Sejak berdiri menjadi sebuah negara pada 14 Mei 1948, hubungan antara Israel dengan negara-negara Arab di sekitarnya tidak pernah luput dari konflik. Negara- negara Arab sejak semula menolak keras Resolusi Partisi Palestina yang diterima Majelis Umum PBB pada 29 November 1947. Resolusi ini isinya membagi wilayah Palestina menjadi dua bagian, yaitu negara Arab Palestina dan negara Yahudi Palestina. Negara-negara Arab seperti Mesir, Irak, Libanon, dan Suriah melancarkan aksi ofensif kepada Israel tepat setelah proklamasi kemerdekaannya yang ditandai dengan penarikan mundur satuan-satuan Inggris dari daerah itu. Namun, Israel berhasil melawan serangan negara-negara Arab tersebut dengan para tentara terlatih yang telah dipersiapkan dan perlengkapan senjata yang telah dimobilisasi sebelum proklamasi.
Sebagai aksi balasan Perang Arab Israel pada tahun 1948 dan atas ketegangan yang dialami penduduk sipil di perbatasan sebelah utara, Israel melakukan serangan dalam Perang Enam Hari pada tahun 1967 terhadap Mesir, Yordania, dan Suriah. Dalam perang tersebut Israel berhasil menduduki Yerusalem Timur, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan. Hasil akhir perang inilah yang kemudian mempengaruhi pergeseran inti konflik antara Suriah dan Israel. Pada mulanya inti konflik menyangkut pembelaan Suriah sebagai sesama negara Arab terhadap Palestina dan kemudian bergeser menjadi pendudukan Israel atas wilayah kedaulatan Suriah, yakni Dataran Tinggi Golan.
Pada tahun 1973, Suriah bersama Mesir melakukan serangan mendadak terhadap Israel saat perayaan hari suci Yahudi yang disebut dengan Perang Yom Kippur. Serangan ini dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan kembali wilayah-wilayah yang telah diduduki oleh Israel pada tahun 1967. Meskipun pada awal pertempuran Mesir berhasil mengalahkan Israel, namun pada akhirnya Suriah mengalami kekalahan dan kerugian yang sangat besar. Selain karena wilayah Dataran Tinggi Golan tidak berhasil direbut, dalam perang ini Israel berhasil meluluhlantakkan Damaskus, ibukota Suriah.
Dengan keberhasilannya mematahkan serangan Suriah dalam perang Yom Kippur pada tahun 1973, Israel semakin percaya diri untuk menguasai Dataran Tinggi Golan. Pada 14 Desember 1981 Israel secara sepihak menganeksasi Dataran Tinggi Golan menjadi bagian dari teritorialnya. Israel juga menerapkan hukum yurisdiksi dan administrasi, serta menawarkan kewarganegaraan Israel bagi penduduk Suriah di Dataran Tinggi Golan. Setelah menganeksasi wilayah ini, Israel mulai membangun pemukiman-pemukiman dan mendatangkan para imigran Yahudi dari seluruh penjuru dunia, khususnya Eropa dan Afrika. Hal ini mendapat kecaman dan pertentangan dari Suriah dan dunia internasional. Tetapi tak banyak yang dapat dilakukan untuk menghentikan tindakan Israel ini karena besarnya dukungan negara-negara barat, khususnya Amerika Serikat.
Pada tahun 1991 upaya penyelesaian konflik mulai diarahkan pada jalur negosiasi. Perundingan demi perundingan dilakukan Suriah dan Israel dalam kerangka “land for peace” atau pengembalian wilayah sebagai imbalan perdamaian. Upaya perdamaian ini mengalami pasang surut karena dipengaruhi oleh fluktuasi pembicaraan damai sengketa wilayah Palestina dan Israel. Perubahan politik domestik kedua negara dan politik regional Timur Tengah juga mempengaruhi pembicaraan damai Suriah dan Israel. Kegagalan dalam setiap perundingan juga dipengaruhi oleh kebuntuan kompromi terhadap masing-masing kepentingan dan keengganan kedua pemimpin untuk sungguh-sungguh menciptakan perdamaian.
Pada masa pemerintahan PM Yitzhak Shamir (1986- 1992), atas tekanan Amerika Serikat Israel akhirnya duduk dalam meja perundingan bersama Suriah pada 30 Oktober 1991 dalam Konferensi Madrid di Washington, Amerika Serikat. Pembicaraan antara delegasi kedua negara bersama delegasi lain mewakili negara Libanon, Yordania, dan Palestina ini mengarah pada masalah pengawasan senjata, keamanan, air, pengungsi, lingkungan, dan pembangunan ekonomi. Negosiasi dilanjutkan pada masa pemerintahan PM Yitzhak Rabin (1992-1995), pada 24 Mei 1995 di Institut Aspen Wye River Conference Center di Virginia. Pembicaraan ini telah mencapai kesepahaman tentang perdamaian. Negosiasi ini tidak mengalami kemajuan sejak tahun 1996 karena sikap keras PM Benjamin Netanyahu (1996-1999) yang tidak memberi perhatian terhadap pencapaian dalam perundingan yang selama ini berjalan.
Pada 3 Januari 2000, delegasi kedua negara ini melakukan pertemuan di Shepherdstown, West Virginia, selama seminggu lebih untuk melanjutkan pembicaraan. PM Ehud Barak (1999-2001) menawarkan Israel akan menarik diri dari Dataran Tinggi Golan dengan imbalan jaminan keamanan dari Suriah, normalisasi hubungan, dan demiliterisasi Dataran Tinggi Golan. Namun, Israel bersikeras dalam mempertahankan akses ke Laut Galilea. Presiden Hafez al-Assad menolak tawaran perdamaian Israel itu dan negosiasi kembali menemui jalan buntu.
Meskipun sejak tahun 1991 hingga putaran akhir perundingan tahun 2000 belum membuahkan hasil dan gagal menghasilkan kesepakatan, namun keterlibatan kedua negara dalam serangkaian perundingan untuk menentukan tuntutan masing-masing negara telah menjadi landasan perdamaian yang semakin hari semakin terbuka peluang penyelesaiannya. Seperti misalnya pengaturan masalah keamanan dan normalisasi hubungan telah dicapai sesuai dengan sudut pandang Suriah, tetapi untuk masalah air PM Ehud Barak menyatakan tidak ada kompromi dari Israel.
Pada masa pemerintahan PM Ariel Sharon (2001- 2003) memang tidak ada pembicaraan Israel akan mundur dari Dataran Tinggi Golan. Tapi pada akhir masa pemerintahannya, kebijakan melepaskan Jalur Gaza dari kekuasaannya sempat menimbulkan kekhawatiran rakyat Israel akan penarikan diri Israel dari Dataran Tinggi Golan juga. Namun, kekhawatiran itu tidak terjadi sampai PM Ehud Olmert (2006-2009) menggantikannya.
Pada tahun 2007, Suriah melalui Presiden Bashar al-Assad menunjukkan sinyalemen untuk kembali duduk dalam meja perundingan. Hal ini disambut baik oleh PM Ehud Olmert dan menyatakan kesediaan Israel untuk menyerahkan kembali Dataran Tinggi Golan kepada Suriah. Kedua negara memandang baik negara tetangganya Turki sebagai mediator yang cukup seimbang untuk memfasilitasi kedua negara ini dalam perundingan. Dalam Konferensi Annapolis pada 27 November 2007 yang diselenggarakan oleh Amerika Serikat, tidak ada terobosan dan kesepakatan yang ditandatangani mengenai sengketa wilayah Palestina dan Israel karena penolakan Palestina untuk mengakui Israel sebagai sebuah negara Yahudi dan ketidakmampuan Palestina untuk menghentikan serangan kekerasan terhadap Israel. Tetapi setidaknya negosiasi yang sedang dilakukan oleh Suriah dan Israel mendapat perhatian khusus. Ada dukungan dari dunia internasional menyangkut negosiasi Suriah dengan Israel sehingga kedua negara ini didorong untuk meneruskan negosiasi yang sedang dilakukan, menuju perundingan bilateral.
Pada 2008, perundingan dengan mediasi Turki pun berjalan. Ketiga negara menyepakati modal negosiasi yang sudah dimulai dengan sungguh-sungguh sejak awal tahun 2008. Meskipun rincian perundingan kedua negara tetap dirahasiakan, pembicaraan kedua negara sudah mencapai pembicaraan tahap akhir pada Desember 2008. Suriah mampu memenuhi persyaratan Israel yang menyangkut demiliterisasi Dataran Tinggi Golan, penempatan pasukan pemeliharaan perdamaian di wilayah Suriah, dan sistem pemantauan untuk mencegah pelanggaran perjanjian. Selain itu kedua belah pihak setuju untuk penarikan bertahap pasukan Israel untuk menjamin transisi yang tertib dan waktu untuk memukimkan kembali semua pemukim. Suriah juga setuju untuk masalah pembagian air dan merencanakan pengembangan taman yang dikelola bersama di Dataran Tinggi Golan, serta ijin khusus bagi pemukim Israel untuk bisa memasuki wilayah Dataran Tinggi Golan. Namun, setelah melakukan konsultasi dengan pemerintah PM Ehud Olmert tidak memberikan konfirmasi terhadap kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai untuk segera ditandatangani dan dijalankan. Bahkan Israel melancarkan serangan besar-besaran ke Jalur Gaza. Hal ini kemudian kembali membuat buntu upaya perdamaian karena Turki dan Suriah telah menghentikan negosiasi Harapan diserahkannya kembali Dataran Tinggi Golan kepada Suriah semakin pudar sejak dilantiknya Benjamin Netanyahu sebagai perdana menteri Israel yang baru pada 31 Maret 2009. PM Benjamin Netanyahu bersikeras menyatakan tidak akan merundingkan masalah Dataran Tinggi Golan dengan Suriah dan akan tetapmempertahankannya dalam kekuasaan Israel. Bahkan pemimpin Israel ini mengecam para pendahulunya yang pernah menyetujui untuk menyerahkan kembali Dataran Tinggi Golan kepada Suriah. Bagi PM Benjamin Netanyahu, Israel siap untuk melakukan perundingan damai dengan Suriah tanpa prasyarat apapun. Perdamaian harus dilakukan dalam kerangka “peace for peace” atau perdamaian untuk perdamaian. Bahkan, di bawah tekanan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, PM Benjamin Netanyahu tetap tak bergeming. Melihat dari sejarah panjang perjalanan konflik Suriah dan Israel yang telah mencapai puluhan tahun ini, tentu ada alasan-alasan krusial yang melatarbelakangi kebijakan PM Benjamin Netanyahu untuk tidak menyerahkan kembali Dataran Tinggi Golan kepada Suriah.
No comments:
Post a Comment