Ketika Perang Dunia I pecah (1914-1918), Kekaisaran Ottoman Turki memilih menjadi sekutu Jerman. Itu berarti, Ottoman Turki berseberangan dengan Inggris dan Perancis yang juga menjadi musuh "alami" Jerman.
Situasi ini diamati dengan baik oleh kelompok Zionis yang semakin kuat dan para pelopor pergerakan nasionalisme Arab. Kedua kelompok ini melihat peluang untuk mendepak Ottoman Turki dari kawasan Timur Tengah sehingga kedua kelompok ini pun memilih untuk memihak Inggris.
Di sela-sela perang, berbagai upaya diplomatik dilakukan baik oleh kelompok Zionis maupun Arab demi kepentingan mereka masing-masing. Salah satunya adalah korespondensi Pemimpin Mekkah Hussein bin Ali dengan Komisioner Tinggi Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon.
Inti dari surat-menyurat yang terjadi antara 1914-1915 itu adalah bangsa Arab berjanji akan bersekutu dengan Inggris dan sebagai imbalan di saat perang berakhir Inggris harus mengakui kemerdekaan negara-negara Arab.
Namun, kemudian terungkap bahwa Inggris dan Perancis menandatangani perjanjian Sykes-Picot 1917 yang isinya adalah rencana kedua negara membagi wilayah-wilayah yang dulunya adalah milik Turki Ottoman.
Gerilya diplomatik juga dilakukan kelompok Zionis. Pemimpin komunitas Yahudi di Inggris, Baron Rothschild, membangun hubungan dengan Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour.
Kemudian Balfour membuat pernyataan pada 2 November 1917 yang dikenal dengan "Deklarasi Balfour" yang isinya adalah Inggris akan mengupayakan Palestina sebagai rumah bagi bangsa Yahudi, tetapi dengan jaminan tidak akan mengganggu hak keagamaan dan sipil warga non-Yahudi di Palestina.
Dengan isi yang sedemikian mendukung pembentukan negara Yahudi yang dicita-citakan kelompok Zionis, maka tak heran jika Deklarasi Balfour dianggap sebagai batu penjuru terbentuknya negara Yahudi atau Israel saat ini.
Mandat Palestina
Deklarasi Balfour ini kemudian dimasukkan ke dalam Perjanjian Damai Sevres pada 10 Agustus 1920 antara Ottoman Turki dan sekutu di pengujung Perang Dunia I. Inti dari perjanjian ini adalah pembagian wilayah milik Kekaisaran Turki Ottoman. Perjanjian ini sekaligus menandai keruntuhan Kekaisaran Ottoman Turki.
Pembagian ini meliputi wilayah Mandat Perancis seperti Suriah dan Lebanon. Sementara Irak dan Palestina berada di bawah Mandat Inggris. Inggris menempatkan Faisal—putra pemimpin Mekkah Hussein bin Ali—sebagai Raja Irak.
Sedangkan Palestina dibagi dua. Sebelah timur menjadi Transjordania yang diberikan kepada Abdullah—putra lain Hussein bin Ali. Sedangkan bagian barat yang tetap dinamai Palestina berada langsung di bawah kendali Inggris.
Selama masa Mandat Palestina ini, imigrasi Yahudi ke Palestina bertumbuh secara signifikan. Selain karena mendapat perlindungan Inggris, imigrasi Yahudi ini didorong maraknya gerakan anti-Semit di Eropa, misalnya di Ukraina yang mengakibatkan setidaknya 100.000 orang Yahudi tewas dibunuh pada 1905.
Antara 1919-1926 sedikitnya 90.000 imigran Yahudi tiba di Palestina, mereka langsung menempati komunitas-komunitas Yahudi yang didirikan di atas tanah yang telah dibeli secara legal oleh agen-agen Zionis dari para tuan tanah Arab.
Tak jarang pembelian tanah ini menggusur para petani penggarap Arab. Kondisi ini membuat warga Arab Palestina merasa disingkirkan. Situasi ini ditambah keinginan menentukan nasib sendiri, semakin menumbuhkan gerakan nasionalisme Palestina.
Selain itu, warga Arab Palestina menentang gelombang imigrasi Yahudi ini karena mereka khawatir, semakin banyaknya warga Yahudi akan mengancam identitas nasional mereka.
Akibatnya, sepanjang dekade 1920-an, hubungan antara kelompok Yahudi dan Arab di Palestina memanas dan bentrok kekerasan antara kedua kubu semakin sering terjadi.
1 comment:
Keruntuhan Ottoman dan Mandat Palestina
Ketika Perang Dunia I pecah (1914-1918), Kekaisaran Ottoman Turki memilih menjadi sekutu Jerman. Itu berarti, Ottoman Turki berseberangan dengan Inggris dan Perancis yang juga menjadi musuh "alami" Jerman.
Situasi ini diamati dengan baik oleh kelompok Zionis yang semakin kuat dan para pelopor pergerakan nasionalisme Arab. Kedua kelompok ini melihat peluang untuk mendepak Ottoman Turki dari kawasan Timur Tengah sehingga kedua kelompok ini pun memilih untuk memihak Inggris.
Di sela-sela perang, berbagai upaya diplomatik dilakukan baik oleh kelompok Zionis maupun Arab demi kepentingan mereka masing-masing. Salah satunya adalah korespondensi Pemimpin Mekkah Hussein bin Ali dengan Komisioner Tinggi Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon.
Inti dari surat-menyurat yang terjadi antara 1914-1915 itu adalah bangsa Arab berjanji akan bersekutu dengan Inggris dan sebagai imbalan di saat perang berakhir Inggris harus mengakui kemerdekaan negara-negara Arab.
Namun, kemudian terungkap bahwa Inggris dan Perancis menandatangani perjanjian Sykes-Picot 1917 yang isinya adalah rencana kedua negara membagi wilayah-wilayah yang dulunya adalah milik Turki Ottoman.
Gerilya diplomatik juga dilakukan kelompok Zionis. Pemimpin komunitas Yahudi di Inggris, Baron Rothschild, membangun hubungan dengan Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour.
Kemudian Balfour membuat pernyataan pada 2 November 1917 yang dikenal dengan "Deklarasi Balfour" yang isinya adalah Inggris akan mengupayakan Palestina sebagai rumah bagi bangsa Yahudi, tetapi dengan jaminan tidak akan mengganggu hak keagamaan dan sipil warga non-Yahudi di Palestina.
Dengan isi yang sedemikian mendukung pembentukan negara Yahudi yang dicita-citakan kelompok Zionis, maka tak heran jika Deklarasi Balfour dianggap sebagai batu penjuru terbentuknya negara Yahudi atau Israel saat ini.
Mandat Palestina
Deklarasi Balfour ini kemudian dimasukkan ke dalam Perjanjian Damai Sevres pada 10 Agustus 1920 antara Ottoman Turki dan sekutu di pengujung Perang Dunia I. Inti dari perjanjian ini adalah pembagian wilayah milik Kekaisaran Turki Ottoman. Perjanjian ini sekaligus menandai keruntuhan Kekaisaran Ottoman Turki.
Pembagian ini meliputi wilayah Mandat Perancis seperti Suriah dan Lebanon. Sementara Irak dan Palestina berada di bawah Mandat Inggris. Inggris menempatkan Faisal—putra pemimpin Mekkah Hussein bin Ali—sebagai Raja Irak.
Sedangkan Palestina dibagi dua. Sebelah timur menjadi Transjordania yang diberikan kepada Abdullah—putra lain Hussein bin Ali. Sedangkan bagian barat yang tetap dinamai Palestina berada langsung di bawah kendali Inggris.
Selama masa Mandat Palestina ini, imigrasi Yahudi ke Palestina bertumbuh secara signifikan. Selain karena mendapat perlindungan Inggris, imigrasi Yahudi ini didorong maraknya gerakan anti-Semit di Eropa, misalnya di Ukraina yang mengakibatkan setidaknya 100.000 orang Yahudi tewas dibunuh pada 1905.
Antara 1919-1926 sedikitnya 90.000 imigran Yahudi tiba di Palestina, mereka langsung menempati komunitas-komunitas Yahudi yang didirikan di atas tanah yang telah dibeli secara legal oleh agen-agen Zionis dari para tuan tanah Arab.
Tak jarang pembelian tanah ini menggusur para petani penggarap Arab. Kondisi ini membuat warga Arab Palestina merasa disingkirkan. Situasi ini ditambah keinginan menentukan nasib sendiri, semakin menumbuhkan gerakan nasionalisme Palestina.
Selain itu, warga Arab Palestina menentang gelombang imigrasi Yahudi ini karena mereka khawatir, semakin banyaknya warga Yahudi akan mengancam identitas nasional mereka.
Akibatnya, sepanjang dekade 1920-an, hubungan antara kelompok Yahudi dan Arab di Palestina memanas dan bentrok kekerasan antara kedua kubu semakin sering terjadi.
Post a Comment