Manusia Purba Juga Mengalami Down Syndrome. Awalnya dikira sebagai manusia hobbit, namun tulangnya asimetris.
Penelitian terbaru menemukan jika ternyata penyakit down syndrome pernah terjadi juga di masa purba. Sebuah tengkorak dari Homo floresiensis membuktikan hal ini.
Laman Discovery, Rabu 6 Agustus 2014, memberitakan tengkorak Homo floresiensis, dinamai LB1, memiliki ukuran otak yang hanya sepertiga dari ukuran otak manusia modern. Ukuran tubuhnya pun kecil, hanya 3,5 kaki.
Tengkorak yang disinyalir berumur 1.500 tahun itu ditemukan di Kepulauan Flores. Ukurannya yang kecil membuat arkeolog menganggapnya sebagai manusia hobbit. Namun temuan kali ini malah mengingkari teori tersebut. Kini peneliti percaya jika tengkorak itu milik manusia yang mengalami down syndrome.
Analisa ulang yang dilakukan tim peneliti menemukan bahwa estimasi awal yang dikemukakan peneliti ternyata lebih rendah dari yang pernah ditemukan.
Menurut Robert B Eckhardt, profesor pengembangan genetika dan evolusi dari Penn State University, kumpulan sampel tengkorak dari gua Liang Bua terdiri dari potongan jasad beberapa individu. Hanya LB1 yang memiliki tengkorak dan tulang paha berbeda dari keseluruhan sampel.
Ukuran terbaru dari tengkorak itu diestimasi berdasarkan tulang paha yang pendek. Lalu hal itu dikombinasikan dengan formula yang biasa digunakan untuk mengukur populasi masyarakat kerdil di Afrika. Ditemukan, manusia dengan down syndrome juga dikenali memiliki tulang paha yang pendek.
Eckhardt bersama koleganya, Maciej Henneberg, Profesor dari University of Adelaide jurusan Anatomi dan Patologi, serta Kenneth Hsu, geolog dan paleoklimatolog asal Tiongkok, awalnya menyimpulkan jika tengkorak tersebut milik manusia yang berkembang tidak normal. Belakangan, setelah beberapa tahun penelitian, teori tersebut ternyata berubah. Menurut mereka, tulang itu merupakan milik manusia yang terkena down syndrome.
"Tengkorak itu asimetris. Ini bukan karena perkembangan spesies manusia. Dari sini kami mendapatkan penjelasan bahwa tengkorak manusia ini karena down syndrome. Perbedaan ini dialami satu di antara 1.000 kelahiran manusia di dunia," ujar Eckhardt.
Penelitian terbaru menemukan jika ternyata penyakit down syndrome pernah terjadi juga di masa purba. Sebuah tengkorak dari Homo floresiensis membuktikan hal ini.
Laman Discovery, Rabu 6 Agustus 2014, memberitakan tengkorak Homo floresiensis, dinamai LB1, memiliki ukuran otak yang hanya sepertiga dari ukuran otak manusia modern. Ukuran tubuhnya pun kecil, hanya 3,5 kaki.
Tengkorak yang disinyalir berumur 1.500 tahun itu ditemukan di Kepulauan Flores. Ukurannya yang kecil membuat arkeolog menganggapnya sebagai manusia hobbit. Namun temuan kali ini malah mengingkari teori tersebut. Kini peneliti percaya jika tengkorak itu milik manusia yang mengalami down syndrome.
Analisa ulang yang dilakukan tim peneliti menemukan bahwa estimasi awal yang dikemukakan peneliti ternyata lebih rendah dari yang pernah ditemukan.
Menurut Robert B Eckhardt, profesor pengembangan genetika dan evolusi dari Penn State University, kumpulan sampel tengkorak dari gua Liang Bua terdiri dari potongan jasad beberapa individu. Hanya LB1 yang memiliki tengkorak dan tulang paha berbeda dari keseluruhan sampel.
Ukuran terbaru dari tengkorak itu diestimasi berdasarkan tulang paha yang pendek. Lalu hal itu dikombinasikan dengan formula yang biasa digunakan untuk mengukur populasi masyarakat kerdil di Afrika. Ditemukan, manusia dengan down syndrome juga dikenali memiliki tulang paha yang pendek.
Eckhardt bersama koleganya, Maciej Henneberg, Profesor dari University of Adelaide jurusan Anatomi dan Patologi, serta Kenneth Hsu, geolog dan paleoklimatolog asal Tiongkok, awalnya menyimpulkan jika tengkorak tersebut milik manusia yang berkembang tidak normal. Belakangan, setelah beberapa tahun penelitian, teori tersebut ternyata berubah. Menurut mereka, tulang itu merupakan milik manusia yang terkena down syndrome.
"Tengkorak itu asimetris. Ini bukan karena perkembangan spesies manusia. Dari sini kami mendapatkan penjelasan bahwa tengkorak manusia ini karena down syndrome. Perbedaan ini dialami satu di antara 1.000 kelahiran manusia di dunia," ujar Eckhardt.
No comments:
Post a Comment