Apa kata para arkeolog mengenai situs Khirbet Qeiyafah, yang dikatakan sebagai bukti eksistensi kerajaan Daud dan Solomon? ini adalah terjemahan bebas dari artikel Haaretz, dengan judul asli "Kunci Menuju Kerajaan", artikel ini tidak mencerminkan hasil akhir dari perdebatan status Khirbet Qeiyafah yang hingga saat ini di tahun 2015 belum ditemukan kesimpulan final.
Apakah raja Daud pernah memerintah sebuah kerajaan besar, seperti yang ditulis dalam Alkitab? Atau apakah kerajaan yang diperintahnya hanyalah sebuah kerajaan kesuku-an, Proffesor Yossi Garfinkel mengklaim proyek penggaliannya di Khirbet Qeiyafa membuktikan kebenaran kisah dalam Alkitab, tapi arkeolog lain mencibir pendapatnya.
Di setiap musim panas selama empat tahun belakangan, Prof. Yosef Garfinkel meninggalkan Institut Arkeolog di Hebrew University, Yerusalem, selalu dengan mengenakan topi koboi dan bergegas menuju sebuah bukit berbatu di lembah Elah. Dari bawah, bukit itu nampak biasa saja dan tidak memiliki keistimewaan. Tapi ketika mencapai puncak, Garfinkel melirik raut wajah para pengunjung yang baru pertama kali melihat lokasi penggalian benteng kuno tersebut.
Di penggalian situs Khirbet Qeiyafa (Benteng Elah), Garfinkel sambil mengitari reruntuhan benteng berkata "Ini adalah situs yang paling fotogenik di negeri ini." Dan lanjutnya : "Ini adalah sebuah benteng kota dengan tembok setinggi 6 meter dan berpenduduk 500 hingga 600 jiwa. Anda tidak akan menemukan rumah, tembok, tangga dan gerbang seperti ini di Israel." Keunikan kota ini adalah dikelilingi oleh tembok casemate - tembok ganda yang memuat sebuah ruangan diantaranya. Reruntuhan tembok saat ini berkisar antara 2 hingga 3 meter dan luas nya sekitar 2,5 hektar. Sekitar 90 reruntuhan bangunan berjejer pada tembok benteng, ini baru beberapa yang berhasil di gali. Menurut Garfinkel setelah menggali selama 4 tahun, ia berkesimpulan bahwa situs ini adalah bukti untuk eksistensi kota yang menjadi bagian dari kerajaan Daud sekitar 10 abad sebelum masehi (menurut perhitungan Daud memerintah pada 1010-970 sm). "Ini adalah bukti pertama dan terakhir", ujarnya. "Hingga saat ini, tidak ada yang menyerupai Benteng Elah ditemukan di negeri ini".
Jika Garfinkel benar, penemuannya mungkin akan berimplikasi secara signifikan terhadap panasnya perdebatan panjang antar pegiat studi dan Arkeologi Alkitab. Awal muasal perdebatan ini terjadi pada abad ke 19; dan mencapai puncaknya dalam 2 dekade terakhir, ketika kelompok utama para arkeolog dan sarjana Alkitab membentuk sebuah pemahaman tentang realitas dari kerajaan Daud dan Solomon yang mana ternyata tidak seperti yang dituliskan dalam Alkitab, yakni berupa kesatuan kerajaan (Yehuda dan Israel) yang sangat berpengaruh, luas dan kuat.
Pandangan ini berasal dari fakta bahwa tidak ada bukti arkeologi yang berasal dari abad ke 10 SM yang menguatkan klaim tentang kerajaan superpower yang membentang dari Be'er Sheva diselatan hingga Dan di utara, yang dituliskan oleh Alkitab.
Para sarjana dan arkeolog ini berkesimpulan bahwa yang disebut kerajaan Daud hanyalah sebuah entitas kecil kesukuan, yang sangat kecil, bahkan tidak membentang melewati Yerusalem dan sekitarnya. Dan kini Garfinkel sedang menangani sebuah bukti tentang adanya kota berbenteng di lembah Elah, yang jaraknya sehari perjalanan dari Yerusalem, dan mungkin adalah bagian dari Kerajaan Daud, jika benar maka hal ini akan membantah argument dari para "minimalist".
Menurut Garfinkel, kerajaan yang pernah berdiri pada abad ke 10 SM adalah sesuatu diantara dua versi: Tidak-lah sekecil sangkaan para minimalis, tapi juga tidak lah sebesar yang tertulis dalam Alkitab. Kerajaan tersebut terdiri dari 3 kota besar: Yerusalem, Hebron dan kota di Khirbet Qieyafah ini. Bahkan jika hanyalah sebesar skala tersebut, ia menekankan, kerajaan tersebut ternyata lebih besar dari desa kecil seperti yang diucapkan oleh para arkeolog minimalis. Disaat yang bersamaan, ada arkeolog lain yang direkrut turut serta dalam penggalian Khirbet Qeiyafa mendukung klaim tentang sebuah kerajaan bersatu dan powerful.
"Situs ini jelas merefleksikan adanya sebuah pemerintahan yang handal." ujar Dr. Eilat Mazar dari Hebrew University, salah satu yang paling vokal dari kelompok yang ber-"teori" tentang eksistensi sebuah kerajaan Daud yang superpower. "Dengan informasi dari situs ini, masihkah kita berasumsi bahwa tidak ada pusat pemerintahan yang luas dan terpusat? Tidak masuk akal", ujarnya Dr. Mazar.
Garfinkel mengatakan bahwa sebelum ia menggali di situs ini, ia tidak terlibat dalam perdebatan tentang polemik kerajaan Daud. Keahlian utamanya adalah pada periode Neolithic dan Chalcolithic. Dinasti Daud dan kerajaan Israelnya dikalkulasi berada pada periode Iron age (zaman besi), ribuan tahun kemudian.
"Saya tidak mengerjakan proyek ini untuk mencari fakta-fakta tentang Daud. Saya tidak mau ber-opini tentang polemik tersebut; Saya tidak berpihak" ujarnya. Setelah banyak generasi pendahulu di bidang arkeologi bibilikal telah pensiun, ujarnya, institusi-nya saat ini lebih fokus mencari meriset pada penggalian zaman perunggu atau zaman besi. "Saya mengajar arkeologi pada zaman itu pula," ujarnya. "Saya dipersiapkan secara professional untuk mengerjakan proyek-proyek pada zaman besi di Yehuda." Pada tahun 2007, Garfinkel tiba di Khirbet Qeiyafa untuk memeriksa reruntuhan benteng. Dia menemukan 2 lapisan arkeologi, satu dari zaman Hellenistik, dan satunya dari zaman besi. Ia pun memutuskan untuk bekerja disini. "Banyak situs yang mengandung hingga 20 lapisan kota yang saling menumpuk, setiap penggalian satu lapisan kota terjadi pencampuran dengan lapisan dibawahnya, dan segalanya menjadi kacau balau. Saya lebih suka bekerja dengan dua lapisan, yang mana tingkat kerusakan lapisannya sangat rendah," ujarnya.
Alsace-Lorraine di Levant (Syam)
Garfinkel mungkin tidak bermaksud untuk bergabung dengan perselisihan akademik mengenai status Daud dan kerajaannya, tapi ketika ia sudah memasuki arena, ia akan merapat pada salah satu pihak yang bertikai. "Kota ini adalah benteng pengawas bagi kerajaan Yehudah," katanya, sambil menunjuk pada sisi lembah. "Lihat, anda dapat melihat orang-orang dibawah sana. Lembah Elah ini adalah bagian dari rute daerah pantai menuju perbukitan. Dan pada satu sisi, anda dapat memantau 5 kota di negeri Filistin, dan di sisi bagian timur, adalah Kerajaan Yehuda. Ini adalah daerah yang krusial, seperti Alsace-Lorraine, yang diperebutkan oleh Perancis dan Jerman selama ratusan tahun. Situs ini sangat penting secara geopolitik."
Garfinkel mengidentifikasi situs yang ia gali adalah kota benteng Sha'arayim, yang disebutkan dalam Alkitab di I Samuel. Ia mengidentifiasi dari adanya penampakan 2 gerbang disisi barat dan sisi selatan benteng ini (Sha'arayim berarti 2 gerbang dalam bahasa yahudi). "Anda tidak akan menemukan kota lain di Israel atau Yehuda dengan 2 gerbang," imbuhnya, "Alkitab, menyebut kata Sha'arayim hanya pada periode Daud, dan di daerah lembah Elah: ketika Daud membunuh Goliat, tentara Filistin melarikan diri melalui Sha'arayim. Dimana Daud membunuh goliat? Disini, diantara Socoh dan Azekah."
Satu hal yang disetujui oleh para arkeolog tentang Khirbet Qeiyafa adalah, situs ini sangat mengagumkan. Selain itu, segala sesuatu-nya menjadi perdebatan. Prof. Israel Finkelstein arkeolog dari Tel Aviv University, yang pada awal tahun 1990 ikut serta memformulasikan pandangan bahwa kisah-kisah di Alkitab tidak mempunyai dasar historis yang kuat, ia berkomentar, bahwa ia tidak yakin kalau situs yang digali oleh Garfinkel adalah bagian dari benteng milik Daud, dan bukannya milik bangsa Filistin atau Kanaan. Bahkan jika ternyata situs tersebut adalah benteng milik kerajaan Yehuda, ujarnya, ia tidak berpikir hal itu menjadi dasar bagi pandangan tentang kerajaan Daud yang maju dan berkembang. Koleganya dari Tel Aviv University, Ahli sejarah Prof. Nadav Na'aman, mengingatkan bahwa walau data tentang situs itu belum di publikasi, "Ber-hipotesis tentang keterkaitan benteng dengan kekuasaan yang berpusat di Yerusalem sangat tidak meyakinkan."
Tetapi beberapa arkeolog lain ber-argumen bahwa kini telah terungkap sebuah penemuan yang signifikan tentang Kesatuan kerajaan monarki Israel kuno. Dan para arkeolog pendukung kisah Alkitab kini dapat mengangkat dagu mereka setelah bertahun-tahun tersudut dalam pertempuran melawan Finkelstein dan koleganya.
Mazar pernah mengklaim telah menemukan reruntuhan istana Daud di sekitar dinding kota tua Yerusalem. (Penggaliannya didanai oleh dua organisasi sayap kanan, The Shalem Center dan Elad). Mazar menemukan sebuah struktur yang berlokasi disebuah puncak bukit di bagian utara Yerusalem, sebelah selatan Temple Mount, yang berdekatan dengan pemukiman Palestina di Silwan, yang dikenal sebagai City of David. Struktur tersebut berupa teras dengan tumpukan bebatuan setinggi 16,5 meter, yang dikenal dengan "Stepped stone structure".
Menurut Mazar, teras tersebut adalah penopang dari dinding sebuah istana. Ini adalah penemuan Mazar yang paling menonjol, tapi penanggalan yang ia ajukan menjadi kontroversi. karena ia menggunakan kepingan keramik yang berada pada bagian atas dan bawah dari strata atau lapisan yang ia gali, bukan pada strata yang sedang diteliti. Mazar kemudia menyimpulkan struktur tersebut berasal dari abad ke 10 SM, tetapi arkeolog lain mengatakan bahwa struktur tersebut dibuat di abad berikutnya. Bahkan website City of David tidak menganggap hal itu adalah bagian dari istana Daud.
Beberapa bulan yang lalu, sebuah penemuan arkeologi lain ditemukan dan menjadi headline media, yang mana Mazar ikut terlibat, sebuah tembok besar, sepanjang 70 meter dan memiliki ketinggian 6 meter, berlokasi diarea yang sama. Mazar mengklaim tembok tersebut berasal dari masa raja Solomon. Sekali lagi, penanggalannya dipertanyakan, bahkan oleh pihak arkeolog konservatif (penganut metode Alkitab).
"Tidak ada yang setuju dengan saya," keluh Mazar, kepercayaan dirinya terlihat seakan tak tergoyahkan. "Tidak diragukan jika banyak yang menerima pendapat yang mengecilkan peran Yerusalem sebagai desa kecil yang terbengkalai. Tapi kini terjadi perubahan, Yerusalem ternyata menunjukkan pada kita bahwa ia mempunyai konstruksi level istana yang mengagumkan."
Beberapa sarjana juga mengutip tentang penemuan di Yordania yang menguatkan pendapat tentang kerajaan yang maju dan berkembang. Antropolog dari Amerika, Prof. Thomas Levy, dari University of California, San Diego, saat ini sedang menggali situs di Khirbat en-Nahas diselatan Yordania, yang ternyata merupakan reruntuhan tambang tembaga kuno dan berkolasi di daerah yang dipercaya milik bangsa Edom. Dengan menggunakan penanggalan carbon-14, Levy menetapkan bahwa situs tersebut berasal dari akhir abad ke 10 SM, atau pada era raja Solomon. Menurut para arkeolog konservatif, penemuan ini meningkatkan kredibilitas kisah dari Alkitab, yang mengatakan adanya sebuah negeri yang sangat maju di daerah Edom dan terlibat peperangan dengan kerajaan Israel.
Akan tetapi, Prof. Finkelstein menolak penafsiran ini. "Tidak ada tulisan yang ditemukan yang dapat mengarah tentang kerajaan Solomon," katanya. "Tidak ada peninggalan impresif dari era periode classic Edom. penemuan Levy lebih dekat dengan bukti hegemoni bangsa Assyria dan jejak pedagang Arab di daerah tersebut."
Finkelstein menawarkan debat ke topik yang berbeda yang seharusnya menjadi isu fundamental untuk memahami sejarah Israel. Menurutnya para ahli seharusnya membahas pertanyaan, kapan penduduk yang mendiami daerah Israel kuno berpindah dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan yang maju. Finkelstein dan koleganya menyebut pandangan ini sebagai "low chronology" atau "late chronology". Intinya adalah segala bukti-bukti arkeologi yang selama ini mengacu pada abad ke 10 sebenarnya berasal dari periode berikutnya, bahkan mencapai 1 abad. Metode low chronology secara efektif otomatis menghapus eksistensi dari kerajaan Saul, Daud, Solomon di abad ke 11 dan 10 SM.
Garkinfel, sangat yakin bahwa tembok kota yang ia temukan sangatlah kuat dan mampu menahan serangan dari pihak musuh. Tidak masalah apakah kota itu bagian dari kerajaan Yehuda, Kanaan atau Filistin, imbuhnya, Khirbet Qeiyafah telah ada sejak abad ke 10 SM, "Bukti kami sudah menghancurkan teori low chronology" ucapnya dengan puas.
Tapi Finkelstein bersikeras. "Sangatlah sulit untuk membuatku berubah pikiran dan soal 4 sample pembacaan carbon-14 tidak akan mengubah 400 pembacaan yang sudah ada. Khirbet Qeiyafah adalah situs yang sangat penting tapi tidak akan mengubah alur kronologis."
Pertaruhan besar.
Dalam konteks Negara Israel, perdebatan akademik ini berlanjut pada hal-hal politik. Hal ini berkaitan dengan klaim ikatan historis oleh bangsa Yahudi terhadap sekotak tanah di Palestina saat ini. Lebih luasnya lagi, kontroversi ini menjadi bagian dari perdebatan panjang selama hampir lebih dua abad mengenai validitas historis atas sebagian besar isi kitab suci.
Permulaannya dimulai ketika muncul kritikan terhadap isi Alkitab di negara seperti Jerman dan Skandinavia pada abad ke 19, mereka mempertanyakan mengenai validitas kisah historis dalam Alkitab.
Reaksi perlawanan atas kritikan Alkitab pertama kali muncul sekitar tahun 1920 dan 1930 dari beberapa arkeolog bibilikal. Dan yang menjadi paling depan dari gerakan ini adalah seorang sarjana asal Amerika Serikat kelahiran Chili, William Albright. Ia memiliki kemampuan mumpuni sekelas ensiklopedia, dan ahli dalam bidang arkeologi, riset Alkitab dan bahasa-bahasa kuno. Ia adalah anak dari seorang misionaris Protestan yang sangat taat, ia adalah figur yang paling menonjol dari gelombang para ahli yang berasal dari Inggris, Perancis, Jerman dan Amerika, yang lalang melintang menjelajahi daerah timur-tengah (Levant/Syam) pada abad ke 19, untuk mencari artifak biblikal.
Para ahli ini berniat untuk mencari bukti bahwa kisah mengenai Abraham, Musa membawa bangsa Israel keluar dari Mesir, penaklukan bangsa Kanaan dan eksistensi dari kerajaan Daud mempunyai fakta historis. Mereka meyakini bahwa secara garis besar kisah dalam Alkitab dapat diandalkan. Dan dengan bukti arkeologi, mereka yakin hal ini akan mengurangi kritikan terhadap Alkitab.
Ketika negara Israel berdiri, mereka dibantu oleh generasi baru arkeolog Israel. Mereka yang berada digaris depan adalah Yigael Yadin dan Benjamin Mazar (Kakek dari Dr. Eilat Mazar) - walau tidak memiliki kesamaan dengan motif kekristenan Albright. Tujuan mereka adalah mencari akar untuk nasionalisme yang sedang terbentuk di Israel, dan intinya mereka mengikuti metode yang digunakan oleh Albright dan kawan-kawan: Alkitab ditangan kanan - sekop ditangan kiri.
"Ada keperluan yang sangat mendesak saat itu untuk menciptakan kultur, akar budaya, dan nasionalisme baru bagi para imigran yang berdatangan ke Israel dengan latar belakang berbagai negara, dan arkeologi adalah alat yang sangat ampuh untuk hal tersebut." jelas Finkelstein. "Setiap orang digerakkan dalam usaha mencari pembenaran akan keyakinan ini, dan tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Yadin memandang bahwa sejarah sedang terulang: penaklukan tanah Palestina pada masa lalu dan saat ini, dan kemegahan kerajaan Daud dan Solomon pada masa lalu dan saat ini, para Argeolog berperan penting, mereka tidak dapat dikritik untuk hal tersebut."
Pada masa itu, Alkitab nampak seperti kompas dan menuntun pada penemuan-penemuan yang impresif. Para arkeolog mencari bukti keberadaan kerajaan Daud di Hatzor, Megiddo dan Gezer, yang disebut dalam kitab Raja-raja sebagai proyek konstruksi skala besar raja Solomon.
I Raja-raja 9:15 "Beginilah hal orang-orang rodi yang telah dikerahkan oleh raja Salomo. Mereka dikerahkan untuk mendirikan rumah TUHAN, dan istana raja, dan Milo, dan tembok Yerusalem, dan juga untuk memperkuat Hazor, Megido dan Gezer."
Pada akhir tahun 1950, Yadin berhasil menggali 6 ruangan besar di sebuah reruntuhan gerbang, di Hatzor. Dengan hanya berdasarkan strata (lapisan) arkeologis dan pecahan keramik pada situs tersebut, Yadin dan Yohanan Aharoni, seorang arkeolog dan ahli lokasi bersejarah, menanggalkan situs tersebut berada pada zaman raja Solomon diakhir abad ke 10 SM. Berdasarkan kisah Alkitab Yadin kemudian menuju Meggido dan Gezer, dimana mereka kembali menemukan struktur yang serupa. Ia kemudian mengambil kesimpulan, berdasarkan temuannya, bahwa di abad ke 10 SM, sebuah pemerintahan yang maju dan berkembang sedang berkuasa disana yang mampu membuat sebuah master plan sebuah struktur monomental seperti itu yang kemudian dibangun diseluruh negeri. Penemuannya tampak sesuai dengan konsep eksistensi kerajaan besar yang setidaknya mencapai Hatzor, yang berada di utara danau Galilea.
Tapi beberapa dekade kemudian, pendekatan ini menjadi perdebatan antar kubu konservatif dan Finkelstein, yang mempertanyakan teknik penanggalan situs. Akan tetapi sebelumnya, sekitar tahun 1970 hingga 1980, sekelompok sarjana dari Eropa, kebanyakan mereka berasal dari Copenhagen dan Sheffield, menolak kisah-kisah bersejarah di Alkitab. Para "maximalis" menganggap bahwa kisah-kisah di Alkitab adalah valid dan benar sehingga dipakai secara maximal sebagai penuntun, sedangkan para "minimalis" menganggap bahwa Alkitab hanyalah cerita rakyat yang disusun dan dibukukan pada zaman Persia atau Yunani - beratus-ratus tahun setelah kejadian - sehingga memiliki nilai historis yang sangat minim. Cara optimal yang seharusnya digunakan untuk men-verifikasi kisah-kisah di Alkitab, adalah dengan menggunakan sumber dokumen kuno lain dari luar Alkitab.
Menurut para minimalis, kerajaan Daud tidak pernah terpisah menjadi dua kerajaan, Yehudah dan Israel, karena hal itu tidak pernah ada. Menurut mereka kedua kerajaan ini muncul dan berkembang secara berdampingan, dimana kerajaan Yehuda yang berpusat di Yerusalem, tumbuh dan berkembang di saat yang berbeda, yaitu setelah ditaklukkannya kerajaan Israel pada abad ke 8-9 SM oleh bangsa Assyria. Dalam penafsiran ini, Daud dan Solomon adalah figur fiksi.
Dua Kerajaan.
Pada tanggal 21 July 1993, sebuah penemuan besar terjadi di penggalian Tel Dan, di daerah utara Israel. Dan memicu perdebatan diantara para sarjana. Kepala proyek penggalian ini, Prof. Avraham Biran, menemukan sebuah tugu peringatan yang terbuat dari batu basalt dengan karakter aramaik dan tercantum kata "BeitDavid" (house of David - dinasti Daud) sebagai satu kata. Dan tulisan ini diteliti berasal dari abad ke 9 SM, tertulis disana tentang seorang raja dari Aram sedang membanggakan keberhasilannya menumpas 70 raja-raja, diantaranya adalah Jehoroam anak dari Ahab raja Israel, yang disebut sebagai keturunan dari house of David - adalah kebiasaan di daerah levant untuk menyebut pemerintahan sebuah negeri dengan nama pendirinya. Biran pada mulanya dituduh memalsukan tulisan tersebut, tapi tidak lama kemudian menjadi jelas bahwa ini adalah bukti pertama dari luar Alkitab yang menyebut tentang eksistensi dinasti Daud.
Penemuan ini kemudian membuat paham minimalis mereformulasi ulang pemahamannya, dan Finkelstein adalah yang pertama melakukannya. Pada pertengahan tahun 1990, ia mempublikasikan artikel berseri untuk persiapan thesis nya, yang menggabungkan kritik dari paham minimalis kedalam bentuk yang lebih moderat. Pada tahun 2001, ia dan Neil Asher Silberman, seorang editor dari majalah Arkeolog, menulis buku "The Bible Unearthed," yang mengupas mengenai validistas historis dari kisah di Alkitab.
Seperti para minimalis, Finkelstein dan Silberman berpendapat bahwa kedua kerajaan muncul secara hampir bersamaan dari orang-orang asli di Kanaan; mereka tidaklah unik, bukan pula sebuah bangsa yang berasal dari sekumpulan bekas budak yang keluar dari negeri Mesir, dan kemudian menaklukkan tanah tersebut secara militer lewat kepemimpinan Yoshua bin Nun. Menurut pemahaman ini, tidak pernah ada kerajaan bersatu Israel versi Daud dan Solomon pada abad ke 10 SM, tetapi pada abad ke 9 SM, kerajaan Israel mulai muncul dan pada abad ke 8 SM ia kemudian berkembang, yang kemudian di taklukkan oleh kerajaan Assyria. Kerajaan Yehuda, sebaliknya, hanyalah kerajaan keci dan tidak secara signifikan tersentralisasi hingga abad ke 7 SM. yang mana kemudian rakyat dari kerajaan di utara (yang disebut 10 suku dari kerajaan Israel) mengungsi dan menetap di kerajaan Yehudah ketika Josiah berkuasa.
Menurut Finkelstein, kisah mengenai Abraham sang bapak bangsa, serta kisah penaklukan Kanaan, mulai ditulis dengan tujuan mencoba menetapkan sebuah asas kesamaan historis antara rakyat dari kerajaan Israel dan Yehudah. Sebuah "pan-Israelis" ideologi seperti ini dapat melegalkan ambisi teritorial dari raja Josiah, sang raja Yehuda, yang menganggap dirinya sebagai ahli waris dari kerajaan Daud yang sedang terpecah.
"Bersyukurlah pada kemampuan menulis, dan konsep theologi yang mumpuni serta kreativitas yang luar biasa, kisah ini kemudian menjadi sangat berpengaruh hingga saat ini" ujar Finkelstein. Beginilah variasi pemikiran ia dan koleganya membaca - dan menolak - sisi lain dari kisah sejarah di Alkitab.
Saat ini, ada kesepakatan umum di antara sebagian arkeolog dan para sarjana Alkitab, bahwa tidak ada dasar historis untuk membenarkan kisah sang bapak bangsa Abraham, keluarnya bangsa Israel dari negeri Mesir dan penaklukan Kanaan, ataupun adanya bukti arkeologi yang dapat mengubah pemikiran ini. Tetapi menurut Prof. Amihai Mazar (kemenakan dari Benjamin Mazar), dari Institut Arkeologi di Hebrew University, yang menganggap dirinya tipe konservatif yang moderat, "Sangat mustahil untuk menganggap kisah hingga penaklukan Kanaan adalah kisah historis." Tetapi, tambahnya, "Dimulai dari kitab hakim-hakim, kisah mengenai kondisi sosial-ekonomi-politik-keadaan internasional pada masa itu, Alkitab sangat konsisten dengan realitas penemuan arkeologi. Itu pasti berlaku juga dengan kisah kesatuan kerajaan Israel. Inilah isu yang sebenarnya, apakah kesatuan kerajaan Israel pernah ada? dan jika benar, seberapa besar? ini lah yang menjadi garis pembatas antara dua kubu.
Finkelstein bersikeras bahwa kesatuan kerajaan Israel kuno pada abad ke 10 SM, yang mencakup wilayah Dan hingga Be'er Sheva, tidak pernah ada. "Secara demografi dan ekonomi", katanya, "yerusalem hanyalah sebuah wilayah yang kecil dan sederhana, pada abad ke 10 SM kita berbicara tentang 20 pemukiman skala kecil diantara pegunungan Yehuda. Jika kita kalkulasi, total maksimal hanya berjumlah 5.000 jiwa dan di Yerusalem sendiri hanya berkisar ratusan jiwa.
Dalam hal ini, apakah Yadin telah salah ketika menetapkan penanggalan gerbang di Megiddo, Gezer dan Hatzor pada abad ke 10 SM dan menyebut mereka sebagai bukti adanya kesatuan kerajaan Daud? Situs tersebut berada jauh diluar dari batas wilayah yang digambarkan oleh Finkelstein dan Silberman. Seharusnya, kata mereka gerbang tersebut ditanggalkan ke abad ke 9 dan abad ke 8 SM, setelah kematian Solomon, dan mereka seharusnya mengaitkannya dengan kerajaan utara (Israel) yang sedang berkembang. Mereka mengambil kesimpulan hanya berdasarkan pecahan keramik yang ditemukan pada strata tanah yang sudah hancur di Megiddo. Seperti halnya, kata Finkelstein, pengetesan radiocarbon pada Hatzor yang akhirnya menunjukkan bahwa situs itu berasal pada abad ke 9 SM.
Siapakah orang-orang Yehuda?
Semua kritikan pada penemuan sebelumnya oleh Finkelstein dan koleganya, mungkin dapat memudahkan bagi Garfinkel untuk mengantisipasi kritikan yang akan muncul. Ia pun mengklaim bahwa di Khirbet Qeiyafah, investigasi dilakukan secara berbeda. Karena ini adalah pemukiman kerajaan Yehudah yang pertama kali ditanggalkan secara radiocarbon pada abad ke 10 SM dan juga menunjukkan ketinggian level konstruksi mereka. Dengan kata lain, menurut Garfinkel ini akan menjadi bukti paling kuat dan membenarkan konsep bahwa pada abad ke 10 SM ada sebuah kerajaan yang maju dan membantah anggapan bahwa Daud adalah "seorang sheik dalam tenda kaum beduin" (menyindir pendapat Finkelstein).
Namun, hipotesis bahwa Khirbet Qeiyafa adalah reruntuhan kerajaan Yehuda belum diterima oleh kebanyakan arkeolog. Ini adalah ujian berat bagi Garfinkel. Hal yang paling utama dari penemuannya adalah sebuah ostracon-pecahan keramik yang mengandung tulisan kuno, yang menurut beberapa ahli, adalah tulisan Ibrani kuno. "Ada tiga ahli di Israel yang menyatakan itu adalah bahasa Ibrani biblikal, dan tiga lainnya masih belum yakin" ujar Amihai Mazar.
Namun, Prof. Gershon Galil dari University of Haifa, yang baru-baru ini mempublikasi hasil terjemahan ostracon tersebut, ujarnya "Ada 30 periset yang menyetujui hasil terjeemahan kami, yang menunjukkan bahwa tulisan tersebut adalah salah satu dari bahasa Ibrani kuno, dari sekitar 18 kata yang ada pada ostracon tersebut, 8 kata muncul pula di Alkitab."
Garfinkel juga menyebut bahwa struktur kota adalah bukti affiliasi dengan kerajaan Daud. Seperti yang dicantumkan oleh Garfinkel pada website tentang Khirbet Qeiyafah, "Perencanaan pembangunan benteng Elah termasuk dinding kota yang berbentuk casemate dan sekumpulan rumah yang menempel dengan dinding benteng sehingga menyatu dengan konstruksi benteng." Ini adalah tipe dari tata kota, imbuhnya, "ada empat situs serupa dengan benteng Elah ini, dan semuanya berada di daerah kerajaan Yehuda. Tidak ada dinding casemate di kebudayaan Kanaan atau Filistin. Atau pun rumah yang terintegrasi dengan tembok benteng di kerajaan Israel; ini adalah ciri khas kerajaan Yehuda."
Bukti selanjutnya, kata Garfinkel, adalah apa yang tidak ditemukan pada situs: tulang babi. Tidak ada satupun tulang dari binatang non-khoser (haram) ditemukan oleh para arkeo-zoologist yang memeriksa 3000 tulang yang ditemukan dilokasi penggalian.
Garfinkel memberitahu bahwa penemuan-penemuan lain yang oleh ia dan timnya, sebentar lagi akan diumumkan untuk publik untuk pertama kali, dan ia juga sedang menyiapkan thesis bahwa kota tersebut adalah bagian dari kerajaan Daud. Di suatu ruangan dari situs tersebut, ditemukan sebuah altar keagamaan bersama dengan cawan atau sloki untuk peralatan ibadah. Dan bersama dengan kasus temuan tulang, Garfinkel semakin teryakini karena ia pun ternyata tidak menemukan disekitar rumah ibadah tersebut patung berhala.
"Tidak ada ikon manusia atau binatang diseluruh kota, bahkan diarea yang disucikan. Situs ini benar-benar anti ikon," katanya, ini mengacu pada praktik pelarangan membuat representasi dari mahluk bernyawa atau dewa-dewi (patung berhala). "Ada banyak kontroversi mengenai kapan konsep monoteistik muncul di Israel dan kapan konsep pelarangan mematung berevolusi. Banyak argumen mengatakan hal ini baru muncul ketika masa akhir dari kuil ke dua atau ketika periode bangsa Persia dan Hellenistik. Tapi jika dibandingkan dengan apa yang ditemukan diruangan ini dengan situs-situs di Kanaan atau Filistin, anda menemukan pelarangan biblikal ada disini: tidak ada tulang babi dan tidak ada ritualdengan patung atau berhala.
Jika kita menambahkan penemuan ini dengan dua gerbang yang menunjukkan bahwa situs adalah Sha'arayim, kata Garfinkel, menjadi sangat jelas bahwa kota berbenteng ini adalah milik kerajaan Daud dan kerajaan itu cukup maju dan berkembang hingga mampu melaksanakan rekayasa dan pengorganisasian proyek seperti benteng Elah ini. "Situs ini berbeda dari semua desa-desa kecil yang menjadi karakter utama pemukiman masyarakat pada abad ke 12 atau ke 11 SM" katanya.
Namun, Prof. Nadav Na'aman, yang cenderung pada pemahaman minimalis, ia mempunyai banyak pertanyaan untuk kesimpulan yang dibuat oleh Garfinkel. Satu per satu ia membantah argumen Garfinkel: "Tidak ada satupun bukti temuan yang disebutkan oleh Garfinkel layak untuk dihubungkan bahwa Khirbet Qeiyafah mempunyai hubungan pusat dan daerah dengan Yerusalem, atau juga kepada penduduk yang berada dipegunungan sana. Yang mana baik penduduk Khirbet Qeiyafah dan di daerah pegunungan pada era zaman besi juga tidak mengkonsumi babi. Pada zaman besi di negeri Yehuda, tidak ada kota lain dengan struktur seperti di Khirbet Qeiyafah. Ini adalah bangunan yang berasal dari era sesudahnya.
"Dan apa hubungan tidak ditemukannya patung di Khirbet Qeiyafah maka itu adalah milik dari negeri Yehuda? lagian, pada era zaman besi di pemukiman daerah pegunungan banyak ditemukan patung-patung. Mengenai dua gerbang (Jika memang ada dua gerbang disana) juga tidak otomatis menjadi rujukan atas afiliasi tempat itu".
Finkelstein mempunyai pandangan yang serupa mengenai thesis Garfinkel. Ia terlihat gusar akan klaim keberadaan dua gerbang. "Tidak ada dua gerbang disana, cuma ada satu, pintu bagian barat. 90% dari apa yang anda lihat di gerbang selatan adalah hasil rekonstruksi. Saya akan menerbitkan foto yang menunjukkan bahwa pada saat akhir dari penggalian dan saat setelah rekonstruksi, dan semua orang yang memiliki mata mampu melihat bahwa tidak ada gerbang disana sebelumnya." Merespon tentang tidak adanya patung disitus itu, Finkelstein berkata, "Apa Garfinkel sedang bercerita bahwa ada kaum monotheis fanatik berdiam di Khirbet Qeiyafah pada abad ke 10 SM? apa ini hasil peninggalan mereka?" ujarnya sambil tertawa sinis, tambahnya "Saya sudah menggali beberapa tempat dan tidak menemukan objek ritual, tapi tidak pernah terlintas dalam pikiranku bahwa penduduknya adalah kaum monotheis fanatik."
Mengenai situs yang nampak seperti struktur kerajaan Yehuda, katanya, "Pada tahun 1980 saya pernah menggali disebuah situs di timur laut Yerusalem, yang berasal dari zaman yang sama dengan Khirbet Qeiyafah. Ada juga dinding serupa. Dan ketika mengunjungi Moav kami juga menemukan reruntuhan benteng dengan diding casemate yang serupa dari waktu yang sama. Jadi ini bukan sesuatu yang baru kita lihat."
Penggalian pribadi.
Walau demikian Finkelstein tidak menutup kemungkinan jika itu adalah salah satu kota Yehudah. "Berbicara soal kemungkinan, ini bisa saja adalah kota Yehudah, Dan hal ini tidak akan membuatku merubah pandangan akan hasil riset saya mengenai asal muasal kerajaan Israel dan Yehuda."
Beberapa hari sebelum bertemu dengan Finkelstein, saya berbincang dengan Garfinkel ketika kami mengelilingi reruntuntuhan Khirbet Qeiyafah. Ketika ia membicarakan tafsirannya akan situs tersebut, ia tiba-tiba terdiam dan memandang saya. "Masalahnya ada pada Finkelstein," ujarnya, "ia tidak pernah setuju dengan pendapat orang lain. Ia selalu harus menjadi orisinil. Dan ia selalu mempunyai sudut pandang yang berbeda. Jika saya mengatakan jaket anda abu-abu, ia akan berkata itu adalah coklat tua." lalu sambil tertawa Garfinkel berkata, "Jika saya katakan ini adalah kota Filistin, ia akan berkata kota Yehudah."
Finkelsten menyebut ini "sikap paranoid." (ia tidak medapat kesempatan untuk menggali di Khirbet). "Tidak ada perbedaan antara Garfinkel dan Yadin dan Albright," ungkapnya. Ada beberapa ahli yang, pemikirannya seperti kubu Finkelstein, saat ini sedang menahan diri dan tidak ingin memutuskan status etnis yang mendiami Khirbet Qeiyafa. Menurut Amihai Mazar, "Khiber Qieyafah sangat menarik, apakah orang Ibrani yang mendiami tempat itu? sangat sulit untuk membuktikannya." Hal serupa dikemukakan oleh Prof, Avi Faust, dari Departemen Studi negeri Israel dan Arkeologi di Bar-Ilan University, yang mengafiliasikan diri dengan kubu konservatif, ungkapnya, "kita belum memahami secara utuh tentang Khirbet Qeiyafa. kita belum sukses menempatkan Khirbet Qeiyafah secara tepat kedalam gambaran besar mengenai daerah selatan dari negeri Israel, terlihat bukan situs Filistin tapi juga tidak 100% yakin ini adalah situs Yehudah."
Garfinkel, bersama dengan koleganya, Saar Ganor dari Otoritas sejarah Israel (The Israel Antiquities Authority), saat ini mempresentasikan penemuan terakhir dari penggalian mereka, dan berusaha mempromosikan hasil penafsirannya. Selain menerima kritikan dari kaum moderat minimalis, ia sangat yakin jika ia tidak keliru. "Qeiyafa seperti tulang yang nyangkut ditenggorokan kaum minimalis," ujarnya. "Kota ini nyata, bagaimana anda menjelaskannya? Secara bertahap akan muncul penemuan situs serupa dari periode zaman besi."
Finkelstein berujar "Tidak dapat dipungkiri bahwa kami saat ini sedang mengalami gelombang kritik demi kritik yang sangat kuat, kami menyebutnya revolusi-perlawanan. Seperti itu lah riset bekerja." Tetap saja, ia menolak untuk meninjau ulang thesisnya; beban pembuktian berada pada pihak konservatif."
Perpolitikan para arkeolog.
Selama beberapa dekade perdebatan mengenai status historis kisah biblikal tentang kerajaan Daud, dibayang-bayangi oleh usaha untuk membuktikan atau membantah klaim orang Yahudi mengenai ikatan historis mereka dengan tanah dimana Negara Israel moderen berdiri, terutama tempat Yerusalem. Bahkan pada saat ini, kata Prof. Aharon Meir, seorang arkeolog dari Bar-Ilan University, "salah satu masalah adalah motivasi politis." Contohnya, adalah Eilat Mazar, yang saat ini sedang melakukan penggalian di Yerusalem. "Ia akan berkata ia bekerja tidak dengan motivasi politik tertentu, namun anda dapat melihat dari penyandang dana proyeknya [sebagian besar dari The nationalist Elad association] dan dari cara berpikirnya selama ini," Kata Meir. Kemudian dia menarik ucapannya dan berkata Mazar mungkin saja tidak mempunyai agenda politis.
Banyak yang bergelut dalam bidang arkeologi dan sarjana Alkitab, melalui komentar-komentarnya selama ini, mengatakan menghindari hal-hal ideologis dan politis. Prof. Amihai Mazar mengatakan bahwa secara sosio-politis dari para arkeolog Israel kebanyakan sangat homogen. "Semua yang terlibat dalam bidang ini kebanyakan adalah orang-orang sekuler, dan sama sekali bukan berpandangan ektrim, baik ekstrim kanan atau pun ekstrim kiri. Saya rasa tujuan politis tidaklah terlalu mencolok."
Hal senada diungkapkan oleh Prof. Avi faust dari Bar-Ilan University, Bahwa walau para arkeolog Israel mungkin terbentuk dengan pengaruh keadaan politis di Israel, mereka tidak akan bias dan mengikuti secara membabi buta sebuah agenda.
Tel Aviv vs Jerusalem
Ketegangan dan kompetisi antar para arkeolog kadangkala menghasilkan perang komentar pedas bersifat pribadi yang sama sekali tidak berkaitan dengan kejadian 3000 tahun yang lalu. Contohnya, Dr. Gabriel Barkai, yang berasal dari kelompok konservativ, mengatakan bahwa Finkelstein memaksakan "konsep kolektivisme" ketika ia menjabat sebagai kepala departemen di Tel Aviv University, yang akhirnya membuat Barkai hengkang dari institusi pada tahun 1997, setalah 27 tahun berbakti. Barkai menilai semakin nampak terjadi perselisihan antara Hebrew University dan Tel Aviv University mengenai pembahasan Alkitab, hal ini terjadi sejak Finkelstein menjabat. (Finkelstein menolak merespon pernyataan ini.)
Hal yang berbeda diungkapkan oleh Prof, Aharon Meir dari Bal-ilan University, bahwa ia tidak melihat adanya perpecahan antar kedua institusi. "Pada tahun 1960an hingga 1970an ada perselisihan dominan antar Yigael Yadin dan Yohanan Aharoni, antara Yerusalem dan Tel Aviv. Jika Yadin berkata saat ini pagi, maka Aharoni menjawab ini malam. Kedua kubu ini sangat militan. tapi saat ini saya tidak melihat yang sama terjadi."
Baru-baru ini, Koresponden Haaretz Nir Hasson mengungkap insiden. Ada dua kelompok arkeolog berkeinginan menggali di Tel Socoh, tidak jauh dari Khirbet Qeiyafah: satu pihak terdiri dari Prof. Yuval Goren dan Prof. Oded Lipschits, dari Tel Aviv University, dan pihak lain Prof. Garfinkel dan koleganya asal Amerika Serikat Prof. Michael Hasel. Menurut Goren, Prof Garfinkel tidak berhak menggali disana karena secara regulasi dari badan otoritas kesejarahan (Antiquities Authority) melarang seorang arkeolog menggali dua situs secara bersamaan.
Goren telah mendapat izin bulan lalu, tetapi menurut Prof. Lipschits, ia melihat Garfinkel turut menggali dilokasi walau tidak memiliki izin. Ia telah mengirim surat komplain kepada Dr. Gideon Avni, kepala unit perizinan penggalian di Badan kesejarahaan (Antiquities Authority), tapi ditolak.
"Ada hubungan tidak lazim antara Antiquities Authority dan Hebrew Universities," ujar Lipschits. "Avni dan Garfinkel adalah pengajar di Hebrew University dan Garfinkel adalah salah satu kepala dari penggalian di Khirbet Qeiyafah bersama Saar Ganor (kepala bidang pengamanan situs bersejarah - Prevention of antiquities thefts), dan ketika melaporkan penggalian illegal di Tel Socoh ke Badan kesejarahaan, yang harus dihubungi di Badan tersebut adalah Ganor"
Garfinkel merespon keras tentang hal ini: "Jika seorang yang terhormat seperti Prof. Oded Liptschits tidak dapat membedakan antara pencurian benda bersejarah dan survey penggalian, ia berada pada level bawah. Sangat menyedihkan ia menuduh kami sebagai penjarah. Ini tuduhan serius." Tambahnya ketika ia memulai untuk menggali di Khirbet Qeiyafah, ia mengalami gangguan dari staf periset dari Tel Aviv University. "Orang-orang di Tel Aviv berusaha menghalangi kami. Finkelstein adalah dalangnya. Dari mana Yuval Goren mendapat dana penggalian jika bukan dari Finkelstein?" (Finkelstein dan Badan kesejarahan Israel-The Israel Antiquities Authority menolak berkomentar)
Apakah raja Daud pernah memerintah sebuah kerajaan besar, seperti yang ditulis dalam Alkitab? Atau apakah kerajaan yang diperintahnya hanyalah sebuah kerajaan kesuku-an, Proffesor Yossi Garfinkel mengklaim proyek penggaliannya di Khirbet Qeiyafa membuktikan kebenaran kisah dalam Alkitab, tapi arkeolog lain mencibir pendapatnya.
Di setiap musim panas selama empat tahun belakangan, Prof. Yosef Garfinkel meninggalkan Institut Arkeolog di Hebrew University, Yerusalem, selalu dengan mengenakan topi koboi dan bergegas menuju sebuah bukit berbatu di lembah Elah. Dari bawah, bukit itu nampak biasa saja dan tidak memiliki keistimewaan. Tapi ketika mencapai puncak, Garfinkel melirik raut wajah para pengunjung yang baru pertama kali melihat lokasi penggalian benteng kuno tersebut.
Di penggalian situs Khirbet Qeiyafa (Benteng Elah), Garfinkel sambil mengitari reruntuhan benteng berkata "Ini adalah situs yang paling fotogenik di negeri ini." Dan lanjutnya : "Ini adalah sebuah benteng kota dengan tembok setinggi 6 meter dan berpenduduk 500 hingga 600 jiwa. Anda tidak akan menemukan rumah, tembok, tangga dan gerbang seperti ini di Israel." Keunikan kota ini adalah dikelilingi oleh tembok casemate - tembok ganda yang memuat sebuah ruangan diantaranya. Reruntuhan tembok saat ini berkisar antara 2 hingga 3 meter dan luas nya sekitar 2,5 hektar. Sekitar 90 reruntuhan bangunan berjejer pada tembok benteng, ini baru beberapa yang berhasil di gali. Menurut Garfinkel setelah menggali selama 4 tahun, ia berkesimpulan bahwa situs ini adalah bukti untuk eksistensi kota yang menjadi bagian dari kerajaan Daud sekitar 10 abad sebelum masehi (menurut perhitungan Daud memerintah pada 1010-970 sm). "Ini adalah bukti pertama dan terakhir", ujarnya. "Hingga saat ini, tidak ada yang menyerupai Benteng Elah ditemukan di negeri ini".
Jika Garfinkel benar, penemuannya mungkin akan berimplikasi secara signifikan terhadap panasnya perdebatan panjang antar pegiat studi dan Arkeologi Alkitab. Awal muasal perdebatan ini terjadi pada abad ke 19; dan mencapai puncaknya dalam 2 dekade terakhir, ketika kelompok utama para arkeolog dan sarjana Alkitab membentuk sebuah pemahaman tentang realitas dari kerajaan Daud dan Solomon yang mana ternyata tidak seperti yang dituliskan dalam Alkitab, yakni berupa kesatuan kerajaan (Yehuda dan Israel) yang sangat berpengaruh, luas dan kuat.
Pandangan ini berasal dari fakta bahwa tidak ada bukti arkeologi yang berasal dari abad ke 10 SM yang menguatkan klaim tentang kerajaan superpower yang membentang dari Be'er Sheva diselatan hingga Dan di utara, yang dituliskan oleh Alkitab.
Para sarjana dan arkeolog ini berkesimpulan bahwa yang disebut kerajaan Daud hanyalah sebuah entitas kecil kesukuan, yang sangat kecil, bahkan tidak membentang melewati Yerusalem dan sekitarnya. Dan kini Garfinkel sedang menangani sebuah bukti tentang adanya kota berbenteng di lembah Elah, yang jaraknya sehari perjalanan dari Yerusalem, dan mungkin adalah bagian dari Kerajaan Daud, jika benar maka hal ini akan membantah argument dari para "minimalist".
Menurut Garfinkel, kerajaan yang pernah berdiri pada abad ke 10 SM adalah sesuatu diantara dua versi: Tidak-lah sekecil sangkaan para minimalis, tapi juga tidak lah sebesar yang tertulis dalam Alkitab. Kerajaan tersebut terdiri dari 3 kota besar: Yerusalem, Hebron dan kota di Khirbet Qieyafah ini. Bahkan jika hanyalah sebesar skala tersebut, ia menekankan, kerajaan tersebut ternyata lebih besar dari desa kecil seperti yang diucapkan oleh para arkeolog minimalis. Disaat yang bersamaan, ada arkeolog lain yang direkrut turut serta dalam penggalian Khirbet Qeiyafa mendukung klaim tentang sebuah kerajaan bersatu dan powerful.
"Situs ini jelas merefleksikan adanya sebuah pemerintahan yang handal." ujar Dr. Eilat Mazar dari Hebrew University, salah satu yang paling vokal dari kelompok yang ber-"teori" tentang eksistensi sebuah kerajaan Daud yang superpower. "Dengan informasi dari situs ini, masihkah kita berasumsi bahwa tidak ada pusat pemerintahan yang luas dan terpusat? Tidak masuk akal", ujarnya Dr. Mazar.
Garfinkel mengatakan bahwa sebelum ia menggali di situs ini, ia tidak terlibat dalam perdebatan tentang polemik kerajaan Daud. Keahlian utamanya adalah pada periode Neolithic dan Chalcolithic. Dinasti Daud dan kerajaan Israelnya dikalkulasi berada pada periode Iron age (zaman besi), ribuan tahun kemudian.
"Saya tidak mengerjakan proyek ini untuk mencari fakta-fakta tentang Daud. Saya tidak mau ber-opini tentang polemik tersebut; Saya tidak berpihak" ujarnya. Setelah banyak generasi pendahulu di bidang arkeologi bibilikal telah pensiun, ujarnya, institusi-nya saat ini lebih fokus mencari meriset pada penggalian zaman perunggu atau zaman besi. "Saya mengajar arkeologi pada zaman itu pula," ujarnya. "Saya dipersiapkan secara professional untuk mengerjakan proyek-proyek pada zaman besi di Yehuda." Pada tahun 2007, Garfinkel tiba di Khirbet Qeiyafa untuk memeriksa reruntuhan benteng. Dia menemukan 2 lapisan arkeologi, satu dari zaman Hellenistik, dan satunya dari zaman besi. Ia pun memutuskan untuk bekerja disini. "Banyak situs yang mengandung hingga 20 lapisan kota yang saling menumpuk, setiap penggalian satu lapisan kota terjadi pencampuran dengan lapisan dibawahnya, dan segalanya menjadi kacau balau. Saya lebih suka bekerja dengan dua lapisan, yang mana tingkat kerusakan lapisannya sangat rendah," ujarnya.
Alsace-Lorraine di Levant (Syam)
Garfinkel mungkin tidak bermaksud untuk bergabung dengan perselisihan akademik mengenai status Daud dan kerajaannya, tapi ketika ia sudah memasuki arena, ia akan merapat pada salah satu pihak yang bertikai. "Kota ini adalah benteng pengawas bagi kerajaan Yehudah," katanya, sambil menunjuk pada sisi lembah. "Lihat, anda dapat melihat orang-orang dibawah sana. Lembah Elah ini adalah bagian dari rute daerah pantai menuju perbukitan. Dan pada satu sisi, anda dapat memantau 5 kota di negeri Filistin, dan di sisi bagian timur, adalah Kerajaan Yehuda. Ini adalah daerah yang krusial, seperti Alsace-Lorraine, yang diperebutkan oleh Perancis dan Jerman selama ratusan tahun. Situs ini sangat penting secara geopolitik."
Garfinkel mengidentifikasi situs yang ia gali adalah kota benteng Sha'arayim, yang disebutkan dalam Alkitab di I Samuel. Ia mengidentifiasi dari adanya penampakan 2 gerbang disisi barat dan sisi selatan benteng ini (Sha'arayim berarti 2 gerbang dalam bahasa yahudi). "Anda tidak akan menemukan kota lain di Israel atau Yehuda dengan 2 gerbang," imbuhnya, "Alkitab, menyebut kata Sha'arayim hanya pada periode Daud, dan di daerah lembah Elah: ketika Daud membunuh Goliat, tentara Filistin melarikan diri melalui Sha'arayim. Dimana Daud membunuh goliat? Disini, diantara Socoh dan Azekah."
Satu hal yang disetujui oleh para arkeolog tentang Khirbet Qeiyafa adalah, situs ini sangat mengagumkan. Selain itu, segala sesuatu-nya menjadi perdebatan. Prof. Israel Finkelstein arkeolog dari Tel Aviv University, yang pada awal tahun 1990 ikut serta memformulasikan pandangan bahwa kisah-kisah di Alkitab tidak mempunyai dasar historis yang kuat, ia berkomentar, bahwa ia tidak yakin kalau situs yang digali oleh Garfinkel adalah bagian dari benteng milik Daud, dan bukannya milik bangsa Filistin atau Kanaan. Bahkan jika ternyata situs tersebut adalah benteng milik kerajaan Yehuda, ujarnya, ia tidak berpikir hal itu menjadi dasar bagi pandangan tentang kerajaan Daud yang maju dan berkembang. Koleganya dari Tel Aviv University, Ahli sejarah Prof. Nadav Na'aman, mengingatkan bahwa walau data tentang situs itu belum di publikasi, "Ber-hipotesis tentang keterkaitan benteng dengan kekuasaan yang berpusat di Yerusalem sangat tidak meyakinkan."
Tetapi beberapa arkeolog lain ber-argumen bahwa kini telah terungkap sebuah penemuan yang signifikan tentang Kesatuan kerajaan monarki Israel kuno. Dan para arkeolog pendukung kisah Alkitab kini dapat mengangkat dagu mereka setelah bertahun-tahun tersudut dalam pertempuran melawan Finkelstein dan koleganya.
Mazar pernah mengklaim telah menemukan reruntuhan istana Daud di sekitar dinding kota tua Yerusalem. (Penggaliannya didanai oleh dua organisasi sayap kanan, The Shalem Center dan Elad). Mazar menemukan sebuah struktur yang berlokasi disebuah puncak bukit di bagian utara Yerusalem, sebelah selatan Temple Mount, yang berdekatan dengan pemukiman Palestina di Silwan, yang dikenal sebagai City of David. Struktur tersebut berupa teras dengan tumpukan bebatuan setinggi 16,5 meter, yang dikenal dengan "Stepped stone structure".
Menurut Mazar, teras tersebut adalah penopang dari dinding sebuah istana. Ini adalah penemuan Mazar yang paling menonjol, tapi penanggalan yang ia ajukan menjadi kontroversi. karena ia menggunakan kepingan keramik yang berada pada bagian atas dan bawah dari strata atau lapisan yang ia gali, bukan pada strata yang sedang diteliti. Mazar kemudia menyimpulkan struktur tersebut berasal dari abad ke 10 SM, tetapi arkeolog lain mengatakan bahwa struktur tersebut dibuat di abad berikutnya. Bahkan website City of David tidak menganggap hal itu adalah bagian dari istana Daud.
Beberapa bulan yang lalu, sebuah penemuan arkeologi lain ditemukan dan menjadi headline media, yang mana Mazar ikut terlibat, sebuah tembok besar, sepanjang 70 meter dan memiliki ketinggian 6 meter, berlokasi diarea yang sama. Mazar mengklaim tembok tersebut berasal dari masa raja Solomon. Sekali lagi, penanggalannya dipertanyakan, bahkan oleh pihak arkeolog konservatif (penganut metode Alkitab).
"Tidak ada yang setuju dengan saya," keluh Mazar, kepercayaan dirinya terlihat seakan tak tergoyahkan. "Tidak diragukan jika banyak yang menerima pendapat yang mengecilkan peran Yerusalem sebagai desa kecil yang terbengkalai. Tapi kini terjadi perubahan, Yerusalem ternyata menunjukkan pada kita bahwa ia mempunyai konstruksi level istana yang mengagumkan."
Beberapa sarjana juga mengutip tentang penemuan di Yordania yang menguatkan pendapat tentang kerajaan yang maju dan berkembang. Antropolog dari Amerika, Prof. Thomas Levy, dari University of California, San Diego, saat ini sedang menggali situs di Khirbat en-Nahas diselatan Yordania, yang ternyata merupakan reruntuhan tambang tembaga kuno dan berkolasi di daerah yang dipercaya milik bangsa Edom. Dengan menggunakan penanggalan carbon-14, Levy menetapkan bahwa situs tersebut berasal dari akhir abad ke 10 SM, atau pada era raja Solomon. Menurut para arkeolog konservatif, penemuan ini meningkatkan kredibilitas kisah dari Alkitab, yang mengatakan adanya sebuah negeri yang sangat maju di daerah Edom dan terlibat peperangan dengan kerajaan Israel.
Akan tetapi, Prof. Finkelstein menolak penafsiran ini. "Tidak ada tulisan yang ditemukan yang dapat mengarah tentang kerajaan Solomon," katanya. "Tidak ada peninggalan impresif dari era periode classic Edom. penemuan Levy lebih dekat dengan bukti hegemoni bangsa Assyria dan jejak pedagang Arab di daerah tersebut."
Finkelstein menawarkan debat ke topik yang berbeda yang seharusnya menjadi isu fundamental untuk memahami sejarah Israel. Menurutnya para ahli seharusnya membahas pertanyaan, kapan penduduk yang mendiami daerah Israel kuno berpindah dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan yang maju. Finkelstein dan koleganya menyebut pandangan ini sebagai "low chronology" atau "late chronology". Intinya adalah segala bukti-bukti arkeologi yang selama ini mengacu pada abad ke 10 sebenarnya berasal dari periode berikutnya, bahkan mencapai 1 abad. Metode low chronology secara efektif otomatis menghapus eksistensi dari kerajaan Saul, Daud, Solomon di abad ke 11 dan 10 SM.
Garkinfel, sangat yakin bahwa tembok kota yang ia temukan sangatlah kuat dan mampu menahan serangan dari pihak musuh. Tidak masalah apakah kota itu bagian dari kerajaan Yehuda, Kanaan atau Filistin, imbuhnya, Khirbet Qeiyafah telah ada sejak abad ke 10 SM, "Bukti kami sudah menghancurkan teori low chronology" ucapnya dengan puas.
Tapi Finkelstein bersikeras. "Sangatlah sulit untuk membuatku berubah pikiran dan soal 4 sample pembacaan carbon-14 tidak akan mengubah 400 pembacaan yang sudah ada. Khirbet Qeiyafah adalah situs yang sangat penting tapi tidak akan mengubah alur kronologis."
Pertaruhan besar.
Dalam konteks Negara Israel, perdebatan akademik ini berlanjut pada hal-hal politik. Hal ini berkaitan dengan klaim ikatan historis oleh bangsa Yahudi terhadap sekotak tanah di Palestina saat ini. Lebih luasnya lagi, kontroversi ini menjadi bagian dari perdebatan panjang selama hampir lebih dua abad mengenai validitas historis atas sebagian besar isi kitab suci.
Permulaannya dimulai ketika muncul kritikan terhadap isi Alkitab di negara seperti Jerman dan Skandinavia pada abad ke 19, mereka mempertanyakan mengenai validitas kisah historis dalam Alkitab.
Reaksi perlawanan atas kritikan Alkitab pertama kali muncul sekitar tahun 1920 dan 1930 dari beberapa arkeolog bibilikal. Dan yang menjadi paling depan dari gerakan ini adalah seorang sarjana asal Amerika Serikat kelahiran Chili, William Albright. Ia memiliki kemampuan mumpuni sekelas ensiklopedia, dan ahli dalam bidang arkeologi, riset Alkitab dan bahasa-bahasa kuno. Ia adalah anak dari seorang misionaris Protestan yang sangat taat, ia adalah figur yang paling menonjol dari gelombang para ahli yang berasal dari Inggris, Perancis, Jerman dan Amerika, yang lalang melintang menjelajahi daerah timur-tengah (Levant/Syam) pada abad ke 19, untuk mencari artifak biblikal.
Para ahli ini berniat untuk mencari bukti bahwa kisah mengenai Abraham, Musa membawa bangsa Israel keluar dari Mesir, penaklukan bangsa Kanaan dan eksistensi dari kerajaan Daud mempunyai fakta historis. Mereka meyakini bahwa secara garis besar kisah dalam Alkitab dapat diandalkan. Dan dengan bukti arkeologi, mereka yakin hal ini akan mengurangi kritikan terhadap Alkitab.
Ketika negara Israel berdiri, mereka dibantu oleh generasi baru arkeolog Israel. Mereka yang berada digaris depan adalah Yigael Yadin dan Benjamin Mazar (Kakek dari Dr. Eilat Mazar) - walau tidak memiliki kesamaan dengan motif kekristenan Albright. Tujuan mereka adalah mencari akar untuk nasionalisme yang sedang terbentuk di Israel, dan intinya mereka mengikuti metode yang digunakan oleh Albright dan kawan-kawan: Alkitab ditangan kanan - sekop ditangan kiri.
"Ada keperluan yang sangat mendesak saat itu untuk menciptakan kultur, akar budaya, dan nasionalisme baru bagi para imigran yang berdatangan ke Israel dengan latar belakang berbagai negara, dan arkeologi adalah alat yang sangat ampuh untuk hal tersebut." jelas Finkelstein. "Setiap orang digerakkan dalam usaha mencari pembenaran akan keyakinan ini, dan tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Yadin memandang bahwa sejarah sedang terulang: penaklukan tanah Palestina pada masa lalu dan saat ini, dan kemegahan kerajaan Daud dan Solomon pada masa lalu dan saat ini, para Argeolog berperan penting, mereka tidak dapat dikritik untuk hal tersebut."
Pada masa itu, Alkitab nampak seperti kompas dan menuntun pada penemuan-penemuan yang impresif. Para arkeolog mencari bukti keberadaan kerajaan Daud di Hatzor, Megiddo dan Gezer, yang disebut dalam kitab Raja-raja sebagai proyek konstruksi skala besar raja Solomon.
I Raja-raja 9:15 "Beginilah hal orang-orang rodi yang telah dikerahkan oleh raja Salomo. Mereka dikerahkan untuk mendirikan rumah TUHAN, dan istana raja, dan Milo, dan tembok Yerusalem, dan juga untuk memperkuat Hazor, Megido dan Gezer."
Pada akhir tahun 1950, Yadin berhasil menggali 6 ruangan besar di sebuah reruntuhan gerbang, di Hatzor. Dengan hanya berdasarkan strata (lapisan) arkeologis dan pecahan keramik pada situs tersebut, Yadin dan Yohanan Aharoni, seorang arkeolog dan ahli lokasi bersejarah, menanggalkan situs tersebut berada pada zaman raja Solomon diakhir abad ke 10 SM. Berdasarkan kisah Alkitab Yadin kemudian menuju Meggido dan Gezer, dimana mereka kembali menemukan struktur yang serupa. Ia kemudian mengambil kesimpulan, berdasarkan temuannya, bahwa di abad ke 10 SM, sebuah pemerintahan yang maju dan berkembang sedang berkuasa disana yang mampu membuat sebuah master plan sebuah struktur monomental seperti itu yang kemudian dibangun diseluruh negeri. Penemuannya tampak sesuai dengan konsep eksistensi kerajaan besar yang setidaknya mencapai Hatzor, yang berada di utara danau Galilea.
Tapi beberapa dekade kemudian, pendekatan ini menjadi perdebatan antar kubu konservatif dan Finkelstein, yang mempertanyakan teknik penanggalan situs. Akan tetapi sebelumnya, sekitar tahun 1970 hingga 1980, sekelompok sarjana dari Eropa, kebanyakan mereka berasal dari Copenhagen dan Sheffield, menolak kisah-kisah bersejarah di Alkitab. Para "maximalis" menganggap bahwa kisah-kisah di Alkitab adalah valid dan benar sehingga dipakai secara maximal sebagai penuntun, sedangkan para "minimalis" menganggap bahwa Alkitab hanyalah cerita rakyat yang disusun dan dibukukan pada zaman Persia atau Yunani - beratus-ratus tahun setelah kejadian - sehingga memiliki nilai historis yang sangat minim. Cara optimal yang seharusnya digunakan untuk men-verifikasi kisah-kisah di Alkitab, adalah dengan menggunakan sumber dokumen kuno lain dari luar Alkitab.
Menurut para minimalis, kerajaan Daud tidak pernah terpisah menjadi dua kerajaan, Yehudah dan Israel, karena hal itu tidak pernah ada. Menurut mereka kedua kerajaan ini muncul dan berkembang secara berdampingan, dimana kerajaan Yehuda yang berpusat di Yerusalem, tumbuh dan berkembang di saat yang berbeda, yaitu setelah ditaklukkannya kerajaan Israel pada abad ke 8-9 SM oleh bangsa Assyria. Dalam penafsiran ini, Daud dan Solomon adalah figur fiksi.
Dua Kerajaan.
Pada tanggal 21 July 1993, sebuah penemuan besar terjadi di penggalian Tel Dan, di daerah utara Israel. Dan memicu perdebatan diantara para sarjana. Kepala proyek penggalian ini, Prof. Avraham Biran, menemukan sebuah tugu peringatan yang terbuat dari batu basalt dengan karakter aramaik dan tercantum kata "BeitDavid" (house of David - dinasti Daud) sebagai satu kata. Dan tulisan ini diteliti berasal dari abad ke 9 SM, tertulis disana tentang seorang raja dari Aram sedang membanggakan keberhasilannya menumpas 70 raja-raja, diantaranya adalah Jehoroam anak dari Ahab raja Israel, yang disebut sebagai keturunan dari house of David - adalah kebiasaan di daerah levant untuk menyebut pemerintahan sebuah negeri dengan nama pendirinya. Biran pada mulanya dituduh memalsukan tulisan tersebut, tapi tidak lama kemudian menjadi jelas bahwa ini adalah bukti pertama dari luar Alkitab yang menyebut tentang eksistensi dinasti Daud.
Penemuan ini kemudian membuat paham minimalis mereformulasi ulang pemahamannya, dan Finkelstein adalah yang pertama melakukannya. Pada pertengahan tahun 1990, ia mempublikasikan artikel berseri untuk persiapan thesis nya, yang menggabungkan kritik dari paham minimalis kedalam bentuk yang lebih moderat. Pada tahun 2001, ia dan Neil Asher Silberman, seorang editor dari majalah Arkeolog, menulis buku "The Bible Unearthed," yang mengupas mengenai validistas historis dari kisah di Alkitab.
Seperti para minimalis, Finkelstein dan Silberman berpendapat bahwa kedua kerajaan muncul secara hampir bersamaan dari orang-orang asli di Kanaan; mereka tidaklah unik, bukan pula sebuah bangsa yang berasal dari sekumpulan bekas budak yang keluar dari negeri Mesir, dan kemudian menaklukkan tanah tersebut secara militer lewat kepemimpinan Yoshua bin Nun. Menurut pemahaman ini, tidak pernah ada kerajaan bersatu Israel versi Daud dan Solomon pada abad ke 10 SM, tetapi pada abad ke 9 SM, kerajaan Israel mulai muncul dan pada abad ke 8 SM ia kemudian berkembang, yang kemudian di taklukkan oleh kerajaan Assyria. Kerajaan Yehuda, sebaliknya, hanyalah kerajaan keci dan tidak secara signifikan tersentralisasi hingga abad ke 7 SM. yang mana kemudian rakyat dari kerajaan di utara (yang disebut 10 suku dari kerajaan Israel) mengungsi dan menetap di kerajaan Yehudah ketika Josiah berkuasa.
Menurut Finkelstein, kisah mengenai Abraham sang bapak bangsa, serta kisah penaklukan Kanaan, mulai ditulis dengan tujuan mencoba menetapkan sebuah asas kesamaan historis antara rakyat dari kerajaan Israel dan Yehudah. Sebuah "pan-Israelis" ideologi seperti ini dapat melegalkan ambisi teritorial dari raja Josiah, sang raja Yehuda, yang menganggap dirinya sebagai ahli waris dari kerajaan Daud yang sedang terpecah.
"Bersyukurlah pada kemampuan menulis, dan konsep theologi yang mumpuni serta kreativitas yang luar biasa, kisah ini kemudian menjadi sangat berpengaruh hingga saat ini" ujar Finkelstein. Beginilah variasi pemikiran ia dan koleganya membaca - dan menolak - sisi lain dari kisah sejarah di Alkitab.
Saat ini, ada kesepakatan umum di antara sebagian arkeolog dan para sarjana Alkitab, bahwa tidak ada dasar historis untuk membenarkan kisah sang bapak bangsa Abraham, keluarnya bangsa Israel dari negeri Mesir dan penaklukan Kanaan, ataupun adanya bukti arkeologi yang dapat mengubah pemikiran ini. Tetapi menurut Prof. Amihai Mazar (kemenakan dari Benjamin Mazar), dari Institut Arkeologi di Hebrew University, yang menganggap dirinya tipe konservatif yang moderat, "Sangat mustahil untuk menganggap kisah hingga penaklukan Kanaan adalah kisah historis." Tetapi, tambahnya, "Dimulai dari kitab hakim-hakim, kisah mengenai kondisi sosial-ekonomi-politik-keadaan internasional pada masa itu, Alkitab sangat konsisten dengan realitas penemuan arkeologi. Itu pasti berlaku juga dengan kisah kesatuan kerajaan Israel. Inilah isu yang sebenarnya, apakah kesatuan kerajaan Israel pernah ada? dan jika benar, seberapa besar? ini lah yang menjadi garis pembatas antara dua kubu.
Finkelstein bersikeras bahwa kesatuan kerajaan Israel kuno pada abad ke 10 SM, yang mencakup wilayah Dan hingga Be'er Sheva, tidak pernah ada. "Secara demografi dan ekonomi", katanya, "yerusalem hanyalah sebuah wilayah yang kecil dan sederhana, pada abad ke 10 SM kita berbicara tentang 20 pemukiman skala kecil diantara pegunungan Yehuda. Jika kita kalkulasi, total maksimal hanya berjumlah 5.000 jiwa dan di Yerusalem sendiri hanya berkisar ratusan jiwa.
Dalam hal ini, apakah Yadin telah salah ketika menetapkan penanggalan gerbang di Megiddo, Gezer dan Hatzor pada abad ke 10 SM dan menyebut mereka sebagai bukti adanya kesatuan kerajaan Daud? Situs tersebut berada jauh diluar dari batas wilayah yang digambarkan oleh Finkelstein dan Silberman. Seharusnya, kata mereka gerbang tersebut ditanggalkan ke abad ke 9 dan abad ke 8 SM, setelah kematian Solomon, dan mereka seharusnya mengaitkannya dengan kerajaan utara (Israel) yang sedang berkembang. Mereka mengambil kesimpulan hanya berdasarkan pecahan keramik yang ditemukan pada strata tanah yang sudah hancur di Megiddo. Seperti halnya, kata Finkelstein, pengetesan radiocarbon pada Hatzor yang akhirnya menunjukkan bahwa situs itu berasal pada abad ke 9 SM.
Siapakah orang-orang Yehuda?
Semua kritikan pada penemuan sebelumnya oleh Finkelstein dan koleganya, mungkin dapat memudahkan bagi Garfinkel untuk mengantisipasi kritikan yang akan muncul. Ia pun mengklaim bahwa di Khirbet Qeiyafah, investigasi dilakukan secara berbeda. Karena ini adalah pemukiman kerajaan Yehudah yang pertama kali ditanggalkan secara radiocarbon pada abad ke 10 SM dan juga menunjukkan ketinggian level konstruksi mereka. Dengan kata lain, menurut Garfinkel ini akan menjadi bukti paling kuat dan membenarkan konsep bahwa pada abad ke 10 SM ada sebuah kerajaan yang maju dan membantah anggapan bahwa Daud adalah "seorang sheik dalam tenda kaum beduin" (menyindir pendapat Finkelstein).
Namun, hipotesis bahwa Khirbet Qeiyafa adalah reruntuhan kerajaan Yehuda belum diterima oleh kebanyakan arkeolog. Ini adalah ujian berat bagi Garfinkel. Hal yang paling utama dari penemuannya adalah sebuah ostracon-pecahan keramik yang mengandung tulisan kuno, yang menurut beberapa ahli, adalah tulisan Ibrani kuno. "Ada tiga ahli di Israel yang menyatakan itu adalah bahasa Ibrani biblikal, dan tiga lainnya masih belum yakin" ujar Amihai Mazar.
Namun, Prof. Gershon Galil dari University of Haifa, yang baru-baru ini mempublikasi hasil terjemahan ostracon tersebut, ujarnya "Ada 30 periset yang menyetujui hasil terjeemahan kami, yang menunjukkan bahwa tulisan tersebut adalah salah satu dari bahasa Ibrani kuno, dari sekitar 18 kata yang ada pada ostracon tersebut, 8 kata muncul pula di Alkitab."
Garfinkel juga menyebut bahwa struktur kota adalah bukti affiliasi dengan kerajaan Daud. Seperti yang dicantumkan oleh Garfinkel pada website tentang Khirbet Qeiyafah, "Perencanaan pembangunan benteng Elah termasuk dinding kota yang berbentuk casemate dan sekumpulan rumah yang menempel dengan dinding benteng sehingga menyatu dengan konstruksi benteng." Ini adalah tipe dari tata kota, imbuhnya, "ada empat situs serupa dengan benteng Elah ini, dan semuanya berada di daerah kerajaan Yehuda. Tidak ada dinding casemate di kebudayaan Kanaan atau Filistin. Atau pun rumah yang terintegrasi dengan tembok benteng di kerajaan Israel; ini adalah ciri khas kerajaan Yehuda."
Bukti selanjutnya, kata Garfinkel, adalah apa yang tidak ditemukan pada situs: tulang babi. Tidak ada satupun tulang dari binatang non-khoser (haram) ditemukan oleh para arkeo-zoologist yang memeriksa 3000 tulang yang ditemukan dilokasi penggalian.
Garfinkel memberitahu bahwa penemuan-penemuan lain yang oleh ia dan timnya, sebentar lagi akan diumumkan untuk publik untuk pertama kali, dan ia juga sedang menyiapkan thesis bahwa kota tersebut adalah bagian dari kerajaan Daud. Di suatu ruangan dari situs tersebut, ditemukan sebuah altar keagamaan bersama dengan cawan atau sloki untuk peralatan ibadah. Dan bersama dengan kasus temuan tulang, Garfinkel semakin teryakini karena ia pun ternyata tidak menemukan disekitar rumah ibadah tersebut patung berhala.
"Tidak ada ikon manusia atau binatang diseluruh kota, bahkan diarea yang disucikan. Situs ini benar-benar anti ikon," katanya, ini mengacu pada praktik pelarangan membuat representasi dari mahluk bernyawa atau dewa-dewi (patung berhala). "Ada banyak kontroversi mengenai kapan konsep monoteistik muncul di Israel dan kapan konsep pelarangan mematung berevolusi. Banyak argumen mengatakan hal ini baru muncul ketika masa akhir dari kuil ke dua atau ketika periode bangsa Persia dan Hellenistik. Tapi jika dibandingkan dengan apa yang ditemukan diruangan ini dengan situs-situs di Kanaan atau Filistin, anda menemukan pelarangan biblikal ada disini: tidak ada tulang babi dan tidak ada ritualdengan patung atau berhala.
Jika kita menambahkan penemuan ini dengan dua gerbang yang menunjukkan bahwa situs adalah Sha'arayim, kata Garfinkel, menjadi sangat jelas bahwa kota berbenteng ini adalah milik kerajaan Daud dan kerajaan itu cukup maju dan berkembang hingga mampu melaksanakan rekayasa dan pengorganisasian proyek seperti benteng Elah ini. "Situs ini berbeda dari semua desa-desa kecil yang menjadi karakter utama pemukiman masyarakat pada abad ke 12 atau ke 11 SM" katanya.
Namun, Prof. Nadav Na'aman, yang cenderung pada pemahaman minimalis, ia mempunyai banyak pertanyaan untuk kesimpulan yang dibuat oleh Garfinkel. Satu per satu ia membantah argumen Garfinkel: "Tidak ada satupun bukti temuan yang disebutkan oleh Garfinkel layak untuk dihubungkan bahwa Khirbet Qeiyafah mempunyai hubungan pusat dan daerah dengan Yerusalem, atau juga kepada penduduk yang berada dipegunungan sana. Yang mana baik penduduk Khirbet Qeiyafah dan di daerah pegunungan pada era zaman besi juga tidak mengkonsumi babi. Pada zaman besi di negeri Yehuda, tidak ada kota lain dengan struktur seperti di Khirbet Qeiyafah. Ini adalah bangunan yang berasal dari era sesudahnya.
"Dan apa hubungan tidak ditemukannya patung di Khirbet Qeiyafah maka itu adalah milik dari negeri Yehuda? lagian, pada era zaman besi di pemukiman daerah pegunungan banyak ditemukan patung-patung. Mengenai dua gerbang (Jika memang ada dua gerbang disana) juga tidak otomatis menjadi rujukan atas afiliasi tempat itu".
Finkelstein mempunyai pandangan yang serupa mengenai thesis Garfinkel. Ia terlihat gusar akan klaim keberadaan dua gerbang. "Tidak ada dua gerbang disana, cuma ada satu, pintu bagian barat. 90% dari apa yang anda lihat di gerbang selatan adalah hasil rekonstruksi. Saya akan menerbitkan foto yang menunjukkan bahwa pada saat akhir dari penggalian dan saat setelah rekonstruksi, dan semua orang yang memiliki mata mampu melihat bahwa tidak ada gerbang disana sebelumnya." Merespon tentang tidak adanya patung disitus itu, Finkelstein berkata, "Apa Garfinkel sedang bercerita bahwa ada kaum monotheis fanatik berdiam di Khirbet Qeiyafah pada abad ke 10 SM? apa ini hasil peninggalan mereka?" ujarnya sambil tertawa sinis, tambahnya "Saya sudah menggali beberapa tempat dan tidak menemukan objek ritual, tapi tidak pernah terlintas dalam pikiranku bahwa penduduknya adalah kaum monotheis fanatik."
Mengenai situs yang nampak seperti struktur kerajaan Yehuda, katanya, "Pada tahun 1980 saya pernah menggali disebuah situs di timur laut Yerusalem, yang berasal dari zaman yang sama dengan Khirbet Qeiyafah. Ada juga dinding serupa. Dan ketika mengunjungi Moav kami juga menemukan reruntuhan benteng dengan diding casemate yang serupa dari waktu yang sama. Jadi ini bukan sesuatu yang baru kita lihat."
Penggalian pribadi.
Walau demikian Finkelstein tidak menutup kemungkinan jika itu adalah salah satu kota Yehudah. "Berbicara soal kemungkinan, ini bisa saja adalah kota Yehudah, Dan hal ini tidak akan membuatku merubah pandangan akan hasil riset saya mengenai asal muasal kerajaan Israel dan Yehuda."
Beberapa hari sebelum bertemu dengan Finkelstein, saya berbincang dengan Garfinkel ketika kami mengelilingi reruntuntuhan Khirbet Qeiyafah. Ketika ia membicarakan tafsirannya akan situs tersebut, ia tiba-tiba terdiam dan memandang saya. "Masalahnya ada pada Finkelstein," ujarnya, "ia tidak pernah setuju dengan pendapat orang lain. Ia selalu harus menjadi orisinil. Dan ia selalu mempunyai sudut pandang yang berbeda. Jika saya mengatakan jaket anda abu-abu, ia akan berkata itu adalah coklat tua." lalu sambil tertawa Garfinkel berkata, "Jika saya katakan ini adalah kota Filistin, ia akan berkata kota Yehudah."
Finkelsten menyebut ini "sikap paranoid." (ia tidak medapat kesempatan untuk menggali di Khirbet). "Tidak ada perbedaan antara Garfinkel dan Yadin dan Albright," ungkapnya. Ada beberapa ahli yang, pemikirannya seperti kubu Finkelstein, saat ini sedang menahan diri dan tidak ingin memutuskan status etnis yang mendiami Khirbet Qeiyafa. Menurut Amihai Mazar, "Khiber Qieyafah sangat menarik, apakah orang Ibrani yang mendiami tempat itu? sangat sulit untuk membuktikannya." Hal serupa dikemukakan oleh Prof, Avi Faust, dari Departemen Studi negeri Israel dan Arkeologi di Bar-Ilan University, yang mengafiliasikan diri dengan kubu konservatif, ungkapnya, "kita belum memahami secara utuh tentang Khirbet Qeiyafa. kita belum sukses menempatkan Khirbet Qeiyafah secara tepat kedalam gambaran besar mengenai daerah selatan dari negeri Israel, terlihat bukan situs Filistin tapi juga tidak 100% yakin ini adalah situs Yehudah."
Garfinkel, bersama dengan koleganya, Saar Ganor dari Otoritas sejarah Israel (The Israel Antiquities Authority), saat ini mempresentasikan penemuan terakhir dari penggalian mereka, dan berusaha mempromosikan hasil penafsirannya. Selain menerima kritikan dari kaum moderat minimalis, ia sangat yakin jika ia tidak keliru. "Qeiyafa seperti tulang yang nyangkut ditenggorokan kaum minimalis," ujarnya. "Kota ini nyata, bagaimana anda menjelaskannya? Secara bertahap akan muncul penemuan situs serupa dari periode zaman besi."
Finkelstein berujar "Tidak dapat dipungkiri bahwa kami saat ini sedang mengalami gelombang kritik demi kritik yang sangat kuat, kami menyebutnya revolusi-perlawanan. Seperti itu lah riset bekerja." Tetap saja, ia menolak untuk meninjau ulang thesisnya; beban pembuktian berada pada pihak konservatif."
Perpolitikan para arkeolog.
Selama beberapa dekade perdebatan mengenai status historis kisah biblikal tentang kerajaan Daud, dibayang-bayangi oleh usaha untuk membuktikan atau membantah klaim orang Yahudi mengenai ikatan historis mereka dengan tanah dimana Negara Israel moderen berdiri, terutama tempat Yerusalem. Bahkan pada saat ini, kata Prof. Aharon Meir, seorang arkeolog dari Bar-Ilan University, "salah satu masalah adalah motivasi politis." Contohnya, adalah Eilat Mazar, yang saat ini sedang melakukan penggalian di Yerusalem. "Ia akan berkata ia bekerja tidak dengan motivasi politik tertentu, namun anda dapat melihat dari penyandang dana proyeknya [sebagian besar dari The nationalist Elad association] dan dari cara berpikirnya selama ini," Kata Meir. Kemudian dia menarik ucapannya dan berkata Mazar mungkin saja tidak mempunyai agenda politis.
Banyak yang bergelut dalam bidang arkeologi dan sarjana Alkitab, melalui komentar-komentarnya selama ini, mengatakan menghindari hal-hal ideologis dan politis. Prof. Amihai Mazar mengatakan bahwa secara sosio-politis dari para arkeolog Israel kebanyakan sangat homogen. "Semua yang terlibat dalam bidang ini kebanyakan adalah orang-orang sekuler, dan sama sekali bukan berpandangan ektrim, baik ekstrim kanan atau pun ekstrim kiri. Saya rasa tujuan politis tidaklah terlalu mencolok."
Hal senada diungkapkan oleh Prof. Avi faust dari Bar-Ilan University, Bahwa walau para arkeolog Israel mungkin terbentuk dengan pengaruh keadaan politis di Israel, mereka tidak akan bias dan mengikuti secara membabi buta sebuah agenda.
Tel Aviv vs Jerusalem
Ketegangan dan kompetisi antar para arkeolog kadangkala menghasilkan perang komentar pedas bersifat pribadi yang sama sekali tidak berkaitan dengan kejadian 3000 tahun yang lalu. Contohnya, Dr. Gabriel Barkai, yang berasal dari kelompok konservativ, mengatakan bahwa Finkelstein memaksakan "konsep kolektivisme" ketika ia menjabat sebagai kepala departemen di Tel Aviv University, yang akhirnya membuat Barkai hengkang dari institusi pada tahun 1997, setalah 27 tahun berbakti. Barkai menilai semakin nampak terjadi perselisihan antara Hebrew University dan Tel Aviv University mengenai pembahasan Alkitab, hal ini terjadi sejak Finkelstein menjabat. (Finkelstein menolak merespon pernyataan ini.)
Hal yang berbeda diungkapkan oleh Prof, Aharon Meir dari Bal-ilan University, bahwa ia tidak melihat adanya perpecahan antar kedua institusi. "Pada tahun 1960an hingga 1970an ada perselisihan dominan antar Yigael Yadin dan Yohanan Aharoni, antara Yerusalem dan Tel Aviv. Jika Yadin berkata saat ini pagi, maka Aharoni menjawab ini malam. Kedua kubu ini sangat militan. tapi saat ini saya tidak melihat yang sama terjadi."
Baru-baru ini, Koresponden Haaretz Nir Hasson mengungkap insiden. Ada dua kelompok arkeolog berkeinginan menggali di Tel Socoh, tidak jauh dari Khirbet Qeiyafah: satu pihak terdiri dari Prof. Yuval Goren dan Prof. Oded Lipschits, dari Tel Aviv University, dan pihak lain Prof. Garfinkel dan koleganya asal Amerika Serikat Prof. Michael Hasel. Menurut Goren, Prof Garfinkel tidak berhak menggali disana karena secara regulasi dari badan otoritas kesejarahan (Antiquities Authority) melarang seorang arkeolog menggali dua situs secara bersamaan.
Goren telah mendapat izin bulan lalu, tetapi menurut Prof. Lipschits, ia melihat Garfinkel turut menggali dilokasi walau tidak memiliki izin. Ia telah mengirim surat komplain kepada Dr. Gideon Avni, kepala unit perizinan penggalian di Badan kesejarahaan (Antiquities Authority), tapi ditolak.
"Ada hubungan tidak lazim antara Antiquities Authority dan Hebrew Universities," ujar Lipschits. "Avni dan Garfinkel adalah pengajar di Hebrew University dan Garfinkel adalah salah satu kepala dari penggalian di Khirbet Qeiyafah bersama Saar Ganor (kepala bidang pengamanan situs bersejarah - Prevention of antiquities thefts), dan ketika melaporkan penggalian illegal di Tel Socoh ke Badan kesejarahaan, yang harus dihubungi di Badan tersebut adalah Ganor"
Garfinkel merespon keras tentang hal ini: "Jika seorang yang terhormat seperti Prof. Oded Liptschits tidak dapat membedakan antara pencurian benda bersejarah dan survey penggalian, ia berada pada level bawah. Sangat menyedihkan ia menuduh kami sebagai penjarah. Ini tuduhan serius." Tambahnya ketika ia memulai untuk menggali di Khirbet Qeiyafah, ia mengalami gangguan dari staf periset dari Tel Aviv University. "Orang-orang di Tel Aviv berusaha menghalangi kami. Finkelstein adalah dalangnya. Dari mana Yuval Goren mendapat dana penggalian jika bukan dari Finkelstein?" (Finkelstein dan Badan kesejarahan Israel-The Israel Antiquities Authority menolak berkomentar)
No comments:
Post a Comment