Dengan pinggang yang berikat, kaki bersepatu dan tongkat di tangan, umat Israel telah bersiap‑siap, dalam suasana hening dan dipenuhi rasa takut tetapi disertai pengharapan, untuk menunggu perintah Ilahi yang akan menyuruh mereka berangkat. Sebelum fajar merekah, mereka sudah berada dalam perjalanan mereka. Selama kutuk itu berlangsung, apabila penyataan kuasa Allah telah menyalakan iman di dalam hati budak‑budak itu, dan telah menggentarkan penjajah‑penjajah mereka, umat Israel secara berangsur‑angsur telah berhimpun di tanah Gosyen; dan sekalipun keberangkatan mereka itu mendadak tetapi persiapan‑persiapan telah diadakan untuk mengorganisasi serta mengawasi seperlunya akan orang banyak yang sedang bergerak maju itu, dengan membagi‑bagi mereka itu menjadi kelompok‑kelompok dengan pemimpinnya masing‑masing.
Dan mereka pun berangkatlah, "kira‑kira enam ratus ribu orang laki‑laki berjalan kaki, tidak termasuk anak-anak. Juga banyak orang dari berbagai-bagai bangsa turut dengan mereka." Di dalam kelompok yang besar ini terdapat bukan saja mereka yang didorong oleh iman kepada Allah Israel tetapi dalam jumlah yang lebih besar adalah mereka yang hanya ingin untuk melepaskan diri dari kutuk itu, atau yang ikut ramai dan didorong oleh rasa ingin tahu. Golongan inilah yang merupakan satu penghalang dan satu jerat kepada orang Israel.
Orang banyak itu juga membawa "sangat banyak ternak kambing domba dan lembu sapi." Semuanya ini adalah milik bani Israel yang tidak pernah menjual harta mereka kepada raja sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang‑orang Mesir. Yakub dan anak‑anaknya telah membawa kawanan kambing‑domba mereka ke Mesir, dan mereka telah bertambah‑tambah. Sebelum meninggalkan Mesir, orang banyak itu, atas petunjuk Musa, telah menuntut satu ganti rugi akan kerja mereka yang tidak pernah dibayar; dan orang Mesir karena ingin sekali bebas dari kehadiran orang Israel ini, mereka tidak menolak tuntutan tersebut. Budak‑budak itu berangkat dengan membawa harta yang banyak dari penjajah mereka.
Hari itu merupakan kegenapan sejarah yang dinyatakan kepada Abraham dalam khayal yang berisi nubuatan berabad‑abad sebelumnya: "Bahwa anak cucumu itu akan jadi orang asing dalam negeri yang bukan mereka itu punya, dan mereka itu akan diperhambakan oleh orang isi negeri itu dan dianiaya empat ratus tahun lamanya; tetapi akan bangsa yang memperhambakan mereka itu, Aku akan menghukum dia, kemudian daripada itu mereka itu akan keluar dengan membawa harta yang amat banyak." Masa empat ratus tahun itu telah digenapkan. "Malam itulah malam berjaga-jaga bagi Tuhan, untuk membawa mereka ke luar dari tanah Mesir." Pada waktu berangkat meninggalkan negeri Mesir bani Israel telah membawa satu pusaka yang berharga, dalam bentuk tulang‑tulang Yusuf, yang telah lama menunggu‑nunggu kegenapan janji Allah, dan yang selama masa perbudakan yang gelap itu, telah menjadi sebagai satu pengingat kepada kelepasan Israel.
Gantinya menempuh jalan yang langsung menuju ke Kanaan, yang terbentang di sepanjang negeri Filistin, Tuhan telah memerintahkan mereka untuk menuju ke Selatan ke arah pantai Laut Merah. "Sebab Firman Allah: 'Jangan-jangan bangsa itu menyesal, apabila mereka menghadapi peperangan, sehingga mereka kembali ke Mesir." Kalau saja mereka telah mencoba berjalan melalui tanah Filistin, maka perjalanan mereka akan menemui rintangan; karena bangsa Filistin, dengan menganggap mereka itu sebagai budak‑budak yang melarikan diri dari majikannya, tidak akan segan‑segan berperang dengan mereka. Umat Israel sama sekali tidak bersedia untuk berhadapan dengan bangsa yang kuat dan suka berperang itu. Mereka mempunyai pengetahuan yang sedikit saja tentang Allah, demikian pula iman mereka kepada Dia, dan mereka akan merasa gentar dan kecewa. Mereka tidak bersenjata dan tidak biasa berperang, semangat mereka benar‑benar tertekan oleh masa perbudakan yang lama itu, dan juga mereka dibebani oleh kaum wanita, anak‑anak dan kawanan kambing domba. Dalam memimpin mereka melalui jalan yang menuju ke Laut Merah, Tuhan telah menyatakan diri‑Nya sebagai satu Allah yang berbelas kasihan serta adil. "Allah menuntun bangsa itu berputar melalui jalan di padang gurun menuju ke Laut Teberau. Demikianlah mereka berangkat dari Sukot dan berkemah di Etam, di tepi padang gurun. Tuhan berjalan di depan mereka, pada siang hari dalam tiang awan untuk menuntun mereka di jalan, dan pada waktu malam dalam tiang api untuk menerangi mereka, sehingga mereka dapat berjalan siang dan malam. Dengan tidak beralih tiang awan itu tetap ada pada siang hari dan tiang api pada waktu malam di depan bangsa itu." Kata pemazmur, "Dibentangkan-Nya awan menjadi tudung, dan api untuk menerangi malam." Mazmur 105:39. (Lihat juga 1 Korintus 10:1, 2). Lambang daripada Pemimpin mereka yang tidak kelihatan itu senantiasa menyertai mereka. Pada waktu siang awan itu menuntun perjalanan mereka serta menaungi orang banyak itu. Awan itu merupakan satu pelindung dari panas yang menyengat; embun serta hawanya yang dingin itu telah menjadikan padang pasir yang kering dan tandus itu dipenuhi kesegaran. Pada waktu malam awan itu menjadi tiang api, yang menerangi tenda‑tenda mereka dan memberikan jaminan kepada mereka akan kehadiran Ilahi.
Di dalam salah satu pasal yang paling indah dan amat menghiburkan dalam nubuatan Yesaya, disebutkan tentang tiang awan dan tiang api itu sebagai lambang daripada penjagaan Allah bagi umat‑Nya di dalam pertarungan terakhir yang hebat melawan kuasa kejahatan: "Pada masa itu akan dijadikan oleh Tuhan sebuah awan berasap pada siang dan suatu cahaya api bernyala‑nyala pada waktu malam atas tiap‑tiap rumah di bukit Sion; bahkan, atas segala sesuatu yang mulia itu akan ada tudungan. Maka pada masa itu akan ada sebuah pondok akan pernaungan daripada panas siang hari, dan akan perlindungan daripada air bah dan hujan yang deras."
Mereka berjalan menyeberangi padang belantara yang luas dan memenatkan. Mereka mulai bertanya‑tanya arah mana jalan yang sedang mereka tempuh itu; mereka mulai merasa letih dengan perjalanan yang sukar sulit itu, dan beberapa dari antara mereka dipenuhi oleh rasa takut dikejar oleh orang Mesir. Tetapi awan itu berjalan terus dan mereka mengikutinya. Dan sekarang Tuhan memerintahkan Musa untuk berbelok ke satu daerah yang diapit oleh gunung‑gunung batu, dan mendirikan kemah mereka di tepi laut. Telah dinyatakan kepadanya bahwa Firaun akan mengejar mereka tetapi Allah akan ditinggikan di dalam hal kelepasan mereka.
Di negeri Mesir tersiar kabar bahwa Israel, gantinya berhenti di padang belantara untuk berbakti, telah berjalan terus menuju ke Laut Merah. Penasihat‑penasihat Firaun memberitahukan kepada raja bahwa budak‑budak mereka telah melarikan diri, dan tidak akan kembali lagi. Orang banyak di Mesir menyesali kebodohan mereka karena telah mempercayai bahwa kematian anak‑anak sulung itu adalah akibat daripada kuasa Allah. Orang‑orang besar mereka, setelah berhasil mengatasi rasa takutnya, berpendapat bahwa kutuk‑kutuk yang telah terjadi itu adalah merupakan akibat‑akibat alamiah saja. Dengan tangisan yang getir mereka berseru, "Apakah yang telah kita perbuat ini, bahwa kita membiarkan orang Israel pergi dari perbudakan kita?"
Firaun mengerahkan pasukannya, "enam ratus kereta yang terpilih, ya, segala kereta Mesir, masing-masing lengkap dengan perwiranya," pasukan berkuda, pemimpin serta tentara yang berjalan kaki. Raja sendiri, dengan dikawal oleh orang‑orang besar di negaranya, telah memimpin pasukan penyerang itu. Untuk memperoleh pertolongan dewa‑dewa dan dengan demikian memastikan sukses daripada usaha mereka itu, imam‑imam juga turut bersama‑sama dengan mereka. Raja telah bertekad untuk menakut‑nakuti orang Israel dengan segala pertunjukan kekuatannya itu. Orang‑orang Mesir takut jangan‑jangan dengan menyerahnya mereka itu dengan secara paksa kepada Allah orang Israel, akan menjadikan mereka sebagai bahan ejekan di antara bangsa‑bangsa lainnya; tetapi jikalau sekarang mereka pergi mengejar dengan segala kekuatan yang ada serta membawa budak‑budak itu kembali, mereka akan dapat menebus kembali kehormatan mereka itu sebagaimana juga memperoleh kembali hamba‑hamba itu untuk melayani mereka.
Orang Israel mendirikan tendanya di tepi laut, yang airnya merupakan seolah‑olah satu penghalang yang tidak mungkin untuk dilalui, sementara di sebelah Selatan satu deretan gunung‑gunung yang curam menghalangi perjalanan mereka. Tiba‑tiba di kejauhan mereka melihat senjata serta rata yang berkilau‑kilauan sebagai tanda datangnya satu bala tentara yang besar. Apabila rombongan itu datang lebih dekat lagi, mereka dapat melihat dengan jelas bahwa bala tentara Mesir dengan segenap kekuatannya sedang mengejar mereka. Kegentaran memenuhi hati orang Israel Beberapa berseru kepada Tuhan, tetapi sebagian besar dari antara mereka dengan cepat mendatangi Musa dengan persungutan mereka, "Apakah karena tidak ada kuburan di Mesir, maka engkau membawa kami untuk mati di padang gurun ini? Apakah yang kauperbuat ini terhadap kami dengan membawa kami ke luar dari Mesir? Bukankah ini telah kami katakan kepadamu di Mesir: Janganlah mengganggu kami dan biarlah kami bekerja pada orang Mesir. Sebab lebih baik bagi kami untuk bekerja pada orang Mesir dari pada mati di padang gurun ini."
Musa merasa sedih sekali karena bangsa ini harus menyatakan iman yang sekecil itu kepada Allah, sekali pun berulang‑ulang mereka telah menyaksikan penyataan‑penyataan daripada kuasa‑Nya demi mereka. Bagaimanakah mereka dapat menuduh dia atas adanya situasi yang penuh dengan bahaya serta kesulitan itu, sedangkan ia sedang mengikuti perintah Allah yang telah dinyatakan? Memang benar, kelepasan mereka tidak mungkin untuk dilaksanakan kecuali Allah sendiri campur tangan; tetapi karena untuk mentaati petunjuk Ilahi sehingga mereka telah berada dalam situasi ini, Musa tidak merasa takut akan akibat‑akibatnya. Jawabnya yang tenang dan penuh kepastian itu adalah, "Janganlah takut, berdirilah tetap dan lihatlah keselamatan dari Tuhan, yang akan diberikan-Nya hari ini kepadamu; sebab orang Mesir yang kamu lihat hari ini, tidak akan kamu lihat lagi untuk selama-lamanya. Tuhan akan berperang untuk kamu, dan kamu akan diam saja."
Bukanlah satu hal yang mudah untuk mengajak bangsa Israel itu untuk menunggu di hadapan Tuhan. Oleh karena kurang disiplin dan pengendalian diri, mereka menjadi ganas dan membabi buta. Mereka mengharapkan bahwa dengan segera mereka akan jatuh ke tangan sipenjajah itu; jeritan dan ratapan mereka terdengar nyaring dan menyayat hati. Tiang awan yang ajaib itu telah diikuti sebagai tanda dari Allah supaya maju terus; tetapi sekarang mereka bertanya‑tanya di antara sesama mereka sendiri jangan‑jangan tiang awan itu merupakan tanda akan datangnya suatu malapetaka yang hebat, karena bukankah itu telah memimpin mereka ke tempat yang keliru, ke satu tempat yang tidak mungkin dilalui? Dengan demikian malaikat Allah, atas pikiran mereka yang kacau itu, kelihatannya seperti makhluk yang diutus untuk memberitahukan datangnya bencana.
Tetapi sekarang, apabila tentara Mesir itu mendekati mereka, dengan pengharapan akan dapat menjadikan mereka itu sebagai mangsa yang empuk, tiang awan itu naik dengan megahnya menjulang ke angkasa dan bergerak melewati orang‑orang Israel, kemudian turun di antara mereka dan bala tentara Mesir itu. Satu dinding kegelapan mengantarai orang yang dikejar dengan orang‑orang yang mengejarnya. Orang‑orang Mesir tidak dapat lagi melihat kemah‑kemah orang Ibrani, dan mereka dipaksa berhenti. Tetapi apabila kegelapan malam semakin pekat, dinding awan itu menjadi satu terang yang besar kepada orang Israel, memenuhi seluruh tenda‑tenda mereka itu dengan terang seperti siang hari.
Kemudian pengharapan berangsur‑angsur menyala kembali di hati orang Israel. Dan Musa berseru kepada Tuhan. "Mengapakah engkau berseru-seru demikian kepada-Ku? Katakanlah kepada orang Israel, supaya mereka berangkat. Dan engkau, angkatlah tongkatmu dan ulurkanlah tanganmu ke atas laut dan belahlah airnya, sehingga orang Israel akan berjalan dari tengah-tengah laut di tempat kering."
Pemazmur dalam menggambarkan perjalanan Israel di atas laut itu, menyanyikan, "Melalui laut jalan-Mu dan lorong-Mu melalui muka air yang luas, tetapi jejak-Mu tidak kelihatan. Engkau telah menuntun umat-Mu seperti kawanan domba dengan perantaraan Musa dan Harun." Mazmur 77:20, 21. Apabila Musa mengangkat tongkatnya, air laut itu terbelah dan Israel berjalan di tengah‑tengahnya, di atas tanah yang kering, sementara air laut tegak di samping mereka seperti satu dinding. Terang dari tiang api Allah itu bersinar‑sinar ke atas ombak yang berbuih‑buih serta menerangi jalan yang membujur seperti satu garis besar menembusi air laut, yang kemudian hilang dalam kesamaran di pantai seberang.
"Orang Mesir mengejar dan menyusul mereka--segala kuda Firaun, keretanya dan orangnya yang berkuda--sampai ke tengah-tengah laut. Dan pada waktu jaga pagi, Tuhan yang di dalam tiang api dan awan itu memandang kepada tentara orang Mesir, lalu dikacaukan-Nya tentara orang Mesir itu." Awan yang misterius itu berubah menjadi satu tiang api di hadapan mata mereka yang keheran‑heranan itu. Guntur bergemuruh dan kilat sabung menyabung, "Awan‑awan mencurahkan air, awan-gemawan bergemuruh, bahkan anak-anak panah-Mu beterbangan. Deru guntur-Mu menggelinding, kilat-kilat menerangi dunia, bumi gemetar dan bergoncang." Mazmur 77:18, 19.
Orang Mesir ditimpa oleh kebingungan dan kekecewaan. Di tengah‑tengah amukan alam itu, di mana mereka mendengar suara dari Allah yang murka, mereka berusaha untuk mundur dan melarikan diri ke tepi pantai yang telah mereka tinggalkan. Tetapi Musa mengangkat tongkatnya dan air laut yang seperti tembok itu, dengan suara yang gemuruh dan bergelora telah melanda dan menelan mangsanya, dan orang‑orang Mesir itu dikubur hidup‑hidup di dalam laut yang dalam dan pekat itu.
Keesokan paginya kelihatan kepada bangsa Israel sisa‑sisa yang tinggal dari musuh mereka yang hebat itu mayat‑mayat yang terbungkus dalam baju perang bergelimpangan di tepi laut. Dari mara bahaya yang paling mengerikan, dalam waktu satu malam saja telah berubah menjadi satu kelepasan yang sempurna. Orang banyak yang tidak berdaya itu budak‑budak yang tidak biasa berperang, kaum wanita, anak‑anak, ternak dengan lautan yang terbentang di hadapan mereka, dan bala tentara Mesir yang hebat mendesak dari belakang telah melihat jalan mereka terbuka menembusi air laut, dan musuh mereka telah dihancurkan pada saat‑saat mereka harap dengan segera akan beroleh kemenangan. Hanya Tuhan saja yang telah memberikan kelepasan kepada mereka, dan kepada‑Nya hati mereka telah terangkat dengan rasa syukur dan penuh iman. Perasaan mereka itu telah tercetus dalam satu nyanyian puji‑pujian. Roh Allah turun ke atas Musa, dan ia telah memimpin orang banyak dalam satu nyanyian terima kasih dalam satu suasana kemenangan, satu nyanyian yang paling tua dan paling mulia yang diketahui oleh manusia.
"Baiklah aku menyanyi bagi Tuhan, sebab Ia tinggi luhur, kuda dan penunggangnya dilemparkan-Nya ke dalam laut.
Tuhan itu kekuatanku dan Mazmurku, Ia telah menjadi keselamatanku. Ia Allahku, kupuji Dia, Ia Allah bapaku, kuluhurkan Dia.
Tuhan itu pahlawan perang; Tuhan, itulah nama-Nya. Kereta Firaun dan pasukannya dibuang-Nya ke dalam laut; para perwiranya yang pilihan dibenamkan ke dalam Laut Teberau. Samudera raya menutupi mereka; ke air yang dalam mereka tenggelam seperti batu. Tangan kanan-Mu, Tuhan, mulia karena kekuasaan-Mu, tangan kanan-Mu Tuhan, menghancurkan musuh. Dengan keluhuran-Mu yang besar Engkau meruntuhkan siapa yang bangkit menentang Engkau; Engkau melepaskan api murka-Mu, yang memakan mereka sebagai tunggul gandum. Karena napas hidung-Mu segala air naik bertimbun-timbun; segala aliran berdiri tegak
seperti bendungan; air bah membeku di tengah-tengah laut. Kata musuh: Aku akan mengejar, akan mencapai mereka, akan
membagi-bagi jarahan; nafsuku akan kulampiaskan kepada mereka, akan kuhunus pedangku; tanganku akan melenyapkan mereka!
Engkau meniup dengan taufan-Mu, laut pun menutupi mereka; sebagai timah mereka tenggelam dalam air yang hebat. Siapakah yang seperti Engkau, di antara para Allah, ya Tuhan; siapakah seperti Engkau, mulia karena kekudusan-Mu, menakutkan karena perbuatan-Mu yang masyhur, Engkau pembuat keajaiban? Engkau mengulurkan tangan kanan-Mu; bumi pun menelan mereka.
Dengan kasih setia-Mu Engkau menuntun umat yang telah Kautebus; dengan kekuatan-Mu Engkau membimbingnya ke tempat kediaman-Mu yang kudus. Bangsa-bangsa mendengarnya, mereka pun menggigil; kegentaran menghinggapi penduduk tanah Filistin. Pada waktu itu gemparlah para kepala kaum di Edom, kedahsyatan menghinggapi orang-orang berkuasa di Moab; semua penduduk tanah Kanaan gemetar. Ngeri dan takut menimpa mereka, karena kebesaran tangan-Mu mereka kaku seperti batu,
sampai umat-Mu menyeberang, ya Tuhan, sampai umat yang Kauperoleh menyeberang. Engkau membawa mereka dan Kaucangkokkan mereka di atas gunung milik-Mu sendiri; di tempat yang telah Kaubuat kediaman-Mu, ya Tuhan; di tempat kudus, yang didirikan tangan-Mu, ya Tuhan."
Keluaran 15: 1‑17.
Seperti suara air yang bergemuruh, nyanyian yang mulia itu terangkat naik dari segenap bangsa Israel yang besar itu. Nyanyian ini dinyanyikan oleh kaum wanita Israel, dan Miryam, saudara Musa itu, berjalan di depan sementara mereka itu mengiringkan dia sambil menabuh rebana dan menari. Jauh di atas padang pasir dan laut itu menggema lagu yang penuh dengan kegembiraan, dan gunung‑gunung memantulkan kata‑kata pujian mereka itu: "Menyanyilah bagi Tuhan, sebab Ia tinggi luhur."
Nyanyian ini dan kelepasan besar yang diperingatinya, telah meninggalkan satu kesan yang tidak pernah akan dapat dihapuskan dari bangsa Ibrani. Dari zaman ke zaman nyanyian itu dilagukan kembali oleh nabi‑nabi dan penyanyi‑penyanyi Israel, yang menyaksikan bahwa Tuhan adalah kekuatan dan kelepasan mereka yang berharap kepada‑Nya. Nyanyian itu bukanlah milik orang Yahudi saja. Itu menunjuk ke depan kepada kebinasaan daripada segala musuh kebenaran dan kemenangan terakhir daripada bangsa Israel milik Allah. Nabi yang ada di Pulau Patmos melihat orang banyak yang berjubah putih yang telah "memperoleh kemenangan," berdiri di tepi "laut kaca bercampur api," memegang "kecapi Allah. Dan mereka menyanyikan nyanyian Musa, hamba Allah, dan nyanyian Anak Domba." Wahyu 15:2, 3.
"Bukan kepada kami, ya Tuhan, bukan kepada kami, tetapi kepada nama-Mulah beri kemuliaan, oleh karena kasih-Mu, oleh karena setia-Mu." Mazmur 115:1. Inilah Roh yang memenuhi nyanyian kelepasan Israel dan Roh inilah yang. harus menempati hati semua orang yang kasih dan takut akan Allah. Dalam membebaskan jiwa kita daripada perhambaan dosa, Allah telah mengadakan bagi kita satu kelepasan yang lebih besar daripada yang telah dialami oleh orang Israel di Laut Merah. Seperti orang Israel, kita harus memuji Tuhan dengan hati dan jiwa dan suara atas "pekerjaan‑Nya yang ajaib bagi manusia." Mereka yang merenung‑renungkan akan rahmat Allah yang besar, dan tidak melupakan pemberian‑pemberian‑Nya yang kecil‑kecil, dengan penuh kegembiraan akan menyanyi dalam hatinya untuk memuji Tuhan. Berkat‑berkat yang kita terima dari tangan Allah setiap hari dan, di atas segala sesuatunya, kematian Yesus yang telah memungkinkan kebahagiaan serta surga ada pada jangkauan kita, haruslah menjadi tema ucapan syukur kita. Betapa besarnya belas kasihan dan cinta‑Nya, yang telah ditunjukkan Allah kepada kita, orang berdosa, yang sesat, dalam mempersatukan kita dengan diri‑Nya, di mana kita ini menjadi harta yang terpilih kepada‑Nya! Betapa besarnya pengorbanan yang telah diadakan oleh Penebus kita sehingga kita ini dapat disebut sebagai anak‑anak Allah! Kita harus memuji Allah atas pengharapan yang berbahagia yang dinyatakan kepada kita di dalam rencana penebusan yang besar itu, kita harus memuji Dia atas harta surga dan segala janji‑Nya yang berkelimpahan; pujilah Dia karena Yesus hidup untuk menjadi pengantara kita.
"Siapa yang mempersembahkan syukur sebagai korban," kata Khalik itu, "ia memuliakan Aku." Mazmur 50:23. Segenap penduduk surga bersatu padu dalam memuji Allah. Biarlah kita mempelajari nyanyian‑nyanyian malaikat itu sekarang agar kita dapat menyanyikannya bilamana kita bergabung dengan rombongan mereka yang bersinar‑sinar itu. Biarlah kita katakan bersama-sama dengan pemazmur, "Aku hendak memuliakan Tuhan selama aku hidup, dan bermazmur bagi Allahku selagi aku ada." "Kiranya bangsa-bangsa bersyukur kepada-Mu, Ya Allah; kiranya bangsa-bangsa semuanya bersyukur kepada-Mu." Mazmur 146:2; 67:4.
Allah di dalam pimpinan‑Nya membawa orang Israel ke daerah di mana terdapat gunung‑gunung yang tinggi dekat laut agar Ia dapat menyatakan kuasa‑Nya dalam kelepasan mereka, dan dengan nyata merendahkan segala kesombongan sipenjajah itu. Sebenarnya Ia dapat melepaskan mereka dengan cara yang lain, tetapi Ia telah memilih cara ini untuk menguji iman mereka serta menguatkan kepercayaan mereka di dalam Dia. Orang banyak merasa letih dan gentar, tetapi jikalau mereka menolak pada waktu Musa menyuruh mereka untuk maju terus, maka Allah tidak akan pernah membuka jalan bagi mereka. Adalah oleh "iman" bahwa "mereka telah melintasi Laut Merah sama seperti melintasi tanah kering." Ibrani 11:29. Dengan maju terus sampai ke dalam air, mereka menunjukkan bahwa mereka percaya akan Firman Allah sebagaimana yang diucapkan oleh Musa. Mereka melakukan segala sesuatu yang mampu untuk mereka lakukan, dan kemudian Yang Mahakuasa orang Israel membelah laut itu untuk menyediakan jalan bagi mereka.
Pelajaran besar yang dikemukakan di sini berlaku untuk segala zaman. Sering kehidupan orang Kristen dikelilingi oleh mara bahaya, dan kelihatannya tugas sangat sulit untuk dilaksanakan. Pikiran dipenuhi oleh gambaran tentang kehancuran yang akan datang, dan dari belakang perhambaan atau kematian sedang mendesak. Namun demikian dengan jelas suara Allah berkata, "Maju terus." Kita harus mentaati perintah ini, sekalipun mata kita tidak dapat menembusi kegelapan itu, dan kita merasakan adanya ombak yang dingin di kaki kita. Segala halangan yang merintangi kemajuan kita tidak akan pernah hilang di hadapan hati yang bimbang dan ragu‑ragu. Mereka yang menunda penurutan sampai kepada saat bilamana setiap bayangan daripada hal‑hal yang tidak menentu itu hilang sama sekali, dan menunggu sampai tidak ada lagi kemungkinan‑kemungkinan untuk kalah atau gagal, mereka itu tidak akan pernah menurut sama sekali. Bisikan yang disertai sikap tidak percaya, "Biarlah kita menunggu sampai segala penghalang itu hilang sama sekali dan kita dapat melihat jalan kita dengan jelas," tetapi iman dengan penuh keberanian mendesak untuk maju terus dan berharap akan segala sesuatu, percaya akan segala sesuatu.
Awan yang bagi orang Mesir merupakan satu dinding kegelapan, bagi orang Ibrani merupakan satu pancaran cahaya yang besar yang menerangi seluruh kemah‑kemah mereka, dan memancarkan terang kepada jalan yang ada di hadapan mereka. Demikian pula halnya dengan Pimpinan Ilahi, bagi orang yang tidak percaya itu mendatangkan kegelapan dan putus asa, sementara bagi orang yang berharap itu dipenuhi oleh terang dan damai. Jalan di mana Allah memimpin boleh jadi melalui padang pasir atau laut tetapi itu adalah satu jalan selamat.
No comments:
Post a Comment