Islam punya riwayat perang saudara (civil war) yang banyak dalam literatur Sejarah Islam. Perang saudara pertama di mulai pada masa kekhalifahan Usman bin Affan ra (644-655 M). Saat itu terjadi aksi demonstrasi besar-besaran, melancarkan protes dan menuntut mudur khalifah yang sah, Usman bin Affan. Sebab dalam kepemimpinannya, Usman dianggap telah melakukan praktik nepotisme dengan menempatkan kroni-kroninya pada jabatan-jabatan penting di lingkup kekhalifahan.
Usman waktu itu sudah berusia lebih 70 tahun, dituntut mundur dan menunjuk calon khalifah lain sebagai penggantinya. Namun, tuntutan tersebut ditolak oleh anggota keluarga Usman sendiri. Bahkan, keluarganya berupaya para demonstran dengan senjata, sesuatu hal yang sama sekali tidak diinginkan Usman. Sikap keras keluarga untuk tetap mempertahankan Usman sebagai khalifah, akhirnya harus dibayar mahal dengan terbunuhnya Usman bin Affan ketika ia sedang melaksanakan shalat.
Tugas berat kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib Karamalalhu wajhah (656-661 M) menjadi khalifah pengganti Usman. Tugasnya sangat berat waktu itu. Ia harus menstabilkan keadaan negeri dan menyanggupi permintaan rakyatnya. Tapi yang menjadi ‘bebannya’ dalam memimpin adalah upaya mencari pembunuh Usman kemudian menghukumnya dengan peraturan yang sah. Pihak (keluarga dan simpatisan) Usman terus mendesak agar kematian Usman segera di usut.
Demikian pula pihak Aisyah (isteri Nabi saw) menaruh iba dan bersikeras agar kasus pembunuhan khalifah Usman bin Affan itu diungkapkan ke publik. Thalhah menentang kekhalifahan Ali dan menaruh curiga bahwa kelompok Ali yang membunuh Usman. Muawiyah dengan jelas tak mem-bai’at kekhalifahan Ali. Akibatnya situasi kekhalifahan memanas dan kacau, sehingga ia harus mengungsi dari Madinah ke Kufah yang relatif aman dari rongrongan kaum Muawwiyah.
Perang saudara terjadi lagi, Aisyah dengan naik unta ikut berperang sehingga disebut perang jamal (unta). Suatu hal yang tidak diinginkan Ali, bagaimana mungkin ia akan berperang dengan Isteri Nabi saw, sosok pujaannya? Tapi tak bisa dielakkan. Semua karena situasi yang tak dapat dikendalikan. Kemenangan berpihak pada pasukan Ali. Muawwiyah menjadi ‘berang’ dan memutuskan perang lagi di Lembah Shiffin (perang Shiffin).
Perang saudara berkecamuk lagi, lantunan suara Allahuakbar menggema ke angkasa, malaikat menjadi sibuk membawa doa-doa mereka kepada Allah swt. Peperang hendak di menangkan Ali, pasukan Muawwiyah sudah melemah, dengan kecerdikannya Muawwiyah mengangkat Alquran diujung tombaknya, tanda ingin damai. Justru itulah yang diinginkan Ali, atas peristiwa arbitrase (tahkim) ini terjadi mediasi forum publik.
Proses perundingan menjadi alot dan panas, delegasi Ali (Abu Musa al-Asy’ari) membuat pernyataan bahwa kedua mereka tidak boleh lagi menjadi calon khalifah tapi dipilih lain, tetapi delegasi Muawwiyah (Amr bin ‘Ash) menyatakan sebaliknya, karena delegasi Ali menginginkan pemilihan ulang, maka itu tidak dilakukan, tapi Muawwiyah saja diangkat menjadi khalifah. Akhirnya Muawwiyah (661-680 M) memegang tampuk pimpinan, ia membai’at dirinya sendiri waktu itu. Ali dan pengikutnya tak habis pikir akan peristiwa itu. Di tambah sebagian pengikutnya membangkanginya karena peristiwa arbitrase itu.
Dari peristiwa tersebut disebutkan lahirnya perpecahan yang akut dalam tubuh umat Islam. Umat Islam terpecah menjadi golongan-golongan (sekte). Kaum Syiah (pengikut setia Ali) tetap tak mengakui kekhalifahan Muawwiyah, Khawarij (golongan yang membelot dari Ali) mengatakan darah Ali dan Muawwiyah halal karena mereka telah berhukum bukan dengan hukum Allah. Kaum Murjiah tetap berada pada pertengahan. Sedangkan golongan Muawwiyah (Sunni) sudah memimpin, dan bersedia menjaga kepemimpinannya dari ancaman apapun darimanapun.
Sejarawan dan Teolog muslim menulis disitulah awal mula perseteruan Teologi dalam Islam. Mereka memiliki alur pemikiran masing-masing dalam menterjemahkan Islam, Alquran, juga surga dan neraka. Akibatnya hari ini dapat kita saksikan golongan (sekte) Islam itu. Ada yang bersikap keras dan sebaliknya biasa-biasa saja. Sehingga orang Barat melabelkan Islam dengan beberapa Istilah seperti Fundamentalisme, Ekstrimisme, Terorisme dan lain-lain. Kalau diteliti lebih lanjut kaum-kaum itu, ujung-ujungnya mereka adalah korban konflik perang saudara waktu dulu. Di sini juga dapat dikatakan banyak umat Islam sekarang berIslam berdasarkan peristiwa Sejarah (Islam sejarah) dari pada Islam itu sendiri.
Perang Saudara Saat Ini
Rasanya perang saudara (sesama umat Islam) akan terus terjadi dalam tubuh umat Islam, kalau tidak ada ‘pencerahan’ intelektualitas umat Islam semacam ketercapaian mediasi musyawarah. Suriah di bawah presiden Bashar Assad berideologikan Syiah mati-matian menjaga kepemimpinannya dari amukan sipil militeristik rakyatnya yang berteologikan Sunni. Otomatis Iran mendukung tentara al-Asad dan memerangi ‘bughah’ dari rakyatnya. Dan menariknya umat Islam yang berafiliasi Sunni pun mengikat kerja sama yang baik, yang dibelakangnya juga ada negara besar seperti Arab Saudi. Beberapa hari yang lalu Raja Arab Saudi meminta Rusia supaya tidak mendukung Bashar Ashad dengan ditawarkan hadiah yang menarik dan mahal.
Contoh lain ‘perang’ saudara, Mesir. Presiden terpilih secara demokrasi Muhammad Mursi dikudeta oleh militer. Kudeta ini juga disponsori oleh ulama al-Azhar (grand syaikh). Rakyat kebanyakan dari organisasi Ikhwanul Muslimin menolak kudeta ini dan melakukan demontrasi besar-besaran menuntut Mursi dikembalikan menjadi presiden. Pihak militer di bawah Jenderal al-Sisi tetap pada pernyataan pertama. Konflik ini telah memakan ribuan nyawa manusia. Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Bahrain mendukung langkah-langkah yang dilancarkan oleh pihak militer Mesir.
Usman waktu itu sudah berusia lebih 70 tahun, dituntut mundur dan menunjuk calon khalifah lain sebagai penggantinya. Namun, tuntutan tersebut ditolak oleh anggota keluarga Usman sendiri. Bahkan, keluarganya berupaya para demonstran dengan senjata, sesuatu hal yang sama sekali tidak diinginkan Usman. Sikap keras keluarga untuk tetap mempertahankan Usman sebagai khalifah, akhirnya harus dibayar mahal dengan terbunuhnya Usman bin Affan ketika ia sedang melaksanakan shalat.
Tugas berat kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib Karamalalhu wajhah (656-661 M) menjadi khalifah pengganti Usman. Tugasnya sangat berat waktu itu. Ia harus menstabilkan keadaan negeri dan menyanggupi permintaan rakyatnya. Tapi yang menjadi ‘bebannya’ dalam memimpin adalah upaya mencari pembunuh Usman kemudian menghukumnya dengan peraturan yang sah. Pihak (keluarga dan simpatisan) Usman terus mendesak agar kematian Usman segera di usut.
Demikian pula pihak Aisyah (isteri Nabi saw) menaruh iba dan bersikeras agar kasus pembunuhan khalifah Usman bin Affan itu diungkapkan ke publik. Thalhah menentang kekhalifahan Ali dan menaruh curiga bahwa kelompok Ali yang membunuh Usman. Muawiyah dengan jelas tak mem-bai’at kekhalifahan Ali. Akibatnya situasi kekhalifahan memanas dan kacau, sehingga ia harus mengungsi dari Madinah ke Kufah yang relatif aman dari rongrongan kaum Muawwiyah.
Perang saudara terjadi lagi, Aisyah dengan naik unta ikut berperang sehingga disebut perang jamal (unta). Suatu hal yang tidak diinginkan Ali, bagaimana mungkin ia akan berperang dengan Isteri Nabi saw, sosok pujaannya? Tapi tak bisa dielakkan. Semua karena situasi yang tak dapat dikendalikan. Kemenangan berpihak pada pasukan Ali. Muawwiyah menjadi ‘berang’ dan memutuskan perang lagi di Lembah Shiffin (perang Shiffin).
Perang saudara berkecamuk lagi, lantunan suara Allahuakbar menggema ke angkasa, malaikat menjadi sibuk membawa doa-doa mereka kepada Allah swt. Peperang hendak di menangkan Ali, pasukan Muawwiyah sudah melemah, dengan kecerdikannya Muawwiyah mengangkat Alquran diujung tombaknya, tanda ingin damai. Justru itulah yang diinginkan Ali, atas peristiwa arbitrase (tahkim) ini terjadi mediasi forum publik.
Proses perundingan menjadi alot dan panas, delegasi Ali (Abu Musa al-Asy’ari) membuat pernyataan bahwa kedua mereka tidak boleh lagi menjadi calon khalifah tapi dipilih lain, tetapi delegasi Muawwiyah (Amr bin ‘Ash) menyatakan sebaliknya, karena delegasi Ali menginginkan pemilihan ulang, maka itu tidak dilakukan, tapi Muawwiyah saja diangkat menjadi khalifah. Akhirnya Muawwiyah (661-680 M) memegang tampuk pimpinan, ia membai’at dirinya sendiri waktu itu. Ali dan pengikutnya tak habis pikir akan peristiwa itu. Di tambah sebagian pengikutnya membangkanginya karena peristiwa arbitrase itu.
Dari peristiwa tersebut disebutkan lahirnya perpecahan yang akut dalam tubuh umat Islam. Umat Islam terpecah menjadi golongan-golongan (sekte). Kaum Syiah (pengikut setia Ali) tetap tak mengakui kekhalifahan Muawwiyah, Khawarij (golongan yang membelot dari Ali) mengatakan darah Ali dan Muawwiyah halal karena mereka telah berhukum bukan dengan hukum Allah. Kaum Murjiah tetap berada pada pertengahan. Sedangkan golongan Muawwiyah (Sunni) sudah memimpin, dan bersedia menjaga kepemimpinannya dari ancaman apapun darimanapun.
Sejarawan dan Teolog muslim menulis disitulah awal mula perseteruan Teologi dalam Islam. Mereka memiliki alur pemikiran masing-masing dalam menterjemahkan Islam, Alquran, juga surga dan neraka. Akibatnya hari ini dapat kita saksikan golongan (sekte) Islam itu. Ada yang bersikap keras dan sebaliknya biasa-biasa saja. Sehingga orang Barat melabelkan Islam dengan beberapa Istilah seperti Fundamentalisme, Ekstrimisme, Terorisme dan lain-lain. Kalau diteliti lebih lanjut kaum-kaum itu, ujung-ujungnya mereka adalah korban konflik perang saudara waktu dulu. Di sini juga dapat dikatakan banyak umat Islam sekarang berIslam berdasarkan peristiwa Sejarah (Islam sejarah) dari pada Islam itu sendiri.
Perang Saudara Saat Ini
Rasanya perang saudara (sesama umat Islam) akan terus terjadi dalam tubuh umat Islam, kalau tidak ada ‘pencerahan’ intelektualitas umat Islam semacam ketercapaian mediasi musyawarah. Suriah di bawah presiden Bashar Assad berideologikan Syiah mati-matian menjaga kepemimpinannya dari amukan sipil militeristik rakyatnya yang berteologikan Sunni. Otomatis Iran mendukung tentara al-Asad dan memerangi ‘bughah’ dari rakyatnya. Dan menariknya umat Islam yang berafiliasi Sunni pun mengikat kerja sama yang baik, yang dibelakangnya juga ada negara besar seperti Arab Saudi. Beberapa hari yang lalu Raja Arab Saudi meminta Rusia supaya tidak mendukung Bashar Ashad dengan ditawarkan hadiah yang menarik dan mahal.
Contoh lain ‘perang’ saudara, Mesir. Presiden terpilih secara demokrasi Muhammad Mursi dikudeta oleh militer. Kudeta ini juga disponsori oleh ulama al-Azhar (grand syaikh). Rakyat kebanyakan dari organisasi Ikhwanul Muslimin menolak kudeta ini dan melakukan demontrasi besar-besaran menuntut Mursi dikembalikan menjadi presiden. Pihak militer di bawah Jenderal al-Sisi tetap pada pernyataan pertama. Konflik ini telah memakan ribuan nyawa manusia. Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Bahrain mendukung langkah-langkah yang dilancarkan oleh pihak militer Mesir.
No comments:
Post a Comment