"Jauh di mata, jauh di hati", begitulah perumpamaan bagi para narapidana Inggris pada awal-awal tahun 1800-an. Keadaan penjara-penjara gelap, tidak bersih, berdesak-desakan dan tanpa harapan. Para tersangka bermacammacam kriminalitas — baik dengan kekerasan ataupun tidak — dimasukkan ke dalam penjara tanpa perbedaan antara terpidana dan terdakwa yang menunggu peradilan. Para wanita yang menjanda ataupun yang ditinggalkan suaminya, sering terlilit utang dan dipenjarakan, dengan membawa anak-anak mereka.
John Howard, seorang awam Kristen yang menjadi sherif Bedfordshire pada tahun 1773, telah meminta perhatian masyarakat tentang kondisi penjara-penjara Eropa yang kotor. Ia mengadakan perjalanan sejauh 50.000 mil dan menghabiskan uangnya sendiri sebanyak 30.000 pound untuk memperjuangkan pembaruan penjara. Malangnya, mereka tergerak tetapi tidak termotivasi untuk mengubah keadaan. Ketika Howard kembali dari sebuah perjalanan yang menyiksa untuk mencari fakta di Italia, ia menyaksikan pengumpulan dana bagi sebuah patung untuk menghormati dia. Satu-satunya wujud peringatan yang diinginkannya, ia berkata pada mereka, adalah melanjutkan pembaruan penjara. Namun sampai awal tahun 1850-an keadaannya tetap sama.
Penerus John Howard yang hampir tidak dapat dipercaya ialah seorang wanita, Elizabeth Fry. Putri seorang pedagang wol dan bankir yang kaya, Elizabeth Gurney dibesarkan di keluarga Quaker yang liberal. Ketika la menjadi seorang gadis kecil, - ia membaca buku-buku Voltaire, Rousseau dan Thomas Paine. Pada usia tujuh belas tahun, dalam buku hariannya ia menulis bahwa ia tidak punya agama.
Akan tetapi tahun berikutnya ia bertemu dengan seorang Quaker dari Amerika, William Savery, yang mengajarkan dia tentang kehadiran Allah. Ia mulai menghadiri pertemuan Quaker yang lebih terbatas dan menjadi lebih serius akan imannya.
Pada usia kedua puluh, Elizabeth menikahi Joseph Fry, juga dari keluarga bankir yang kaya. Ia melahirkan sebelas orang anak. Namun, keterlibatannya dengan pertemuan Quaker bertumbuh, dan pada tahun 1811, pada usia tiga puluh tahun ia diakui sebagai seorang "pendeta".
Tiga tahun kemudian ia mengunjungi Newgate, sebuah penjara dekat London. Terkejut akan kondisinya, ia melakukan apa yang ia dapat, dengan membawa pakaian bagi anak-anak para narapidana wanita. Meskipun John Howard telah berusaha, namun sistem hukuman Inggris bertambah buruk. Antara tahun 1800 dan 1817, angka narapidana bertambah dua kali lipat, dan menimbulkan kepadatan luar biasa. Sesuatu harus dilakukan, khususnya bagi para wanita dan anak-anak, yang dalam banyak hal, satu-satunya kesalahan mereka adalah kemiskinan.
Pada tahun 1817, Fry mengorganisasi sebuah tim wanita untuk menjenguk narapidana wanita secara teratur, membacakan Alkitab kepada mereka, dan mengajar mereka menjahit. Pekerjaan berguna ini mengubah prilaku kehidupan para penghuni penjara itu. Banyak perusahaan di London mulai mendukung upayaupaya Fry dan ia pun dielu-elukan di seluruh Inggris.
Oleh karena perang melawan Napoleon usai, orang-orang Inggris mengalihkan perhatian mereka ke masalah-masalah lain. Satu di antaranya adalah reformasi penjara. Fry memperluas komite-komite wanita pelawat penjaranya ke kawasan-kawasan baru, dan pada tahun 1821 mendirikan British Society for Promoting Reformation of Female Prisoners (Perkumpulan Inggris untuk Meningkatkan Reformasi bagi Narapidana Wanita). Thomas Buxton, yang di kemudian hari akan membantu Wilberforce memenangkan perjuangan untuk memberantas perbudakan, menerbitkan suatu studi tentang penjara Newgate pada tahun 1818, yaitu ketika ia mempertanyakan apakah sistem hukuman sebenarnya membantu atau menyiksa masyarakat. Tidak lama kemudian, reformator ini mendapat perhatian dari Menteri Dalam Negeri Robert Peel yang berkuasa, yang mendesak melalui parlemen agar Undang-undang Penjara tahun 1823 dibatalkan.
Hal ini membarui penjara-penjara Inggris secara radikal dan membatasi jumlah pelanggaran yang digolongkan ke dalam hukuman mati (sampai 500). Robert Peel juga memprakarsai pasukan polisi tetap, yang anggotanya dikenal sebagai "bobbies", dari julukan Peel.
Sampai ajalnya pada tahun 1845, Fry terus meningkatkan perbaikan-perbaikan kondisi penjara. Meskipun negara Eropa lainnya mengikuti jejak Inggris, Inggris sendiri tampaknya kembali dengan sikap yang lebih keras. Namun upaya Fry abadi hasilnya. Bersama-sama dengan tokoh sezamannya, seperti William Wilberforce dan Goerge Mueller, ia mengajak generasi-generasi orang Kristen untuk memangku tanggung jawab sosial mereka secara serius. Ia juga melanjutkan tradisi turun-temurun, yaitu wanita adalah penunjuk jalan bagi usaha-usaha karitatif.
No comments:
Post a Comment