Kerajaan itu sudah sangat murtad kepada Tuhan. Mereka menyembah ilah-ilah yang menjijikkan dan melupakan Tuhan. Yerobeam sendiri beribadah kepada anak lembu emas. Dalam kondisi seperti itu, Allah mengutus hamba-Nya, Hosea, untuk memperingatkan bangsa itu agar berbalik kepada Tuhan.
Pada awal pelayanan Hosea, Tuhan menyuruhnya menikah dengan seorang pelacur bernama Gomer. Pernikahan itu melambangkan hubungan antara kasih Allah dan umat Israel yang murtad. Hosea yang senantiasa mengasihi Gomer melambangkan Allah yang senantiasa mengasihi umat Israel sekalipun mereka telah meninggalkan-Nya dengan menyembah banyak ilah. Gomer, sang pelacur yang telah menjadi istri Hosea, melambangkan umat Israel yang tidak setia kepada Tuhan.
Dalam hal itu, kasus pernikahan Hosea dengan Gomer akan dibahas untuk mengetahui makna serta implikasinya bagi kehidupan anak-anak Tuhan masa kini. Karena banyak orang yang tidak mengerti mengapa Tuhan menyuruh Hosea menikah dengan pelacur, beberapa pendapat seputar pernikahan itu perlu dikemukakan lebih dahulu.
Empat Pendapat tentang Pernikahan Hosea :
Sejauh ini ada empat pendapat yang berbeda (Wood Leon J., The Prophets of Israel. Grand Rapids: Michigan, 1984, p. 278- 279).
- Kelompok yang mengatakan bahwa pernikahan itu tidak benar terjadi. Itu hanya sebuah penglihatan atau simbol yang melambangkan hubungan antara Allah dan umat Israel yang tidak setia. Dasar pemikirannya adalah tidak mungkin Allah menyuruh seorang nabi menikah dengan perempuan pelacur. Kalau larangan itu diterapkan kepada imam (Imamat 21:7, 14, lihat Mitsvot No. 379), otomatis berlaku juga untuk Hosea sebagai nabi. Ditambah pula, jika Allah menyuruh Hosea menikah dengan pelacur, pelayanan Hosea akan menjadi rusak.
Namun, Wood dengan jitu menjawab argumen itu. Ia berkata bahwa tidak ada indikasi apa pun yang menunjukkan hal itu sebagai visi atau simbol. Itu benar-benar kisah nyata yang diperlihatkan dengan detail-detailnya seperti, Gomer anak Diblaim, mengandung anak ketiga setelah anak kedua disapih, dan semua anak itu dijelaskan jenis kelaminnya, satu laki-laki dan dua perempuan. - Kelompok yang mengatakan bahwa pernikahan itu memang benar terjadi, tetapi Gomer bukan seorang pelacur, melainkan berdosa karena menyembah banyak dewa, sama seperti umat Israel. Alasan itu dikemukakan agar kita terhindar dari kesulitan moral sebagaimana dikemukakan oleh pandangan kelompok pertama.
Dalam hal itu pun, Wood menjawab dengan tangkas, yaitu apakah dosa etika lebih berat daripada dosa penyembahan berhala? Selain itu, jika dosa Gomer bukan menyangkut etika, tetapi penyembahan berhala, sama seperti umat Israel, perkawinan itu tidak dapat lagi disebut sebagai simbol antara hubungan Allah dan umat Israel. - Pernikahan itu benar terjadi, tetapi pada mulanya Gomer bukanlah seorang pelacur. Setelah mereka menikah, barulah ia menjadi pelacur. Dasar pemikirannya adalah bahwa karena pernikahan itu benar terjadi, sedangkan Allah tidak mungkin menyuruh Hosea menikah dengan perempuan pelacur. Berarti, secara logika, Gomer menjadi pelacur setelah ia menikah dengan Hosea. Dengan demikian, kita terhindar dari kesulitan moral yang dikemukakan oleh kelompok pertama. Pernyataan itu didasarkan pada simpulan logis.
Namun, simpulan logis tidak menjamin kebenaran. Perlu dipahami bahwa Hosea 1:1-9 merupakan sebuah narasi. Oleh karena itu, semua kisah yang dijelaskan dalam ayat-ayat itu harus dipahami secara harfiah, kecuali nas tersebut dengan terang-terangan menyebutkan harus dipahami sebagai simbol atau perlambang. Dalam hal itu, firman Tuhan nyata-nyata menyuruh Hosea menikah dengan seorang perempuan sundal (pelacur). Untuk lebih jelasnya, lihatlah perintah Tuhan berikut.
"Ketika Tuhan mulai berbicara dengan perantaraan Hosea, berfirmanlah la kepada Hosea: 'Pergi/ah, kawini/ah seorang perempuan sundal dan peranakkanlah anak-anak sundal, karena negeri ini bersundal hebat dengan membelakangi Tuhan'" (Hosea 1:2).
Tuhan tidak berkata, "Menikahlah dengan perempuan yang akan menjadi pelacur!" Jika Gomer belum menjadi pelacur pada saat dinikahi Hosea, apa keberatannya jika Tuhan berkata, "Menikahlah dengan perempuan yang akan menjadi pelacur!" supaya tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari?
Memang ada yang menafsirkan bahwa ayat itu bukan kalimat langsung dari Tuhan, melainkan kalimat yang dituliskan Hosea sendiri beberapa tahun setelah peristiwa itu. Jadi, Hosea tidak persis sama menuliskan kalimat yang dari Tuhan, tetapi membuat kalimat sendiri berdasarkan pengalamannya bahwa Gomer di kemudian hari, setelah menikah, menjadi pelacur (Kaiser, Jr. Walter C. 1988 Hard Saying of Old Testaments, Downers Grove: Intervarsiti Press, p 217).
Itu pun jelas penafsiran! Namun, anggap saja penafsiran itu berlaku untuk Hosea 1:2, tetapi bagaimana dengan Hosea 3:1? Dalam ayat itu, Hosea benar-benar mengetahui perempuan seperti apa Gomer itu. Selain suka bersundal, ia juga telah berzina dengan laki-laki lain. Bagi seorang Israel, Tuhan menghukum keras perzinaan dengan hukuman mati (Imamat 20:10, Ulangan 22:22, Yohanes 8:5).
Di samping itu, dari cara penulisan Hosea dalam pasal 2:1 itu, justru lebih tepat jika ditafsirkan bahwa ia tidak membuat kalimat sendiri, tetapi menulisulangkan kalimat dari Tuhan. Hal itu nyata dari bentuk kalimatnya yang bersifat langsung, bukan kalimat tidak langsung.
Jika sebuah ayat yang gamblang dan mudah dimengerti saja harus ditafsirkan supaya memenuhi syarat logika, hampir dipastikan semua ayat yang berkaitan langsung dengan apa yang dipersoalkan dalam ayat pertama itu harus ditafsirkan untuk mendukung penafsiran awal. Jadi, jelasnya, simpulan kelompok itu hanyalah bersifat penafsiran semata-mata karena merasa tidak terjerat dengan persoalan moral yang dikemukakan kelompok pertama. - Pandangan yang paling tepat berdasarkan Alkitab, yaitu bahwa Gomer telah menjadi pelacur sebelum dinikahi Hosea. Sebagaimana telah disebutkan, Hosea 1:1-9 merupakan narasi. Jadi, secara hermeneutik, harus dipahami secara harfiah pula. Persoalan moral yang dikemukakan kelompok pertama dan ketiga sebenamya masih dapat dipertanyakan. Bahkan, menurut Hill dan Walton, sesungguhnya pernikahan Hosea itu tidak tercemar secara moral
Larangan itu juga tidak dapat dikenakan secara langsung kepada para nabi. Dalam Perjanjian Lama, jabatan nabi berbeda dengan jabatan imam. Kalau begitu, larangan dalam Imamat 21:7,14 yang hanya berlaku khusus untuk para imam, pasti disebabkan oleh unsur tertentu, yaitu menyangkut jabatan mereka sebagai imam (Reff. Mitsvot No. 379). Karena jabatan imam berbeda dari jabatan nabi dalam konteks Perjanjian Lama, larangan itu tidak dapat diterapkan untuk para nabi.
Jika ada orang yang mengatakan bahwa pelayanan Hosea akan menjadi batu sandungan karena perkawinannya itu, hal itu sama sekali tidak benar. Justru, pada saat itu, umat Israel memang sudah murtad. Mereka tidak mau bertobat lagi. Jadi, dari pihak Allah, dengan pernikahan Hosea yang aneh itu, sesungguhnya Ia sedang menegur (menempelak) kekerasan hati mereka. Mereka semestinya bertanya-tanya mengapa Hosea yang saleh itu, yang selama itu jelas menunjukkan kasih setianya kepada Tuhan, secara tiba-tiba menikah dengan seorang perempuan sundal?
Jika hati mereka cukup terbuka dan bertanya kepada Hosea apa yang sedang terjadi, Hosea tentu akan menjelaskan bahwa semua itu dilakukannya karena disuruh Tuhan sebagai teguran keras kepada mereka, sebelum hukuman pembuangan berlangsung. Gomer, perempuan sundal itu, sesungguhnya adalah umat Israel sendiri.
Kondisi Krisis Membutuhkan Teguran Aneh:
Dalam zaman Perjanjian Lama, umat Israel sering murtad dari Tuhan. Puncak pemurtadan itu terjadi pada zaman raja-raja. Dalam situasi yang demikian, Tuhan menyampaikan firman-Nya bukan -lagi sekadar melalui kata-kata. Kata-kata saja tidak lagi mempan terhadap bangsa yang telah ratusan tahun menulikan telinganya dari suara Tuhan melalui nabi-nabi-Nya. Oleh sebab itu, Allah menegur mereka melalui peristiwa-peristiwa yang aneh dan sukar dimengerti secara umum.
Peristiwa-peristiwa itu sering berupa perlambang, yang diperagakan oleh para nabi-Nya di depan umat Israel. Terkadang peristiwa itu sangat sukar diterima akal manusia sebab sering tidak sesuai dengan Hukum Taurat, dan menurut sebagian orang, melanggar moral. Demikianlah, Tuhan menyuruh Hosea menikah dengan Gomer, seorang pelacur, sebagai simbol atas sikap Allah yang sangat mengasihi umat Israel Utara yang saat itu sudah sangat merosot kerohanian dan moralnya.
Beberapa contoh lain yang mirip dengan peristiwa itu adalah sebagai berikut.
- Yesaya disuruh Tuhan berjalan telanjang dan tidak berkasut selama tiga tahun (Yesaya 20:2-3). Hal itu merupakan simbol atau perlambang bagi Mesir dan Etiopia bahwa suatu saat nanti Asyur akan menggiring dan menawan mereka dengan telanjang (Yesaya 20:4). Tuhan dengan sengaja mempertontonkan Yesaya secara telanjang di hadapan umat Israel sebab Tuhan sudah bosan berbicara kepada mereka melalui kata-kata. Dalam hal itu, Israel Selatan, yang sedang ditekan bangsa Asyur, selalu bersandar pada pertolongan Mesir. Padahal, Tuhan sudah berulang-ulang menegur mereka supaya jangan bersandar pada Mesir, melainkan kepada Tuhan saja. Jadi, Tindakan simbolis dari Yesaya itu merupakan teguran keras kepada umat Yehuda bahwa bangsa yang mereka andalkan itu justru akan menjadi tawanan Asyur.
- Yeremia yang disuruh Tuhan membeli buli-buli di hadapan para tua-tua Israel, lalu memecahkannya di hadapan mereka juga sebagai tanda bahwa Tuhan akan memecahkan kerajaan Yehuda (Yeremia 19:1-15).
- Yehezkiel, di depan tua-tua Israel di pembuangan, disuruh Tuhan membawa barang-barangnya pada siang hari di atas bahunya seperti kelakuan seorang buangan, lalu melubangi tembok pada malam hari dan keluar dari lubang itu pada malam itu juga sebagai lambang kejatuhan Kerajaan Yehuda (Yehezkiel 12). Tuhan menyuruh demikian sebab umat Israel yang sudah di¬buang lebih dahulu ke Babel lebih percaya kepada para nabi palsu yang mengatakan bahwa dalam dua tahun mereka akan kembali ke Yerusalem, dan bahwa kerajaan Yehuda yang saat itu dipimpin oleh Zedekia tidak akan dibawa ke pembuangan. Tuhan juga menyuruh Yehezkiel membakar rotinya di atas kotoran, di hadapan mereka, sebagai simbol keadaan umat Yehuda di pembuangan yang akan memakan makanannya dengan makanan najis (Yehezkiel 4).
Walaupun umat Israel dinyatakan telah murtad, tetapi sejak awal panggilan Hosea, Allah telah menjanjikan pemulihan. Janji pemulihan itu disampaikan dalam nama-nama keluarga Hosea sendiri.
Sebagaimana dilaporkan Hosea, ada tiga anak yang dilahirkan Gomer.
- Anak pertama bernama Yizreel, jelas sebagai anak dari Hosea (1:3).
- Anak kedua bernama Lo-Ruhama, artinya tidak disayangi.
- Anak ketiga bernama Lo-Ami yang, artinya bukan umat-Ku (Hos. 2:3).
Kedua anak terakhir itu bukan anak-anak Hosea, melainkan hasil dari persundalan Gomer.
Telah disebutkan bahwa pernikahan Hosea serta nama anak-anaknya itu memiliki arti simbolis, yang melambangkan kasih Allah terhadap umat Israel yang murtad. Namun, karena perlambangan tersebut merupakan sebuah adegan peragaan hidup yang nyata, bukan hanya sekadar kata-kata simbolis, makna dari peragaan itu secara keseluruhan, selain berlaku secara simbolis, juga berlaku bagi oknum yang memperagakan. Jadi, pemulihan yang dijanjikan Tuhan bagi umat Israel berlaku juga bagi keluarga Hosea.
Kalau pada mulanya kedua anak itu tidak disayangi (Lo-Ruhama) dan bukan umat Allah (Lo-Ami) karena mereka merupakan anak-anak sundal (Hosea 1:2; 2:3), pada akhimya Lo-Ruhama akan menjadi Ruhama dan Lo-Ami akan menjadi Ami (Hosea 1:12; 2:22). Itu terjadi tentu karena anugerah-Nya, yang mengaruniakan pertobatan kepada kedua anak itu.
Bagaimana dengan Gomer sendiri? Gomer dipulihkan setelah lebih dahulu dibeli dari perbudakan oleh Hosea (3:1, 2; 2:18, 19). Gomer pada akhimya menyadari bahwa hanya Hosealah yang sungguh-sungguh mengasihinya (2:6).
Jelaslah bahwa tindakan Allah menyuruh Hosea menikah dengan Gomer, sang pelacur, bukan bermaksud mempermalukan Hosea, juga bukan merupakan dosa moral sebagaimana diyakini banyak orang, melainkan kasih Allah yang ajaib dan agunglah yang melandasi semua tindakan itu. Gomer dan ketiga anak-anaknya, Yizreel, Lo-Ruhama, dan Lo-Ami, sekarang telah bersama dengan Bapa Surgawi, di kediaman-Nya. Dalam hal itu, umat Israel men¬jadi mengerti betapa dalam kasih-Nya kepada mereka melalui alat peraga pernikahan Hosea itu.
Rela Dipakai demi Mewujudkan Kasih Allah
Semua rencana Allah yang agung itu dapat berhasil karena ada seseorang yang taat pada panggilan Tuhan dan rela menanggung beban di pundaknya. Orang itu adalah Hosea, seorang yang penuh kasih dan penuh kesabaran menanti pertobatan istri dan anak-anaknya.
Pernikahan itu pada mulanya memang sangat menyulitkan dan menyakitkan bagi kehidupan pribadi sang nabi. Betapa tidak, Hosea yang taat dan penuh belas kasih itu harus merelakan dirinya terhadap kemungkinan dicemooh dan dipermalukan oleh orang lain karena menikahi Gomer. Mungkin keluarganya menganggap Hosea telah jatuh ke dalam rayuan gombal seorang pelacur atau dosa percabulan telah menjerat dirinya sehingga menikahi Gomer! Bahkan, bukan mustahil orang-orang sezamannya memberi alasan bahwa ketidakbertobatan mereka disebabkan perilaku sang nabi yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat umum pada waktu itu. Mungkin masih banyak alasan lainnya yang dikemukakan untuk menjatuhkan nama Hosea.
Namun, Hosea tidak memedulikan semua itu. Baginya, yang terutama adalah mendengar dan menaati suara Tuhan! Ia tahu bahwa Allah pasti baik terhadap umat Israel, ia sendiri, dan juga rumah tangganya. Di samping itu, sebagai hamba Tuhan, Hosea tentu mengerti bahwa tindakan yang sesuai dengan norma-norma masyarakat umum belum tentu sesuai dengan kehendak Tuhan. Bahkan, norma umum justru sering menghambat pekerjaan Allah di bumi. Sebaliknya, tindakan yang berlawanan dengan norma-norma umum juga tidak selamanya melawan kehendak Allah. Pada zaman Tuhan Yesus, sekelompok orang membawa orang lumpuh dengan membuka atap rumah orang lain, yang sesungguhnya tidak sopan dan berlawanan dengan norma-norma umum. Namun, Tuhan Yesus malah memuji tindakan mereka itu sebagai beriman. Oleh sebab itu, Hosea tahu bahwa di balik semua penderitaan itu pasti ada rencana Allah yang agung dan ajaib walaupun mungkin hal itu pada mulanya masih samar-samar bagi Hosea.
Iman yang agung itulah yang rupanya meneguhkan dan menghiburkan hati Nabi Hosea. Bertahun-tahun, bahkan mungkin belasan tahun, Hosea menanggung penderitaan yang berat akibat sikap Gomer yang terus saja melacurkan dirinya. Hatinya tentu amat pedih menerima kenyataan bahwa dua bayi yang dilahirkan oleh Gomer bukan anaknya sendiri, melainkan hasil dari persundalan Gomer. Walaupun demikian, kedua anak itu sangat dikasihinya sebagaimana ia mengasihi anaknya sendiri. Justru, kedalaman kasih ilahi yang diterapkan Hosealah yang menjadi benih perangsang bagi pertobatan kedua anak itu pada akhimya.
Ketika Gomer menjadi budak akibat terbelit utang-utangnya, yang mungkin disebabkan sikap hidupnya yang boros, Tuhan kembali menyuruh Hosea mengambilnya dan mencintainya. Hosea pun, dengan penuh dedikasi kepada Sang Majikan, melakukan semuanya secara tuntas. Dalam semua penderitaan batin itu, tidak sekali pun Hosea kedapatan mengeluh kepada Tuhan! Ketaatan sepenuhnya yang didasari oleh iman yang teguh sudah menjadi ciri khas Nabi Hosea sepanjang hidupnya.
Ternyata benar, ketaatan Hosea itu mendapat pahala yang tidak ternilai harganya. Peragaan itu akhimya membuahkan nilai-nilai kekal, yaitu pemulihan jiwa-jiwa yang dimenangkan bagi Tuhan, yaitu umat Israel dan terutama keluarganya, sebagai sebuah kisah hidup yang berakhir dengan manis (happy ending).
Kasus pernikahan Hosea dan Gomer memberikan masukan-masukan berharga bagi anak-anak Tuhan sebagai berikut.
- Dalam dunia Perjanjian Lama, Tuhan sering menyuruh hamba-hamba-Nya, khususnya para nabi, melakukan sesuatu perkara yang melambangkan kasih, kuasa, dan murka Allah kepada umat manusia, khususnya kepada umat Israel. Misalnya, pernikahan Hosea merupakan simbol dari kasih-Nya yang ajaib kepada umat Israel yang membelakangi-Nya. Pekerjaan tukang periuk melambangkan kuasa Tuhan atas umat Israel dan atas semua bangsa (Yeremia 18: 1-17). Buli-buli yang pecah melambangkan murka Tuhan terhadap kerajaan Yehuda yang murtad (Yeremia 19).
Tindakan-tindakan simbolis itu dilakukan mereka agar umat Israel mengetahui bahwa Tuhan mereka sebagai Yang Mahakuasa, Mahakasih, dan Maha Pemurah.
Pada zaman Perjanjian Baru, tindakan simbolis seperti itu tidak lagi dipakai Tuhan karena Yesus sudah datang. Puncak kasih Allah telah dinyatakan di dalam karya penyaliban-Nya, sebagai satu-satunya jalan pengampunan dosa semua orang. Puncak murka Allah telah ditimpakan kepada Yesus di kayu salib karena dosa manusia. Puncak kemahakuasaan Allah diwujudkan dalam kebangkitan Tuhan Yesus. - Walaupun tidak berfungsi sebagai tindakan simbolis, Tuhan juga masih memakai anak-anak-Nya untuk memperagakan kasih dan kuasa-Nya melalui kesaksian hidup mereka. Sama seperti Hosea yang merelakan dirinya dipakai Tuhan demi kebaikan banyak orang, demikian juga anak-anak-Nya pada zaman ini. Tuhan sedang dan terus menanti anak-anak-Nya agar sungguh-sungguh bersedia dipakai Tuhan demi pemberitaan Injil kepada semua makhluk walaupun harus mengalami berbagai penderitaan.
No comments:
Post a Comment