Konflik terbesar dalam sejarah Mandat Palestina adalah apa yang disebut dengan Revolusi Arab (1936-1939). Revolusi ini dipimpin Imam Besar Jerusalem Mohammad Amin al-Husayni.
Konflik ini diawali terbunuhnya seorang ulama asal Suriah, Izz al-Din al-Qassam, pada November 1935. Al-Qassam memang dikenal sebagai seorang ulama yang anti-Inggris dan anti-Zionisme. Dia merekrut para petani dan memberi mereka latihan militer.
Pada November 1935, dua anak buah al-Qassam terlibat bentrok dengan polisi Inggris dan menewaskan seorang polisi. Akibatnya, polisi memburu dan menewaskan Al-Qassam di sebuah gua dekat Ya'bad, Tepi Barat. Kematian ini dengan cepat menyulut kemarahan warga Arab di Palestina.
Faktor lain pemicu Revolusi Arab adalah penemuan kiriman senjata dalam jumlah besar di pelabuhan Jaffa yang ditujukan untuk Haganah, pasukan paramiliter Yahudi. Fakta ini memunculkan ketakutan bahwa Yahudi akan mengambil alih Palestina semakin meningkat.
Pada 1935, angka imigrasi Yahudi ke Palestina juga meningkat, hanya beberapa bulan sebelum Revolusi Arab Pecah. Antara 1933-1936 lebih dari 164.000 imigran Yahudi tiba di Palestina. Pada 1936, populasi warga Yahudi mencapai 370.000 orang membuat hubungan antara warga Arab dan Yahudi semakin panas.
Revolusi Arab benar-benar dimulai pada 15 April 1936, ketika konvoi truk dari Nablus menuju Tulkarm diserang dan menewaskan dua warga Yahudi. Sehari setelah serangan itu, kelompok bersenjata Yahudi balas menyerang dan membunuh dua pekerja Arab di dekat Petah Tikva. Aksi saling balas terus meluas dan sejumlah jenderal Arab menyatakan perang.
Pemerintah Inggris akhirnya harus turun tangan untuk mengatasi keadaan. Pasukan Inggris di Palestina mendapat bantuan dari Haganah akhirnya bisa mengakhiri Revolusi Arab pada 1939. Akibat revolusi ini, 5.000 warga Arab, lebih dari 300 warga Yahudi, dan 262 tentara Inggris tewas. Selain itu, sedikitnya 15.000 warga Arab terluka.
Imam Besar Amin al-Husayni yang menjadi pemimpin revolusi berhasil mendapatkan suaka di Lebanon, Irak, Italia, dan akhirnya Nazi Jerman.
Dampak Revolusi Arab
Apa dampak Revolusi Arab yang gagal ini dalam perkembangan Palestina?
Selama upaya dan seusai memadamkan Revolusi Arab, Inggris menggelar sejumlah investigasi soal penyebab pertumpahan darah selama tiga tahun itu.
Salah satu hasil penyelidikan yang cukup signifikan adalah Komisi Peel (1936-1937). Komisi ini adalah yang pertama kali mengajukan solusi dua negara. Komisi ini mengusulkan agar Palestina dibagi dua, satu bagian untuk bangsa Yahudi dan satu bagian lainnya diberikan bagi bangsa Arab.
Negara Yahudi, sesuai rekomendasi komisi, meliputi kawasan pantai, Lembah Jezreel, Beit She'an, dan Galilea. Sementara Negara Arab akan meliputi Transjordania, Yudea, Samaria, Lembah Jordania, dan Negev.
Para pemimpin Yahudi di Palestina terbelah pendapatnya menanggapi rekomendasi ini. Sementara para pemimpin Arab dengan tegas menolak usulan solusi dua negara ini.
Pada Mei 1939—beberapa bulan sebelum Perang Dunia II pecah—Inggris kembali mencoba memberikan solusi di tanah Palestina.
Kali ini adalah solusi satu negara Palestina. Di mana dalam jangka pendek Pemerintah Inggris akan menentukan kuota jumlah imigran Yahudi yang bisa memasuki Palestina. Di masa depan, jumlah kuota ini akan ditentukan pemimpin Arab.
Selain kuota, Inggris juga melarang imigran Yahudi membeli tanah dari warga Arab demi mencegah gesekan sosial antara kedua kubu. Aturan-aturan ini berlaku hingga masa mandat Inggris di Palestina berakhir yang hampir bersamaan dengan pecahnya Perang Dunia II.
Perang Dunia II yang diikuti holocaust alias pemusnahan massal bangsa Yahudi di Eropa membuat semakin banyak bangsa Yahudi yang mencoba meninggalkan Eropa. Akibatnya, para pemimpin Yahudi di Palestina merancang imigrasi ilegal ke Palestina yang menciptakan ketegangan lebih besar di kawasan tersebut.
No comments:
Post a Comment