Sebuah peradaban Indus kuno hancur karena kekerasan antar penduduk dan penyakit menular menjadi penyebab utama sekitar 4000 tahun yang lalu. Peradaban kuno kota Harappa atau lebih dikenal dalam sejarah sebagai peradaban Indus yang membentang lebih dari satu juta kilometer persegi, saat ini berada di Pakistan dan India. Studi ini dipublikasikan secara resmi oleh Appalachian State University, 16 Januari 2014.
Hubungan peradaban Indus kuno pada saat itu dikenal sebagai mitra dagang dengan peradaban Mesir dan Mesopotamia. Hubungan perdagangan sampai saat ini masih menjadi misteri, apakah perdagangan antar peradaban ini meluas ke wilayah lain atau hanya berada disekitarnya. Situs kuno kota Harappa berisi reruntuhan kota dari zaman perunggu yang merupakan bagian dari budaya Cemetery H dan peradaban lembah Indus, berpusat di Sindh dan Punjab. Kota ini diperkirakan memiliki penduduk berkisar 23500 jiwa dan terbesar selama fase Mature Harappa pada tahun 2600 hingga 1900 SM. Dua kota terbesar saat itu, Mohenjodaro dan Harappa muncul sekitar tahun 2600 SM di sepanjang lembah sungai Indus. Artefak batu dilokasi Harappa terbuat dari pasir merah, tanah liat yang dipanggang pada suhu sangat tinggi.
Runtuhnya Peradaban Indus Di Kota Harappa
Dalam teori sebelumnya kisah kehancuran kota Mahenjodaro dan Harappa disebabkan oleh sebuah senjata mutahir pada waktu itu, belum jelas dipastikan tetapi beberapa teori menganggapnya sebagai ledakan nuklir. Teori ini diambil dari teks-teks kuno India yang menyebut adanya 'energi besar' yang membakar seluruh penduduk kota pada waktu itu.
Dalam penelitian arkeologi yang ditulis oleh Gwen Robbins Schug (Profesor antropologi di Appalachian State University) dalam jurnal PLoS ONE, kota-kota di Indus tumbuh sangat pesat sejak tahun 2200 hingga 1900 SM ketika sebagian besar kota ditinggalkan. Runtuhnya peradaban Indus kuno dan bangkitnya populasi manusia telah menjadi kontroversi selama bertahun-tahun. Iklim, ekonomi dan perubahan sosial menjadi peran utama dalam proses urbanisasi dan kehancuran kota Harappa di Indus kuno. Tetapi sangat sedikit sejarah yang mencatat tentang bagaimana perubahan ini mempengaruhi populasi manusia.
Tim ilmuwan yang terlibat dalam penelitian membuktikan adanya trauma dan penyakit menular yang terlihat jelas pada kerangka manusia yang diambil dari tiga pemakaman di kota Harappa, salah satu kota terbesar di peradaban Indus. Mereka menemukan adanya pertumbuhan karakter masyarakat Indus dan sifat kehancurannya. Hasil yang ditemukan pada orang-orang yang diambil (sampel analisis) dari kuburan ternyata memiliki tingkat tertinggi kekerasan dan penyakit. Tingkat kekerasan berkisar 50 persen pada 10 sampel tengkorak, dan lebih dari 20 persen membuktikan bahwa orang-orang ini terbukti menderita infeksi kusta.
Penelitian awal menyatakan bahwa faktor ekologi menjadi dasar penyebab kematian populasi, tetapi tidak ada bukti paleo lingkungan seperti yang dijelaskan dalam teori terdahulu (ledakan nuklir). Dalam beberapa dekade terakhir, telah ada perbaikan dengan teknik untuk merekonstruksi paleo lingkungan dan mampu menghasilkan data yang lebih memuaskan. Ketika pendekatan Paleoklimatik, arkeologi dan biologi digabungan, ilmuwan dapat mengumpulkan informasi penting dari masa lalu sehingga bisa menjawab misteri relevan kota Harappa secara sosial.
Peristiwa perubahan iklim di kota Harappa yang cepat berdampak luas pada masyarakat, ilmuwan tidak dapat membuat asumsi bahwa perubahan iklim akan selalu sama hasilnya dengan kekerasan dan penyakit. Tetapi dalam kasus ini terlihat adanya proses cepat urbanisasi di kota-kota Indus dan jumlahnya semakin besar terlihat dalam budaya, sehingga membawa tantangan baru bagi pertumbuhan populasi manusia. Diantaranya penyakit menular seperti kusta dan TBC mungkin ditularkan dalam interaksi antar peradaban Asia Tengah dan Selatan.
Penduduk kota Harappa diduga menderita kusta selama fase pengembangan perkotaan Indus dan meningkat secara signifikan seiring waktu. Penyakit baru kemudian muncul seperti Tuberkulosis ditemukan pasca urbanisasi, cedera kekerasan (luka tengkorak) juga meningkat seiring waktu. Temuan ini dianggap luar biasa mengingat bukti kekerasan sangat jarang terjadi di situs prasejarah Asia Selatan.
Lingkungan perlahan mulai berubah, jaringan perdagangan semakin tidak terkendali, ketika digabungkan dengan perubahan sosial dan konteks budaya tertentu, maka semua kerjasama yang bertujuan untuk menciptakan situasi aman di semakin tidak bisa dipertahankan. Karena kekerasan dan penyakit meningkat pada level tertinggi, maka populasi manusia meninggalkan peradaban Indus di kota Harappa.
Ketika sejarawan berusaha menafsirkan teks-teks kuno, justru telah dipertentangkan dengan dugaan ilmiah yang tidak mendukung bukti yang ditemukan pada lokasi peradaban Indus. Hal ini justru menambah misteri, 'energi' apa sebenarnya dimaksud dalam teks kuno tersebut, terlebih terkait dengan kota Harappa dan Mahenjodaro.
Hubungan peradaban Indus kuno pada saat itu dikenal sebagai mitra dagang dengan peradaban Mesir dan Mesopotamia. Hubungan perdagangan sampai saat ini masih menjadi misteri, apakah perdagangan antar peradaban ini meluas ke wilayah lain atau hanya berada disekitarnya. Situs kuno kota Harappa berisi reruntuhan kota dari zaman perunggu yang merupakan bagian dari budaya Cemetery H dan peradaban lembah Indus, berpusat di Sindh dan Punjab. Kota ini diperkirakan memiliki penduduk berkisar 23500 jiwa dan terbesar selama fase Mature Harappa pada tahun 2600 hingga 1900 SM. Dua kota terbesar saat itu, Mohenjodaro dan Harappa muncul sekitar tahun 2600 SM di sepanjang lembah sungai Indus. Artefak batu dilokasi Harappa terbuat dari pasir merah, tanah liat yang dipanggang pada suhu sangat tinggi.
Runtuhnya Peradaban Indus Di Kota Harappa
Dalam teori sebelumnya kisah kehancuran kota Mahenjodaro dan Harappa disebabkan oleh sebuah senjata mutahir pada waktu itu, belum jelas dipastikan tetapi beberapa teori menganggapnya sebagai ledakan nuklir. Teori ini diambil dari teks-teks kuno India yang menyebut adanya 'energi besar' yang membakar seluruh penduduk kota pada waktu itu.
Dalam penelitian arkeologi yang ditulis oleh Gwen Robbins Schug (Profesor antropologi di Appalachian State University) dalam jurnal PLoS ONE, kota-kota di Indus tumbuh sangat pesat sejak tahun 2200 hingga 1900 SM ketika sebagian besar kota ditinggalkan. Runtuhnya peradaban Indus kuno dan bangkitnya populasi manusia telah menjadi kontroversi selama bertahun-tahun. Iklim, ekonomi dan perubahan sosial menjadi peran utama dalam proses urbanisasi dan kehancuran kota Harappa di Indus kuno. Tetapi sangat sedikit sejarah yang mencatat tentang bagaimana perubahan ini mempengaruhi populasi manusia.
Tim ilmuwan yang terlibat dalam penelitian membuktikan adanya trauma dan penyakit menular yang terlihat jelas pada kerangka manusia yang diambil dari tiga pemakaman di kota Harappa, salah satu kota terbesar di peradaban Indus. Mereka menemukan adanya pertumbuhan karakter masyarakat Indus dan sifat kehancurannya. Hasil yang ditemukan pada orang-orang yang diambil (sampel analisis) dari kuburan ternyata memiliki tingkat tertinggi kekerasan dan penyakit. Tingkat kekerasan berkisar 50 persen pada 10 sampel tengkorak, dan lebih dari 20 persen membuktikan bahwa orang-orang ini terbukti menderita infeksi kusta.
Hasil analisis sangat bertentangan dengan dugaan lama yang menyatakan bahwa peradaban Indus berkembang sebagai masyarakat damai, koperasi dan egaliter, tanpa perbedaan sosial, hirarki, atau perbedaan akses sumber daya dasar.
Penelitian awal menyatakan bahwa faktor ekologi menjadi dasar penyebab kematian populasi, tetapi tidak ada bukti paleo lingkungan seperti yang dijelaskan dalam teori terdahulu (ledakan nuklir). Dalam beberapa dekade terakhir, telah ada perbaikan dengan teknik untuk merekonstruksi paleo lingkungan dan mampu menghasilkan data yang lebih memuaskan. Ketika pendekatan Paleoklimatik, arkeologi dan biologi digabungan, ilmuwan dapat mengumpulkan informasi penting dari masa lalu sehingga bisa menjawab misteri relevan kota Harappa secara sosial.
Peristiwa perubahan iklim di kota Harappa yang cepat berdampak luas pada masyarakat, ilmuwan tidak dapat membuat asumsi bahwa perubahan iklim akan selalu sama hasilnya dengan kekerasan dan penyakit. Tetapi dalam kasus ini terlihat adanya proses cepat urbanisasi di kota-kota Indus dan jumlahnya semakin besar terlihat dalam budaya, sehingga membawa tantangan baru bagi pertumbuhan populasi manusia. Diantaranya penyakit menular seperti kusta dan TBC mungkin ditularkan dalam interaksi antar peradaban Asia Tengah dan Selatan.
Penduduk kota Harappa diduga menderita kusta selama fase pengembangan perkotaan Indus dan meningkat secara signifikan seiring waktu. Penyakit baru kemudian muncul seperti Tuberkulosis ditemukan pasca urbanisasi, cedera kekerasan (luka tengkorak) juga meningkat seiring waktu. Temuan ini dianggap luar biasa mengingat bukti kekerasan sangat jarang terjadi di situs prasejarah Asia Selatan.
Lingkungan perlahan mulai berubah, jaringan perdagangan semakin tidak terkendali, ketika digabungkan dengan perubahan sosial dan konteks budaya tertentu, maka semua kerjasama yang bertujuan untuk menciptakan situasi aman di semakin tidak bisa dipertahankan. Karena kekerasan dan penyakit meningkat pada level tertinggi, maka populasi manusia meninggalkan peradaban Indus di kota Harappa.
Ketika sejarawan berusaha menafsirkan teks-teks kuno, justru telah dipertentangkan dengan dugaan ilmiah yang tidak mendukung bukti yang ditemukan pada lokasi peradaban Indus. Hal ini justru menambah misteri, 'energi' apa sebenarnya dimaksud dalam teks kuno tersebut, terlebih terkait dengan kota Harappa dan Mahenjodaro.
No comments:
Post a Comment