Awal mula sejarah bangsa Israel menghilang ke dalam kabut yang kabur. Kenyataan dan dongeng bercampur baur tak terpisahkan. Namun demikian legenda itu itu sendiri menjadi unsur tak terhapus dalam kesadaran kita akan sejarah. Legenda itu mempunyai realitasnya sendiri. Apa yang berabad-abad lamanya umum dipercaya sebagai peristiwa yang pernah terjadi di bagian dunia yang disebut "Timur Tengah", tidak kurang turut menentukan jalannya sejarah dunia dari pada apa yang sesungguhnya terjadi menurut penyelidikan yang akhir-akhir ini diadakan.
Waktu Israel melintasi ambang pintu sejarah, maka wilayah Timur Tengah dikuasai oleh raja-raja yang berkediaman di pinggir sungai Nil dan di daerah Mesopotamia (wilayah antar sungai, yakni Efrat dan Tigris). Di tepi sungai Nil, di pinggir sungai Efrat dan Tigris yang airnya melimpah itu sudah berkembanglah dusun-dusun, yang penghidupannya tidak bergantung pada turunnya hujan yang tidak menentu. Maka para penghuni lembah sungai Nil dan daerah Mesopotamia tak perlu hidup sebagai suku-suku badui seperti suku-suku lain di daerah Timur Tengah yang setiap tahun terpaksa mengembara ke sana-sini untuk mencari tanah rumput bagi ternaknya.
Di masa bangsa Israel terbentuk, maka negeri Mesir sudah berabad-abad lamanya merupakan sebuah negara yang terorganisasi dengan baik-baik. Para Firaun (bukan nama, melainkan gelar) tidak hanya menjadi kepala bangsanya, tetapi juga pelindung dan pemupuk peradaban yang mengesankan. Sampai hari ini piramide-piramide di negeri Mesir masih memberi kesaksian tentang aspirasi dan kebesaran para Firaun. Suratan-suratan yang dengan tulisan sakral yang disebut "hieroglifa" tersurat pada dinding kuil-kuil dan makam-makam masih juga menyatakan ambisi para Firaun yang gila hormat untuk menyimpan dan mewariskan pengalaman yang banyak mereka kumpulkan bagi angkatan-angkatan yang menyusul. Arca raksasa dan lukisan yang menurut patokan seni yang ketat dilukiskan pada dinding-dinding masih memperlihatkan bakat seni, kendati keterbatasannya akibat teknik seni yang sangat terikat pada pola-pola tradisional. Beberapa kali kekuasaan politik para Firaun melingkupi sebuah wilayah yang mulai pada sumber-sumber sungai Nil di negeri Nubia (sekarang Sudan) di bagian selatan sampai dengan gurun Sinai, negeri Kanaan dan Siria di bagian utara. Adakalanya tentara Firaun juga menyerbu ke negeri Libia di bagian barat. Hanya di sebelah timur laut pengluasan kekuasaan Firaun terbentur pada batas-batas yang dipasang oleh kerajaan-kerajaan yang susul-menyusul berkembang di daerah Mesopotamia, di antara kedua sungai besar, Efrat dan Tigris.
Di daerah itu mulailah sejarah yang berawal orang-orang Sumer dan yang dapat kita ketahui berkat berbagai bahan yang masih tersedia. Di wilayah itu dan di bawah kekuasaan raja-raja yang berganti-ganti muncullah berbagai kerajaan, negara dan peradaban yang susul-menyusul, yang satu dihisap oleh yang lain. Sekitar tahun 2000 sebelum Masahi kerajaan orang-orang Sumer digulingkan oleh orang-orang Akkad. Adapun orang-orang Akkad yang suka berperang itu berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai jauh di luar daerah Mesopotamia. Bangsa Akkad mendirikan kerajaan yang paling berkuasa di dunia pada zaman itu. Gelombang invasi yang berikutnya datang dari bagian barat. Suku-suku Amori menjatuhkan kerajaan orang-orang Akkad. Dari bangsa Amori berpancarlah sejumlah wangsa kerajaan yang memuncak dalam wangsa kerajaan Babel.
Ketika bangsa Ibrani tampil di panggung sejarah maka bangsa Sumer, bangsa Akkad dan Babel sudah berabad-abad lamanya mencapai tingkat kebudayaan yang tinggi. Desa-desa yang didiami kaum tani sudah berkembang menjadi negara-negara yang berupa kota dan yang menjalankan perdagangan yang mujur serta mengenal ketrampilan bermutu. Berkat penemuan system angka maka cara hidup dan pemikiran orang-orang Babel menjadi lebih teliti, saksama serta teratur dari pada seandainya tanpa sistem semacam itu. Tulisan Babel yang berupa paku jauh lebih baik dari pada tulisan Mesir yang berupa hieroglifa untuk melayani macam-macam keperluan. Para dewa, terutama dewata langit udara, surya dan rembulan dipuja dalam kuil-kuil yang berhias mengesankan. Dibangunlah sistem perairan saksama yang sangat memperluas wilayah pertanian, jauh di luar daerah yang digenangi oleh sungai Efrat dan Tigris. Tingkat tinggi kebudayaan Babel terutama tampak dalam kehidupan dan karya raja Hammurabi. Dalam abad 19 seb. Mas. raja itu dengan bangga menyebut dirinya: "Raja Babel, Sumer dan Akkad dan raja keempat benua". Raja Hammurabi merebut banyak daerah lain dan masih memperluas perdagangan negerinya. Tetapi Hammurabi terutama mendapat nama karena "Kitab Hukumnya". "Kitab Hukum" itu tersurat pada tiang batu yang dalam tahun 1901 diketemukan dan sekarang tersimpan di musium Louvre di kota Paris. Dengan bangga, seperti lazim pada negarawan, Hammurabi dengan singkat sekali (hal mana kurang lazim pada negarawan) memberitakan tentang pemerintahannya sebagai berikut: "Kepada negeri Sumer dan Akkad saya memberikan air yang tak kunjung habis. Kedua bangsa yang terpisah itu saya persatukan. Saya melimpahi mereka dengan berkah dan kesejahteraan. Saya membuat mereka diam di kediaman-kediaman yang aman-sentosa."
Menurut berita-berita yang tercantum baik dalam Alkitab maupun dalam sumber-sumber lainnya maka suku-suku Ibrani berasal dari wilayah Mesopotamia. Waktu suku-suku itu memasuki negeri Kanaan, mereka bukan suku-suku badui yang primitip lagi. Mereka bercirikan tempat kelahirannya, yakni Babel, sehingga mereka diresapi tradisi kebudayaan lama dari orang-orang Sumer, Akkad dan Babel. Kemudian mereka juga berkenalan dengan peradaban Mesir, sebab beberapa lamanya suku-suku Ibrani itu menetap di negeri di tepi sungai Nil itu. Namun demikian suku-suku itu memilih sebagai tanah airnya sebuah daerah yang terletak antara kedua kerajaan raksasa di bagian Timur Tengah itu. Di sana, di selajur tanah antara sungai Nil dan sungai Efrat, di tanah yang adakalanya menjadi jembatan dan adakalanya menjadi jurang antara dua kerajaan raksasa itu, orang-orang Ibrani memperjuangkan identitas kebangsaannya. Identitas itu terus-menerus terancam, namun dapat dipertahankan juga. Di negeri Kanaan, yang mendapat nama berkat suku-suku Ibrani itu, mereka tetap dibayangi oleh negeri Mesir atau negeri Mesopotamia. Tetapi akhirnya suku-suku itu hidup lebih lama dari pada negara raksasa itu, bahkan menjadi lebih penting.
Daerah tersebut oleh para sejarawan kerap kali disebutkan sebagai "Bulan Sabit yang subur". Namun demikian kata sifat "subur" itu bisa menipu. Sebab di samping tiap-tiap bidang tanah yang hijau bentanglah daerah luas yang hanya pasir dan batu belaka. Di zaman dahulu daerah ini menjadi tanah lalu lintas yang padat. Bangsa-bangsa, bala tentara, suku-suku badui, kaum dagang dan kafilah-kafilah melintasinya pulang-pergi. Di zaman dahulu dan kemudian daerah bulan Sabit yang subur itu menjadi tempat di mana orang tidak hanya tukar-menukar barang dagangan, tetapi juga pikiran. Pikiran itu sesudah dirubah dan dibentuk kembali lalu disebar-luaskan ke mana-mana.
Di daerah orang-orang Ibrani menetap jarang sekali ada kemantapan dan keamanan, seperti Mesir dan Mesopotamia sering kali menikmatinya berabad-abad lamanya. Para penduduk daerah itu terus-menerus dalam perjalanan ke wilayah lain atau terancam kebinasaan. Kebanyakan suku-suku itu hanya kita kenal namanya saja. Nama-nama itu terdapat dalam daftar bangsa dan suku sebagaimana disajikan Alkitab dan sumber-sumber lain. Tetapi tiba-tiba muncullah dari daerah Mesopotamia sekelompok suku yang lalu berurat-berakar di bagian barat daya daerah Bulan Sabit yang Subur. Suku-suku itu mengembangkan identitas nasionalnya sendiri yang mewariskan dua hadiah, yakni: sejumlah hukum susila yang berdasarkan pemandangan unggul terhadap sejarah dan di samping itu sejumlah kitab yang memberikan kesaksian tentang keluhuran budi dan hawa napsu, dan yang sepanjang sekian banyak abad oleh lebih banyak orang dihormati dan dikagumi dari pada kitab lain manapun, sebelumnya atau sesudahnya.
Para moyang sebuah bangsa
Pendapat bahwa mereka berasal dari seorang moyang saja memanglah sangat menolong mempertahankan kesatuan bangsa Ibrani. Namun demikian kisah tentang Abraham, Ishak dan Yakub, yang tercantum dalam Kitab Kejadian mempunyai beberapa ciri sebuah mythos nasional, yang cukup lazim. Kisah itu mengingatkan suatu zaman, waktu para dewa masih secara mesra bergaul dengan manusia dan turun tangan dalam hidup sehari-hari. Meskipun gaya bahasa kisah itu serupa dengan gaya bahasa legenda dan bahasanya mirip dengan bahasa dongeng, namun rangka dan latar belakang cerita-cerita itu bersesuaian dengan apa yang oleh ilmu sejarah ditampilkan sebagai hal yang dapat dipercaya. Misalnya cukup terbukti bahwa di masa raja Hammurabi di Babel dan juga kemudian dari itu banyak keluarga dan suku berkeliaran di bagian pinggir daerah Bulan Sabit yang Subur. Alkitab memberitakan bahwa Abraham sendiri meninggalkan kota Ur Kasdim di bagian barat daya Mesopotamia. Ia pindah ke kota (daerah) Haran, sebuah pusat orang-orang Amori di bagian barat laut Mesopotamia. Di Haran Abraham disuruh oleh Allah meninggalkan negeri dan sukunya sendiri untuk mendirikan sebuah bangsa baru di negeri lain. "Aku akan membuat engkau jadi bangsa yang besar. Aku akan memberkati engkau dan membesarkan namamu, sehingga engkau menjadi berkat" (Kej. 12:2).
Taat kepada pesan ilahi itu Abraham menempuh perjalanan menuju ke bagian barat Palestina (nama itu baru diberi jauh di kemudian hari), yakni negeri orang-orang Kanaan. Kepada Abraham dijanjikan sebagai milik warisan negeri yang membentang dari "Dan sampai ke Bersyeba". Kebanyakan penduduk negeri itu berbangsa Semit. Namun demikian negeri itu karena tanahnya yang berbeda-beda serta iklimnya yang berlain-lainan, dengan pegunungan dan tanah dataran, dengan penduduknya yang bermacam-macam kebangsaannya, merupakan daerah yang secara alamiah mesti menghasilkan berbagai negara kecil. Dalam kenyataan di daerah itu terdapat sejumlah kerajaan kerdil, yang dengan pesatnya muncul dan menghilang. "Raja" yang kepadanya Abraham menjual sebidang tanah dan yang dari padanya ia membeli sejumlah sumber air, kiranya hanya kepala suku, sama seperti Abraham sendiri. Bagaimanapun juga hanya beberapa bagian yang hijau sajalah yang dapat didiami secara tetap. Pada umumnya negeri Kanaan hanya dapat menjamin nafkah kepada suku-suku badui yang puas dengan apa yang mutlak perlu dan taraf hidup minimal. Adapun Abraham, Ishak dan Yakub tidak hidup seperti kaum tani yang menetap dan tidak pula seperti kaum badui. Cara hidupnya setengah-setengah. Mereka mengembara dari kota-kota seperti Yerusalem, Hebron, Bersyeba dan Gerar ke mata air dan sumber di padang gurun. Memanglah tanah Palestina bukan tanah yang menarik untuk menetap dan bertani. Suatu ikatan kuat mempertahankan kesatuan keluarga yang terus-menerus bepergian, bukanlah untuk mencari tanah di mana dapat mendirikan sebuah negara, melainkan hanya untuk mencari penghidupan saja. Kemudian, yakni di masa Yusuf, suku-suku Ibrani itu mulai ikut-serta dalam lalu lintas perdagangan internasional; mereka bergabung dengan kafilah-kafilah yang dengan membawa rempah-rempah, mur dan balsam bertolak dari daerah Gilead. Tetapi Abraham hanya menuju ke sebelah selatan, ke negeri Mesir, waktu di masa paceklik negeri Kanaan tertimpa kelaparan. Setelah padang rumput menghijau lagi, maka segera ia kembali ke Kanaan.
Keluarga Abraham membeli di Hebron sebuah gua, yakni Makpela, yang dijadikan makam keluarga. Setelah Abraham meninggal dunia, maka anaknya, Ishak, bertanggung jawab untuk meneruskan keluarga. Ia menghendaki bahwa anak bungsunya, Yakub, kawin dengan seorang puteri dari keluarga yang masih berkerabat, supaya ikatan keluarga jangan terputus. Namun demikian antara kedua saudara kembar, yakni Esau dan Yakub, terjadi percekcokan, baik karena alasan pribadi maupun alasan ekonomis. Esau disebut sebagai "orang yang pandai berburu, suka mengembara di padang-padang, sedang Yakub menjadi orang yang tenang, yang tinggal di kemah" (Kej. 25:27).
Dengan kedua istrinya Lea dan Rakhel dan dengan kedua hamba sahaya istrinya Yakub memperanakkan dua belas putra: Ruben, Syimeon, Lewi, Yehuda, Issakar, Zabulon, Dan, Neftali, Gad, Asyer, Yusuf dan Benyamin. Keturunan ke duabelas anak Yakub itu, yakni "suku-suku Israel" atau Bani Israel" atau "orang-orang Israel" menjadi satu kelompok yang jelas dapat dikenal sebagai sebuah kesatuan sosial. Pada umumnya mereka tidak masuk persekutuan militer dengan suku di luar kelompoknya sendiri; negeri Kanaan mereka anggap sebagai tanah dan warisannya. Manakala paceklik memaksa mereka mengungsi di negeri Mesir, maka mereka merasa dirinya sebagai "orang asing" dan "perantau" di sana, sebagai "tamu" yang untuk sementara waktu tinggal di pembuangan. Ciri suku-suku itu yang khas dan yang membedakan mereka dengan suku-suku lain yang serumpun, ialah (menurut pendapat umum) agamanya yang kurang lebih monoteistis. Mereka yakin bahwa Allah mereka membimbing apa yang terjadi di dunia dan menentukan nasib manusia. Dalam hal ini mereka berbeda sekali dengan agama orang-orang Mesopotamia dan Mesir, yang politeistis dan sangat samar-samar.
Cita-cita orang-orang Ibrani
Jadi pertimbangan-pertimbangan rohaniah-keagamaanlah yang mendorong Abraham untuk pergi dan yang mempersatukan keturunannya. Memanglah baik bagi perginya Abraham maupun bagi persatuan suku-suku Israel tidak ada keterangan lain kecuali motip-motip keagamaan tersebut. Sebab negeri Mesopotamia, tempat kelahiran Abraham, merupakan pusat dan asal-mula kebudayaan di zaman itu. Kesenian di sana jauh lebih maju dan lebih halus dari pada yang di negeri Kanaan. Berkat tata-hukum dan perdagangan maka masyarakat di sana jauh lebih mantap dari pada di tempat manapun. Maka tidak dapat tidak Abraham mengungsi karena terdorong oleh keyakinannya dan karena memprotes masyarakat yang ada di Mesopotamia. Demikian pun dapat disimpulkan dari berita yang tercantum dalam Kitab Kejadian bahwa Abraham memprotes kekurangan logika yang melekat pada cara hidup dan cara berpikir di Mesopotamia; dan ia pun yakin bahwa di tempat lain dapat menemukan jawaban yang lebih memuaskan atas teka-teki yang terpancar dari nasib manusia.
Adapun kisah mengenai para bapa bangsa dalam Kitab Kejadian ia menyusul kisah-kisah mengenai penciptaan dan air-bah. Di dalam kisah-kisah itu ditemukan banyak unsur yang juga dikenal oleh tradisi di Babel; kisah mengenai Yusuf memuat beberapa nama dan cerita-cerita yang aslinya berasal dari negeri Mesir. Namun demikian, apa yang membedakan para bapa bangsa dengan dunia sekitarnya jauh lebih penting dari pada apa yang mengkaitkan mereka dengan adat kebiasaan sezamannya. Awal-mula sejarah Israel yang menghilang ke dalam kabut mesti berupa sebuah revolusi, sebuah protes terhadap tradisi dan bukanlah kelanjutannya: tampil sebuah pandangan baru mengenai manusia dan mengenai dunia dan berbarengan dengan itu ditolaklah pandangan mitologis dan panteon yang berisikan dewa-dewa yang saling bertentangan. Gagasan bahwa hanya ada satu Allah yang esa dan transenden, secara dasari merubah pandangan yang lama dan menciptakan kategori-katagori pemikiran yang baru. Maka dari itu pengungsian Abraham dari negeri kelahirannya mesti diartikan sebagai pemutusan radikal dengan pandangan kafir. Sebagai penggantinya agama Israel menerima adanya Yang Esa yang menguasai segala sesuatu; Yang Berbudi yang mengarahkan segala-galanya kepada sebuah tujuan, Allah yang mengusahakan apa yang baik menurut tata-susila dan yang sifat utama-Nya ialah kebaikan hati.
Adapun bangsa Israel menulis sejarahnya dengan disinari cita-cita yang baru. Sejarah Israel yang merangkum pengungsian Abraham ke negeri Kanaan sampai dengan tinggalnya Yakub serta anak-anaknya di negeri Mesir itu turut memberi ciri yang khas kepada alam pikiran bangsa Yahudi. Sejarah itu bukanlah sebuah tawarikh mengenai pahlawan-pahlawan yang mengatasi manusia di zaman awal-mula dahulu; bukan pulalah sejarah mengenai sebuah dunia para pahlawan, sebagaimana yang suka dibayangkan oleh bangsa Yunani dan bangsa-bangsa lain dari zaman dahulu sebagai awal-mula sejarahnya sendiri. Sudah barang tentu kisah-kisah tentang Abraham, Ishak dan Yakub berisikan keinsafan bahwa mereka terpilih oleh Allah. Tetapi di samping itu diceritakan tentang hal-hal biasa dan yang keduniaan; dikisahkan sebuah cara hidup sederhana di mana perjuangan dan tipu-daya bergiliran dengan perasaan manis dan halus. Baik dalam kesusastraan dari zaman kemudian maupun dalam tradisi bangsa Yahudi, Abraham, moyangnya, dianggap sebagai teladan dan penjelmaan dua sikap hati yang ulung, yakni: kebaikan hati dan kehalusan budi dalam pergaulan dengan sesama manusia, dan kepercayaan serta penyerahan kepada kehendak Allah, suatu penyerahan yang jauh lebih dari hanya kerendahan hati saja. Juga tradisi Kristen dan Islam menganggap Abraham sebagai tokoh historis benar dan menghormatinya sebagai moyang rohaninya. Tetapi untuk bangsa Israel Abraham menjadi moyang pertama yang tidak ada tara bandingnya; lambing keunggulan bangsa Ibrani. Dijiwai oleh perjanjian, yang diikat Allah dengan Abraham, dan dipersatukan oleh ingatan akan ketiga angkatan yang menyusul moyangnya itu bani Israel, yang di negeri Mesir mengalami nasib buruk, tampil di panggung sejarah resmi di pertengahan milenium ke-2 sebelum Masehi.
Waktu Israel melintasi ambang pintu sejarah, maka wilayah Timur Tengah dikuasai oleh raja-raja yang berkediaman di pinggir sungai Nil dan di daerah Mesopotamia (wilayah antar sungai, yakni Efrat dan Tigris). Di tepi sungai Nil, di pinggir sungai Efrat dan Tigris yang airnya melimpah itu sudah berkembanglah dusun-dusun, yang penghidupannya tidak bergantung pada turunnya hujan yang tidak menentu. Maka para penghuni lembah sungai Nil dan daerah Mesopotamia tak perlu hidup sebagai suku-suku badui seperti suku-suku lain di daerah Timur Tengah yang setiap tahun terpaksa mengembara ke sana-sini untuk mencari tanah rumput bagi ternaknya.
Di masa bangsa Israel terbentuk, maka negeri Mesir sudah berabad-abad lamanya merupakan sebuah negara yang terorganisasi dengan baik-baik. Para Firaun (bukan nama, melainkan gelar) tidak hanya menjadi kepala bangsanya, tetapi juga pelindung dan pemupuk peradaban yang mengesankan. Sampai hari ini piramide-piramide di negeri Mesir masih memberi kesaksian tentang aspirasi dan kebesaran para Firaun. Suratan-suratan yang dengan tulisan sakral yang disebut "hieroglifa" tersurat pada dinding kuil-kuil dan makam-makam masih juga menyatakan ambisi para Firaun yang gila hormat untuk menyimpan dan mewariskan pengalaman yang banyak mereka kumpulkan bagi angkatan-angkatan yang menyusul. Arca raksasa dan lukisan yang menurut patokan seni yang ketat dilukiskan pada dinding-dinding masih memperlihatkan bakat seni, kendati keterbatasannya akibat teknik seni yang sangat terikat pada pola-pola tradisional. Beberapa kali kekuasaan politik para Firaun melingkupi sebuah wilayah yang mulai pada sumber-sumber sungai Nil di negeri Nubia (sekarang Sudan) di bagian selatan sampai dengan gurun Sinai, negeri Kanaan dan Siria di bagian utara. Adakalanya tentara Firaun juga menyerbu ke negeri Libia di bagian barat. Hanya di sebelah timur laut pengluasan kekuasaan Firaun terbentur pada batas-batas yang dipasang oleh kerajaan-kerajaan yang susul-menyusul berkembang di daerah Mesopotamia, di antara kedua sungai besar, Efrat dan Tigris.
Di daerah itu mulailah sejarah yang berawal orang-orang Sumer dan yang dapat kita ketahui berkat berbagai bahan yang masih tersedia. Di wilayah itu dan di bawah kekuasaan raja-raja yang berganti-ganti muncullah berbagai kerajaan, negara dan peradaban yang susul-menyusul, yang satu dihisap oleh yang lain. Sekitar tahun 2000 sebelum Masahi kerajaan orang-orang Sumer digulingkan oleh orang-orang Akkad. Adapun orang-orang Akkad yang suka berperang itu berhasil memperluas wilayah kekuasaannya sampai jauh di luar daerah Mesopotamia. Bangsa Akkad mendirikan kerajaan yang paling berkuasa di dunia pada zaman itu. Gelombang invasi yang berikutnya datang dari bagian barat. Suku-suku Amori menjatuhkan kerajaan orang-orang Akkad. Dari bangsa Amori berpancarlah sejumlah wangsa kerajaan yang memuncak dalam wangsa kerajaan Babel.
Ketika bangsa Ibrani tampil di panggung sejarah maka bangsa Sumer, bangsa Akkad dan Babel sudah berabad-abad lamanya mencapai tingkat kebudayaan yang tinggi. Desa-desa yang didiami kaum tani sudah berkembang menjadi negara-negara yang berupa kota dan yang menjalankan perdagangan yang mujur serta mengenal ketrampilan bermutu. Berkat penemuan system angka maka cara hidup dan pemikiran orang-orang Babel menjadi lebih teliti, saksama serta teratur dari pada seandainya tanpa sistem semacam itu. Tulisan Babel yang berupa paku jauh lebih baik dari pada tulisan Mesir yang berupa hieroglifa untuk melayani macam-macam keperluan. Para dewa, terutama dewata langit udara, surya dan rembulan dipuja dalam kuil-kuil yang berhias mengesankan. Dibangunlah sistem perairan saksama yang sangat memperluas wilayah pertanian, jauh di luar daerah yang digenangi oleh sungai Efrat dan Tigris. Tingkat tinggi kebudayaan Babel terutama tampak dalam kehidupan dan karya raja Hammurabi. Dalam abad 19 seb. Mas. raja itu dengan bangga menyebut dirinya: "Raja Babel, Sumer dan Akkad dan raja keempat benua". Raja Hammurabi merebut banyak daerah lain dan masih memperluas perdagangan negerinya. Tetapi Hammurabi terutama mendapat nama karena "Kitab Hukumnya". "Kitab Hukum" itu tersurat pada tiang batu yang dalam tahun 1901 diketemukan dan sekarang tersimpan di musium Louvre di kota Paris. Dengan bangga, seperti lazim pada negarawan, Hammurabi dengan singkat sekali (hal mana kurang lazim pada negarawan) memberitakan tentang pemerintahannya sebagai berikut: "Kepada negeri Sumer dan Akkad saya memberikan air yang tak kunjung habis. Kedua bangsa yang terpisah itu saya persatukan. Saya melimpahi mereka dengan berkah dan kesejahteraan. Saya membuat mereka diam di kediaman-kediaman yang aman-sentosa."
Menurut berita-berita yang tercantum baik dalam Alkitab maupun dalam sumber-sumber lainnya maka suku-suku Ibrani berasal dari wilayah Mesopotamia. Waktu suku-suku itu memasuki negeri Kanaan, mereka bukan suku-suku badui yang primitip lagi. Mereka bercirikan tempat kelahirannya, yakni Babel, sehingga mereka diresapi tradisi kebudayaan lama dari orang-orang Sumer, Akkad dan Babel. Kemudian mereka juga berkenalan dengan peradaban Mesir, sebab beberapa lamanya suku-suku Ibrani itu menetap di negeri di tepi sungai Nil itu. Namun demikian suku-suku itu memilih sebagai tanah airnya sebuah daerah yang terletak antara kedua kerajaan raksasa di bagian Timur Tengah itu. Di sana, di selajur tanah antara sungai Nil dan sungai Efrat, di tanah yang adakalanya menjadi jembatan dan adakalanya menjadi jurang antara dua kerajaan raksasa itu, orang-orang Ibrani memperjuangkan identitas kebangsaannya. Identitas itu terus-menerus terancam, namun dapat dipertahankan juga. Di negeri Kanaan, yang mendapat nama berkat suku-suku Ibrani itu, mereka tetap dibayangi oleh negeri Mesir atau negeri Mesopotamia. Tetapi akhirnya suku-suku itu hidup lebih lama dari pada negara raksasa itu, bahkan menjadi lebih penting.
Daerah tersebut oleh para sejarawan kerap kali disebutkan sebagai "Bulan Sabit yang subur". Namun demikian kata sifat "subur" itu bisa menipu. Sebab di samping tiap-tiap bidang tanah yang hijau bentanglah daerah luas yang hanya pasir dan batu belaka. Di zaman dahulu daerah ini menjadi tanah lalu lintas yang padat. Bangsa-bangsa, bala tentara, suku-suku badui, kaum dagang dan kafilah-kafilah melintasinya pulang-pergi. Di zaman dahulu dan kemudian daerah bulan Sabit yang subur itu menjadi tempat di mana orang tidak hanya tukar-menukar barang dagangan, tetapi juga pikiran. Pikiran itu sesudah dirubah dan dibentuk kembali lalu disebar-luaskan ke mana-mana.
Di daerah orang-orang Ibrani menetap jarang sekali ada kemantapan dan keamanan, seperti Mesir dan Mesopotamia sering kali menikmatinya berabad-abad lamanya. Para penduduk daerah itu terus-menerus dalam perjalanan ke wilayah lain atau terancam kebinasaan. Kebanyakan suku-suku itu hanya kita kenal namanya saja. Nama-nama itu terdapat dalam daftar bangsa dan suku sebagaimana disajikan Alkitab dan sumber-sumber lain. Tetapi tiba-tiba muncullah dari daerah Mesopotamia sekelompok suku yang lalu berurat-berakar di bagian barat daya daerah Bulan Sabit yang Subur. Suku-suku itu mengembangkan identitas nasionalnya sendiri yang mewariskan dua hadiah, yakni: sejumlah hukum susila yang berdasarkan pemandangan unggul terhadap sejarah dan di samping itu sejumlah kitab yang memberikan kesaksian tentang keluhuran budi dan hawa napsu, dan yang sepanjang sekian banyak abad oleh lebih banyak orang dihormati dan dikagumi dari pada kitab lain manapun, sebelumnya atau sesudahnya.
Para moyang sebuah bangsa
Pendapat bahwa mereka berasal dari seorang moyang saja memanglah sangat menolong mempertahankan kesatuan bangsa Ibrani. Namun demikian kisah tentang Abraham, Ishak dan Yakub, yang tercantum dalam Kitab Kejadian mempunyai beberapa ciri sebuah mythos nasional, yang cukup lazim. Kisah itu mengingatkan suatu zaman, waktu para dewa masih secara mesra bergaul dengan manusia dan turun tangan dalam hidup sehari-hari. Meskipun gaya bahasa kisah itu serupa dengan gaya bahasa legenda dan bahasanya mirip dengan bahasa dongeng, namun rangka dan latar belakang cerita-cerita itu bersesuaian dengan apa yang oleh ilmu sejarah ditampilkan sebagai hal yang dapat dipercaya. Misalnya cukup terbukti bahwa di masa raja Hammurabi di Babel dan juga kemudian dari itu banyak keluarga dan suku berkeliaran di bagian pinggir daerah Bulan Sabit yang Subur. Alkitab memberitakan bahwa Abraham sendiri meninggalkan kota Ur Kasdim di bagian barat daya Mesopotamia. Ia pindah ke kota (daerah) Haran, sebuah pusat orang-orang Amori di bagian barat laut Mesopotamia. Di Haran Abraham disuruh oleh Allah meninggalkan negeri dan sukunya sendiri untuk mendirikan sebuah bangsa baru di negeri lain. "Aku akan membuat engkau jadi bangsa yang besar. Aku akan memberkati engkau dan membesarkan namamu, sehingga engkau menjadi berkat" (Kej. 12:2).
Taat kepada pesan ilahi itu Abraham menempuh perjalanan menuju ke bagian barat Palestina (nama itu baru diberi jauh di kemudian hari), yakni negeri orang-orang Kanaan. Kepada Abraham dijanjikan sebagai milik warisan negeri yang membentang dari "Dan sampai ke Bersyeba". Kebanyakan penduduk negeri itu berbangsa Semit. Namun demikian negeri itu karena tanahnya yang berbeda-beda serta iklimnya yang berlain-lainan, dengan pegunungan dan tanah dataran, dengan penduduknya yang bermacam-macam kebangsaannya, merupakan daerah yang secara alamiah mesti menghasilkan berbagai negara kecil. Dalam kenyataan di daerah itu terdapat sejumlah kerajaan kerdil, yang dengan pesatnya muncul dan menghilang. "Raja" yang kepadanya Abraham menjual sebidang tanah dan yang dari padanya ia membeli sejumlah sumber air, kiranya hanya kepala suku, sama seperti Abraham sendiri. Bagaimanapun juga hanya beberapa bagian yang hijau sajalah yang dapat didiami secara tetap. Pada umumnya negeri Kanaan hanya dapat menjamin nafkah kepada suku-suku badui yang puas dengan apa yang mutlak perlu dan taraf hidup minimal. Adapun Abraham, Ishak dan Yakub tidak hidup seperti kaum tani yang menetap dan tidak pula seperti kaum badui. Cara hidupnya setengah-setengah. Mereka mengembara dari kota-kota seperti Yerusalem, Hebron, Bersyeba dan Gerar ke mata air dan sumber di padang gurun. Memanglah tanah Palestina bukan tanah yang menarik untuk menetap dan bertani. Suatu ikatan kuat mempertahankan kesatuan keluarga yang terus-menerus bepergian, bukanlah untuk mencari tanah di mana dapat mendirikan sebuah negara, melainkan hanya untuk mencari penghidupan saja. Kemudian, yakni di masa Yusuf, suku-suku Ibrani itu mulai ikut-serta dalam lalu lintas perdagangan internasional; mereka bergabung dengan kafilah-kafilah yang dengan membawa rempah-rempah, mur dan balsam bertolak dari daerah Gilead. Tetapi Abraham hanya menuju ke sebelah selatan, ke negeri Mesir, waktu di masa paceklik negeri Kanaan tertimpa kelaparan. Setelah padang rumput menghijau lagi, maka segera ia kembali ke Kanaan.
Keluarga Abraham membeli di Hebron sebuah gua, yakni Makpela, yang dijadikan makam keluarga. Setelah Abraham meninggal dunia, maka anaknya, Ishak, bertanggung jawab untuk meneruskan keluarga. Ia menghendaki bahwa anak bungsunya, Yakub, kawin dengan seorang puteri dari keluarga yang masih berkerabat, supaya ikatan keluarga jangan terputus. Namun demikian antara kedua saudara kembar, yakni Esau dan Yakub, terjadi percekcokan, baik karena alasan pribadi maupun alasan ekonomis. Esau disebut sebagai "orang yang pandai berburu, suka mengembara di padang-padang, sedang Yakub menjadi orang yang tenang, yang tinggal di kemah" (Kej. 25:27).
Dengan kedua istrinya Lea dan Rakhel dan dengan kedua hamba sahaya istrinya Yakub memperanakkan dua belas putra: Ruben, Syimeon, Lewi, Yehuda, Issakar, Zabulon, Dan, Neftali, Gad, Asyer, Yusuf dan Benyamin. Keturunan ke duabelas anak Yakub itu, yakni "suku-suku Israel" atau Bani Israel" atau "orang-orang Israel" menjadi satu kelompok yang jelas dapat dikenal sebagai sebuah kesatuan sosial. Pada umumnya mereka tidak masuk persekutuan militer dengan suku di luar kelompoknya sendiri; negeri Kanaan mereka anggap sebagai tanah dan warisannya. Manakala paceklik memaksa mereka mengungsi di negeri Mesir, maka mereka merasa dirinya sebagai "orang asing" dan "perantau" di sana, sebagai "tamu" yang untuk sementara waktu tinggal di pembuangan. Ciri suku-suku itu yang khas dan yang membedakan mereka dengan suku-suku lain yang serumpun, ialah (menurut pendapat umum) agamanya yang kurang lebih monoteistis. Mereka yakin bahwa Allah mereka membimbing apa yang terjadi di dunia dan menentukan nasib manusia. Dalam hal ini mereka berbeda sekali dengan agama orang-orang Mesopotamia dan Mesir, yang politeistis dan sangat samar-samar.
Cita-cita orang-orang Ibrani
Jadi pertimbangan-pertimbangan rohaniah-keagamaanlah yang mendorong Abraham untuk pergi dan yang mempersatukan keturunannya. Memanglah baik bagi perginya Abraham maupun bagi persatuan suku-suku Israel tidak ada keterangan lain kecuali motip-motip keagamaan tersebut. Sebab negeri Mesopotamia, tempat kelahiran Abraham, merupakan pusat dan asal-mula kebudayaan di zaman itu. Kesenian di sana jauh lebih maju dan lebih halus dari pada yang di negeri Kanaan. Berkat tata-hukum dan perdagangan maka masyarakat di sana jauh lebih mantap dari pada di tempat manapun. Maka tidak dapat tidak Abraham mengungsi karena terdorong oleh keyakinannya dan karena memprotes masyarakat yang ada di Mesopotamia. Demikian pun dapat disimpulkan dari berita yang tercantum dalam Kitab Kejadian bahwa Abraham memprotes kekurangan logika yang melekat pada cara hidup dan cara berpikir di Mesopotamia; dan ia pun yakin bahwa di tempat lain dapat menemukan jawaban yang lebih memuaskan atas teka-teki yang terpancar dari nasib manusia.
Adapun kisah mengenai para bapa bangsa dalam Kitab Kejadian ia menyusul kisah-kisah mengenai penciptaan dan air-bah. Di dalam kisah-kisah itu ditemukan banyak unsur yang juga dikenal oleh tradisi di Babel; kisah mengenai Yusuf memuat beberapa nama dan cerita-cerita yang aslinya berasal dari negeri Mesir. Namun demikian, apa yang membedakan para bapa bangsa dengan dunia sekitarnya jauh lebih penting dari pada apa yang mengkaitkan mereka dengan adat kebiasaan sezamannya. Awal-mula sejarah Israel yang menghilang ke dalam kabut mesti berupa sebuah revolusi, sebuah protes terhadap tradisi dan bukanlah kelanjutannya: tampil sebuah pandangan baru mengenai manusia dan mengenai dunia dan berbarengan dengan itu ditolaklah pandangan mitologis dan panteon yang berisikan dewa-dewa yang saling bertentangan. Gagasan bahwa hanya ada satu Allah yang esa dan transenden, secara dasari merubah pandangan yang lama dan menciptakan kategori-katagori pemikiran yang baru. Maka dari itu pengungsian Abraham dari negeri kelahirannya mesti diartikan sebagai pemutusan radikal dengan pandangan kafir. Sebagai penggantinya agama Israel menerima adanya Yang Esa yang menguasai segala sesuatu; Yang Berbudi yang mengarahkan segala-galanya kepada sebuah tujuan, Allah yang mengusahakan apa yang baik menurut tata-susila dan yang sifat utama-Nya ialah kebaikan hati.
Adapun bangsa Israel menulis sejarahnya dengan disinari cita-cita yang baru. Sejarah Israel yang merangkum pengungsian Abraham ke negeri Kanaan sampai dengan tinggalnya Yakub serta anak-anaknya di negeri Mesir itu turut memberi ciri yang khas kepada alam pikiran bangsa Yahudi. Sejarah itu bukanlah sebuah tawarikh mengenai pahlawan-pahlawan yang mengatasi manusia di zaman awal-mula dahulu; bukan pulalah sejarah mengenai sebuah dunia para pahlawan, sebagaimana yang suka dibayangkan oleh bangsa Yunani dan bangsa-bangsa lain dari zaman dahulu sebagai awal-mula sejarahnya sendiri. Sudah barang tentu kisah-kisah tentang Abraham, Ishak dan Yakub berisikan keinsafan bahwa mereka terpilih oleh Allah. Tetapi di samping itu diceritakan tentang hal-hal biasa dan yang keduniaan; dikisahkan sebuah cara hidup sederhana di mana perjuangan dan tipu-daya bergiliran dengan perasaan manis dan halus. Baik dalam kesusastraan dari zaman kemudian maupun dalam tradisi bangsa Yahudi, Abraham, moyangnya, dianggap sebagai teladan dan penjelmaan dua sikap hati yang ulung, yakni: kebaikan hati dan kehalusan budi dalam pergaulan dengan sesama manusia, dan kepercayaan serta penyerahan kepada kehendak Allah, suatu penyerahan yang jauh lebih dari hanya kerendahan hati saja. Juga tradisi Kristen dan Islam menganggap Abraham sebagai tokoh historis benar dan menghormatinya sebagai moyang rohaninya. Tetapi untuk bangsa Israel Abraham menjadi moyang pertama yang tidak ada tara bandingnya; lambing keunggulan bangsa Ibrani. Dijiwai oleh perjanjian, yang diikat Allah dengan Abraham, dan dipersatukan oleh ingatan akan ketiga angkatan yang menyusul moyangnya itu bani Israel, yang di negeri Mesir mengalami nasib buruk, tampil di panggung sejarah resmi di pertengahan milenium ke-2 sebelum Masehi.
No comments:
Post a Comment