Sekelompok ilmuwan yang dipimpin Haagen Klaus, antropolog Utah Valley University, menemukan kerangka puluhan anak yang menjadi korban dalam upacara ritual suku Muchik di utara Peru.
Menurut Klaus, ini adalah bukti pertama tentang ritual sejenis yang melibatkan proses mutilasi anak di wilayah pegunungan Andes, Amerika Selatan.
Bersama kerangka itu, mereka juga menemukan Nectandra, sejenis tanaman halusinogen yang berfungsi melumpuhkan sistem tubuh dan mencegah pembekuan darah. Ini menunjukkan anak-anak itu terlebih dahulu dibius sebelum tenggorokan mereka digorok dan dada mereka dibelah.
Pisau perunggu yang tajam digunakan dalam ritual tersebut. Salah satu kerangka menunjukkan bekas 25 potongan. Beberapa kerangka menunjukkan tangan dan kaki mereka terlebih dulu diikat dengan tali.
“Ini melebihi tindakan yang sesungguhnya dibutuhkan untuk membunuh manusia. Benar-benar mengerikan,” ujar Klaus kepada National Geographic News. “Tapi kita harus memahami ini dalam konteks waktu itu, bukan saat ini.”
Sejak 2003, sebanyak 82 kerangka suku Muchik, termasuk 32 kerangka yang masih utuh, ditemukan di situs Cerro Cerrillos di Lembah Lambayeque, wilayah pantai utara Peru yang tandus.
Tak jelas mengapa dada korban harus dipotong. Namun, menurut Klaus, mungkin tindakan itu dilakukan untuk mengeluarkan jantung mereka.
“Masyarakat suku Muchik menawarkan darah (keturunan) mereka sendiri. Mereka memberikan persembahan untuk arwah nenek moyang mereka dan gunung-gunung,” ujar Klaus yang temuannya diterbitkan dalam jurnal arkeologi Antiquity edisi Desember 2010.
Klaus menambahkan, dalam budaya masyarakat di pegunungan Andes, anak-anak mungkin dianggap sebagai perantara untuk berkomunikasi dengan dunia supranatural. Selain itu, dalam kosmologi masyarakat Muchik, anak-anak belum dianggap sebagai manusia.
“Ketika suku Muchik mengorbankan anak-anak, dalam pandangan mereka, mereka tak mengorbankan manusia. Kedengarannya memang aneh,” tulis Klaus dalam sebuah email.
Setelah upacara persembahan, jasad anak-anak itu dibiarkan menjadi mumi secara alami oleh udara gurun setidaknya selama satu bulan. Pupa lalat ditemukan di antara tulang-belulang, yang menunjukkan belatung memakan daging mereka selama proses pembusukan. Dalam kepercayaan purba, lalat dipercaya membawa jiwa anak dan melambangkan proses pemakaman yang terhormat.
Sisa tubuh llama juga ditemukan bersama kerangka itu. Menurut Klaus, ini menunjukkan bahwa pemakaman jasad korban dilakukan dalam sebuah upacara perayaan “khidmat dan serius” dengan (hidangan) daging llama. Kepala dan kaki llama dipersembahkan kepada yang mati –mungkin sebagai bekal mereka di alam arwah.
Lebih dari 80 ritual pengorbanan darah dari tahun 900 M hingga 1100 dilakukan masyarakat Muchik, yang menempati pantai utara Peru setelah kejatuhan suku Moche.
Suku Moche sebuah masyarakat agraris yang bebas dan terlebih dulu bermukim di sana tahun 100 M hingga 800. Ideologi politik dan religius suku Moche mulai runtuh sekira 550 M akibat bencana El Nino yang mengubah iklim wilayah itu secara dramatis.
Namun beberapa budaya Moche bertahan dalam masyarakat Muchik, termasuk ritual pengorbanan manusia. Ritual pembunuhan terhadap tawanan perang menjadi ritual penting dalam masyarakat Moche untuk menyenangkan arwah nenek moyang dan alam. Suku Muchik tampaknya mengembangkan ritual itu dengan mengorbankan anak-anak, ujar Klaus.
Sejak 900 M, masyarakat Muchik dikuasai suku Sicán yang berasal dari etnis berbeda, namun ini tak mencegah mereka untuk mengembangkan dan melaksanakan ritual mereka sendiri. Suku Sicán juga punya ritual serupa, namun metode dan tatacaranya berbeda dengan Muchik.
Masyarakat Sicán yang kemungkinan besar punya kaitan dengan wilayah yang kini menjadi Ekuador selatan, ”datang di tengah kekosongan kekuasaan saat disintegrasi masyarakat Moche mencapai puncaknya. Dan dalam waktu seratus tahun mereka membangun ekonomi yang kuat, setara dengan ekonomi masyarakat Inca 400 tahun kemudian,” ujar Klaus.
Para pemimpin masyarakat Sicán fokus pada perdagangan dan ahli dalam bidang metalurgi, perikanan, pertanian, serta peternakan llama. Menurut Klaus, fokus pada ekonomi inilah yang memberikan peluang pada suku Muchik untuk mengembangkan ritual mereka sendiri.
Kolinialisme yang dijalankan Sicán sama sekali berbeda dengan apa yang dijalankan dalam sistem Barat, ujar Klaus.
Edward Swenson, arkeolog Universitas Toronto, Kanada, yang mempelajari suku Moche punya anggapan sedikit berbeda. Meski argumen Klaus dan timnya bahwa pengorbanan suku Muchik berakar pada ritual Moche amatlah menarik, Swenson mempertanyakan argumen bahwa ritual mengerikan itu murni sebuah evolusi dari ideologi Moche saat Sicán berkuasa.
“Arkeolog punya kecenderungan mengecilkan makna ritual menjadi… kontrol politik atau perlawanan,” tulisnya dalam sebuah email.
“Padahal jelas sekali, agama punya banyak sisi, bukan sekadar sebuah ideologi politik.
Menurut Klaus, ini adalah bukti pertama tentang ritual sejenis yang melibatkan proses mutilasi anak di wilayah pegunungan Andes, Amerika Selatan.
Bersama kerangka itu, mereka juga menemukan Nectandra, sejenis tanaman halusinogen yang berfungsi melumpuhkan sistem tubuh dan mencegah pembekuan darah. Ini menunjukkan anak-anak itu terlebih dahulu dibius sebelum tenggorokan mereka digorok dan dada mereka dibelah.
Pisau perunggu yang tajam digunakan dalam ritual tersebut. Salah satu kerangka menunjukkan bekas 25 potongan. Beberapa kerangka menunjukkan tangan dan kaki mereka terlebih dulu diikat dengan tali.
“Ini melebihi tindakan yang sesungguhnya dibutuhkan untuk membunuh manusia. Benar-benar mengerikan,” ujar Klaus kepada National Geographic News. “Tapi kita harus memahami ini dalam konteks waktu itu, bukan saat ini.”
Sejak 2003, sebanyak 82 kerangka suku Muchik, termasuk 32 kerangka yang masih utuh, ditemukan di situs Cerro Cerrillos di Lembah Lambayeque, wilayah pantai utara Peru yang tandus.
Tak jelas mengapa dada korban harus dipotong. Namun, menurut Klaus, mungkin tindakan itu dilakukan untuk mengeluarkan jantung mereka.
“Masyarakat suku Muchik menawarkan darah (keturunan) mereka sendiri. Mereka memberikan persembahan untuk arwah nenek moyang mereka dan gunung-gunung,” ujar Klaus yang temuannya diterbitkan dalam jurnal arkeologi Antiquity edisi Desember 2010.
Klaus menambahkan, dalam budaya masyarakat di pegunungan Andes, anak-anak mungkin dianggap sebagai perantara untuk berkomunikasi dengan dunia supranatural. Selain itu, dalam kosmologi masyarakat Muchik, anak-anak belum dianggap sebagai manusia.
“Ketika suku Muchik mengorbankan anak-anak, dalam pandangan mereka, mereka tak mengorbankan manusia. Kedengarannya memang aneh,” tulis Klaus dalam sebuah email.
Setelah upacara persembahan, jasad anak-anak itu dibiarkan menjadi mumi secara alami oleh udara gurun setidaknya selama satu bulan. Pupa lalat ditemukan di antara tulang-belulang, yang menunjukkan belatung memakan daging mereka selama proses pembusukan. Dalam kepercayaan purba, lalat dipercaya membawa jiwa anak dan melambangkan proses pemakaman yang terhormat.
Sisa tubuh llama juga ditemukan bersama kerangka itu. Menurut Klaus, ini menunjukkan bahwa pemakaman jasad korban dilakukan dalam sebuah upacara perayaan “khidmat dan serius” dengan (hidangan) daging llama. Kepala dan kaki llama dipersembahkan kepada yang mati –mungkin sebagai bekal mereka di alam arwah.
Lebih dari 80 ritual pengorbanan darah dari tahun 900 M hingga 1100 dilakukan masyarakat Muchik, yang menempati pantai utara Peru setelah kejatuhan suku Moche.
Suku Moche sebuah masyarakat agraris yang bebas dan terlebih dulu bermukim di sana tahun 100 M hingga 800. Ideologi politik dan religius suku Moche mulai runtuh sekira 550 M akibat bencana El Nino yang mengubah iklim wilayah itu secara dramatis.
Namun beberapa budaya Moche bertahan dalam masyarakat Muchik, termasuk ritual pengorbanan manusia. Ritual pembunuhan terhadap tawanan perang menjadi ritual penting dalam masyarakat Moche untuk menyenangkan arwah nenek moyang dan alam. Suku Muchik tampaknya mengembangkan ritual itu dengan mengorbankan anak-anak, ujar Klaus.
Sejak 900 M, masyarakat Muchik dikuasai suku Sicán yang berasal dari etnis berbeda, namun ini tak mencegah mereka untuk mengembangkan dan melaksanakan ritual mereka sendiri. Suku Sicán juga punya ritual serupa, namun metode dan tatacaranya berbeda dengan Muchik.
Masyarakat Sicán yang kemungkinan besar punya kaitan dengan wilayah yang kini menjadi Ekuador selatan, ”datang di tengah kekosongan kekuasaan saat disintegrasi masyarakat Moche mencapai puncaknya. Dan dalam waktu seratus tahun mereka membangun ekonomi yang kuat, setara dengan ekonomi masyarakat Inca 400 tahun kemudian,” ujar Klaus.
Para pemimpin masyarakat Sicán fokus pada perdagangan dan ahli dalam bidang metalurgi, perikanan, pertanian, serta peternakan llama. Menurut Klaus, fokus pada ekonomi inilah yang memberikan peluang pada suku Muchik untuk mengembangkan ritual mereka sendiri.
Kolinialisme yang dijalankan Sicán sama sekali berbeda dengan apa yang dijalankan dalam sistem Barat, ujar Klaus.
Edward Swenson, arkeolog Universitas Toronto, Kanada, yang mempelajari suku Moche punya anggapan sedikit berbeda. Meski argumen Klaus dan timnya bahwa pengorbanan suku Muchik berakar pada ritual Moche amatlah menarik, Swenson mempertanyakan argumen bahwa ritual mengerikan itu murni sebuah evolusi dari ideologi Moche saat Sicán berkuasa.
“Arkeolog punya kecenderungan mengecilkan makna ritual menjadi… kontrol politik atau perlawanan,” tulisnya dalam sebuah email.
“Padahal jelas sekali, agama punya banyak sisi, bukan sekadar sebuah ideologi politik.
No comments:
Post a Comment