam kondisi lemah agar mengundurkan diri, dan memaksa dia untuk menerima para sekutu Galerius dalam suksesi imperial. Menurut Laktansius, orang banyak yang mendengarkan pidato pengunduran diri Diokletianus meyakini, sampai saat-saat terakhir, bahwa Diokletianus akan memilih Konstantinus dan Maxentius (putra Maximianus) sebagai para penggantinya. Namun yang terjadi tidak demikian: Konstantius dan Galerius dipromosikan menjadi Augustus, sementara Severus dan Maximinus Daia, keponakan Galerius, berturut-turut ditunjuk sebagai Caesar mereka. Konstantinus dan Maxentius diabaikan.

Beberapa sumber kuno merinci plot-plot yang dilakukan Galerius terhadap Konstantinus dalam bulan-bulan berikutnya setelah abdikasi Diokletianus. Sumber-sumber tersebut menegaskan bahwa Galerius menugaskan Konstantinus memimpin suatu unit untuk maju terlebih dulu dalam serangan kavaleri melalui rawa-rawa di tengah Sungai Donau (Danube), membuatnya terlibat dalam duel satu lawan satu dengan seekor singa, serta berusaha untuk membunuhnya dalam perburuan dan peperangan. Konstantinus selalu tampil sebagai pemenang: singa dalam kontes tersebut kondisinya lebih buruk daripada Konstantinus; Konstantinus kembali ke Nikomedia dari Danube dengan seorang Sarmatia yang ditawan untuk diletakkan di kaki Galerius. Tidak jelas sejauh mana kisah-kisah tersebut dapat dipercaya.

Di Barat

Konstantinus menyadari masih adanya bahaya tersirat di dalam istana Galerius, tempat ia ditahan sebagai seorang sandera virtual. Kariernya bergantung pada penyelamatan yang dilakukan oleh ayahnya di Barat. Konstantius bertindak cepat dengan melakukan intervensi. Pada akhir musim semi atau awal musim panas tahun 305 M, Konstantius meminta izin agar putranya diperbolehkan membantunya dalam kampanye di Britania. Setelah minum sepanjang malam, Galerius mengabulkan permintaan tersebut. Propaganda Konstantinus kelak mendeskripsikan bagaimana ia melarikan diri dari istana pada malam hari, sebelum Galerius berubah pikiran. Ia mengendarai kuda dengan kecepatan tinggi dari satu stasiun pos ke stasiun pos lainnya, melumpuhkan (hamstringing) kuda-kuda lain di belakangnya. Pada saat Galerius terbangun keesokan paginya, Konstantinus telah melarikan diri sedemikian jauh sehingga sulit dikejar. Konstantinus bergabung dengan ayahnya di Galia, di Bononia (Boulogne) sebelum musim panas tahun 305 M.

Dari Bononia mereka menyeberangi Selat menuju Britania dan melakukan perjalanan ke Eboracum (York), ibu kota provinsi Britannia Secunda dan merupakan suatu pangkalan militer besar. Konstantinus menghabiskan waktu selama setahun di Britania utara dengan mendampingi ayahnya, melakukan kampanye militer terhadap suku Pict di luar Tembok Hadrianus pada musim panas dan musim gugur. Kampanye Konstantius, sebagaimana yang dilakukan Septimius Severus sebelumnya, kemungkinan berlanjut hingga jauh ke utara tanpa meraih kesuksesan besar. Konstantius lalu menderita sakit parah, dan wafat pada tanggal 25 Juli 306 di Eboracum. Sebelum wafat, ia menyatakan dukungannya untuk mengangkat Konstantinus ke peringkat Augustus sepenuhnya. Chrocus, raja suku Alemanni, seorang barbar yang mengabdi pada Konstantius, kemudian memproklamirkan Konstantinus sebagai Augustus. Pasukan yang setia pada Konstantius mengikutinya secara aklamasi. Galia dan Britania segera menerima kekuasaannya; Sementara Iberia, yang baru menjadi wilayah kekuasaan ayahnya kurang dari setahun, menolaknya.

Konstantinus mengirimkan Galerius sebuah pemberitahuan resmi mengenai wafatnya Konstantius dan aklamasinya sendiri. Bersama dengan pemberitahuan itu, ia menyertakan sebuah potret dirinya mengenakan jubah seorang Augustus. Potret tersebut dilingkari daun-daun dafnah.  Ia meminta pengakuan sebagai pewaris takhta ayahnya, dan melemparkan tanggung jawab pengangkatannya yang melanggar hukum kepada pasukannya, mengklaim kalau mereka telah memaksakannya kepada dia.  Galerius marah besar karena pesan itu; ia nyaris membakar potret tersebut. Para penasihatnya menenangkan dia, dan berpendapat bahwa penolakan langsung atas klaim Konstantinus berarti perang.  Galerius terpaksa berkompromi: ia memberikan Konstantinus gelar "Caesar", bukan "Augustus" (jabatan ini sebagai gantinya diberikan ke Severus). Untuk memperjelas kalau ia sendiri yang memberikan Konstantinus legitimasi, Galerius secara pribadi mengirimkan Konstantinus jubah ungu tradisional kekaisarannya. Konstantinus menerima keputusannya, karena mengetahui bahwa hal itu akan menghapus keraguan mengenai legitimasinya.

Pemerintahan awal

Bagian wilayah Kekaisaran yang menjadi kekuasaan Konstantinus meliputi Britania, Galia, dan Spanyol. Dengan demikian ia memimpin salah satu pasukan terbesar Romawi, yang menempati perbatasan penting Rhein. Setelah promosinya menjadi kaisar, Konstantinus tetap di Britania, mengusir kembali suku Pict dan mengamankan kendalinya di keuskupan-keuskupan sipil bagian barat laut. Ia menyelesaikan rekonstruksi pangkalan-pangkalan militer yang dimulai sejak pemerintahan ayahnya, dan memerintahkan perbaikan jalan raya di kawasan itu. Ia segera berangkat menuju Augusta Treverorum (Trier) di Galia, ibu kota Tetrarki di Kekaisaran Romawi bagian barat laut.  Suku Franka, setelah mengetahui aklamasi Konstantinus, menginvasi Galia di hilir Sungai Rhein selama musim dingin tahun 306–307 M. Konstantinus mengusir mereka kembali ke luar Rhein dan menangkap dua raja mereka, Ascaric dan Merogaisus. Kedua raja dan tentara mereka dijadikan mangsa hewan-hewan di amfiteater Trier dalam perayaan-perayaan adventus (kedatangan) yang mengiringinya.

Konstantinus memulai perluasan Trier. Ia memperkuat dinding yang mengelilingi kota dengan menara-menara militer dan gerbang-gerbang berkubu, serta mulai membangun kompleks istana di bagian timur laut kota. Di sisi selatan istananya, ia memerintahkan pembangunan sebuah balairung formal yang besar, dan sebuah pemandian imperial yang sangat besar. Konstantinus memprakarsai banyak proyek bangunan di seluruh Galia selama masa jabatannya sebagai kaisar Barat, khususnya di Augustodunum (Autun) dan Arelate (Arles). Menurut Laktansius, Konstantinus mengikuti jejak ayahnya dalam hal kebijakan toleransi terhadap Kekristenan. Meskipun belum menjadi seorang penganut Kristiani, ia mungkin pada saat itu menilainya sebagai kebijakan yang lebih bijaksana daripada penganiayaan secara terbuka,  dan sebagai salah satu cara untuk membedakan dirinya dari sang "penganiaya besar", Galerius. Konstantinus secara resmi memutuskan diakhirinya penganiayaan, dan mengembalikan segala milik penganut Kristiani yang telah hilang selama masa penganiayaan.

Karena Konstantinus umumnya masih belum teruji dan memiliki suatu jejak ilegitimasi, ia mengandalkan reputasi ayahnya dalam propaganda awalnya: berbagai panegirik tertua mengenai Konstantinus memuat perbuatan-perbuatan ayahnya sebanyak perbuatan-perbuatan Konstantinus sendiri. Proyek-proyek bangunan dan keterampilan militer Konstantinus segera memberikan sang panegiris kesempatan untuk berkomentar positif mengenai kesamaan antara ayah dan putranya. Eusebius mengatakan bahwa Konstantinus adalah suatu "pembaruan dari kehidupan dan pemerintahan ayahnya, seakan-akan di dalam pribadinya sendiri". Oratoria, patung, dan uang logam Konstantinian juga menunjukkan suatu kecenderungan baru yang merendahkan "bangsa barbar" d luar perbatasan. Setelah kemenangan Konstantinus atas suku Alemanni, ia mencetak koin yang menggambarkan suku Alemanni sedang meratap dan memohon"Suku Alemanni takluk"di bawah frasa "Kegembiraan bangsa Romawi".  Hanya ada sedikit simpati bagi musuh-musuh itu. Panegirisnya menyatakan: "Adalah suatu ampunan yang bodoh jika menyayangkan musuh yang ditaklukkan."

Pemberontakan

Setelah pengakuan Galerius atas Konstantinus sebagai caesar, potret Konstantinus dibawa ke Roma, sesuai kebiasaan saat itu. Maxentius mencemooh subjek potret tersebut sebagai anak seorang pelacur, dan meratapi ketidakberdayaannya sendiri.  Maxentius, karena iri akan otoritas Konstantinus, merebut gelar kaisar pada tanggal 28 Oktober 306 M. Galerius menolak mengakuinya, namun gagal menggesernya. Galerius mengirim Severus untuk melawan Maxentius, tetapi pasukan Severus, sebelumnya berada di bawah komando Maximianus (ayah Maxentius), membelot pada saat kampanye militer; Severus ditangkap dan dipenjarakan.  Maximianus keluar dari masa pensiunnya karena pemberontakan anaknya; ia berangkat menuju Galia untuk berunding dengan Konstantinus pada akhir tahun 307 M. Ia menawarkan Fausta putrinya kepada Konstantinus untuk dinikahi, dan mengangkatnya ke peringkat Augustan. Sebagai imbalannya, Konstantinus harus menegaskan kembali aliansi lama keluarga antara Maximianus dan Konstantius, dan mendukung perkara Maxentius di Italia. Konstantinus menyetujui, dan menikahi Fausta di Trier pada akhir musim panas tahun 307 M. Konstantinus sekarang memberikan sedikit dukungannya kepada Maxentius, memberikan Maxentius pengakuan politik.

Namun, Konstantinus tetap menjauhkan diri dari konflik Italia. Selama musim semi dan musim panas tahun 307 M, ia meninggalkan Galia menuju Britania untuk menghindari keterlibatan apapun dalam gejolak Italia; alih-alih memberikan bantuan militer kepada Maxentius, ia mengirim pasukannya untuk melawan suku Jermanik di sepanjang Sungai Rhein. Pada tahun 308 M, ia menyerang wilayah suku Brukteri, dan membuat sebuah jembatan yang melintasi Rhein di Colonia Agrippinensium (Köln). Pada tahun 310 M, ia bergerak menuju Rhein utara dan bertempur melawan suku Franka. Ketika tidak sedang melakukan kampanye, ia mengunjungi wilayahnya sambil mempromosikan kebaikan hatinya, serta mendukung perekonomian dan kesenian. Penolakan Konstantinus untuk berpartisipasi dalam perang meningkatkan popularitasnya di kalangan rakyatnya, dan memperkuat basis kekuasaannya di Barat.  Maximianus kembali ke Roma pada musim dingin tahun 307–308 M, namun segera terlibat dalam perdebatan dengan putranya. Pada awal tahun 308 M, setelah kegagalan upaya untuk merebut gelar Maxentius, Maximianus kembali ke istana Konstantinus.

Pada tanggal 11 November 308 M, Galerius menghimpun suatu konsili umum di kota militer Carnuntum (Petronell-Carnuntum, Austria) untuk menyelesaikan isu ketidakstabilan di provinsi-provinsi Barat. Di antara yang hadir terdapat Diokletianus, kembali sejenak dari masa pensiunnya, Galerius, dan Maximianus. Maximianus dipaksa untuk turun takhta lagi dan Konstantinus kembali diturunkan ke peringkat Caesar. Lisinius, salah seorang kolega lama Galerius dalam militer, ditunjuk sebagai Augustus di wilayah Barat. Sistem baru tersebut tidak berlangsung lama: Konstantinus menolak demosinya, dan tetap menyebut dirinya Augustus pada uang logam yang dicetaknya, kendati anggota Tetrarki yang lain menyebutnya Caesar pada uang logam cetakan mereka. Maximinus Daia frustasi karena ia telah dilewati dalam promosi tersebut sementara Lisinius sebagai pendatang baru telah diangkat ke jabatan Augustus, dan menuntut agar Galerius mempromosikan dirinya. Galerius mengajukan penawaran untuk memanggil Maximinus maupun Konstantinus dengan sebutan "putra-putra Augusti", namun tidak satupun di antara mereka menerima gelar baru itu. Pada musim semi tahun 310 M, Galerius menyebut keduanya Augusti.

Pemberontakan Maximianus

Pada tahun 310 M, Maximianus yang telah dicabut kekuasaannya memberontak terhadap Konstantinus ketika Konstantinus sedang melakukan kampanye melawan kaum Franka. Maximianus telah dikirim ke selatan menuju Arles dengan satu kontingen tentara Konstantinus, sebagai persiapan untuk menangkal setiap serangan dari Maxentius di Galia selatan. Ia mengumumkan bahwa Konstantinus telah gugur, dan mengambil jubah ungu kekaisaran. Meskipun menjanjikan hadiah besar bagi siapa saja yang mendukungnya sebagai kaisar, kebanyakan tentara Konstantinus tetap setia kepada kaisar mereka, dan tak lama kemudian Maximianus terpaksa pergi. Konstantinus segera mendengar pemberontakan tersebut, mengesampingkan kampanyenya terhadap kaum Franka, dan menggerakkan pasukannya ke hulu Sungai Rhein. Di Cabillunum (Chalon-sur-Saône), ia memindahkan pasukannya ke dalam kapal-kapal yang telah menanti untuk menyusuri Sungai Saône yang berarus lambat menuju Sungai Rhône yang arusnya lebih cepat. Ia mendarat di Lugdunum (Lyon).  Maximianus melarikan diri ke Massilia (Marseille), suatu kota yang lebih mampu menahan pengepungan dalam waktu lama daripada Arles. Bagaimanapun, hal ini hanya membuat sedikit perbedaan karena para penduduk yang setia membuka gerbang belakang untuk Konstantinus. Maximianus ditangkap dan ditegur karena kejahatannya. Konstantinus memberikan sejumlah ampunan, namun sangat menganjurkan agar ia melakukan bunuh diri. Pada bulan Juli 310 M, Maximianus gantung diri.

Terlepas dari perpecahan sebelumnya dalam relasi mereka, Maxentius sangat bersemangat untuk menampilkan dirinya sebagai anak yang berbakti kepada ayahnya setelah kematian Maximianus. Ia mulai mencetak koin dengan gambar ayahnya yang didewakan, menyatakan hasratnya untuk membalas kematian Maximianus. Konstantinus awalnya menyajikan bunuh diri tersebut sebagai suatu tragedi keluarga yang patut disayangkan. Namun, pada tahun 311 M, ia menyebarkan versi yang lain. Menurut versi ini, setelah Konstantinus mengampuninya, Maximianus merencanakan untuk membunuh Konstantinus saat tidur. Fausta mengetahui rencana tersebut dan memperingatkan Konstantinus, yang menempatkan seorang kasim di tempat tidurnya sendiri. Maximianus ditangkap ketika dia membunuh kasim tersebut dan ditawarkan untuk melakukan bunuh diri, yang ia setujui. Bersamaan dengan penggunaan propaganda, Konstantinus melakukan damnatio memoriae pada Maximianus dengan menghancurkan semua inskripsi yang menyebutkan namanya dan melenyapkan segala karya umum yang mengandung citra dirinya.

Kematian Maximianus menyebabkan perlunya suatu perubahan citra publik Konstantinus. Ia tidak dapat lagi mengandalkan hubungannya dengan kaisar sepuh Maximianus, dan membutuhkan suatu sumber legitimasi baru. Dalam pidato yang disampaikannya di Galia pada tanggal 25 Juli 310 M, seorang orator anonim mengungkapkan suatu hubungan kedinastian yang sebelumnya tidak diketahui dengan Klaudius II, kaisar dari abad ke-3 yang terkenal karena mengalahkan suku Goth dan memulihkan ketertiban dalam kekaisaran. Pidato tersebut menekankan hak prerogatif untuk memerintah dari leluhur Konstantinus, bukan prinsip-prinsip kesetaraan imperial, sehingga melepaskan diri dari model tetrarki. Ideologi baru yang diungkapkan dalam pidato ini menjadikan Galerius dan Maximianus tidak relevan bagi hak Konstantinus untuk memerintah.  Orator tersebut menekankan keturunan dengan mengesampingkan semua faktor lainnya: "Tidak mungkin kesepakatan manusia, ataupun sejumlah konsekuensi persetujuan yang tak terduga, menjadikan Anda kaisar," sebagaimana dinyatakan sang orator bagi Konstantinus.

Orasi tersebut juga menggeser ideologi keagamaan Tetrarki, dengan berfokus pada dinasti kembar Yupiter dan Herkules. Sang orator menyatakan bahwa Konstantinus mengalami suatu penglihatan ilahi tentang Apollo dan Viktoria yang memberikan dia bumban dafnah kesehatan dan suatu pemerintahan yang panjang. Dalam keserupaan Apollo, Konstantinus mengenali dirinya sendiri sebagai sosok penyelamat yang kepadanya diberikan "kekuasaan seluruh dunia", mirip dengan yang pernah diramalkan penyair Virgil.  Pergeseran keagamaan yang disampaikan dalam orasi tersebut diiringi dengan pergeseran serupa dalam cetakan koin Konstantinus. Dalam masa awal pemerintahannya, cetakan koin Konstantinus mengiklankan Mars sebagai pelindungnya. Sejak tahun 310 M dan seterusnya, Mars digantikan dengan Sol Invictus, suatu dewa yang biasa diidentifikasi dengan Apollo.  Hanya ada sedikit alasan untuk meyakini bahwa baik hubungan kedinastian ataupun penglihatan ilahi adalah sesuatu yang lain daripada fiksi, tetapi proklamasi mereka memperkuat klaim Konstantinus atas legitimasi dan meningkatkan popularitasnya di antara warga Galia.

Perang saudara

Pada pertengahan tahun 310 M, penyakit yang diderita Galerius membuatnya tidak dapat lagi melibatkan diri dalam politik imperial.  Catatan mengenai tindakan terakhirnya masih terlestarikan: sebuah surat kepada para pimpinan provinsi yang diberikan di Nikomedia pada tanggal 30 April 311 M, menyatakan akhir dari masa penganiayaan, dan dimulainya kembali toleransi keagamaan.  Ia wafat tidak lama setelah proklamasi maklumat tersebut, menyingkirkan sedikit isu yang masih tersisa dalam Tetrarki. Maximinus melakukan mobilisasi untuk melawan Lisinius, dan merebut Asia Kecil. Suatu perdamaian yang tergesa-gesa ditandatangani di atas sebuah perahu di tengah Selat Bosporus.  Sementara Konstantinus berkeliling mengunjungi Britania dan Galia, Maxentius bersiap untuk perang.  Ia membentengi Italia utara, dan memperkuat dukungannya dalam komunitas Kristiani dengan mengizinkan mereka memilih Uskup Roma yang baru, Paus Eusebius.

Kekuasaan Maxentius bagaimanapun tetap tidak aman. Dukungan awalnya menghilang di tengah tarif pajak yang tinggi dan kelesuan perdagangan; terjadi kerusuhan di Roma dan Kartago; dan Domitius Aleksander berhasil merebut kekuasaannya untuk sementara waktu di Afrika.  Pada tahun 312 M, ia adalah orang yang nyaris tidak toleran, bukan orang yang didukung secara aktif,  bahkan di antara warga Italia penganut Kekristenan.  Pada musim panas tahun 311 M, Maxentius melakukan mobilisasi untuk melawan Konstantinus ketika Lisinius terlibat dalam urusan-urusan penting di Timur. Ia menyatakan perang terhadap Konstantinus, bersumpah untuk membalas "pembunuhan" ayahnya.  Demi mencegah Maxentius menjalin aliansi dengan Lisinius untuk melawannya, Konstantinus membentuk sendiri aliansinya dengan Lisinius saat musim dingin tahun 311–312 M, dan menawarkan Konstantia saudarinya untuk dinikahi. Maximinus menganggap kesepakatan Konstantinus dengan Lisinius sebagai suatu penghinaan terhadap otoritasnya. Sebagai tanggapan, ia mengirim utusan ke Roma, menawarkan pengakuan politik kepada Maxentius dengan imbalan dukungan militer. Maxentius menerimanya. Menurut Eusebius, perjalanan antar daerah menjadi tidak memungkinkan, dan terjadi penumpukan militer di mana-mana. Tidak ada "tempat di mana orang tidak mengharapkan terjadinya permusuhan setiap hari".

Para jenderal dan penasihat Konstantinus memperingatkan untuk tidak melangsungkan serangan pendahuluan terhadap Maxentius;  bahkan para peramalnya menyarankan hal serupa, dengan menyatakan bahwa pengurbanan-pengurbanan telah menghasilkan pertanda kurang baik. Konstantinus, dengan semangat yang meninggalkan suatu kesan mendalam pada para pengikutnya, menginspirasi beberapa dari mereka untuk percaya bahwa ia mendapat sejumlah petunjuk supranatural,  untuk mengabaikan semua peringatan ini. Pada awal musim semi tahun 312 M,  Konstantinus menyeberangi Pegunungan Alpen Kottian dengan seperempat pasukannya yang berjumlah sekitar 40.000.  Kota pertama yang ditemui pasukannya adalah Segusium (Susa, Italia), suatu kota dengan pertahanan kuat yang menutup pintu gerbangnya bagi dia. Konstantinus memerintahkan tentaranya untuk membakar pintu gerbang itu dan memanjat temboknya. Ia merebut kota tersebut dalam waktu singkat. Konstantinus memerintahkan pasukannya untuk tidak menjarah kota, dan melanjutkan perjalanan bersama mereka menuju Italia utara.

Mendekati sisi barat kota penting Augusta Taurinorum (Torino, Italia), Konstantinus bertemu dengan sepasukan besar kavaleri Maxentianus yang bersenjata lengkap. Dalam pertempuran yang terjadi kemudian, pasukan Konstantinus mengepung kavaleri Maxentius, mengelilingi mereka dengan kavalerinya sendiri, dan membubarkan mereka dengan pukulan dari tongkat-tongkat pemukul berujung besi. Pasukan Konstantinus meraih kemenangan.  Torino menolak untuk memberikan perlindungan kepada pasukan Maxentius yang dipukul mundur, namun membuka pintunya bagi Konstantinus.  Kota-kota lain di daratan Italia utara mengirim utusan mereka kepada Konstantinus untuk mengucapkan selamat atas kemenangannya. Ia bergerak menuju Milan, disambut dengan pintu gerbang yang terbuka dan sukacita kegembiraan. Konstantinus mengistirahatkan pasukannya di Milan sampai pertengahan musim panas tahun 312 M, ketika ia melanjutkan perjalanannya ke Brixia (Brescia).

Pasukan Brescia dengan mudah dibubarkan, dan Konstantinus segera bergerak menuju Verona, tempat perkemahan sejumlah besar pasukan Maxentius.  Ruricius Pompeianus, jenderal pasukan Verona dan prefek praetoria Maxentius, berada dalam suatu posisi defensif yang kuat, karena tiga sisi kota tersebut dikelilingi oleh Sungai Adige. Konstantinus mengirim sepasukan kecil ke utara kota tersebut dalam upaya untuk menyeberangi sungai itu secara diam-diam. Ruricius mengirim satu detasemen besar untuk menangkal upaya pasukan ekspedisi Konstantinus, namun mengalami kekalahan. Pasukan Konstantinus berhasil mengelilingi kota tersebut dan melakukan pengepungan.  Ruricius melarikan diri dan kembali dengan kekuatan yang lebih besar untuk melawan Konstantinus. Konstantinus tidak mau menghentikan pengepungan, dan hanya mengirim sepasukan kecil untuk melawannya. Dalam keputusasaan pertempuran yang terjadi, Ruricius gugur dan pasukannya dihancurkan. Verona segera menyerah setelah itu, disusul oleh Aquileia, Mutina (Modena),  dan Ravenna. Jalan menuju Roma kini terbuka lebar bagi Konstantinus.

Maxentius mempersiapkan diri untuk perang serupa yang pernah ia langsungkan terhadap Severus dan Galerius: ia tetap di Roma dan bersiap untuk menghadapi pengepungan. Ia masih memegang kendali atas para garda praetoria, dilengkapi dengan persediaan biji-bijian Afrika yang memadai, dan semua sisi kota dikelilingi oleh Tembok Aurelianus yang tampaknya tidak dapat ditembus. Ia memerintahkan agar semua jembatan di Sungai Tiber dihancurkan, yang kabarnya mengikuti nasihat para dewa, dan membiarkan wilayah Italia tengah yang lain tanpa pertahanan; Konstantinus memperoleh dukungan dari wilayah itu tanpa perlawanan. Konstantinus maju perlahan-lahan  melintasi Via Flaminia,  membiarkan kelemahan Maxentius menarik pemerintahannya lebih jauh ke dalam kekacauan. Dukungan terhadap Maxentius terus melemah: saat acara balap kereta perang tanggal 27 Oktober, massa mengejek Maxentius secara terbuka, meneriakkan bahwa Konstantinus tak terkalahkan.  Maxentius, yang tidak lagi yakin kalau ia akan menang dalam pengepungan, membangun sebuah jembatan temporer di Sungai Tiber sebagai persiapan untuk suatu pertempuran lapangan dengan Konstantinus.  Pada tanggal 28 Oktober 312 M, peringatan pemerintahannya yang keenam, ia mendatangi para penjaga Kitab-Kitab Sibilin untuk memohon petunjuk. Para penjaga itu meramalkan bahwa, pada hari itu juga, "musuh orang Romawi" akan mati. Maxentius bergerak maju menuju utara untuk menemui Konstantinus dalam pertempuran.

Konstantinus dan pasukannya mengadopsi huruf-huruf Yunani berupa inisial Kristus: Chi Rho
Informasi lebih lanjut: Pertempuran Jembatan Milvius
Pertempuran Jembatan Milvius karya Giulio Romano.

Maxentius mengorganisir pasukannya dua kali lebih banyak dari pasukan Konstantinus dalam barisan memanjang berhadapan dengan dataran medan pertempuran, dalam posisi membelakangi sungai.  Pasukan Konstantinus tiba di medan pertempuran sambil membawa perisai-perisai dengan simbol-simbol yang tidak lazim bagi mereka ataupun kebiasaan saat itu. Menurut Laktansius, Konstantinus mendapat suatu mimpi pada malam sebelum pertempuran yang mengandung pesan agar dia "memberi tanda surgawi Allah pada perisai-perisai para prajuritnya ... dengan sebuah huruf miring X yang bagian atas kepalanya dilengkungkan ke bawah, ia menandai Kristus pada perisai mereka." Eusebius mendeskripsikan versi yang lain: ketika sedang melakukan mars saat tengah hari, "ia melihat dengan matanya sendiri di langit terdapat sebuah piala salib yang timbul dari cahaya matahari, mengusung pesan, In Hoc Signo Vinces (dengan tanda ini engkau akan menang)"; dalam laporan Eusebius, Konstantinus mendapat suatu mimpi pada malam berikutnya yang mengisahkan bahwa Kristus menampakkan diri dengan tanda surgawi yang sama, dan mengatakan kepadanya agar membuat suatu standar, labarum, bagi pasukannya dalam bentuk itu. Eusebius tidak yakin mengenai kapan dan di mana peristiwa-peristiwa tersebut terjadi,  tetapi ia memasukkan ceritanya sebelum perang melawan Maxentius dimulai.  Eusebius mendeskripsikan tanda itu sebagai Chi (X) yang dilintasi oleh Rho (Ρ): ☧, sebuah simbol yang merepresentasikan dua huruf pertama pengejaan Yunani dari kata Christos (Kristus). Pada tahun 315 M, di Ticinum dikeluarkan sebuah medali yang memperlihatkan Konstantinus sedang mengenakan helm yang bertuliskan Chi Rho,  dan koin-koin yang dikeluarkan di Siscia pada tahun 317/318 M kembali memuat citra tersebut. Bagaimanapun, figur tersebut jarang ditemukan dan tidak lazim dalam propaganda maupun ikonografi imperial sebelum tahun 320-an.

Konstantinus mengerahkan kekuatannya sendiri di sepanjang barisan Maxentius. Ia memerintahkan kavalerinya untuk melakukan serangan, dan mereka mengalahkan kavaleri Maxentius. Ia kemudian mengirim kavalerinya untuk menghadapi infanteri Maxentius dan mendesak mereka ke Sungai Tiber, tempat banyak dari antara mereka dibunuh atau tenggelam. Pertempuran tersebut berlangsung singkat, pasukan Maxentius dikalahkan sebelum serangan pertamanya. Garda berkuda dan praetoria Maxentius awalnya dapat mempertahankan posisi mereka, namun pertahanan mereka terpecah oleh kekuatan serangan kavaleri Konstantinus; barisan mereka juga terpecah dan mereka melarikan diri ke sungai. Maxentius melarikan diri dengan kudanya bersama mereka, dan berusaha untuk menyeberangi jembatan, tetapi ia didorong ke dalam Sungai Tiber oleh massa tentaranya yang melarikan diri, dan ia tenggelam.

Di Roma

Konstantinus masuk ke Roma pada tanggal 29 Oktober 312. Ia menyelenggarakan suatu upacara adventus yang megah di kota itu, dan disambut orang banyak dengan sorak-sorai.  Jenazah Maxentius dikeluarkan dari Sungai Tiber dan kepalanya dipancung. Kepalanya diarak di jalanan agar dapat dilihat semua orang. Setelah upacara-upacara tersebut, kepala Maxentius dikirim ke Kartago; sejak saat itu, Kartago tidak lagi mengadakan perlawanan. Tidak seperti para pendahulunya, Konstantinus melalaikan kebiasaan mengunjungi Bukit Capitolinus maupun melakukan pengurbanan sesuai adat di Kuil Yupiter. Namun, ia memilih untuk menghormati Kuria Senatorial dengan suatu kunjungan. Di tempat itu ia berjanji untuk mengembalikan hak-hak istimewa senat yang adalah warisan turun-temurun dan memberinya peran yang aman dalam pemerintahan reformasi Konstantinus: tidak akan ada balas dendam terhadap para pendukung Maxentius. Sebagai tanggapan, Senat menetapkannya "predikat nama pertama", yang berarti bahwa namanya akan tercantum pada urutan pertama dalam semua dokumen resmi, dan mengakuinya sebagai "Augustus terbesar".  Ia mengeluarkan dekret-dekret mengenai pengembalian properti yang hilang selama pemerintahan Maxentius, memulangkan kembali orang-orang buangan politik, dan membebaskan para penentang Maxentius yang dipenjarakan.

Setelah itu dilakukan suatu kampanye propaganda yang ekstensif, yang seiring dengannya citra Maxentius secara sistematis disingkirkan dari semua tempat umum. Maxentius ditulis sebagai seorang "tiran", dan dibuat berlawanan dengan citra ideal sang "pembebas", Konstantinus. Eusebius, dalam karya-karyanya belakangan, merupakan representasi terbaik elemen propaganda Konstantinus tersebut. Berbagai reskrip Maxentius dinyatakan tidak valid, dan gelar-gelar kehormatan yang telah diberikan oleh Maxentius kepada para pimpinan Senat dibatalkan. Konstantinus juga berupaya untuk menghilangkan pengaruh Maxentius pada lanskap kota. Semua struktur yang dibangun oleh Maxentius didedikasikan ulang bagi Konstantinus, termasuk Kuil Romulus dan Basilika Maxentius.  Pada titik sentral basilika itu, didirikan sebuah patung batu Konstantinus yang sedang memegang labarum Kristiani di tangannya. Inskripsinya memuat pesan yang terkandung secara jelas pada patung itu: Dengan tanda ini Konstantinus telah membebaskan Roma dari kuk sang tiran.

Dalam hal Konstantinus tidak mengklaim pencapaian-pencapaian Maxentius, ia mengunggulinya: Circus Maximus dipugar sehingga kapasitas tempat duduknya dua puluh lima kali lebih besar dibandingkan dengan kompleks balap Maxentius di Via Appia. Para pendukung terkuat Maxentius dalam militer dihilangkan pengaruhnya ketika Garda Praetoria dan Garda Berkuda Imperial (equites singulares) dibubarkan.  Batu nisan dari makam-makam Garda Berkuda Imperial dihancurkan dan dimanfaatkan untuk digunakan dalam sebuah basilika di Via Labicana.  Pada tanggal 9 November 312 M, hampir dua minggu setelah Konstantinus merebut kota Roma, bekas pangkalan Garda Berkuda Imperial ditetapkan untuk dibangun kembali menjadi Basilika Lateran.  Legio II Parthica dikeluarkan dari Albanum (Albano Laziale),  dan sisa tentara Maxentius diberikan tugas di daerah perbatasan di Sungai Rhein.

Perang melawan Lisinius

Pada tahun-tahun berikutnya, Konstantinus secara bertahap mengkonsolidasikan superioritas militernya atas para pesaingnya di dalam Tetrarki yang telah runtuh itu. Pada tahun 313, ia bertemu dengan Lisinius di Milan untuk mengamankan aliansi mereka melalui pernikahan Lisinius dan saudari seayah Konstantinus, Konstantia. Selama pertemuan tersebut, para kaisar bersepakat untuk mengeluarkan apa yang disebut Maklumat Milan,  yang secara resmi memberikan toleransi penuh kepada Kekristenan dan semua agama di dalam Kekaisaran. Dokumen tersebut mengandung manfaat khusus bagi umat Kristiani, melegalkan agama mereka dan mengembalikan semua properti mereka yang disita selama masa penganiayaan Diokletianus. Dokumen tersebut tidak lagi mengakui metode-metode pemaksaan agama seperti yang pernah dilakukan sebelumnya dan hanya menggunakan istilah-istilah umum untuk menyebut hal ilahi "Keilahian" dan "Keilahian Tertinggi", summa divinitas. Namun konferensi itu dipersingkat karena Lisinius mendapat berita bahwa Maximinus pesaingnya telah menyeberangi Selat Bosporus dan menginvasi wilayah Eropa. Lisinius berangkat untuk menghadapi Maximinus dan akhirnya mengalahkan dia, meraih kontrol atas seluruh bagian timur Kekaisaran Romawi. Hubungan antara kedua kaisar yang tersisa mengalami kemerosotan, karena Konstantinus mengalami suatu percobaan pembunuhan oleh seseorang yang hendak diangkat oleh Lisinus menjadi Caesar; Lisinius, karena keterlibatannya, telah menghancurkan patung-patung Konstantinus di Emona. Pada tahun 314 atau 316, kedua Augusti itu saling memerangi satu sama lain dalam Pertempuran Cibalae, yang berakhir dengan kemenangan Konstaninus. Bentrokan antara mereka kembali terjadi dalam Pertempuran Mardia tahun 317, dan berakhir dengan satu kesepakatan bahwa putra-putra Konstantinus (Krispus dan Konstantinus II) dan putra Lisinius (Lisinianus) dijadikan para caesars. Setelah pengaturan ini, Konstantinus memerintah keuskupan-keuskupan sipil Panonia dan Makedonia serta bertempat tinggal di Sirmium. Dari sana ia memerangi kaum Goth dan Sarmatia pada tahun 322, serta kembali memerangi kaum Goth pada tahun 323.

Pada tahun 320, Lisinius diduga mengingkari kebebasan beragama sebagaimana dijanjikan dalam Maklumat Milan tahun 313 dan memulai lagi penindasan terhadap umat Kristiani, umumnya tanpa pertumpahan darah, tetapi ia melakukan penyitaan dan pemberhentian para pemegang jabatan Kristiani.  Meskipun karakterisasi Lisinius sebagai anti-Kristiani sedikit meragukan, kenyataannya adalah ia tampak jauh lebih tertutup dalam mendukung Kekristenan daripada Konstantinus. Oleh karena itu, Lisinius cenderung memandang Gereja sebagai suatu kekuatan yang lebih loyal kepada Konstantinus daripada kepada sistem Imperial pada umumnya  menurut penjelasan sejarawan Gereja yang bernama Sozomen.

Pengaturan yang meragukan tersebut akhirnya menjadi suatu tantangan bagi Konstantinus di Barat, berpuncak dalam perang saudara besar pada tahun 324. Lisinius, dibantu oleh tentara bayaran Goth, merepresentasikan kepercayaan Pagan kuno dari masa lampau. Konstantinus dan kaum Franka yang berada di pihaknya melakukan mars dengan mengusung panji labarum. Kedua belah pihak memandang pertempuran tersebut dari segi keagamaan. Kendati kalah jumlah, namun dikobarkan oleh semangat mereka, pasukan Konstantinus menang dalam Pertempuran Adrianopolis. Lisinius melarikan diri ke seberang Selat Bosporus dan menunjuk Martinianus, komandan pengawalnya, sebagai Caesar. Konstantinus kemudian menang dalam Pertempuran Hellespontus, dan akhirnya Pertempuran Krisopolis pada tanggal 18 September 324. Lisinius dan Martinianus menyerah kepada Konstantinus di Nikomedia dengan janji bahwa mereka akan dibiarkan hidup: masing-masing dari mereka dikirim untuk hidup sebagai warga biasa di Tesalonika dan Kapadokia. Namun, pada tahun 325, Konstantinus mendakwa Lisinius berkomplot untuk melawannya lalu mereka berdua ditangkap dan dihukum gantung; putra Lisinius (putra dari saudari seayah Konstantinus) juga dibunuh. Dengan demikian Konstantinus menjadi satu-satunya kaisar dalam Kekaisaran Romawi.

Pemerintahan kemudian

Kekalahan Lisinius dianggap merepresentasikan kekalahan dari suatu pusat tandingan kegiatan politik berbahasa Yunani dan Pagan di Timur, bertentangan dengan Roma yang berbahasa Latin dan Kristiani, serta dikemukakan bahwa sebuah ibu kota Timur yang baru seharusnya merepresentasikan integrasi Timur ke dalam Kekaisaran Romawi secara keseluruhan, sebagai suatu pusat pembelajaran, kemakmuran, dan pelestarian budaya bagi keseluruhan Kekaisaran Romawi Timur.  Di antara beragam lokasi yang dikemukakan sebagai ibu kota alternatif tersebut, sepertinya Konstantinus telah memikirkan mengenai Serdica (sekarang Sofia), sebab ia dilaporkan mengatakan bahwa "Serdica adalah Romaku". Sirmium dan Tesalonika juga dipertimbangkan.  Namun, pada akhirnya Konstantinus memutuskan kota Yunani Bizantium, yang pada abad sebelumnya telah dibangun kembali secara ekstensif sesuai pola urbanisme Romawi oleh Septimius Severus dan Caracalla, yang telah mengetahui arti penting strategisnya. Kota tersebut kemudian didirikan pada tahun 324,  didedikasikan pada tanggal 11 Mei 330  dan namanya diganti menjadi Konstantinopolis ("Kota Konstantinus" atau Konstantinopel). Koin-koin peringatan khusus dikeluarkan pada tahun 330 untuk menghormati peristiwa tersebut. Kota baru itu ditempatkan dalam perlindungan relikui Salib Sejati, Tiang Musa, dan relikui suci lainnya, meskipun terdapat sebuah kameo di Museum Ermitáž yang juga merepresentasikan Konstantinus dimahkotai oleh tikhe kota baru itu. Figur-figur dewa-dewi lama diganti atau diasimilasikan ke dalam suatu bingkai simbolisme Kristiani. Konstantinus membangun Gereja Rasul Suci di lokasi bekas kuil Afrodit. Di kemudian hari terdapat kisah bahwa suatu penglihatan ilahi membawa Konstantinus ke tempat ini, dan seorang malaikat yang tidak dapat dilihat orang lain, membawanya menyusuri jalan yang melingkari tembok baru tersebut. Ibu kota ini sering dibandingkan dengan Roma 'lama' sebagai Nova Roma Constantinopolitana, "Roma Baru Konstantinopel".

Kebijakan keagamaan

Konstantinus adalah kaisar pertama yang menghentikan penganiayaan terhadap umat Kristiani, serta melegalkan Kekristenan bersama dengan semua kultus dan agama lainnya di Kekaisaran Romawi.

Pada bulan Februari 313, Konstantinus bertemu dengan Lisinius di Milan, tempat mereka menyusun Maklumat Milan. Maklumat tersebut menyatakan bahwa umat Kristiani harus diizinkan untuk menjalankan praktik keimanan mereka tanpa penindasan. Hukuman karena mengimani Kekristenan, yang telah membuat banyak dari mereka wafat sebagai martir, dihapuskan, dan properti Gereja yang sebelumnya disita dikembalikan. Maklumat tersebut tidak hanya melindungi umat Kristiani dari penganiayaan keagamaan, tetapi juga penganut agama yang lain, sehingga mengizinkan semua orang untuk beribadah kepada Tuhan ataupun ilah pilihan mereka. Maklumat serupa sebelumnya dikeluarkan pada tahun 311 oleh Galerius, kaisar senior dalam Tetrarki; maklumat Galerius memberikan hak kepada umat Kristiani untuk mempraktikkan agama mereka, tetapi tidak mengembalikan properti mereka. Maklumat Milan memuat beberapa klausul yang menyatakan bahwa semua bangunan gereja yang disita akan dikembalikan bersama dengan properti lain milik umat Kristiani yang sebelumnya mengalami penindasan.

Para akademisi berdebat seputar apakah Konstantinus mengadopsi Kekristenan sejak kecil dari St. Helena ibunya, atau apakah ia mengadopsinya secara bertahap seiring perjalanan hidupnya. Konstantinus mungkin mempertahankan gelar pontifex maximus, suatu gelar yang diberikan kepada kaisar sebagai kepala imam agama Romawi kuno hingga Gratianus (memerintah tahun 375–383) memutuskan untuk meninggalkan gelar tersebut. Menurut para penulis Kristiani, Konstantinus telah berusia lebih dari 40 tahun ketika ia menyatakan diri bahwa ia adalah seorang Kristiani, menulis kepada umat Kristiani untuk menjelaskan bahwa ia percaya kalau kesuksesannya semata-mata karena perlindungan Allah Kristiani. Sepanjang pemerintahannya, Konstantinus mendukung Gereja secara finansial, membangun basilika-basilika, memberikan hak-hak istimewa kepada kaum klerus (misalnya pembebasan dari pajak tertentu), mempromosikan umat Kristiani ke jabatan tinggi, dan mengembalikan properti yang disita selama masa penganiayaan Diokletianus. Proyek bangunan paling terkenal yang ia prakarsai misalnya Gereja Makam Kudus dan Basilika Santo Petrus Lama.

Tampaknya Konstantinus tidak hanya mendukung Kekristenan saja. Setelah meraih kemenangan dalam Pertempuran Jembatan Milvius (312), suatu pelengkung kemenangan Pelengkung Konstantinus dibangun (315) untuk merayakan kemenangannya. Pelengkung tersebut dihiasi dengan citra dewi Viktoria. Pada saat dedikasinya, dilakukan pengurbanan-pengurbanan kepada dewa-dewi seperti Apollo, Diana, dan Herkules. Tidak ada penggambaran simbolisme Kristiani pada Pelengkung tersebut. Bagaimanapun, karena pembangunannya ditugaskan oleh Senat, ketiadaan simbol-simbol Kristiani kemungkinan mencerminkan peranan Senat pada saat itu sebagai salah satu kubu pagan.

Pada tahun 321, ia mengesahkan bahwa hari matahari yang terhormat harus menjadi suatu hari istirahat bagi seluruh warga kekaisaran. Pada tahun 323, ia mengeluarkan suatu dekret yang membebaskan keharusan bagi umat Kristiani untuk berpartisipasi dalam acara pengurbanan imperial. Selanjutnya, koin Konstantinus tetap memuat simbol-simbol matahari. Setelah dewa pagan dihilangkan dari koinnya, simbol-simbol Kristiani tampil sebagai atribut Konstantinus: chi rho di antara kedua tangannya atau di labarumnya, serta di koin itu sendiri.

Pemerintahan Konstantinus membentuk suatu preseden terhadap posisi kaisar yang memiliki pengaruh besar dan otoritas sipil tertinggi di dalam diskusi keagamaan yang melibatkan beberapa konsili Kristiani pada saat itu, terutama perselisihan seputar Arianisme. Konstantinus sendiri tidak menyukai risiko yang berdampak pada stabilitas sosial yang disebabkan oleh perselisihan keagamaan, dan lebih berharap untuk membangun suatu ortodoksi sejauh memungkinkan.  Pengaruhnya atas konsili-konsili Gereja perdana adalah menegakkan doktrin, menyingkirkan bidah, dan mendukung persatuan gerejawi; mengenai ibadah, doktrin, maupun dogma yang tercakup merupakan wewenang Gereja untuk menetapkannya, di tangan para uskup yang berpartisipasi di dalam konsili.

Peristiwa paling terkemuka, dari tahun 313 sampai 316, para uskup di Afrika Utara bergulat dengan uskup-uskup Kristiani lainnya yang telah ditahbiskan oleh Donatus untuk menentang Sesilianus. Para uskup Afrika tidak dapat meraih kesepakatan dan kaum Donatis meminta Konstantinus untuk bertindak sebagai hakim dalam perselisihan tersebut. Tiga konsili regional Gereja dan suatu percobaan lain telah dilakukan sebelum Konstantinus memutuskan untuk melawan Donatus dan gerakan Donatisme di Afrika Utara. Pada tahun 317, Konstantinus mengeluarkan suatu maklumat untuk menyita properti gereja milik kaum Donatis dan mengirim klerus Donatis ke pengasingan. Peristiwa yang lebih penting, pada tahun 325, ia menghimpun para uskup dalam Konsili Nicea, yang secara efektif merupakan Konsili Ekumenis pertama (kecuali Konsili Yerusalem juga diklasifikasikan demikian). Konsili tersebut umumnya dikenal karena menyelesaikan permasalahan dengan Arianisme dan melembagakan Pengakuan Iman Nicea.

Konstantinus memberlakukan ketetapan dalam Konsili Nicea I yang melarang perayaan Perjamuan Tuhan pada hari sebelum Paskah Yahudi (14 Nisan) (lih. Kuartodesimanisme dan kontroversi Paskah). Hal ini menandai secara definitif pemisahan Kekristenan dari tradisi Yahudi. Sejak saat itu Kalender Julian Romawi, suatu kalender matahari, diprioritaskan di atas Kalender Ibrani suryacandra di antara gereja-gereja Kristiani di Kekaisaran Romawi.

Konstantinus membuat beberapa undang-undang baru terkait kaum Yahudi, tetapi meskipun beberapa maklumat yang dikeluarkannya tidak menguntungkan mereka, undang-undang itu lebih lunak daripada para pendahulunya.  Adalah pelanggaran hukum jika kaum Yahudi mencari penganut ataupun menyerang orang Yahudi lain yang telah menganut Kekristenan. Mereka dilarang memiliki budak dari kaum Kristiani ataupun mengkhitan budak mereka. Di sisi lain, klerus Yahudi mendapatkan pengecualian-pengecualian yang sama seperti klerus Kristiani.

Reformasi administratif

Sejak pertengahan abad ke-3, para kaisar mulai lebih memilih anggota ordo ekuestrian daripada senator, yang telah memonopoli jabatan-jabatan imperial terpenting. Para senator dicopot dari komando legiun-legiun dan sebagian besar jabatan gubernur provinsi (sebab mereka dirasa tidak memiliki pendidikan militer khusus di tengah kebutuhan pertahanan yang mendesak , posisi-posisi tersebut diberikan kepada para ekuestrian oleh Diokletianus dan kolega-koleganya mengikuti praktik yang diterapkan sedikit demi sedikit oleh para pendahulu mereka. Bagaimanapun, para kaisar itu tetap membutuhkan talenta dan bantuan dari yang kaya raya, yang diandalkan untuk memelihara tatanan sosial dan kepaduan dengan menggunakan suatu jaringan pengaruh yang kuat dan kontak di semua tingkatan. Pengecualian pada aristokrasi senatorial lama mengancam pengaturan ini.

Pada tahun 326, Konstantinus membalikkan tren pro-ekuestrian tersebut, mengangkat banyak posisi adminstratif ke pangkat senatorial dan dengan demikian membuka jabatan-jabatan ini bagi aristokrasi lama. Pada saat yang sama ia mengangkat pangkat para pemegang jabatan ekuestrian yang telah ada menjadi senator, mendegradasi ordo ekuestrian setidaknya sebagai suatu pangkat birokratis dalam prosesnya, sehingga pada akhir abad ke-4 gelar perfectissimus hanya diberikan kepada para pejabat menengah ke bawah.

Dengan pengaturan baru yang dilakukan Konstantinus itu, seseorang dapat menjadi senator baik dengan terpilih sebagai pretor ataupun (dalam kebanyakan kasus) dengan mengisi salah satu fungsi dalam peringkat senatorial: sejak saat itu, memegang kekuasaan yang sesungguhnya dan status sosial dilebur bersama ke dalam suatu hierarki imperial gabungan. Pada saat yang sama, bersamaan dengan hal itu, Konstantinus mendapatkan dukungan bangsawan lama, karena Senat dapat memilih para pretor dan kuestor, sebagai ganti praktik yang lazim dari para kaisar yang secara langsung menciptakan magistrat (adlectio) baru. Dalam suatu inskripsi untuk menghormati prefek kota (336–337) Ceionius Rufus Albinus, tertulis bahwa Konstantinus memulihkan "auctoritas [Senat] yang telah hilang pada zaman Caesar".

Senat sebagai suatu badan tetap tidak memiliki kekuasaan yang signifikan; namun demikian, para senator, yang sepanjang abad ke-3 telah terpinggirkan sebagai orang-orang yang berpotensi memegang fungsi imperial, sekarang dapat menentang posisi-posisi tersebut bersama dengan para birokrat yang lebih baru diangkat. Beberapa sejarawan modern memandang bahwa dalam reformasi administratif ini terdapat suatu upaya oleh Konstantinus untuk mengintegrasikan kembali tatanan senatorial ke dalam elite administratif imperial untuk menangkal kemungkinan keterasingan senator-senator pagan dari Kristenisasi peraturan imperial; namun, penafsiran seperti demikian tetap berupa dugaan, mengingat fakta bahwa tidak ada angka pasti mereka yang pindah keyakinan ke Kristiani di dalam lingkungan senatorial lama beberapa sejarawan mengemukakan bahwa konversi awal dalam aristokrasi lama lebih banyak dari dugaan sebelumnya.

Reformasi Konstantinus hanya seputar pemerintahan sipil: para pimpinan militer, yang sejak Krisis Abad Ketiga telah diangkat sebagai perwira,  tetap berada di luar senat, dan mereka baru disertakan oleh anak-anak Konstantinus.

Reformasi moneter

Setelah inflasi tak terkendali pada abad ketiga, terkait dengan produksi uang fiat untuk membiayai pengeluaran publik, Diokletianus telah berupaya membangun kembali kepercayaan publik dengan mencetak koin perak maupun bilon. Namun, upaya-upaya yang ia lakukan menemui kegagalan karena pada kenyataannya mata uang perak tersebut dinilai terlalu tinggi dibandingkan kandungan logam yang sebenarnya, dan oleh sebab itu hanya dapat beredar dengan tingkat diskonto besar. Karenanya pencetakan argenteus perak "murni" tersebut dihentikan tidak lama setelah tahun 305, sedangkan mata uang bilon terus digunakan sampai tahun 360-an. Sejak tahun 300-an, Konstantinus meninggalkan upaya apapun untuk memulihkan mata uang perak, dan lebih memilih untuk berkonsentrasi pada pencetakan keping emas (solidus) standar yang baik dalam jumlah besar, 72 kepingnya setara dengan satu pon emas. Keping-keping perak baru (dengan nilai sangat rendah) terus dikeluarkan selama pemerintahan Konstantinus kemudian dan setelah wafatnya. Proses penarifan ulang atasnya dilakukan secara berkesinambungan hingga pencetakan emas batangan tersebut dihentikan secara de jure pada tahun 367, dan kepingan perak ini secara de facto dilanjutkan oleh beragam denominasi koin perunggu, yang paling penting yaitu centenionalis. Kepingan perunggu ini terus didevaluasi, untuk mempertahankan pencetakan demi menjaga kepercayaan di samping suatu standar emas. Penulis anonim dari De Rebus Bellicis, yang kemungkinan adalah risalah kontemporer tentang militer, menyatakan bahwa, sebagai suatu konsekuensi dari kebijakan moneter ini, kesenjangan antar kelas semakin melebar: orang kaya diuntungkan karena stabilitas daya beli kepingan emas, sementara orang miskin harus berhadapan dengan kepingan perunggu yang terus turun nilainya. Kaisar-kaisar di kemudian hari seperti Yulianus yang Murtad berupaya untuk menampilkan diri mereka sebagai penolong kaum humiles dengan memaksakan pencetakan mata uang perunggu yang dapat dipercaya.

Kebijakan moneter Konstantinus terkait erat dengan kebijakan keagamaannya. Meningkatnya pencetakan tersebut dikaitkan tindakan-tindakan penyitaan sejak tahun 331 sampai 336 semua patung emas, perak, dan perunggu dari kuil-kuil pagan, yang ia nyatakan sebagai properti imperial dan dengan demikian sebagai aset moneter. Dua komisaris imperial untuk masing-masing provinsi diberi tugas untuk mendapatkan patung-patung tersebut dan meleburnya untuk dicetak menjadi koin dengan pengecualian sejumlah patung perunggu yang digunakan sebagai monumen-monumen publik untuk memperindah ibu kota baru di Konstantinopel.
Eksekusi Krispus dan Fausta

Pada suatu waktu antara tanggal 15 Mei dan 17 Juni 326, Konstantinus menangkap Krispus, putra sulungnya dari Minervina, dan membunuhnya dengan menggunakan "racun dingin" di Pola (Pula, Kroasia). Pada bulan Juli, Konstantinus membunuh Maharani Fausta istrinya dengan menempatkannya dalam sebuah tempat mandi yang panasnya berlebihan. Nama-nama mereka dihapus dari permukaan banyak inskripsi, referensi kehidupan mereka dalam catatan literer dihapuskan, dan kenangan atas keduanya disingkirkan. Eusebius, misalnya, mengedit pujian bagi Krispus dari salinan-salinan kemudian Historia Ecclesiastica karyanya, dan Vita Constantini karyanya sama sekali tidak menyebutkan Fausta ataupun Krispus.  Hanya sedikit sumber kuno yang membahas kemungkinan motif Konstantinus terkait peristiwa-peristiwa tersebut; semua sumber yang ada itu menyajikan alasan-alasan yang tidak meyakinkan dan secara umum tidak dapat diandalkan. Pada saat eksekusi, secara umum diyakini bahwa Maharani Fausta terlibat dalam hubungan terlarang dengan Krispus atau menyebarkan rumor seperti itu. Berkembang suatu mitos populer, dimodifikasi sesuai legenda Hippolitus–Faedra, yang beranggapan bahwa Konstantinus membunuh Krispus dan Fausta karena perilaku amoral mereka.  Salah satu sumber, Kisah Sengsara Artemius yang utamanya dipandang sebagai karya fiksi, kemungkinan ditulis pada abad ke-8 oleh Yohanes dari Damaskus, terkait secara eksplisit dengan legenda itu. Sebagai suatu interpretasi atas eksekusi-eksekusi tersebut: legenda itu dianggap hanya bertumpu pada "bukti yang paling tipis": sumber-sumber yang menyinggung hubungan antara Krispus dan Fausta baru ditulis di kemudian hari dan tidak dapat diandalkan, serta pengemukaan modern bahwa maklumat-maklumat "saleh" Konstantinus pada tahun 326 dapat terkait dengan penyimpangan Krispus tidak bersandar pada bukti apapun.

Meskipun Konstantinus menjadikan ahli-ahli warisnya sebagai para "Caesar", mengikuti suatu pola yang dibangun oleh Diokletianus, ia menjadikan mereka suatu karakter turun-temurun, yang asing bagi sistem tetrarki: para Caesar Konstantinus dijaga dengan harapan untuk naik ke Kekaisaran, dan sepenuhnya sebagai subordinasi dari Augustus mereka, sepanjang ia masih hidup. Oleh karenanya, salah satu penjelasan alternatif mengenai eksekusi Krispus adalah, mungkin, keinginan Konstantinus untuk mempertahankan para ahli warisnya yang prospektif, hal ini dan keinginan Fausta agar yang menjadi pewaris adalah para putranya bukan saudara tiri mereka dapat menjadi alasan untuk membunuh Krispus; sementara Fausta yang dieksekusi belakangan kemungkinan dimaksudkan sebagai suatu pengingat bagi anak-anaknya bahwa Konstantinus tidak akan ragu-ragu "membunuh keluarganya sendiri ketika ia merasa hal ini diperlukan".

Kampanye-kampanye kemudian

Konstantinus menganggap Konstantinopel sebagai ibu kota dan tempat tinggal permanennya. Ia tinggal di sana hampir sepanjang sisa hidupnya kemudian. Ia membangun kembali jembatan Trajanus di Sungai Donau (Danube), dengan harapan merebut kembali Dacia, suatu provinsi yang telah ditinggalkan pada masa pemerintahan Aurelianus. Pada akhir musim dingin tahun 332, Konstantinus melakukan kampanye militer bersama dengan kaum Sarmatia untuk melawan suku Goth. Cuaca dan kurangnya makanan mengakibatkan kerugian besar bagi suku Goth: kabarnya, hampir seratus ribu orang meninggal dunia sebelum mereka tunduk pada Roma. Pada tahun 334, setelah rakyat jelata Sarmatia menggulingkan pimpinan mereka, Konstantinus memimpin suatu kampanye melawan suku tersebut. Ia memperoleh kemenangan dalam perang itu dan memperluas kekuasaannya atas wilayah tersebut, sebagaimana diindikasikan oleh sisa-sisa kamp dan benteng di wilayah tersebut.  Konstantinus memukimkan kembali beberapa orang buangan Sarmatia sebagai petani-petani di berbagai distrik Romawi dan Iliria, serta memberlakukan wajib militer atas selebihnya ke dalam ketentaraan. Konstantinus menggunakan gelar Dacicus maximus pada tahun 336.

Dalam tahun-tahun terakhir hidupnya, Konstantinus merencanakan suatu kampanye melawan Persia. Dalam sebuah surat yang ditulis kepada raja Persia, Shapur II, Konstantinus menegaskan dukungannya pada orang-orang Kristiani Persia dan mendesak Shapur untuk memperlakukan mereka dengan baik. Surat tersebut tidak dapat ditarikhkan. Menanggapi serangan-serangan mendadak di perbatasan, Konstantinus mengutus Konstantius untuk menjaga perbatasan timur pada tahun 335. Pada tahun 336, pangeran Narseh menginvasi Armenia (suatu kerajaan Kristiani sejak tahun 301) dan menobatkan seorang klien Persia ke atas takhtanya. Konstantinus kemudian memutuskan untuk melakukan sendiri kampanye terhadap Persia. Ia memperlakukan perang tersebut sebagai suatu perang salib Kristiani, meminta para uskup untuk menemani pasukan dan membangun sebuah tenda dalam bentuk bangunan gereja untuk mengiringinya. Konstantinus berencana untuk dibaptis di Sungai Yordan sebelum menyeberang ke Persia. Utusan-utusan Persia datang ke Konstantinopel selama musim dingin tahun 336–337 untuk mengupayakan perdamaian, tetapi Konstantinus menolak mereka. Kampanye tersebut lalu dibatalkan karena Konstantinus jatuh sakit pada musim semi tahun 337.

Penyakit dan kematian

Konstantinus telah menyadari bahwa hidupnya di dunia akan segera berakhir. Di dalam Gereja Rasul Suci, Konstantinus diam-diam menyiapkan makam baginya. Kenyataannya datang lebih cepat dari perkiraannya. Tidak lama setelah Hari Raya Paskah tahun 337, Konstantinus menderita sakit parah.  Ia meninggalkan Konstantinopel untuk mandi air panas di dekat kota ibunya, yaitu Helenopolis (Altinova), di pesisir selatan Teluk Nikomedia (sekarang Teluk İzmit). Di sana, di dalam suatu gereja yang dibangun ibunya untuk menghormati Rasul Lusianus, ia berdoa, dan di sana ia menyadari bahwa ia sedang sekarat. Ia mencari pemurnian dari dosa dan menjadi seorang katekumen, serta berusaha kembali ke Konstantinopel, walau hanya berhasil sampai daerah pinggiran kota Nikomedia.  Ia memanggil para uskup, dan menyampaikan kepada mereka harapannya untuk dibaptis di Sungai Yordan, tempat Yesus dibaptis sesuai yang tertulis. Ia meminta agar segera dibaptis, berjanji untuk menjalani kehidupan yang lebih Kristiani seandainya ia dapat sembuh dari penyakitnya. Menurut catatan Eusebius, para uskup "melangsungkan upacara suci sesuai kebiasaan". Ia meminta uskup dari kota tempat ia terbaring sekarat, Eusebius dari Nikomedia yang cenderung mendukung Arian, sebagai pembaptisnya.  Mengenai penundaan pembaptisannya, hingga ia merasa layak, ia mengikuti kebiasaan pada saat itu yang menunda pembaptisan hingga melewati masa bayi. Hingga sekarang Konstantinus dianggap menunda pembaptisannya selama mungkin agar dapat sebanyak-banyaknya terbebas dari dosa.  Tidak lama kemudian Konstantinus wafat di suatu vila di pinggiran kota yang disebut Achyron, pada hari terakhir dari lima puluh hari perayaan Pentakosta setelah Paskah, pada tanggal 22 Mei 337.

Di dalam laporan Eusebius, wafatnya Konstantinus menyusul berakhirnya kampanye Persia. Bagaimanapun, kebanyakan sumber lainnya melaporkan kalau wafatnya terjadi saat kampanye tengah berlangsung. Kaisar Yulianus (keponakan Konstantinus), menulis pada pertengahan tahun 350-an, menyampaikan bahwa Kekaisaran Sasaniyah lolos dari hukuman atas perbuatan-perbuatan buruk mereka karena Konstantinus wafat "di tengah-tengah persiapan untuk perang". Laporan-laporan serupa tercantum dalam Origo Constantini, sebuah dokumen anonim yang ditulis ketika Konstantinus masih hidup, dan yang mengisahkan wafatnya Konstantinus di Nikomedia; Historiae abbreviatae dari Sextus Aurelius Victor, ditulis tahun 361, yang mengisahkan wafatnya Konstantinus di suatu properti di dekat Nikomedia yang disebut Achyrona ketika melakukan mars untuk melawan bangsa Persia;  dan Breviarium dari Eutropius, sebuah buku pedoman yang disusun pada tahun 369 untuk Kaisar Valens, yang mengisahkan wafatnya Konstantinus di suatu vila pemerintah yang tidak disebutkan namanya di Nikomedia.  Dari laporan-laporan ini dan yang lainnya, beberapa kalangan menganggap kalau Vita karya Eusebius telah diedit untuk mempertahankan reputasi Konstantinus dari hal-hal yang dianggap Eusebius kurang pantas terkait kampanye tersebut.

Setelah wafatnya, jenazah Konstantinus dipindahkan ke Konstantinopel dan dimakamkan di Gereja Rasul Suci di sana.  Ia digantikan oleh ketiga putranya dari Fausta, yaitu Konstantinus II, Konstantius II, dan Konstans. Sejumlah kerabatnya dibunuh oleh para pengikut Konstantius, khususnya keponakan-keponakan Konstantinus yang bernama Dalmatius (yang berpangkat Caesar) dan Hannibalianus, diduga untuk menghilangkan potensi saingan dalam suatu suksesi yang sudah cukup kompleks. Ia juga memiliki dua putri, Konstantina dan Helena, istri Kaisar Yulianus.

Peninggalan

Meskipun Konstantinus diberi sebutan kehormatan "Agung" (bahasa Inggris: The Great; "Μέγας") oleh para sejarawan Kristiani jauh setelah wafatnya, ia dapat saja mengklaim gelar tersebut semata-mata karena berbagai kemenangan dan pencapaian militernya. Selain mempersatukan Kekaisaran di bawah kepemimpinan satu orang kaisar, ia memperoleh kemenangan-kemenangan besar atas kaum Franka dan Alemanni antara tahun 306–308, atas kaum Franka lagi antara tahun 313–314, atas kaum Goth pada tahun 332, dan atas kaum Sarmatia pada tahun 334. Pada tahun 336, Konstantinus kembali menduduki hampir seluruh provinsi Dacia yang telah lama terlepas, sejak Aurelianus terpaksa melepaskannya pada tahun 271. Pada saat wafatnya, ia sedang merencakan suatu ekspedisi besar untuk mengakhiri serangan-serangan yang dilakukan Kekaisaran Persia atas provinsi-provinsi timur. Dengan total masa pemerintahan 31 tahun (gabungan masa pemerintahannya sebagai rekan-penguasa dan penguasa tunggal), ia menjadi kaisar yang paling lama menjabat sejak Augustus dan kaisar kedua yang paling lama menjabat dalam sejarah Romawi.

Dalam ranah budaya, Konstantinus memiliki kontribusi terhadap bangkitnya mode wajah yang dicukur bersih di antara para kaisar Romawi dari Augustus sampai Trajanus, yang awalnya diperkenalkan di kalangan Romawi oleh Scipio Afrikanus. Mode baru imperial Romawi itu bertahan hingga masa pemerintahan Fokas.

Kekaisaran Bizantin memandang Konstantinus sebagai pendirinya, dan Kekaisaran Romawi Suci memperhitungkan dia di antara para figur terhormat dari tradisinya. Dalam Kekaisaran Bizantin di kemudian hari, adalah suatu kehormatan besar bagi seorang kaisar jika dipuji sebagai seorang "Konstantinus baru". Sepuluh kaisar, termasuk kaisar terakhir Kekaisaran Romawi Timur, menyandang julukan tersebut. Beragam bentuk monumental Konstantinian digunakan di istana Charlemagne untuk mengesankan bahwa ia adalah penerus Konstantinus dan setara dengannya. Konstantinus mendapat suatu peran dalam mitos sebagai seorang pejuang penentang "kaum kafir". Motif ekuestrian Romanesque, figur penunggang kuda dalam postur kaisar Romawi yang berjaya, menjadi suatu metafora visual dalam patung-patung untuk memuji para dermawan daerah setempat. Nama "Konstantinus" sendiri kembali populer di Prancis barat pada abad ke-11 dan ke-12. Gereja Ortodoks memandang Konstantinus sebagai seorang santo (Άγιος Κωνσταντίνος, Santo Konstantinus), yang diperingati setiap tanggal 3 September, dan menyebutnya isapostolos (Ισαπόστολος Κωνσταντίνος) orang yang setara dengan para Rasul.

Bandar Udara Niš dinamai "Konstantinus Agung" untuk menghormati dirinya. Sebuah Salib besar pernah direncanakan untuk dibangun di atas bukit yang menghadap Niš, Serbia, tetapi proyek ini kemudian dibatalkan. Pada tahun 2012, sebuah memorial didirikan di Niš untuk menghormatinya. Peringatan Maklumat Milan diadakan di Niš pada tahun 2013.

Historiografi

Selama masa hidupnya dan para putranya, Konstantinus disajikan sebagai suatu teladan kebajikan. Kaum pagan seperti Praxagoras dari Athena dan Libanius melontarkan banyak pujian mengenainya. Namun, ketika yang terakhir dari para putranya wafat pada tahun 361, Yulianus yang Murtad keponakannya (dan menantunya) menulis satire Simposium, atau Saturnalia yang merendahkan Konstantinus, menyebut dia inferior dibandingkan dengan para kaisar besar pagan, serta menghubungkannya dengan kemewahan dan keserakahan. Setelah Yulianus, Eunapius memulai dan Zosimus melanjutkan suatu tradisi penulisan sejarah yang menyalahkan Konstantinus karena memperlemah Kekaisaran melalui keberpihakannya pada kaum Kristiani.

Dalam dunia Timur maupun Barat pada abad pertengahan, Konstantinus disajikan sebagai seorang penguasa yang ideal, tolok ukur setiap raja ataupun kaisar. Penemuan kembali sumber-sumber anti-Konstantinian pada Abad Renaisans memicu penilaian ulang terhadap karier Konstantinus. Seorang humanis Jerman bernama Johann Löwenklau, penemu tulisan-tulisan Zosimus, memublikasikan suatu terjemahan Latin daripadanya pada tahun 1576. Dalam kata pengantarnya, ia berpendapat bahwa penggambaran Zosimus mengenai Konstantinus lebih baik daripada yang disajikan oleh Eusebius dan para sejarawan Gereja, menawarkan suatu pandangan yang lebih seimbang. Kardinal Caesar Baronius, seorang tokoh Kontra Reformasi, lebih menyukai laporan Eusebius dari era Konstantinian. Kisah Hidup Konstantinus (1588) karya Baronius menyajikan Konstantinus sebagai model seorang pangeran Kristiani. Dalam Sejarah Kemunduran dan Kejatuhan Kekaisaran Romawi (1776–89) karyanya, Edward Gibbon, yang bertujuan menyatukan kedua ekstrem keilmuan Konstantinian, menawarkan suatu citra Konstantinus yang dibangun berdasarkan narasi-narasi dari Eusebius dan Zosimus yang dikontraskan. Dengan suatu bentuk yang menyejajarkan laporan karyanya mengenai kemunduran Kekaisaran Romawi, Gibbon menyajikan Konstantinus dalam versi seorang pahlawan perang terhormat yang dirusakkan oleh pengaruh Kristiani, yang berubah menjadi seorang diktator Oriental pada masa tuanya: "seorang pahlawan ... mengalami kemerosotan menjadi seorang penguasa yang kejam dan tak bermoral".

Interpretasi modern tentang pemerintahan Konstantinus diawali dengan Zaman Konstantinus Agung (1853, rev. 1880) karya Jacob Burckhardt. Konstantinus versi Burchhardt adalah seorang sekularis licik, seorang politisi yang memanipulasi semua pihak dalam usaha untuk mengamankan kekuasaannya sendiri.  Henri Grégoire, menulis pada tahun 1930-an, mengikuti penilaian Burckhardt mengenai Konstantinus. Menurut Grégoire, Konstantinus menjadi berminat pada Kekristenan setelah melihat manfaatnya secara politis. Grégoire merasa skeptis dengan autentisitas Vita karya Eusebius, dan mendalilkan sebuah pseudo-Eusebius untuk memikul tanggung jawab atas narasi-narasi penglihatan dan konversi dalam karya tersebut. Otto Seeck, dalam Geschichte des Untergangs der antiken Welt (1920–23), dan André Piganiol, dalam L'empereur Constantin (1932), menuliskan hal berlawanan dengan tradisi kesejarahan itu. Seeck menyajikan Konstantinus sebagai seorang pahlawan perang yang tulus, dan ambiguitasnya merupakan akibat dari inkonsistensinya yang naif. Konstantinus versi Piganiol adalah seorang monoteis yang filosofis, seorang anak dari sinkretisme religius pada zamannya. Riwayat-riwayat sejarah yang berkaitan karya A. H. M. Jones (Konstantinus dan Konversi Eropa, 1949) dan Ramsay MacMullen (Konstantinus, 1969) memberikan gambaran-gambaran dari seorang Konstantinus yang kurang visioner dan lebih impulsif.

Laporan-laporan belakangan lebih cenderung menyajikan Konstantinus sebagai seseorang yang benar-benar melakukan konversi diri ke dalam Kekristenan. Dimulai dari Konstantinus Agung dan Gereja Kristiani (1929) karya Norman H. Baynes, dan dipertegas dengan Konversi Konstantinus dan Roma Pagan (1948) karya Andreas Alföldi, berkembang suatu tradisi kesejarahan yang menyajikan Konstantinus sebagai seorang Kristiani yang berkomitmen. Karya penting Timothy Barnes yang berjudul Konstantinus dan Eusebius (1981) merepresentasikan puncak dari tren tersebut. Konstantinus versi Barnes mengalami suatu konversi radikal, yang mendorongnya melakukan suatu perjuangan pribadi untuk mengonversi kekaisarannya. Konstantinus dan Kekaisaran Kristiani (2004) karya Charles Matson Odahl memuat tema yang kurang lebih sama. Terlepas dari karya tulis Barnes, argumen-argumen mengenai kekuatan dan kedalaman konversi religius Konstantinus terus berlanjut. Tema-tema tertentu dalam mazhab ini mencapai ekstrem baru dalam Kekristenan Konstantinus Agung (1996) karya T.G. Elliott, yang menyajikan Konstantinus sebagai seorang Kristiani yang berkomitmen sejak ia masih anak-anak berusia dini.  Pandangan serupa tentang Konstantinus termuat dalam Quand notre monde est devenu chrétien, karya Paul Veyne tahun 2007, yang tidak berspekulasi seputar asal mula motivasi Kristiani Konstantinus, tetapi menyajikan dirinya, dalam perannya sebagai Kaisar, sebagai seorang revolusioner keagamaan yang sangat meyakini bahwa dirinya dimaksudkan "untuk memainkan suatu peran seturut waktunya dalam karya milenium keselamatan umat manusia".

Donasi Konstantinus

Kalangan Katolik Ritus Latin menyatakan keraguan mereka seputar pembaptisan Konstantinus menjelang wafatnya dan oleh seorang uskup yang tidak ortodoks, karena hal tersebut merusak otoritas Kepausan. Selain itu, pada awal abad keempat, sebuah legenda menyatakan bahwa Paus Silvester I (314–335) menyembuhkan sang kaisar dari penyakit kusta. Menurut legenda tersebut, Konstantinus dibaptis tidak lama setelahnya, dan mulai membangun sebuah gereja di Istana Lateran. Pada abad kedelapan, kemungkinan besar pada masa kepausan Stefanus II (752–757), sebuah dokumen yang disebut Donasi Konstantinus muncul pertama kali, yang di dalamnya dinyatakan bahwa Konstantinus yang baru berpindah keyakinan menyerahkan kekuasaan temporal atas "kota Roma dan seluruh provinsi, distrik, serta kota di Italia dan wilayah Barat" kepada Silvester dan para penerusnya. Pada Abad Pertengahan Tinggi, dokumen tersebut digunakan dan diterima sebagai dasar kekuasaan temporal Paus, meskipun dokumen tersebut dinyatakan palsu oleh Kaisar Otto III dan dicap sebagai akar dari keduniawian kepausan oleh penyair Dante Alighieri. Filolog abad ke-15 Lorenzo Valla menyatakan bahwa dokumen tersebut memang hasil pemalsuan.

Historia karya Geoffrey dari Monmouth

Pada Abad Pertengahan, kaum Briton memandang Konstantinus sebagai seorang raja dari kaum mereka sendiri, secara khusus mengaitkannya dengan Caernarfon di Gwynedd. Meskipun sebagian dari hal ini merupakan dampak dari ketenaran dan proklamasi dirinya sebagai Kaisar di Britania, terdapat juga kesimpangsiuran mengenai hubungan keluarga antara dia dengan Santa Elen (diduga adalah istri Magnus Maximus) dan putranya, Konstantinus yang lain (bahasa Wales: Custennin). Pada abad ke-12, Henry dari Huntingdon menyertakan suatu bagian dalam Historia Anglorum karyanya yang menyatakan bahwa ibu kaisar Konstantinus adalah orang Briton dan putri Raja Cole dari Colchester. Geoffrey dari Monmouth mengembangkan cerita tersebut dalam Historia Regum Britanniae karyanya yang sangat fiksional, yang memuat laporan tentang mereka yang diduga sebagai Raja-Raja Britania dari asal muasal Troya mereka sampai invasi Anglo-Sachsen. Menurut Geoffrey, Cole adalah Raja kaum Briton ketika Konstantius, sebagai seorang senator, datang ke Britania. Karena khawatir dengan kaum Romawi, Cole tunduk pada hukum Romawi selama ia menjabat sebagai raja. Namun, ia wafat sebulan kemudian, dan Konstantius naik ke takhtanya, menikahi putri Cole, Helena. Putra mereka, Konstantinus, menggantikan ayahnya sebagai Raja Britania sebelum menjadi Kaisar Romawi.

Secara historis, rangkaian peristiwa tersebut tampak sangat mustahil. Konstantius telah meninggalkan Helena pada saat ia berangkat menuju Britania.  Selain itu, tidak ada sumber yang lebih awal yang menyebutkan bahwa Helena lahir di Britania, apalagi menyebutkan bahwa ia adalah seorang putri raja. Sumber yang digunakan Henry untuk menulis cerita tersebut tidak diketahui, meskipun mungkin saja berasal dari sebuah hagiografi Helena yang telah hilang

Kekaisaran Romawi Timur

Kekaisaran Romawi Timur atau Kekaisaran Bizantium (ejaan lain: Bizantin, Byzantin, Byzantine, Byzantium) adalah wilayah timur Kekaisaran Romawi yang terutama berbahasa Yunani  pada Abad Kuno dan Pertengahan. Penduduk dan tetangga-tetangga Kekaisaran Romawi Timur menjuluki negeri ini Kekaisaran Romawi atau Romania (Yunani: Ῥωμανία, Rōmanía). Kekaisaran ini berpusat di Konstantinopel, dan dikuasai oleh kaisar-kaisar yang merupakan pengganti kaisar Romawi kuno setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat. Tidak ada konsensus mengenai tanggal pasti dimulainya periode Romawi Timur. Beberapa orang menyebut masa kekuasaan Diokletianus (284-305) dikarenakan reformasi-reformasi pemerintahan yang ia perkenalkan, yang membagi kerajaan tersebut menjadi pars Orientis dan pars Occidentis. Pihak lainnya menyebut masa kekuasaan Theodosius I (379-395), atau setelah kematiannya pada tahun 395, saat kekaisaran terpecah menjadi bagian Timur dan Barat. Ada juga yang menyebut tahun 476, ketika Roma dijajah untuk ketiga kalinya dalam seabad yang menandakan jatuhnya Barat (Latin), dan mengakibatkan kaisar di Timur (Yunani) mendapatkan kekuasaan tunggal. Bagaimanapun juga, titik penting dalam sejarah Romawi Timur adalah ketika Konstantinus yang Agung memindahkan ibukota dari Nikomedia (di Anatolia) ke Byzantium (yang akan menjadi Konstantinopel) pada tahun 330.

Negeri ini berdiri selama lebih dari ribuan tahun. Selama keberadaannya, Romawi Timur merupakan kekuatan ekonomi, budaya, dan militer yang kuat di Eropa, meskipun terus mengalami kemunduran, terutama pada masa Peperangan Romawi-Persia dan Romawi Timur-Arab. Kekaisaran ini direstorasi pada masa Dinasti Makedonia, bangkit sebagai kekuatan besar di Mediterania Timur pada akhir abad ke-10, dan mampu menyaingi Kekhalifahan Fatimiyah. Setelah tahun 1071, sebagian besar Asia Kecil direbut oleh Turki Seljuk. Restorasi Komnenos berhasil memperkuat dominasi pada abad ke-12, tetapi setelah kematian Andronikos I Komnenos dan berakhirnya Dinasti Komnenos pada akhir abad ke-12, kekaisaran kembali mengalami kemunduran. Romawi Timur semakin terguncang pada masa Perang Salib Keempat tahun 1204, ketika kekaisaran ini dibubarkan secara paksa dan dipisah menjadi kerajaan-kerajaan Yunani dan Latin yang saling berseteru. Kekaisaran berhasil didirikan kembali pada tahun 1261 di bawah pimpinan kaisar-kaisar Palaiologos, tetapi perang saudara pada abad ke-14 terus melemahkan kekuatan kekaisaran. Sisa wilayahnya dicaplok oleh Kesultanan Utsmaniyah dalam Peperangan Romawi Timur-Utsmaniyah. Akhirnya, Konstantinopel berhasil direbut oleh Utsmaniyah pada tanggal 29 Mei 1453, menandai berakhirnya Kekaisaran Romawi Timur.

Tata nama

Kekaisaran ini mulai disebut "Bizantium" di Eropa Barat pada tahun 1557, ketika sejarawan Jerman Hieronymus Wolf menerbitkan karyanya yang berjudul Corpus Historiæ Byzantinæ. Istilah "Bizantium" berasal dari kata "Byzantium", yaitu nama kota Konstantinopel sebelum menjadi ibukota Konstantinus yang Agung. Semenjak itu, nama lama ini jarang digunakan, kecuali dalam konteks sejarah dan puisi. Selanjutnya, Byzantine du Louvre (Corpus Scriptorum Historiæ Byzantinæ) tahun 1648 dan Historia Byzantina karya Du Cange tahun 1680 semakin memopulerkan istilah Bizantium di antara pengarang-pengarang Prancis, seperti Montesquieu.  Istilah ini kemudian menghilang hingga pada abad ke-19 ketika orang-orang Barat kembali menggunakannya. Sebelumnya, istilah Yunani-lah yang digunakan untuk kekaisaran ini.

Negeri ini dijuluki oleh penduduknya dengan nama Kekaisaran Romawi, Kekaisaran Orang-orang Romawi (Latin: Imperium Romanum, Imperium Romanorum, Yunani: Βασιλεία τῶν Ῥωμαίων, Basileía tôn Rhōmaíōn, Αρχη τῶν Ῥωμαίων, Arche tôn Rhōmaíōn), Romania (Latin: Romania, Yunani: Ῥωμανία, Rhōmanía), Republik Romawi (Latin: Res Publica Romana, Yunani: Πολιτεία τῶν Ῥωμαίων, Politeίa tôn Rhōmaíōn), Graikía (Yunani: Γραικία), dan juga Rhōmaís (Ῥωμαΐς).

Meskipun Kekaisaran Romawi Timur memiliki ciri multietnis dalam sejarahnya, serta menjaga tradisi Romawi-Helenistik,  negeri ini dikenal oleh negeri-negeri barat dan utara pada masanya dengan nama Kekaisaran Orang-orang Yunani  karena kuatnya pengaruh Yunani.  Penggunaan istilah Kekaisaran Orang-orang Yunani (Latin: Imperium Graecorum) di Barat merupakan lambang penolakan klaim Bizantium sebagai Kekaisaran Romawi. Klaim Romawi Timur terhadap pewarisan Romawi ditentang di Barat pada masa Maharani Irene dari Athena karena pengangkatan Karel yang Agung sebagai Kaisar Romawi Suci pada tahun 800 oleh Paus Leo III, yang memandang takhta Romawi kosong (tidak ada penguasa laki-laki). Paus dan penguasa dari Barat lebih menyukai istilah Imperator Romaniæ daripada Imperator Romanorum, gelar yang digunakan hanya untuk Karel yang Agung dan penerus-penerusnya.

Sementara itu, di peradaban Persia, Islam, dan Slavia, identitas Romawi negeri ini diakui. Di dunia Islam, Kekaisaran Romawi Timur dikenal dengan nama روم (Rûm "Roma").

Dalam atlas-atlas sejarah modern, kekaisaran ini biasanya dijuluki Kekaisaran Romawi Timur pada periode antara 395 hingga 610. Pada peta-peta yang menggambarkan Kekaisaran setelah tahun 610, istilah Kekaisaran Bizantium biasanya dipakai karena pada tahun 620 kaisar Heraklius mengganti bahasa resmi kekaisaran dari Latin ke Yunani.
Jati diri

"Kekaisaran Romawi Timur bisa didefinisikan sebagai kekaisaran multi-etnis yang muncul sebagai kekaisaran Kristen, yang kemudian segera terdiri dari kekaisaran Timur yang sudah di-Helenisasi dan mengakhiri sejarah ribuan tahunnya, pada 1453, sebagai Negara Ortodoks Yunani: Sebuah kerajaan yang menjadi negara, hampir dengan arti modern kata tersebut".1

Dalam abad-abad setelah penjajahan Arab dan Langobardi pada abad ke-7, sifat multi-etnisnya (meski bukan multi-bangsa) tetap ada meskipun bagian-bagiannya, Balkan dan Asia Kecil, mempunyai populasi Yunani yang besar. Etnis minoritas dan komunitas besar beragama lain (misalnya bangsa Armenia) tinggal dekat perbatasan. Rakyat Romawi Timur menganggap diri mereka adalah seorang Ρωμαίοι (Rhomaioi - Romawi) yang telah menjadi sinonim bagi seorang Έλλην (Hellene - Yunani), dan secara giat mengembangkan kesadaran diri sebagai negara, sebagai penduduk Ρωμανία (Romania, yang merupakan panggilan bagi Negara Romawi Timur dan dunianya). Hal ini secara jelas tampil dalam karya sastra pada periode tersebut, terutamanya dalam wiracarita seperti Digenes Akrites.

Peleburan resmi negara Romawi Timur pada abad ke-15 tidak secara langsung menghancurkan masyarakat Romawi Timur. Pada masa pendudukan Turki, orang-orang Yunani terus memanggil diri mereka sebagai Ρωμαίοι (bangsa Romawi) dan Έλληνες (bangsa Yunani), sebuah ciri-ciri yang tetap ada hingga awal abad ke-21 dan masih ada di Yunani modern kini, meski “Romawi” telah menjadi nama “rakyat” daripada sinonim bangsa seperti zaman dulu.
Sejarah
Sejarah awal Kekaisaran Romawi

Pasukan Romawi ketika itu telah berhasil menguasai daerah luas yang melingkupi seluruh wilayah Mediterania dan sebagian besar Eropa Timur. Wilayah-wilayah ini terdiri dari berbagai kelompok budaya, baik yang masih primitif maupun yang telah memiliki peradaban maju. Secara umum, provinsi-provinsi di wilayah Mediterania timur lebih makmur dan maju karena telah mengalami perkembangan pesat pada masa Kekaisaran Makedonia serta telah mengalami proses hellenisasi. Sementara itu, provinsi di wilayah Barat kebanyakan hanya berupa pedesaan yang tertinggal. Perbedaan antara kedua wilayah ini bertahan lama dan menjadi penting pada tahun-tahun berikutnya.
Pemisahan Kekaisaran Romawi

Pada tahun 293, Diokletianus menciptakan sistem administratif yang baru (tetrarki)  sebagai institusi yang dimaksudkan untuk mengefisienkan kontrol Kekaisaran Romawi yang luas. Ia membagi Kekaisaran menjadi dua bagian, dengan dua kaisar memerintah dari Italia dan Yunani, masing-masing memiliki wakil-kaisar. Setelah masa kekuasaan Diokletianus dan Maximianus berakhir, tetrarki runtuh, dan Konstantinus I menggantinya dengan prinsip penggantian turun temurun.

Konstantinus memindahkan pusat kekaisaran, dan membawa perubahan-perubahan penting pada konstitusi sipil dan religius.  Pada tahun 330, ia mendirikan Konstantinopel sebagai Roma kedua di Byzantium. Posisi kota tersebut strategis dalam perdagangan antara Timur dan Barat. Sang kaisar memperkenalkan koin (solidus emas) yang bernilai tinggi dan stabil, serta and mengubah struktur angkatan bersenjata. Di bawah Konstantinus, kekuatan militer kekaisaran kembali pulih. Periode kestabilan dan kesejahteraan pun dapat dinikmati.

Di bawah Konstantinus, Kekristenan tidak menjadi agama eksklusif negara, tetapi didukung oleh kekaisaran, apalagi sang kaisar mendukungnya dengan hak-hak yang berlimpah. Sang kaisar memperkenalkan prinsip bahwa kaisar tidak perlu menyelesaikan pertanyaan doktrin, tetapi perlu memanggil dewan-dewan kegerejaan untuk tujuan itu. Sinode Arles dihimpunkan oleh Konstantinus, dan Konsili Nicea Pertama memamerkan klaimnya untuk menjadi kepala gereja.

Keadaan kekaisaran tahun 395 dapat dikatakan sebagai hasil kerja Konstantinus. Prinsip dinasti diterapkan dengan tegas sehingga kaisar yang meninggal pada masa itu, Theodosius I, dapat mewariskan kekaisaran pada anak-anaknya: Arcadius di Barat dan Honorius di Timur. Theodosius merupakan kaisar terakhir yang menguasai seluruh Romawi Barat dan Timur.

Kekaisaran Timur terhindar dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Barat pada abad ketiga dan keempat, karena Timur memiliki budaya urban yang lebih mapan dan sumber daya finansial yang lebih kuat, sehingga mampu menghentikan penyerang dengan upeti dan menyewa tentara-tentara bayaran. Theodosius II memperkuat tembok Konstantinopel, sehingga kota tersebut aman dari serangan-serangan; tembok tersebut tidak dapat ditembus hingga tahun 1204. Untuk mengusir orang-orang Hun yang berada di bawah pimpinan Attila, Theodosius memberi mereka subsidi (konon 300 kg (700 lb) emas). Ia juga mendukung pedagang Konstantinopel yang berdagang dengan orang Hun dan bangsa lainnya.

Penerusnya, Marcianus, menolak melanjutkan membayar upeti ini. Beruntungnya, Attila telah mengalihkan perhatiannya pada Kekaisaran Romawi Barat. Setelah kematiannya tahun 453, negeri Attila runtuh dan Konstantinopel membuka hubungan yang menguntungkan dengan orang-orang Hun yang tersisa. Mereka akhirnya bertempur sebagai tentara bayaran dalam angkatan bersenjata Romawi Timur.

Setelah jatuhnya Attila, perdamaian dapat dinikmati di Romawi Timur, sementara Romawi Barat runtuh (keruntuhannya tercatat pada tahun 476, ketika jenderal Romawi Jermanik Odoacer menjatuhkan kaisar Romulus Augustulus).

Untuk merebut kembali Italia, kaisar Zeno hanya bisa bernegosiasi dengan Ostrogoth yang telah menetap di Moesia. Ia mengirim raja Ostrogoth Theodoric ke Italia sebagai magister militum per Italiam ("kepala komando untuk Italia"). Setelah berhasil menjatuhkan Odoacer pada tahun 493, Theodoric menguasai Italia.

Pada tahun 491, Anastasius I menjadi kaisar. Ia adalah seorang reformis energetik dan administrator yang cakap. Anastasius menyempurnakan sistem koin Konstantinus I dengan mengatur bobot follis perunggu, koin yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Ia juga mengubah sistem perpajakan, serta menghapuskan pajak chrysargyron yang tidak disukai. Ketika Anastasius meninggal dunia pada tahun 518, jumlah kas negara tercatat sebesar 320.000 lbs (145.150 kg) emas.

Penaklukan kembali Romawi Barat

Yustinianus I, yang naik takhta pada tahun 527, melancarkan penaklukan kembali Romawi Barat.  Pada tahun 532, putra petani Illyria itu menandatangani perjanjian damai dengan Khosrau I dari Persia. Meskipun harus membayar upeti tahunan yang besar, front timur Bizantium menjadi aman. Pada tahun yang sama, Yustinianus selamat dari kerusuhan Nika di Konstantinopel, yang berakhir dengan kematian tiga puluh ribu perusuh. Kemenangan ini memperkuat posisi Yustinianus. Paus Agapetus I dikirim ke Konstantinopel oleh raja Ostrogoth Theodahad, tetapi gagal mencapai kesepakatan perdamaian dengan Yustinianus. Akan tetapi, ia berhasil membuat monofisitisme dicela.

Penaklukan kembali Romawi Barat dimulai pada tahun 533. Yustinianus mengirim jenderalnya Belisarius dan 15.000 tentara untuk merebut kembali provinsi Afrika dari suku Vandal yang telah berkuasa semenjak tahun 429. Kerajaan Vandal berhasil ditundukkan. Sementara itu, di Italia Ostrogoth, raja Athalaric meninggal pada 2 Oktober 534. Ibunya, Amalasuntha, dipenjarakan dan dibunuh oleh Theodahad di pulau Martana. Yustinianus melihatnya sebagai kesempatan untuk melakukan intervensi. Pada tahun 535, tentara Romawi Timur dikirim ke Sisilia. Kemenangan berhasil digapai, tetapi Ostrogoth memperkuat perlawanan mereka. Kemenangan baru benar-benar dicapai pada tahun 540, ketika Belisarius merebut Ravenna.

Sayangnya, Ostrogoth berhasil disatukan kembali di bawah pimpinan Totila dan merebut Roma pada 17 Desember 546. Belisarius ditarik oleh Yustinianus pada awal tahun 549.  Kasim Narses menggantikannya pada akhir tahun 551 dengan membawa tentara sejumlah 35.000. Totila berhasil dikalahkan dan tewas dalam Pertempuran Busta Gallorum. Penerusnya, Teia, berhasil ditaklukkan dalam Pertempuran Mons Lactarius (Oktober 552). Selanjutnya, suku Goth masih terus melawan. Suku Franka dan Alamanni pun melancarkan invasi mereka. Meskipun begitu, perang untuk menguasai semenanjung Italia telah berakhir dengan kemenangan Romawi Timur.

Pada tahun 551, bangsawan Visigoth di Hispania, Athanagild, memohon bantuan Yustinianus dalam pemberontakan melawan raja. Sang kaisar mengirim tentara di bawah pimpinan Liberius. Kekaisaran Romawi Timur berhasil menguasai sepotong wilayah di pantai Spania hingga masa kekuasaan Heraklius.

Sementara itu, di timur, Peperangan Romawi-Persia berkecamuk hingga tahun 561, ketika Yustinianus dan Khosrau menyetujui perdamaian selama 50 tahun. Pada pertengahan tahun 550, Yustinianus telah mencapai kemenangan dalam semua peperangan, dengan pengecualian di Balkan, ketika kekaisaran terus menerus diserang oleh bangsa Slavia. Pada tahun 559, kekaisaran diancam oleh Kutrigur dan Sklavinoi. Yustinianus memanggil Belisarius, dan begitu bahaya telah sirna, sang kaisar mengambil alih kekuasaan sendiri. Berita bahwa Yustinianus memperkuat armada Donaunya membuat Kutrigur cemas, sehingga mereka setuju dengan traktat yang memberi mereka subsidi dan memperbolehkan mereka pulang dengan aman melewati sungai Donau.

Yustinianus juga terkenal karena pencapaiannya dalam bidang hukum. Pada tahun 529, komisi berjumlah sepuluh orang yang dikepalai oleh Iohannis Orientalis merevisi undang-undang Romawi kuno. Seluruh "undang-undang Yustinianus" saat ini dikenal dengan nama Corpus Juris Civilis.

Selama abad ke-6, budaya Yunani-Romawi masih berpengaruh kuat di Timur. Filsafat dan budaya Kristen menjadi semakin penting dan mulai mendominasi budaya lama. Himne-himne yang Romanus Melodus menandai pengembangan Liturgi Suci. Aristek-arsitek dan pembangun bekerja keras untuk menyelesaikan gereja baru Hagia Sophia yang menggantikan gereja lama yang hancur akibat kerusuhan Nika. Selama abad keenam dan ketujuh, kekaisaran diguncang oleh wabah pes, yang membinasakan banyak jiwa, serta mengakibatkan kemunduran ekonomi dan pelemahan kekaisaran.

Setelah Yustinianus mangkat pada tahun 565, penggantinya, Yustinus II, menolak membayar upeti untuk Persia. Sementara itu, suku Langobardi menyerbu Italia. Pengganti Yustinus, Tiberius II, memberi subsidi kepada suku Avar, sementara melancarkan serangan terhadap Persia. Subsidi gagal menenangkan suku Avar. Mereka merebut benteng Sirmium tahun 582, sementara bangsa Slavia mulai menyeberangi sungai Donau. Maurice, yang menggantikan Tiberius, turut campur dalam perang saudara Persia, serta menempatkan Khosrau II kembali ke takhta dan menikahkan putrinya dengannya. Traktat Maurice dengan ipar barunya membawa status quo baru di timur, dan mengurangi biaya pertahanan selama perdamaian ini (jutaan solidi berhasil diselamatkan berkat remisi upeti untuk Persia). Setelah kemenangannya di front timur, Maurice dapat mengalihkan perhatiannya ke Balkan, dan pada tahun 602, ia berhasil mengusir suku Avar dan Slavia.

Menyusutnya perbatasan

Setelah Maurice dibunuh oleh Phocas, Khosrau mencoba menaklukkan provinsi Mesopotamia Romawi. Phocas, seorang pemimpin tak populer yang dideskripsikan sebagai "tiran" dalam sumber-sumber Romawi Timur, merupakan target konspirasi-konspirasi senat. Ia dijatuhkan pada tahun 610 oleh Heraklius. Setelah Heraklius berkuasa, tentara Persia terus mendesak hingga memasuki Asia Kecil. Mereka menduduki Damaskus dan Yerusalem, serta memindahkan Salib Sejati ke Ctesiphon. Heraklius melancarkan serangan balasan dengan ciri perang suci. Tentara Romawi Timur berperang dengan membawa citra acheiropoietos Kristus sebagai panji militer. Tentara Persia berhasil dihancurkan dalam pertempuran di Ninewe tahun 627. Pada tahun 629, Heraklius mengembalikan Salib Sejati ke Yerusalem dalam upacara yang penuh keagungan. Perang ini melemahkan Romawi Timur dan Sassaniyah Persia, serta membuat keduanya rentan terhadap serangan Muslim Arab yang sedang bangkit pada masa itu.  Tentara Arab berhasil menghancurkan tentara Romawi Timur dalam Pertempuran Yarmuk tahun 636, dan Ctesiphon jatuh pada tahun 634.

Tentara Arab, yang telah menaklukkan Suriah dan Levant, terus menerus menyerang Anatolia, dan antara tahun 674 hingga 678 mengepung Konstantinopel. Armada Arab berhasil diusir dengan menggunakan api Yunani dan gencatan senjata selama tiga puluh tahun disetujui antara kekaisaran dengan Kekhalifahan Umayyah. Serangan terhadap Anatolia terus berlanjut dan mempercepat matinya budaya urban klasik. Penduduk-penduduk banyak yang membentengi kembali wilayah-wilayah yang lebih kecil dalam benteng kota lama, atau pindah ke benteng-benteng terdekat.  Besar Konstantinopel sendiri juga menyusut, dari 500.000 penduduk menjadi hanya 40.000-70.000 saja, yang disebabkan karena Konstantinopel kehilangan sumber gandum pada tahun 618 ketika Mesir direbut oleh Persia (provinsi ini dapat direbut kembali tahun 629, tetapi akhirnya dikuasai oleh Arab pada tahun 642).

Penarikan tentara di Balkan untuk bertempur melawan Persia dan Arab di timur telah membuka pintu bagi perluasan wilayah bangsa Slavia. Akibatnya, seperti di Anatolia, banyak kota menyusut menjadi permukiman terbenteng yang kecil.  Pada tahun 670-an, bangsa Bulgaria didesak ke selatan sungai Donau oleh bangsa Khazar. Tentara Romawi Timur yang dikirim untuk membubarkan permukiman-permukiman baru ini dikalahkan pada tahun 680. Konstantinus IV lalu menandatangani perjanjian dengan khan Bulgaria Asparukh, dan negara Bulgaria baru memperoleh kedaulatan atas beberapa suku-suku Slavia yang sebelumnya mengakui kekuasaan Romawi Timur.  Pada tahun 687–688, kaisar Yustinianus II memimpin ekspedisi melawan Slavia dan Bulgaria yang cukup berhasil.

Kaisar Heraklius terakhir, Yustinianus II, mencoba menghancurkan kekuatan aristokrasi perkotaan melalui perpajakan dan penunjukkan "orang luar" dalam jabatan-jabatan administratif. Ia dijatuhkan pada tahun 695, dan berlindung ke bangsa Khazar, lalu Bulgaria. Pada tahun 705, Yustinianus II kembali ke Konstantinopel bersama tentara khan Bulgaria, Tervel. Ia merebut kembali takhta, dan mendirikan rezim teror bagi musuh-musuhnya. Yustinianus II dijatuhkan kembali pada tahun 711, sehingga berakhirlah Dinasti Heraklius.

Dinasti Isauria hingga masa saat Basil I naik takhta

Leo III berhasil mengusir serangan Muslim tahun 718, dan menggapai kemenangan dengan bantuan dari khan Bulgaria, Tervel, yang berhasil membunuh 32.000 pasukan Arab dengan tentaranya. Penerusnya, Konstantinus V, mencapai kemenangan di Suriah utara, dan melemahkan kekuatan Bulgaria.

Pada tahun 826, Arab merebut Kreta dan menyerang Sisilia, tetapi pada 3 September 863, jenderal Petronas berhasil menggapai kemenangan besar dalam pertempuran melawan Umar al-Aqta, emir Melitene. Di bawah kepemimpinan kaisar Bulgaria Krum, ancaman Bulgaria muncul kembali, tetapi pada tahun 814, putra Krum, Omortag, berdamai dengan Kekaisaran Romawi Timur.

Abad kedelapan dan kesembilan kental dengan kontroversi dan perpecahan religius akibat ikonoklasme. Ikon-ikon dilarang oleh Leo III dan Konstantinus V, yang mengakibatkan pemberontakan yang dilancarkan oleh ikonodul (pendukung ikon) di seluruh kekaisaran. Atas upaya Maharani Irene, Konsili Nicea Kedua dihimpunkan tahun 787, dan menegaskan bahwa ikon dapat dihormati tetapi tidak disembah. Pada tahun 813, Leo V menetapkan kembali kebijakan ikonoklasme, namun Mskisma Photios, ketika Paus Nikolas I menentang pengangkatan Photios sebagai patriark.

Dinasti Makedonia dan kebangkitan

Peperangan melawan Muslim

Pada tahun 867, Romawi Timur telah menstabilkan kembali posisinya di timur dan barat. Berkat efisiensi pada struktur militer, kaisar mampu merencanakan perang penaklukan kembali di timur.

Proses penaklukan kembali dimulai dengan hasil yang tak tetap. Kreta berhasil ditaklukkan untuk sementara (843), tetapi selanjutnya tentara Romawi Timur mengalami kekalahan di Bosporus, sementara kaisar tak mampu mencegah penaklukan Muslim di Sisilia (827–902). Dengan menggunakan Tunisia sebagai batu loncatan, tentara Muslim menaklukkan Palermo tahun 831, Messina tahun 842, Enna tahun 859, Siracusa tahun 878, Catania tahun 900, dan benteng Romawi Timur terakhir, Taormina, tahun 902.

Kekurangan tersebut segera diseimbangkan melalui keberhasilan ekspedisi terhadap Damietta di Mesir (856), dikalahkannya Emir Melitene (863), pemastian kekuasaan kekaisaran di Dalmatia (867), dan serangan Basil I terhadap Efrat (870s). Basil I mampu menangani situasi di Italia selatan dengan baik, sehingga provinsi tersebut akan tetap berada di tangan Romawi Timur selama 200 tahun berikutnya.

Pada tahun 904, bencana melanda kekaisaran ketika kota keduanya, Thessaloniki, dijarah oleh armada Arab yang dipimpin oleh pengkhianat Romawi Timur Leo dari Tripoli. Tentara Romawi Timur membalas dengan menghancurkan armada Arab tahun 908, serta menjarah kota Laodicea di Suriah dua tahun kemudian. Meskipun pembalasan telah dilakukan, Romawi Timur tak mampu mengguncang Muslim, yang telah menghancurkan tentara kekaisaran di Kreta tahun 911.

Situasi di perbatasan dengan Arab tetap cair. Varangia, yang menyerang Konstantinopel untuk pertama kalinya pada tahun 860, menjadi tantangan baru. Pada tahun 941, mereka muncul di pantai Bosporus bagian Asia. Kali ini mereka berhasil dihancurkan, menunjukkan menguatnya kekuatan militer Romawi Timur setelah tahun 907, ketika hanya diplomasi yang mampu mengusir penyerang-penyerang tersebut.

Kaisar Nikephoros II Phokas (berkuasa 963–969) dan Ioannes I Tzimiskes (969–976) memperluas wilayah kekaisaran hingga Suriah, menundukkan emir-emir di Irak barat laut, serta menaklukkan kembali Kreta dan Siprus. Pada pemerintahan Ioannes, tentara kekaisaran sempat mengancam Yerusalem.  Emirat Aleppo dan tetangga-tetangganya menjadi vassal kekaisaran. Setelah banyak melancarkan kampanye militer, ancaman Arab terakhir bagi Romawi Timur berhasil ditaklukkan ketika Basil II dengan cepat menarik 40.000 tentara berkuda untuk membebaskan Suriah Romawi. Dengan surplus sumber daya alam, Basil II merencanakan ekspedisi ke Sisilia untuk merebutnya dari bangsa Arab. Setelah kematiannya tahun 1025, ekspedisi berangkat pada tahun 1040-an, dan berhasil menggapai keberhasilan awal, tetapi keberhasilan itu selanjutnya terhambat.

Peperangan melawan Kekaisaran Bulgaria

Pergumulan lama dengan Takhta Suci berlanjut; kali ini diakibatkan oleh perebutan kekuasaan religius atas Bulgaria yang baru dikristenkan. Akibatnya, Tsar Simeon I melancarkan invasi pada tahun 894, tetapi berhasil dihentikan melalui diplomasi Romawi Timur, yang memohon bantuan dari bangsa Hongaria. Romawi Timur akhirnya dikalahkan dalam Pertempuran Bulgarophygon (896) dan diharuskan membayar upeti kepada bangsa Bulgaria. Selanjutnya (912), Simeon berhasil memaksa Romawi Timur menganugerahinya takhta basileus (kaisar) Bulgaria dan membuat Kaisar Konstantinus VII menikahi salah satu putri Simeon. Ketika pemberontakan di Konstantinopel menghambat upaya ini, Simeon menyerang Trakia dan menaklukkan Adrianopel.

Ekspedisi kekaisaran di bawah pimpinan Leo Phocas dan Romanos Lekapenos mengalami kekalahan besar dalam Pertempuran Acheloos (917), dan pada tahun berikutnya Bulgaria memasuki dan merampok Yunani utara hingga sejauh Korintus. Adrianopel berhasil direbut kembali pada tahun 923, tetapi pada tahun 924 tentara Bulgaria mengepung Konstantinopel. Situasi di Balkan membaik setelah kematian Simeon tahun 927. Pada tahun 968, Bulgaria diserbu oleh Rus' di bawah pimpinan Sviatoslav I dari Kiev. Tiga tahun kemudian, Kaisar Ioannes I Tzimiskes berhasil mengalahkan bangsa Rus' dan memasukkan wilayah Bulgaria timur ke dalam kekaisaran.

Perlawanan Bulgaria berkecamuk pada masa dinasti Cometopuli. Kaisar baru Basil II (berkuasa 976–1025) berupaya menundukkan bangsa Bulgaria. Ekspedisi pertama Basil mengalami kegagalan di Gerbang Trajanus. Pada tahun-tahun berikutnya, kaisar sibuk dengan pemberontakan internal di Anatolia, sementara Bulgaria memperluas kekuasaan mereka di Balkan. Perang berlarut selama hampir dua puluh tahun. Kemenangan Romawi Timur di Spercheios dan Skopje berhasil melemahkan tentara Bulgaria. Dalam kampanye militer tahunannya, Basil terus mengurangi jumlah benteng Bulgaria. Akhirnya, dalam Pertempuran Kleidion tahun 1014, Bulgaria berhasil dikalahkan. Tentara Bulgaria ditangkap, dan konon 99 dari 100 tentara dibutakan, sementara sisanya diberi satu mata untuk memimpin teman sebangsanya pulang. Ketika Tsar Samuil menyaksikan nasib tentaranya, ia meninggal akibat syok. Pada tahun 1018, benteng Bulgaria terakhir telah menyerah, dan negara mereka menjadi bagian dari Romawi Timur. Kemenangan ini merestorasi perbatasan Donau, yang tidak dikuasai semenjak masa kaisar Heraklius.

Hubungan dengan Rus' Kiev

Antara tahun 850 hingga 1100, kekaisaran membina hubungan dengan Rus' Kiev. Romawi Timur merupakan mitra budaya dan perdagangan bagi Kiev, tetapi hubungan antara mereka tidak selalu hangat. Konflik paling serius antara kedua negara adalah perang 968–971 di Bulgaria. Serangan-serangan Rus' terhadap kota-kota Romawi Timur di pantai Laut Hitam dan Konstantinopel juga tercatat dalam sejarah. Meskipun serangan-serangan tersebut dapat dihalau, serangan itu berakhir dengan traktat perdagangan yang menguntungkan Rus'.

Hubungan Rus'-Romawi Timur membaik setelah pernikahan Anna Porphyrogenita dengan Vladimir yang Agung. Berkat Kristenisasi pula, hubungan kedua negara semakin manis. Pendeta, arsitek, dan artis Romawi Timur diundang untuk membantu pengerjaan katedral dan gereja di Rus', sehingga pengaruh budaya Romawi Timur semakin menyebar. Beberapa tentara Rus' menjadi tentara bayaran dalam angkatan bersenjata Romawi Timur, dengan yang paling terkenal adalah Penjaga Varangia.

Puncak

Kekaisaran Romawi Timur membentang dari Armenia di timur hingga Calabria di barat. Banyak keberhasilan telah digapai, dari penaklukan Bulgaria, aneksasi wilayah Georgia dan Armenia, hingga pemusnahan penyerang Mesir di luar Antiokhia. Kemenangan-kemenangan tersebut masih belum cukup; Basil mempertimbangkan untuk mengusir pendudukan Arab di Sisilia. Ia berencana menaklukkan kembali pulau tersebut, tetapi kematian terlebih dahulu menuntut nyawanya tahun 1025.
Krisis dan perpecahan

Romawi Timur segera terperosok dalam periode kesulitan, terutama diakibatkan oleh kerusakan sistem dan pengabaian militer. Nikephoros II (963–969), Ioannes Tzimiskes dan Basil II mengubah divisi militer (τάγματα, tagmata) dari angkatan bersenjata penduduk yang defensif menjadi tentara profesional yang banyak diisi oleh tentara bayaran. Akan tetapi, biaya yang harus dikeluarkan untuk menyewa tentara bayaran tidaklah sedikit. Sementara itu, ancaman invasi terus sirna pada abad kesepuluh, dan begitu pula kebutuhan garnisun dan perbentengan yang mahal. Basil II mewarisi kas yang berkembang pada penerus-penerusnya, tapi lupa untuk merencanakan penerusnya. Tidak ada satupun penerusnya yang memiliki bakat politik atau militer, sehingga pemerintahan kekaisaran jatuh ke tangan pegawai negeri. Usaha untuk memulihkan ekonomi Romawi Timur hanya mengakibatkan inflasi dan menurunnya nilai koin emas. Angkatan bersenjata lalu dipandang sebagai kebutuhan yang tak penting dan ancaman politik. Maka dari itu, tentara asli dipecat dan digantikan oleh tentara bayaran asing.

Pada masa yang sama, kekaisaran menghadapi musuh baru yang ambisius. Provinsi-provinsi Romawi Timur di Italia selatan diancam oleh bangsa Norman, yang datang ke Italia pada awal abad kesebelas. Selama periode perselisihan antara Konstantinopel dengan Roma yang berakhir dengan Skisma Timur-Barat tahun 1054, suku Norman mulai menyerbu Italia Bizantium. Romawi Timur juga kehilangan pengaruh mereka atas kota-kota pantai di Dalmatia karena direbut Peter Krešimir IV dari Kroasia tahun 1069.

Di Asia Kecil-lah bencana terbesar akan terjadi. Turki Seljuq melancarkan eksplorasi pertama mereka melintasi perbatasan Romawi Timur ke Armenia pada tahun 1065 dan 1067. Kedaruratan dibebankan pada aristokrasi militer di Anatolia yang pada tahun 1068 mengamankan pemilihan salah satu dari mereka sendiri, Romanos Diogenes, sebagai kaisar. Pada musim panas tahun 1071, Romanos melancarkan kampanye militer besar terhadap Seljuk. Pada Pertempuran Manzikert, Romanos tidak hanya menderita kekalahan di tangan Sultan Alp Arslan, tetapi juga ditangkap. Alp Arslan memperlakukannya dengan hormat, dan tidak mengenakan syarat-syarat keras pada Romawi Timur. Sementara itu, di Konstantinopel, kudeta yang mendukung Michael Doukas berlangsung. Pada tahun 1081, Seljuk memperluas kekuasaan mereka di Anatolia. Wilayah mereka membentang dari Armenia di timur hingga Bithynia di barat. Ibukota Seljuk didirikan di Nicea, yang hanya terletak sejauh 55 mil (88 km) dari Konstantinopel.

Dinasti Komnenos dan Tentara Salib

Setelah pertempuran Manzikert, berkat usaha dinasti Komnenos, pemulihan berhasil dilakukan.  Kaisar pertama dinasti ini adalah Isaakius I (1057–1059), dan yang kedua adalah Alexios I. Pada masa kekuasaannya, Alexios menghadai serangan Norman yang dipimpin oleh Robert Guiscard dan putranya Bohemund dari Taranto. Mereka merebut Dyrrhachium dan Corfu, serta mengepung Larissa di Thessaly. Kematian Robert Guiscard pada tahun 1085 meringankan masalah Norman untuk sementara. Sementara itu, Alexios berhasil mengalahkan Pecheneg dalam Pertempuran Levounion pada tanggal 28 April 1091.

Selepas mencapai kestabilan di Barat, Alexios dapat mengalihkan perhatiannya terhadap kesulitan ekonomi dan disintegrasi pertahanan lama kekaisaran. Ia ingin merebut kembali wilayah yang lepas di Asia Kecil dan menghancurkan Seljuk, tetapi tidak mempunyai cukup tentara. Pada Konsili Piacenza tahun 1095, utusan Alexios berbicara kepada Paus Urbanus II mengenai penderitaan orang Kristen di Timur, dan menekankan bahwa tanpa bantuan dari Barat, mereka akan terus menderita akibat kekuasaan Muslim. Urban memandang permohonan Alexios sebagai kesempatan untuk memperkokoh Eropa Barat dan memperkuat kekuasaan kepausan.  Pada 27 November 1095, Paus Urbanus II menyerukan perang suci untuk merebut kembali Yerusalem dan Timur dari tangan Muslim.

Alexios telah menantikan bantuan dalam bentuk tentara bayaran dari Barat, tetapi sama sekali tidak siap untuk menghadapi kekuatan besar yang akan melewati wilayah Romawi Timur. Alexios merasa tidak nyaman karena empat dari delapan pemimpin tentara salib utama adalah orang Norman, salah satunya Bohemund. Tentara Salib harus melewati Konstantinopel. Untungnya, kaisar berhasil menanganinya. Ia mengharuskan pemimpin-pemimpin perang salib bersumpah agar dalam perjalanan mereka menuju Tanah Suci, mereka harus menyerahkan wilayah atau kota yang mereka taklukan dari Turki kepada Romawi Timur. Sebagai gantinya, Alexios akan memberi mereka panduan, persediaan makanan, dan pengawalan militer. Berkat sumpah itu, Alexios berhasil menguasai kembali kota-kota dan pulau-pulau penting, dan bahkan sebagian besar Asia Kecil barat. Sayangnya, tentara salib meyakini sumpah mereka sudah tidak berlaku ketika Alexios tidak membantu mereka dalam pengepungan Antiokhia (ia sebenarnya telah mempersiapkan jalan menuju Antiokhia, tetapi Stephen dari Blois meyakinkannya untuk mundur. Stephen meyakinkannya bahwa ekspedisi telah gagal).  Bohemund, yang menetapkan dirinya sebagai Pangeran Antiokhia, sempat berperang melawan Romawi Timur, tetapi akhirnya setuju untuk menjadi vassal Romawi Timur dalam Traktat Devol tahun 1108. Berkat traktat tersebut, ancaman Norman berhasil dipadamkan.

Ioannes II, Manouel I, dan Perang Salib Kedua

Putra Alexios, Ioannes II Komnenos, menggantikannya tahun 1118, dan berkuasa hingga tahun 1143. Ioannes adalah seorang kaisar yang soleh dan berdedikasi, yang ingin memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh Pertempuran Manzikert. Ia terkenal akan kesalehannya dan masa kekuasaannya yang lembut dan adil. Ioannes adalah contoh pemimpin bermoral, pada masa ketika kekejaman merupakan norma.  Maka, ia dijuluki sebagai Marcus Aurelius Bizantium. Pada masa kekuasaannya, Ioannes bersekutu dengan Kekaisaran Romawi Suci di Barat, mengalahkan Pecheneg dalam Pertempuran Beroia,  serta memimpin kampanye militer terhadap Bangsa Turk di Asia Kecil. Kampanye militer Ioannes mengubah keseimbangan kekuatan di timur, memaksa Turki mengambil posisi defensif, serta merebut kembali kota-kota Romawi Timur di Anatolia.  Ia juga berhasil mengusir serangan Hongaria dan Serbia pada tahun 1120-an. Pada tahun 1130, Ioannes bersekutu dengan kaisar Jerman Lothair III. Mereka bersama-sama berperang melawan raja Norman, Roger II dari Sisilia. Pada masa akhir kekuasaannya, Ioannes memusatkan kegiatannya di Timur. Ia mengalahkan emirat Danishmend, menaklukkan kembali seluruh Cilicia, dan memaksa Raymond dari Poitiers, Pangeran Antiokhia, untuk mengakui kekuasaan Romawi Timur. Dalam upaya untuk menunjukkan peran Romawi Timur sebagai pemimpin dalam dunia Kristen, Ioannes maju ke Tanah Suci. Harapannya pupus karena pengkhianatan sekutu tentara salibnya. Pada tahun 1142, Ioannes kembali menekankan klaimnya terhadap Antiokhia, tetapi ia wafat pada tahun 1143 akibat insiden berburu. Raymond memberanikan diri menyerang Cilicia, tetapi gagal dan terpaksa pergi ke Konstantinopel untuk memohon belas kasihan kaisar yang baru.

Manouel I Komnenos, putra keempat Ioannes, terpilih sebagai penerus takhta kekaisaran. Ia melancarkan kampanye militer terhadap tetangga-tetangganya di barat dan timur. Di Palestina, ia bersekutu dengan Kerajaan Yerusalem, dan mengirim armada besar untuk ikut serta dalam invasi ke Mesir Fatimiyyah. Manouel memperkuat posisinya sebagai maharaja negara-negara Tentara Salib. Hegemoninya terhadap Antiokhia dan Yerusalem dipastikan melalui persetujuan dengan Raynald, Pangeran Antiokhia, dan Amalric, Raja Yerusalem. Dalam upaya untuk merestorasi kekuasaan Romawi Timur di pelabuhan-pelabuhan Italia Selatan, Manouel mengirim ekspedisi ke Italia tahun 1155, tetapi sengketa dengan koalisi mengakibatkan kegagalan kampanye militer ini. Meskipun begitu, angkatan bersenjata Manouel berhasil menyerbu Kerajaan Hongaria tahun 1167. Tentara Hongaria dapat dikalahkan dalam Pertempuran Sirmium. Pada tahun 1168, hampir seluruh pantai Adriatik timur berada di tangan Manouel. Manouel lalu bersekutu dengan Paus dan kerajaan-kerajaan Kristen Barat. Pada masa Perang Salib Kedua, tentara salib harus melewati wilayah Romawi Timur untuk mencapai tanah suci. Manouel membiarkan mereka lewat, dan memastikan tentara salib tidak menyebabkan kekacauan.

Di timur, Manouel mengalami kekalahan dalam Pertempuran Myriokephalon tahun 1176. Akan tetapi, kekalahan itu segera diperbaiki. Pada tahun berikutnya, Manouel berhasil mengalahkan tentara Turki. Komandan Romawi Timur Ioannes Vatatzes, yang menghancurkan penyerang Turki dalam Pertempuran Hyelion dan Leimocheir, tidak hanya membawa pasukan dari ibukota, tetapi juga berhasil mengumpulkan tentara dalam perjalanan. Hal ini merupakan tanda bahwa tentara Romawi Timur tetap kuat dan program pertahanan di Asia Kecil barat masih berhasil.

Renaisans abad keduabelas

Ioannes dan Manouel menerapkan kebijakan militer aktif, dan memanfaatkan sumber daya yang ada untuk pertahanan kota atau pengepungan. Kebijakan perbentengan agresif merupakan jatung kebijakan militer mereka. Meskipun mengalami kekalahan di Myriokephalon, kebijakan Alexios, Ioannes, dan Manouel, berhasil memperluas wilayah kekaisaran, mencapai kestabilan perbatasan di Asia Kecil, serta mengamankan perbatasan Eropa kekaisaran. Dari tahun 1081 hingga 1180, angkatan bersenjata Komnenos menjamin keamanan Romawi Timur, sehingga peradaban Romawi Timur memiliki kesempatan untuk berkembang.

Provinsi-provinsi Barat mampu menggapai kebangkitan ekonomi. Selama abad keduabelas, jumlah penduduk dan tanah pertanian meningkat. Bukti arkeologi dari Eropa dan Asia Kecil menunjukkan perbesaran permukiman kota. Pada masa ini, perdagangan juga berkembang.

Dalam bidang artistik, muncul kebangkitan dalam bidang mosaik. Sekolah-sekolah arsitektur regional mulai memproduksi banyak gaya baru yang berasal dari berbagai pengaruh budaya. Selama abad keduabelas, model humanisme awal muncul sebagai renaisans ketertarikan terhadap penulis-penulis klasik.

Kemunduran dan disintegrasi

Manouel wafat pada tanggal 24 September 1180. Ia digantikan oleh putranya yang masih berusia sebelas tahun, Alexios II Komnenos. Alexios II sangat tidak kompeten. Pemerintahannya kurang disukai karena latar belakang Franka ibunya, Maria dari Antiokhia.  Akhirnya, Andronikos I Komnenos, cucu Alexios I, mengobarkan pemberontakan melawan saudaranya dan berhasil menjatuhkannya dalam kudeta. Ia melangsungkan pawai di Konstantinopel pada Agustus 1182 dengan memanfaatkan kepopulerannya di angkatan bersenjata. Selanjutnya Andronikos menggalakkan pembantaian orang-orang Latin.  Setelah menghabisi musuh-musuhnya, ia menyatakan dirinya sebagai kaisar pada September 1183. Andronikos mencabut nyawa Alexios II dan merampas istri Alexios yang berusia 12 tahun, Agnes dari Prancis.

Andronikos memulai pemerintahannya dengan baik. Reformasi pemerintahan yang dilancarkannya dipuji oleh sejarawan-sejarawan. Menurut George Ostrogorsky, Andronikos berdedikasi untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Di bawah kekuasaannya, penjualan jabatan dihentikan. Pemilihan pejabat didasarkan pada jasa, bukan karena pilih kasih. Pejabat-pejabat diberi upah yang layak sehingga praktik suap dapat dikurangi.  Aristokrat-aristokrat merasa geram dengannya. Sementara itu, perilaku Andronikos juga dipandang kurang baik. Penghukuman mati dan kekerasan kerap terjadi, sehingga masa kekuasaannya menjadi rezim teror. Andronikos berupaya menghabisi aristokrasi. Perjuangan melawan aristokrasi berubah menjadi pembantaian, sementara kaisar melancarkan tindakan yang lebih kejam untuk menopang rezimnya.

Meskipun mempunyai latar belakang militer, Andronikos tak mampu melawan Isaakius Komnenos dari Siprus, Béla III dari Hongaria yang mencaplok wilayah-wilayah Kroasia, dan Stefan Nemanja dari Serbia yang menyatakan kemerdekaan dari Romawi Timur. Keadaan semakin memburuk ketika William II dari Sisilia menyerang Romawi Timur dengan angkatan perang sejumlah 300 kapal dan 80.000 tentara pada tahun 1185. Andronikos memobilisasi armada kecil yang berjumlah 100 kapal untuk melindungi ibukota. Penyerang-penyerang ini baru dapat diusir pada masa kekuasaan kaisar berikutnya, Isaakius Angelos.

Atas dukungan rakyat, Andronikos akhirnya dijatuhkan oleh Isaakius Angelos.  Kaisar yang telah dijatuhkan berusaha melarikan diri bersama istrinya, tetapi ditangkap. Isaakius menyerahkannya kepada massa selama tiga hari. Setelah beragam macam penyiksaan, Andronikos akhirnya tewas pada 12 September 1185. Ia adalah anggota Dinasti Komnenos terakhir yang menguasai Konstantinopel. Isaakius Angelos dari Dinasti Angeloi menggantikannya sebagai kaisar.

Pada masa kekuasaan Isaakius II, dan juga penerusnya Alexios III Angelos, pemerintahan dan pertahanan Romawi Timur mulai runtuh. Meskipun Norman berhasil diusir dari Yunani, pada tahun 1186 Vlach dan Bulgar melancarkan pemberontakan yang berujung kepada berdirinya Kekaisaran Bulgaria Kedua. Kebijakan dalam negeri Angeloi berciri pemborosan harta publik dan maladministrasi fiskal. Pemerintahan Romawi Timur terus melemah, dan kekosongan kekuasaan yang tumbuh di kekaisaran memicu perpecahan. Salah satu buktinya adalah saat beberapa penerus Komnenos mendirikan negara semi-independen di Trebizond sebelum tahun 1204. Menurut Alexander Vasiliev, "dinasti Angeloi mempercepat keruntuhan kekaisaran."

Perang Salib Keempat

Pada tahun 1198, Paus Innosensius III memulai pembicaraan mengenai perang salib baru melalui legatus dan surat-surat ensiklik.  Tujuan perang salib tersebut adalah untuk menaklukkan Mesir, yang merupakan pusat kekuatan Muslim di Levant. Tentara Salib yang tiba di Venesia pada musim panas 1202 jumlahnya lebih kecil daripada yang dinanti. Mereka juga tidak mempunyai dana yang cukup untuk menyewa armada Venesia. Sebagai ganti pembayaran, Tentara Salib setuju untuk membantu merebut pelabuhan (Kristen) Zara di Dalmatia (kota vassal Venesia, tetapi memberontak dan dilindungi oleh Hongaria tahun 1186). Zara berhasil direbut pada November 1202 setelah pengepungan singkat. Innosensius, yang telah diberitahu mengenai rencana tersebut tetapi penentangannya diabaikan, tidak ingin membahayakan rencana Perang Salib, sehingga ia memberikan pengampunyan bersyarat kepada Tentara Salib, tetapi Venesia tidak mendapatkannya.

Setelah Theobald III wafat, kepemimpinan Tentara Salib berganti tangan ke Bonifacius dari Montferrat, teman Philip dari Swabia. Baik Boniface maupun Philip telah menikah dengan anggota keluarga kekaisaran Romawi Timur. Ipar Philip, Alexios Angelos (putra dari Kaisar Isaakius II Angelos, yang telah dijatuhkan dan dibutakan), memohon bantuan ke Eropa dan telah berhubungan dengan Tentara Salib. Alexios menawarkan penyatuan kembali gereja Romawi Timur dengan Roma, pembayaran 200.000 mark perak, dan bantuan-bantuan lainnya.  Innosensius mengetahui rencana untuk mengalihkan Perang Salib ke Konstantinopel dan melarang serangan terhadap kota tersebut, tetapi surat paus baru tiba setelah armada telah meninggalkan Zara.

Tentara Salib tiba di Konstantinopel pada musim panas tahun 1203. Alexios III melarikan diri dari ibukota. Alexios Angelos naik takhta sebagai Alexios IV bersama dengan ayahnya yang buta, Isaakius. Sayangnya, Alexios IV dan Isaakius II tak mampu menepati janji mereka dan dijatuhkan oleh Alexios V. Tentara Salib lalu merebut Konstantinopel pada 13 April 1204. Konstantinopel kemudian dijarah selama tiga hari. Banyak ikon, relik, dan objek-objek lainnya di Konstantinopel, diangkut ke Eropa Barat. Menurut Choniates, prostitusi didirikan di takhta patriark.  Saat Innosensius III mendengar perilaku Tentara Salib, ia hendak menghukum mereka, tetapi situasi sudah di luar kendali, terutama setelah legatusnya, yang atas inisiatifnya sendiri, membebaskan Tentara Salib dari tugas mereka untuk menaklukkan Tanah Suci. Ketika pemerintahan telah direstorasi, Tentara Salib dan Venesia menetapkan persetujuan mereka: Baldwin dari Flandria dipilih sebagai kaisar dan Thomas Morosini dari Venesia ditunjuk sebagai patriark. Maka berdirilah Kekaisaran Latin di Konstantinopel. Sementara itu, pengungsi-pengungsi Romawi Timur mendirikan negara mereka sendiri, dengan yang paling penting adalah Kekaisaran Nicea, Kekaisaran Trebizond, dan Kedespotan Epirus.

Jatuhnya Romawi Timur

Setelah Tentara Salib menjarah Konstantinopel tahun 1204, dua negara Romawi Timur berdiri: Kekaisaran Nicea dan Kedespotan Epirus. Negara ketiga, Kekaisaran Trebizond, didirikan oleh Alexios I dari Trebizond beberapa minggu sebelum penjarahan Konstantinopel. Di antara tiga negara ini, Epirus dan Nicea merupakan negara yang paling mungkin merebut kembali Konstantinopel. Kekaisaran Nicea terus berjuang untuk tetap bertahan, dan pada pertengahan abad ke-13 telah kehilangan sebagian besar wilayahnya di Anatolia selatan. Melemahnya Kesultanan Rûm akibat serangan bangsa Mongol tahun 1242–43 memungkinkan para beylik dan ghazi untuk mendirikan kepangeranan mereka sendiri di Anatolia, sehingga melemahkan kekuasaan Romawi Timur di Asia Kecil. Akan tetapi, invasi Mongol juga memberi waktu bagi Nicea untuk mengalihkan perhatian pada Kekaisaran Latin.

Penaklukan kembali Konstantinopel

Kekaisaran Nicea berhasil merebut kembali Konstantinopel dari Latin tahun 1261. Selanjutnya, mereka juga berhasil mengalahkan Epirus. Maka Romawi Timur berhasil direstorasi di bawah pimpinan Michael VIII Palaiologos. Akan tetapi, kekaisaran yang terkoyak akibat perang kini rentan terhadap musuh-musuh disekitarnya. Untuk memperkuat tentaranya dalam peperangan melawan Kekaisaran Latin, Michael menarik pasukan dari Asia Kecil, dan memungut pajak yang tinggi dari petani, mengakibatkan kebencian. Proyek pembangunan besar-besaran dilancarkan di Konstantinopel untuk memperbaiki kerusakan akibat Perang Salib Keempat, tetapi tidak satupun dari usaha ini menguntungkan petani di Asia Kecil, yang menderita akibat serangan ghazi-ghazi.

Michael memilih untuk memperluas wilayah kekaisaran daripada menjaga jajahannya di Asia Kecil. Untuk mencegah penjarahan lain, ia memaksa gereja tunduk kepada Roma, yang menjadi solusi sementara. Selanjutnya, Kaisar Andronikos II, lalu cucunya Kaisar Andronikos III, berupaya membangkitkan kembali kekaisaran, namun tentara bayaran yang disewa Andronikos II sering kali menjadi bumerang.

Bangkitnya Utsmaniyah dan jatuhnya Konstantinopel

Situasi semakin memburuk setelah Andronikos III wafat. Perang saudara selama enam tahun berkecamuk di kekaisaran, dan gempa bumi di Gallipoli tahun 1354 menghancurkan perbentengan, sehingga Utsmaniyah (yang disewa sebagai tentara bayaran selama perang saudara oleh Ioannes VI Kantakouzenos) dapat memperkuat posisinya di Eropa. Saat perang saudara telah berakhir, Utsmaniyah telah mengalahkan Serbia dan menundukkan mereka sebagai vassal. Setelah Pertempuran Kosovo, sebagian besar Balkan telah didominasi oleh Utsmaniyah.

Kaisar memohon bantuan dari barat, tetapi paus hanya akan mengirim bantuan jika Gereja Ortodoks Timur mau bersatu kembali dengan Takhta Suci. Penyatuan gereja telah dipertimbangkan, dan kadang-kadang dilakukan melalui dekret kekaisaran, tetapi penduduk dan klerus Ortodoks membenci otoritas Roma dan Ritus Latin. Beberapa tentara Barat datang dan memperkuat pertahanan Konstantinopel, namun kebanyakan penguasa Barat, yang sibuk dengan urusannya masing-masing, tidak melakukan apapun saat Utsmaniyah mencaplok satu per satu sisa wilayah Romawi Timur.

Pada tanggal 2 April 1453, Sultan Mehmed II dengan tentara berjumlah 80.000 mengepung Konstantinopel. Konstantinopel akhirnya jatuh ke tangan Utsmaniyah pada tanggal 29 Mei 1453. Kaisar Romawi Timur terakhir, Konstantinus XI Palaiologos, terlihat melepas tanda kebesarannya dan melibatkan dirinya dalam pertempuran setelah tembok kota direbut.

Pasca runtuhnya Romawi Timur

Mehmed II menaklukkan negara-negara kecil di Mistra, Yunani, pada tahun 1460, dan Trebizond pada tahun 1461. Pada akhir abad ke-15, Kesultanan Utsmaniyah telah menguasai Asia Kecil dan sebagian Balkan. Sementara itu, Kepangeranan-kepangeranan Donau menerima pengungsi-pengsungsi Ortodoks dan bangsawan-bangsawan Romawi Timur.

Keponakan kaisar terakhir, Andreas Palaiologos, mewarisi gelar Kaisar Romawi Timur dan menggunakannya dari tahun 1465 hingga kematiannya tahun 1503.  Selanjutnya, peran kaisar sebagai pelindung Ortodoks Timur diklaim oleh Ivan III, Adipati Agung Mokswa. Ia telah menikahi saudara Andreas, Sophia Paleologue. Cucunya, Ivan IV, akan menjadi Tsar Rusia yang pertama (tsar, atau czar, berarti caesar, adalah istilah yang dahulu digunakan bangsa Slavia untuk Kaisar Romawi Timur). Penerus-penerus mereka mendukung gagasan bahwa Moskwa adalah penerus Roma dan Konstantinopel. Gagasan bahwa Kekaisaran Rusia adalah Roma Ketiga tetap hidup hingga meletusnya Revolusi Rusia tahun 1917.

Ekonomi

Ekonomi Romawi Timur merupakan salah satu yang paling maju di Eropa dan Mediterania selama berabad-abad. Eropa tak mampu menandingi kekuatan ekonomi Romawi Timur hingga akhir abad pertengahan. Konstantinopel merupakan pusat utama dalam jaringan perdagangan yang meliputi hampir seluruh Eurasia dan Afrika Utara. Kota tersebut juga menjadi salah satu kota utama dalam jalur sutra. Beberapa ahli menyatakan bahwa, hingga datangnya bangsa Arab pada abad ketujuh, ekonomi Romawi Timur merupakan yang terkuat di dunia. Penaklukan Arab menyebabkan terjadinya kemunduran dan stagnansi. Reformasi Konstantinus V (765) menandai mulainya pemulihan ekonomi yang berlangsung hingga tahun 1204. Dari abad kesepuluh hingga akhir abad keduabelas, Kekaisaran Romawi Timur memproyeksikan citra mewah, dan pengelana kagum dengan kekayaan di Konstantinopel. Semuanya berubah pada masa Perang Salib Keempat, yang membawa bencana ekonomi. Palaiologos mencoba memulihkan ekonomi, tetapi negara Romawi Timur akhir tidak akan memperoleh kuasa penuh atas kekuatan ekonomi domestik dan asing. Pelan-pelan, Romawi Timur juga kehilangan pengaruhnya dalam modalitas perdagangan dan mekanisme harga, dan juga kuasa atas aliran logam-logam berharga, dan bahkan, menurut beberapa ahli, terhadap pencetakan koin-koin.

Salah satu fondasi ekonomi kekaisaran adalah perdagangan. Tekstil merupakan komoditas ekspor yang paling penting. Negara dengan ketat menguasai perdagangan internal dan internasional, serta memiliki hak monopoli dalam mengeluarkan koin. Pemerintah mengatur tingkat bunga, dan menetapkan parameter aktivitas serikat dan perusahaan dagang, yang dikenakan bunga khusus. Kaisar dan pejabat-pejabatnya melakukan campur tangan pada masa krisis untuk menjamin penyediaan modal dan menjaga harga serealia. Pemerintah mengumpulkan hasil surplus melalui pemungutan pajak, dan mengembalikannya dalam sirkulasi melalui redistribusi dalam bentuk gaji kepada pejabat-pejabat negara, atau dalam bentuk investasi fasilitas-fasilitas umum.

Pemerintahan

Di Romawi Timur, kaisar adalah penguasa tunggal dan absolut. Kekuasaannya dianggap memiliki asal usul ilahi.  Senat tidak mempunyai kewenangan politik dan legislatif yang nyata, tetapi tetap sebagai dewan kehormatan. Pada akhir abad ke-8, pemerintahan sipil yang terpusat di istana dibentuk sebagai bagian dari konsolidasi kekuatan di ibukota (bangkitnya posisi sakellarios berhubungan dengan perubahan ini). Reformasi paling penting pada periode ini adalah pendirian themes. Pada themes, pemerintahan sipil dan militer diatur oleh satu orang, yaitu strategos.

Sistem tituler dan hak pendahuluan di kekaisaran mengakibatkan pemerintahan tampak seperti birokrasi bagi pengamat-pengamat modern. Pejabat-pejabat diatur dalam susunan yang ketat di antara kaisar, dan jabatan mereka bergantung pada kehendak kaisar. Di Romawi Timur terdapat pekerjaan administratif yang sebenarnya, tetapi pemerintahan dapat digantungkan pada orang-orang tertentu daripada suatu jawatan.  Pada abad ke-8 dan ke-9, kepegawaian negeri merupakan jalan tercepat menuju status aristokrat, tetapi sejak abad ke-9, aristokrasi sipil disaingi oleh aristokrasi kebangsawanan. Menurut beberapa penelitian, politik abad ke-11 didominasi oleh persaingan antara aristokrasi antara sipil dan militer. Pada masa tersebut, Alexios I melancarkan reformasi administratif penting yang meliputi pengadaan pangkat dan jabatan istana.

Diplomasi

Setelah jatuhnya Roma, tantangan utama Romawi Timur adalah membina hubungan dengan tetangga-tetangganya. Diplomasi Romawi Timur segera menarik perhatian tetangga-tetangganya. Maka terbukalah jaringan hubungan internasional dan antarnegara.  Jaringan ini berkisar pada pembuatan traktat, dan meliputi penyambutan penguasa baru, serta asimilasi tindakan, nilai, dan institusi sosial Romawi Timur. Sementara penulis klasik menuliskan pemisahan etis dan legal antara perdamaian dan perang, Romawi Timur menganggap diplomasi sebagai salah satu bentuk perang. Contohnya, ancaman Bulgaria dapat diatasi dengan memberikan dana kepada Rus Kiev.  Gereja Ortodoks juga memainkan fungsi diplomatik, dan penyebaran Kekristenan Ortodoks merupakan tujuan diplomatik utama kekaisaran.

Scrinium Barbarorum di Konstantinopel bertugas menangani protokol dan penyimpanan catatan mengenai apapun yang berhubungan dengan "barbar". Sementara sedang melaksanakan tugas protokol, mereka memastikan duta-duta asing diperlakukan dengan baik, dan juga berperan dalam penerjemahan misi diplomatik dari negara-negara Barbar. J.B. Bury meyakini bahwa departemen tersebut mengawasi semua orang asing yang mengunjungi Konstantinopel. Beberapa orang, seperti Michael Antonucci, meyakini bahwa Scrinium Barbarorum bertindak sebagai semacam jawatan mata-mata untuk kekaisaran, tetapi tak ada bukti yang kuat mengenai hal ini. On Strategy dari abad ke-6 menawarkan saran mengenai kedutaan asing: "[Duta-duta] yang dikirim harus diterima dengan hormat dan murah hati, karena siapapun menghormati para duta, namun kehadiran mereka perlu diawasi agar mereka tidak memperoleh informasi dengan menanyai orang-orang kita."

Romawi Timur mengambil kesempatan baik dan memanfaatkan beberapa pendekatan diplomatik. Sebagai contoh, kedutaan ke ibukota sering kali tinggal selama bertahun-tahun. Salah satu anggota keluarga kerajaan dari negara lain sering kali diminta tinggal di Konstantinopel. Mereka tidak hanya berguna sebagai sandera, tetapi juga pion yang dapat dimanfaatkan jika kondisi politik negara tempat ia berasal berubah. Praktik penting lain pada diplomasi Romawi Timur adalah dengan banyak menunjukkan barang-barang mewah kepada pengunjung. Menurut Dimitri Obolensky, keberlangsungan peradaban di Eropa Timur adalah karena keterampilan dan akal diplomasi Romawi Timur, yang tetap menjadi salah satu sumbangan Romawi Timur bagi sejarah Eropa.

Ilmu pengetahuan dan hukum

Penulisan ala era klasik tidak pernah berhenti diberdayakan di Romawi Timur. Maka, ilmu pengetahuan Romawi Timur berhubungan dekat dengan filsafat kuno dan metafisika. Meskipun Romawi Timur berhasil menerapkan ilmu pengetahuan (seperti dalam pembangunan Hagia Sophia), setelah abad ke-6, ahli-ahli Romawi Timur tidak banyak memberi sumbangan terhadap ilmu pengetahuan. Teori-teori baru tidak banyak digagas, dan gagasan penulis-penulis klasik tak banyak dikembangkan. Keahlian terhambat pada tahun-tahun kegelapan akibat wabah pes dan penaklukkan Arab, tetapi pada masa renaisans Romawi Timur di akhir milenium pertama, ahli-ahli Romawi Timur muncul kembali dan menjadi ahli dalam pengembangan ilmiah Arab dan Persia, terutama dalam bidang astronomi dan matematika.

Pada abad akhir kekaisaran, ahli tata bahasa Romawi Timur bertanggung jawab dalam membawa dan menulis tata bahasa dan studi sastra Yunani Kuno ke Italia Renaisans awal. Pada periode ini, astronomi dan matematika diajarkan di Trebizond.

Di bidang hukum, reformasi Yustinianus I telah memberikan pengaruh yang jelas terhadap perkembangan jurisprudens. Sementara itu, Ecloga Kaisar Leo III memengaruhi pembentukan institusi hukum di dunia Slavia.
Bahasa
Mazmur Mudil dalam bahasa Koptik.

Awalnya, bahasa kekaisaran adalah bahasa Latin. Bahasa tersebut menjadi bahasa resmi hingga abad ke-7, ketika Heraklius menggantinya dengan bahasa Yunani. Bahasa Latin Ilmiah tidak lagi digunakan oleh penduduk berpendidikan, meskipun masih menjadi bagian dari budaya seremonial kekaisaran selama beberapa waktu.  Bahasa Latin Rakyat tetap menjadi bahasa minoritas kekaisaran, dan di antara penduduk Trako-Romawi, bahasa tersebut melahirkan bahasa (Proto-)Rumania. Sementara itu, di pantai laut Adriatik, dialek neo-Latin berkembang, yang akan membuahkan bahasa Dalmatia. Di provinsi-provinsi Mediterania Barat yang sempat dikuasai di bawah pemerintahan Yustinianus I, Latin (akhirnya berevolusi menjadi bahasa Italia) terus digunakan sebagai bahasa rakyat maupun bahasa ilmiah.

Bahasa utama yang digunakan di Romawi Timur (bahkan semenjak sebelum jatuhnya Romawi Barat) adalah bahasa Yunani. Bahasa tersebut telah dituturkan selama berabad-abad sebelum Latin. Pada awal berdirinya Romawi, bahasa Yunani banyak digunakan di gereja Kristen, dan juga menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan seni. Selain itu, bahasa Yunani juga menjadi perantara perdagangan.

Banyak bahasa lain juga dituturkan di kekaisaran multietnis ini. Beberapa bahasa memperoleh satatus resmi yang terbatas di provinsi-provinsi. Pada awal abad pertengahan, bahasa Suryani dan Aram dituturkan oleh penduduk berpendidikan di provinsi-provinsi ujung timur. Bahasa Koptik, Armenia, dan Georgia juga banyak digunakan di tempatnya masing-masing. Sementara itu, bahasa Slavonia, Vlach, dan Arab menjadi penting karena terjalinnya hubungan dengan kekuatan asing.

Konstantinopel merupakan pusat perdagangan, sehingga setiap bahasa yang diketahui pada abad pertengahan kadang-kadang dituturkan di kekaisaran, bahkan termasuk bahasa Tionghoa.  Saat kekaisaran memasuki masa kemunduran terakhirnya, penduduk Romawi Timur menjadi homogen, dan bahasa Yunani menjadi penting bagi identitas dan agama mereka.

Budaya

Seni Romawi Timur sebagian besar berhubungan dengan ekspresi religius. Gaya-gaya Romawi Timur disebar melalui perdagangan dan penaklukan ke Italia dan Sisilia; gaya-gaya tersebut akan memengaruhi seni renaisans Italia. Dengan maksud untuk memperluas Gereja Ortodoks Timur, gaya Romawi Timur disebar ke kota-kota Eropa timur, terutama Rusia. Pengaruh dari arsitektur Romawi Timur, terutama dalam bentuk bangunan religius, dapat ditemui di berbagai wilayah, dari Mesir dan Arabia, hingga Rusia dan Rumania.

Dalam bidang sastra, terdapat empat elemen budaya, yaitu Yunani, Kristen, Romawi, dan Oriental. Sastra Romawi Timur sering kali diklasifikasikan dalam lima kelompok: sejarawan dan analis, ensiklopedis (Patriark Photios, Michael Psellos, dan Michael Choniates dianggap sebagai ensiklopedis terbesar Romawi Timur) dan penulis esai, serta penulis puisi sekular. Dua kelompok lainnya meliputi jenis sastra baru: sastra gerejawi dan teologis, dan sastra populer. Dari dua hingga tiga ribu volume sastra Romawi Timur yang selamat, hanya tiga ratus tiga puluh yang meliputi puisi sekular, sejarah, ilmu pengetahuan, dan ilmu semu. Sastra sekuler berkembang dari abad kesembilan hingga keduabelas, sementara sastra religius (khotbah, buku liturgi, puisi, devosi, dll) berkembang lebih dahulu, dengan Romanus Melodus sebagai contoh yang paling menonjol.

Agama

Kelangsungan hidup kekaisaran memastikan peran aktif kaisar dalam urusan gereja. Negara Romawi Timur mewarisi kebiasaan administratif dan finansial dalam mengatur urusan agama dari masa pagan, dan kebiasaan ini diterapkan di gereja. Orang-orang Romawi Timur memandang kaisar sebagai wakil atau pengabar Kristus. Maka kaisar bertanggung jawab dalam penyebaran Kekristenan di antara orang-orang pagan, dan untuk "luar" agama, seperti pemerintahan dan keuangan. Meskipun begitu, peran kaisar dalam gereja tidak pernah berkembang menjadi sistem tetap yang legal.

Kekristenan tidak pernah bersatu secara penuh di Kekaisaran Romawi Timur. Gereja Ortodoks Timur tidak mewakili semua orang Kristen di kekaisaran. Nestorianisme, pandangan yang diajarkan oleh Nestorius, berpisah dari gereja kekaisaran, dan kini menjadi Gereja Timur Asiria. Gereja Ortodoks Oriental melepaskan diri dari gereja kekaisaran setelah deklarasi Konsili Khalsedon. Arianisme dan sekte-sekte Kristen lain juga ada di kekaisaran, meskipun pada masa jatuhnya Roma pada abad ke-5, Arianisme lebih terbatas pada suku-suku Jermanik di Eropa Barat. Pada masa akhir kekaisaran, Ortodoks Timur mewakili sebagian besar orang Kristen di sisa kekaisaran. Sementara itu, Yahudi merupakan minoritas yang penting di kekaisaran. Meskipun beberapa kali mengalami penganiayaan, mereka secara umum ditoleransi.
Dengan jatuhnya Roma dan pertikaian internal pada tubuh kepatriarkan lainnya, gereja Konstantinopel menjadi pusat Kekristenan terkaya dan paling berpengaruh antara abad ke-6 hingga abad ke-11.

Tinggalan sejarah

Kekaisaran Romawi Timur telah mengamankan Eropa Barat dari kekuatan-kekuatan baru di Timur. Romawi Timur terus menerus diserang oleh Persia, Arab, Turki Seljuk, dan Utsmaniyah. Contohnya, Peperangan Romawi Timur-Arab, diakui oleh sejarawan sebagai faktor utama di balik bangkitnya Karel yang Agung,  dan rangsangan bagi feudalisme dan kemandirian ekonomi.

Selama berabad-abad, sejarawan Barat menggunakan istilah Byzantine dan Byzantinisme sebagai pameo untuk kemerosotan, politik tipu muslihat, dan birokrasi yang kompleks. Selain itu, terdapat penilaian negatif yang kuat terhadap peradaban Romawi Timur dan warisannya di Eropa Tenggara.  Byzantinisme secara umum didefinisikan sebagai badan religius, politik, dan filosofis yang bertentangan dengan Barat. Pada abad ke-20 dan ke-21, sejarawan-sejarawan di Barat mencoba memahami Romawi Timur dengan lebih akurat dan seimbang. Hasilnya, karakter budaya Romawi Timur yang kompleks lebih diperhatikan dan diperlakukan secara objektif daripada sebelumnya.

Jika keberadaan Kekaisaran Romawi Kuno (meliputi Romawi Barat) dengan Romawi Timur/Bizantium digabung, seluruh Kekaisaran Romawi telah berwujud selama 1.480 tahun. Pengganti Kekaisaran Romawi, Republik Romawi, ada selama 482 tahun, sehingga negara Romawi telah ada selama 1.962 tahun.