Itulah hari terakhir bagi Kristus mengajar di dalam kaabah. Dari orang yang banyak sekali yang berhimpun di Yerusalem, perhatian semua orang telah tertarik kepada‑Nya; orang banyak telah berkerumun di halaman kaabah, memperhatikan pertarungan yang sedang berlangsung, dan dengan penuh kerinduan mereka menangkap setiap perkataan yang keluar dari bibir‑Nya. Belum pernah sebelumnya peristiwa seperti itu disaksikan. Di situlah berdiri orang Galilea yang muda, tidak memakai tanda kehormatan duniawi atau lencana kerajaan. Yang mengelilingi‑Nya adalah para imam yang mengenakan jubah yang mewah, para penghulu dengan jubah dan lencana yang menandai kedudukan mereka yang tinggi, dan ahli taurat dengan surat gulungan pada tangan mereka, yang dari dalamnya sering mereka kutip bunyi Kitab Suci. Yesus berdiri dengan tenang di hadapan mereka, dengan kemuliaan seorang raja. Sebagai seorang yang dikaruniai kekuasaan surga, Ia memandang dengan beraninya kepada musuh‑musuh‑Nya yang telah menolak dan menghinakan ajaran‑Nya, dan yang ingin mengambil nyawa‑Nya. Mereka telah menyerang Dia dalam jumlah yang besar, tetapi rencana mereka untuk menjerat dan mempersalahkan Dia sia‑sia belaka. Tantangan demi tantangan telah ditemui‑Nya yang mengemukakan kebenaran yang suci dan terang yang sangat menyolok bedanya dengan kegelapan dan kesalahan para imam dan orang Farisi. Ia telah memaparkan di hadapan para pemimpin ini mengenai keadaan mereka yang sebenarnya, serta pembalasan yang pasti dan tiada henti‑hentinya akan mengikuti perbuatan jahat mereka. Amaran telah diberikan dengan setia. Meski pun demikian pekerjaan lain tertinggal untuk dilakukan oleh Kristus. Maksud lain masih akan dilaksanakan.
Minat orang banyak kepada Kristus dan pekerjaan‑Nya sudah bertambah dengan tetap. Mereka sangat tertarik dengan ajaran‑Nya, tetapi mereka juga sangat bingung. Mereka telah menghormati imam‑imam dan rabbi‑rabbi, karena kecerdasan dan kesalehan mereka secara lahir. Dalam segala urusan agama mereka senantiasa mentaati kekuasaan mereka sepenuhnya. Meski pun demikian sekarang mereka melihat orang‑orang ini berusaha tidak mempercayai Yesus, seorang guru yang kebajikan dan pengetahuan‑Nya bersinar lebih cerah dari setiap serangan. Mereka memandang pada para imam dan tua‑tua yang bermuka masam, dan pada air muka para pemimpin itulah mereka melihat adanya kekalahan dan kebingungan. Mereka keheran‑heranan karena penghulu‑penghulu tidak mau percaya pada Yesus, sedangkan ajaran‑Nya sangat jelas dan sederhana. Mereka sendiri tidak mengetahui jalan mana yang harus ditempuh. Dengan kecemasan yang penuh kerinduan mereka memperhatikan gerakan orang‑orang yang nasihatnya selalu mereka ikuti.
Dalam perumpamaan yang telah diucapkan oleh Kristus, Kristus bermaksud mengamarkan para penghulu dan memberi petunjuk kepada orang banyak yang rela diajar. Tetapi ada perlunya berbicara lebih jelas lagi. Oleh penghormatan mereka terhadap tradisi serta iman mereka yang buta dalam suatu keimamatan yang bejat, orang banyak sudah diperhamba. Rantai ini harus diputuskan oleh Kristus. Tabiat para imam, penghulu‑penghulu, dan orang Farisi harus ditunjukkan lebih banyak lagi.
"Bahwa ahli taurat dan orang Farisi," kata‑Nya, "duduk di atas kursi Musa. Sebab itu, hendaklah kamu membuat dan menurut segala sesuatu yang dikatakannya kepadamu; tetapi perbuatannya jangan kamu lakukan; karena mereka itu berkata‑kata saja, tetapi tidak mengamalkannya." Ahli taurat dan orang Farisi mengaku dikarunai kekuasaan Ilahi yang serupa dengan yang ada pada Musa. Mereka berpura‑pura mengambil tempatnya sebagai penafsir hukum dan menghakimkan orang banyak. Demikianlah mereka menuntut penghormatan dan penurutan yang terutama dari orang banyak. Yesus menyuruh para pendengar‑Nya melakukan apa yang diajarkan oleh rabbi‑rabbi sesuai dengan hukum, tetapi jangan mengikuti teladan mereka. Mereka sendiri tidak mempraktekkan ajaran mereka sendiri.
Dan mereka mengajarkan banyak perkara yang bertentangan dengan Kitab Suci. Yesus berkata, "Maka diikatkannya tanggungan yang berat dan yang sukar dipikul, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka itu sendiri dengan jari pun tidak mau menggerakkan dia." Orang Farisi memerintahkan banyak sekali peraturan dengan mengalaskannya di atas tradisi, dan membatasi kebebasan pribadi tanpa alasan. Dan bagian‑bagian tertentu dari hukum itu mereka jelaskan sedemikian rupa sehingga membebankan pada orang banyak penurutan‑penurutan yang mereka sendiri abaikan secara diam‑diam, dan kalau hal itu memenuhi maksud mereka, maka dengan sebenarnya mereka menuntut dibebaskan daripadanya.
Mempertunjukkan kesalehan mereka adalah senantiasa merupakan tujuan mereka. Tidak ada sesuatu dianggap terlalu suci untuk memenuhi maksud ini. Kepada Musa Allah telah mengatakan mengenai hukum‑Nya, "Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu." Ul. 6:8. Perkataan ini mengandung suatu pengertian yang dalam. Bila sabda Allah direnungkan dan dipraktekkan, segenap hidup manusia akan dimuliakan. Dalam perlakuan yang benar dan berkemurahan, maka sebagai suatu cap, tangan akan menyatakan prinsip‑prinsip hukum Allah. Mereka akan tetap bersih dari suapan, dan dari segala sesuatu yang bejat dan menyesatkan. Mereka akan giat dalam perbuatan cinta dan belas kasihan. Mata yang ditujukan kepada suatu maksud yang mulia, akan menjadi terang dan benar. Wajah yang mengandung perasaan, mata yang memperhatikan dengan baik akan menyaksikan tabiat yang tidak bercacat‑cela dari dia yang mengasihi dan menghormati sabda Allah. Tetapi oleh orang Yahudi pada zaman Kristus segala perkara ini tidak dilihat. Perintah yang diberikan kepada Musa diartikan sebagai suatu petunjuk bahwa ajaran Kitab Suci harus dikenakan pada manusia. Itulah sebabnya ajaran itu dituliskan pada sehelai kulit binatang dan diikatkan dalam keadaan yang sangat menyolok di sekeliling kepala dan pergelangan. Tetapi hal ini tidak menyebabkan hukum Allah itu lebih mempengaruhi pikiran dan hati. Kertas kulit ini dipakai hanya sebagai lencana guna penarik perhatian. Pemakaiannya dianggap memberi kepada si pemakainya suatu sikap perbaktian yang akan memerintahkan penghormatan dari orang banyak. Yesus memukul kepura‑puraan yang sia‑sia ini:
"Maka segala perbuatannya dilakukannya saja, supaya dilihat orang; maka pengikat sembahyang dilebarkannya, dan rumbai‑rumbai pakaiannya dilabuhkannya; dan lagi mereka itu suka duduk di tempat yang mulia di dalam perjamuan, dan di kursi yang kehormatan di dalam rumah sembahyang; dan suka mereka itu diberi hormat di pasar, dan suka dipanggil orang 'Guru Besar'; tetapi janganlah kamu ini dipanggil orang 'Guru Besar' karena Satu saja Guru kamu, maka kamu sekalian ini bersaudara. Dan janganlah kamu memanggil 'Bapa' akan barang seorang pun di dalam dunia ini, karena Satu saja Bapa kamu, yaitu yang ada di surga. Dan lagi janganlah kamu dipanggil orang 'Penganjur'; karena Penganjur kamu Satu saja, yaitu Kristus." Dalam perkataan yang sejelas itu Juruselamat menyatakan cita‑cita yang mementingkan diri yang senantiasa berusaha mencapai tempat dan kuasa, mempertunjukkan kerendahan hati yang tidak sejati, sementara hati dipenuhi dengan kekikiran dan kedengkian. Bila orang‑orang diundang ke suatu pesta, para tamu didudukkan menurut jabatan, dan mereka yang diberi tempat yang paling terhormat menerima perhatian utama serta kebaikan istimewa. Orang Farisi selalu berencana memperoleh kehormatan ini. Kebiasaan inilah yang ditempelak oleh Yesus.
Ia juga menegur kecongkakan yang ditunjukkan dalam mengingini gelar rabbi, atau penganjur. Ia menyatakan bahwa gelar seperti itu bukannya milik manusia, melainkan Kristus. Imam‑imam, ahli taurat, dan penghulu‑penghulu, mereka yang menjelaskan dan menjalankan hukum itu, semuanya bersaudara, anak‑anak yang berasal dari satu Bapa. Yesus memberikan kesan kepada orang banyak bahwa mereka jangan memberi gelar kehormatan kepada seorang jua pun yang menyatakan pengendaliannya akan angan‑angan hati mereka atau iman mereka.
Sekiranya Kristus berada di dunia sekarang ini, dikelilingi oleh mereka yang memakai gelar "Yang Terhormat" atau "Yang Paling Dihormati" tidakkah Ia mengulangi perkataan‑Nya, "Dan lagi janganlah kamu dipanggil orang 'Penganjur' karena Penganjur kamu Satu saja, yaitu Kristus." Kitab Suci menyatakan tentang Allah, "Nama‑Nya kudus dan dahsyat." Mzm. 111:9. Kepada manusia yang bagaimanakah gelar seperti itu cocok benar? Alangkah sedikitnya manusia menyatakan kebijaksanaan dan kebenaran yang dinyatakannya! Alangkah banyaknya orang‑orang yang menggunakan gelar ini dengan salah melukiskan nama dan tabiat Allah!
Aduh, betapa sering cita‑cita duniawi, tindakan sewenang‑wenang, serta dosa‑dosa yang paling keji tersembunyi di balik jubah yang bersulam dari suatu jabatan yang tinggi dan suci! Juruselamat meneruskan:
"Tetapi yang terlebih besar di antara kamu, hendak menjadi hamba kepada kamu. Barangsiapa yang meninggikan dirinya, ia itu akan direndahkan; dan barang siapa yang merendahkan dirinya, ia itu akan ditinggikan." Berkali‑kali Kristus telah mengajarkan bahwa kebesaran sejati diukur dengan nilai akhlak. Dalam penilaian surga, kebesaran tabiat bergantung pada hidup untuk kesejahteraan sesama kita manusia, dalam melakukan perbuatan kasih dan kemurahan. Kristus Raja kemuliaan adalah hamba bagi manusia yang telah jatuh.
"Wai bagi kamu, hai ahli taurat, dan orang Farisi, orang munafik!"
kata Yesus, "karena kamu menutup pintu kerajaan surga menahan orang, maka kamu ini tidak masuk, dan orang yang ingin masuk kamu tegahkan." Dengan memutar‑balikkan Kitab Suci, imam‑imam dan orang fakih membutakan pikiran orang‑orang yang sebenarnya telah menerima suatu pengetahuan tentang kerajaan Kristus, serta kehidupan Ilahi dalam batin yang penting bagi kesucian sejati.
"Wai atas kamu, katib‑katib dan orang Farisi, hai orang pura‑pura, karena kamu makan habis akan rumah perempuan janda, sementara dengan pura‑pura kamu melanjutkan sembahyang; maka sebab itu kamu akan kena pehukuman yang terlebih berat."*) Orang Farisi mempunyai pengaruh besar terhadap orang banyak, dan daripadanya mereka melayani kepentingan diri mereka sendiri. Mereka mendapat kepercayaan dari janda‑janda yang saleh, dan kemudian mengemukakannya sebagai suatu kewajiban bagi mereka untuk menyerahkan harta mereka untuk tujuan agama. Setelah menguasai uang rnereka, orang yang merencanakan dengan liciknya itu menggunakannya untuk keuntungannya sendiri. Untuk menutupi ketidakjujuran itu, mereka mempersembahkan doa yang panjang‑panjang di hadapan umum, dan mengadakan pertunjukan yang besar tentang kesalehan mereka.
Kristus menyatakan bahwa kepura‑puraan ini akan membawa hukuman yang lebih besar kepada mereka. Tempelakan yang sama terkena kepada banyak orang di antara kita pada zaman kita ini yang sangat berpura‑pura saleh. Kehidupan mereka dinodai dengan sifat mementingkan diri sendiri dan kekikiran, namun mereka menutupinya dengan jubah kesucian sekadar rupa, dan dengan demikian untuk sementara waktu menipu sesama manusia. Tetapi mereka tidak dapat menipu Allah. Ia membaca setiap niat hati, dan akan menghakimkan setiap manusia menurut perbuatannya.
Kristus tidak segan‑segan mempersalahkan penyalah‑gunaan, tetapi Ia berhati‑hati untuk tidak mengurangi kewajiban. Ia menempelak sifat mementingkan diri yang merneras dan menggunakan dengan salah pemberian perempuan janda itu. Pada saat yang sama Ia memuji janda yang membawa persembahannya untuk perbendaharaan Allah. Penyalah‑gunaan manusia akan pemberian tidak dapat membalikkan berkat Allah dari sipemberi.
Yesus berada di halaman kaabah di mana terdapat peti persembahan, dan Ia memperhatikan orang‑orang yang datang memasukkan pemberian mereka. Banyak dari antara orang kaya membawa jumlah yang besar, yang mereka persembahkan dengan pertunjukan yang besar. Yesus memandang mereka dengan perasaan sedih, tetapi tidak memberikan komentar tentang persembahan mereka yang limpah. Tidak lama kemudian wajah‑Nya kelihatan gembira ketika dilihat‑Nya seorang perempuan janda yang miskin mendekati dengan ragu‑ragu, seolah‑olah takut diperhatikan. Ketika orang‑orang kaya dan sombong itu lewat untuk memasukkan persembahan mereka, perempuan ini mundur seakan‑akan tidak berani maju lebih jauh. Dan meski pun demikian ia ingin melakukan sesuatu, walau pun tampaknya kecil saja, untuk pekerjaan Tuhan yang dicintainya itu. Ia memandang pemberian yang di tangannya. Sangat kecil jumlahnya kalau dibandingkan dengan pemberian orang‑orang di sekelilingnya, meski pun demikian itulah semuanya yang ada padanya. Sambil menunggu kesempatannya, ia lekas‑lekas memasukkan duit dua keping yang ada padanya, dan berbalik lekas‑lekas hendak pergi. Tetapi dalam berbuat demikian matanya bertemu dengan mata Yesus, yang tertatap benar‑benar kepadanya.
Juruselamat memanggil murid‑murid‑Nya kepada‑Nya, dan menyuruh mereka memperhatikan kemiskinan perempuan janda itu. Kemudian perkataan‑Nya yang mengecam terdengar olehnya: "Dengan sesungguhnya Aku berkata kepadamu, bahwa janda yang miskin ini sudah memasukkan lebih daripada sekaliannya." Air mata kegirangan berlinang‑linang memenuhi matanya ketika ia merasa bahwa perbuatannya dipahami dan dihargai. Banyak orang akan menasihati dia untuk menahan uangnya yang sangat kecil jumlahnya itu supaya digunakannya sendiri; bila diberikan ke dalam tangan para imam yang mendapat makanan cukup, persembahan itu akan tidak kelihatan di antara banyak pemberian yang limpah yang dibawa ke perbendaharaan. Tetapi Yesus mengerti motifnya. Ia percaya bahwa upacara kaabah telah ditetapkan oleh Allah, dan ia ingin sekali melakukan sedapat‑dapatnya untuk menyokongnya. Ia melakukan apa yang dapat dilakukannya, dan perbuatannya menjadi suatu peringatan dalam ingatannya sepanjang masa, serta kegembiraannya di masa kekekalan. Hatinya menyertai pemberiannya, harganya dinilai, bukannya dengan nilai mata uang, melainkan dengan kasih kepada Allah serta minat dalam pekerjaan‑Nya yang telah mendorong perbuatan itu.
Yesus mengatakan tentang janda yang miskin itu, ia "sudah memasukkan lebih daripada sekaliannya." Yang kaya telah memberikan dari kelimpahan mereka, kebanyakan dari mereka dipandang dan dihormati oleh manusia. Pemberian mereka yang besar itu tidak merampas kesenangan, atau pun kemewahan dari mereka, pemberian itu tidak menuntut pengorbanan, dan tidak dapat dibandingkan dalam nilainya dengan duit perempuan janda itu.
Motiflah yang menentukan keikhlasan perbuatan kita, menodainya dengan kehinaan atau pun dengan nilai akhlak yang tinggi. Bukanlah perkara‑perkara besar yang dapat dilihat oleh semua mata dan yang dipuji oleh semua lidah dianggap Allah paling berharga. Kewajiban kecil yang dikerjakan dengan gembira, pemberian kecil yang diberikan bukannya dengan sikap pertunjukan, dan yang pada pemandangan manusia mungkin kelihatan tidak berharga, sering berdiri paling tinggi pada pemandangan‑Nya. Hati iman dan kasih lebih disayangi Allah daripada pemberian yang paling mahal. Janda yang miskin itu memberikan penghidupannya untuk melakukan perkara kecil yang dilakukannya. Ia mengambil makanan yang hendak dimakannya sendiri agar dapat memberikan duit dua keping itu untuk pekerjaan Tuhan yang dikasihinya. Dan ia melakukannya dalam iman, sambil percaya bahwa Bapa yang di surga tidak akan melupakan keperluannya yang besar itu. Roh yang tidak mementingkan diri serta iman seperti anak kecil inilah yang dapat pujian dari Juruselamat.
Di antara orang miskin banyak sekali ingin menunjukkan syukur mereka kepada Allah karena anugerah dan kebenaran‑Nya. Mereka ingin sekali turut mengambil bagian dengan saudara‑saudara yang lebih makmur dalam menyokong pekerjaan‑Nya. Jiwa‑jiwa ini jangan hendaknya ditolak. Biarkanlah mereka menabung uang mereka ke dalam bank surga. Jika diberikan dari hati yang dipenuhi dengan kasih bagi Allah, uang yang tampaknya tidak berarti ini menjadi pemberian yang disucikan, persembahan yang tidak ternilai harganya, yang disambut Allah dengan senyum dan diberkati‑Nya.
Ketika Yesus mengatakan tentang janda itu, Ia "sudah memasukkan lebih daripada sekaliannya," perkataan‑Nya benar adanya, bukan saja tentang motif, melainkan tentang akibat pemberiannya. "Duit dua keping" telah membawa ke dalam perbendaharaan Allah suatu jumlah uang yang jauh lebih besar daripada sumbangan orang Yahudi yang kaya. Pengaruh pemberian yang kecil itu sudah menjadi bagaikan suatu sungai, yang kecil saja pada mulanya, tetapi makin lebar dan makin dalam sementara sungai itu mengalir sepanjang zaman. Dalam seribu jalan pemberian itu telah menyumbang untuk meringankan tanggungan orang miskin serta penyebaran Injil. Teladannya dalam hal pengorbanan diri telah mempengaruhi dan mempengaruhi kembali beribu‑ribu hati di tiap negeri dan di tiap zaman. Hal itu telah menarik perhatian orang kaya dan orang miskin, dan persembahan mereka telah mempertinggi nilai pemberiannya. Berkat Allah ke atas duit janda itu telah menjadikannya sumber dari hasil yang besar. Demikian juga halnya dengan setiap pemberian yang diberikan dan setiap perbuatan yang dilakukan dengan kerinduan yang sungguh‑sungguh untuk kemuliaan Allah. Hal ini dihubungkan dengan maksud yang Maha Kuasa. Akibatnya untuk kebaikan tidak dapat diukur oleh seorang jua pun.
Juruselamat melanjutkan pengaduan‑Nya tentang ahli taurat dan orang Farisi: "Wai bagi kamu, hai pemimpin yang buta, yang berkata, 'Barang siapa yang bersumpah demi Bait Allah, tiada mengapa; tetapi barang siapa yang bersumpah demi emas Bait Allah, maka tertanggunglah.' Hai orang bodoh dan buta! Apakah yang lebih besar Emaskah atau Bait Allah yang menguduskan emas itu? Dan lagi katamu, 'Barang siapa yang bersumpah demi tempat korban, tiada mengapa; tetapi barang siapa yang bersumpah demi persembahan yang di atas tempat korban itu, maka tertanggunglah.' Hai orang buta, apakah yang lebih besar: Persembahankah atau tempat korban yang menguduskan persembahan itu?" Imam‑imam menafsirkan tuntutan Allah sesuai dengan ukuran mereka yang keliru dan picik. Mereka memberanikan diri untuk menerangkan atau membandingkan berbagai‑bagai dosa, meremehkan beberapa dosa, dan memperlakukan yang lain yang mungkin kurang berarti sebagai dosa yang tidak dapat dimaafkan. Karena pertimbangan uang kadang‑kadang mereka memaafkan orang‑orang dari sumpah. Dan untuk uang yang besar jumlahnya kadang‑kadang mereka mengabaikan kejahatan yang hebat. Pada saat yang sama para imam dan penghulu ini dalarn hal lain mengumumkan hukuman yang berat atas pelanggaran yang tidak berarti.
"Wai bagi kamu, hai ahli taurat dan orang Farisi, orang munafik! Karena kamu membayar sepersepuluh daripada selasih dan adas manis dan jintan, tetapi hal ihwal yang terlebih wajib di dalam torat, seperti keadilan dan belas kasihan dan setiawan; kamu tinggalkan. Inilah yang patut diperbuat, dan yang lain itu pun jangan ditinggalkan." Dalam perkataan ini Kristus sekali lagi mempersalahkan penyalahgunaan kewajiban yang suci. Kewajiban itu sendiri tidak dikesampingkan‑Nya. Sistim pembayaran perpuluhan sudah ditentukan oleh Allah, dan sudah dipelihara sejak zaman terdahulu. Ibrahim, bapa orang yang setia, membayar perpuluhan dari segala sesuatu yang dimilikinya. Penghulu‑penghulu Yahudi mengakui kewajiban membayar perpuluhan, dan hal ini benar adanya; tetapi mereka tidak membiarkan orang banyak melaksanakan keyakinan mereka sendiri akan kewajiban. Peraturan sewenang‑wenang dikeluarkan untuk setiap perkara. Tuntutan itu sudah menjadi sangat sulit sehingga tidak mungkin dipenuhi. Tidak seorang pun mengetahui bila kewajiban mereka dipenuhi. Sebagaimana keadaannya pada waktu diberikan Allah, sistim itu benar dan masuk di akal; tetapi imam‑imam dan rabbi‑rabbi telah menjadikannya suatu beban yang meletihkan.
Segala sesuatu yang diperintahkan Allah penting adanya. Kristus mengakui pembayaran perpuluhan sebagai suatu kewajiban, tetapi Ia menunjukkan bahwa hal ini tidak dapat memaafkan kelalaian terhadap kewajiban yang lain. Orang Farisi sangat teliti dalam pembayaran perpuluhan dari daun‑daunan di kebun, seperti selasih, adas manis dan jintan; bahan‑bahan ini tidak mahal bagi mereka, dan hal ini memberi mereka julukan orang yang teliti dan suci. Pada saat yang sama larangan mereka yang tidak berguna menindas orang banyak dan merusakkan kehormatan terhadap sistim yang suci yang telah ditentukan Allah sendiri. Mereka memenuhi pikiran manusia dengan perbedaan yang remeh dan membalikkan perhatian mereka dari kebenaran yang penting. Hal ihwal yang terlebih wajib di dalam taurat, seperti keadilan, kemurahan, dan kebenaran dilalaikan. "Inilah," kata Kristus, "yang patut diperbuat, dan yang lain itu pun jangan ditinggalkan."
Hukum yang lain telah diputarbalikkan oleh rabi‑rabi dalam keadaan seperti itu. Dalam petunjuk yang diberikan kepada Musa dilarang makan suatu makanan yang haram. Penggunaan daging babi, serta daging binatang‑binatang lainnya, dilarang karena mungkin memenuhi darah dengan sampah dan memendekkan hidup. Tetapi orang Farisi tidak membiarkan larangan ini sebagaimana yang diberikan Allah kepada mereka. Mereka mengadakan sikap keterlaluan yang tak dapat dibenarkan. Antara lain orang‑orang dituntut menyaring semua air yang digunakan, agar jangan air itu mengandung serangga yang paling kecil sekali pun, yang dapat digolongkan dengan binatang haram. Yesus, yang menunjukkan perbedaan yang menyolok antara ketelitian dalam perkara‑perkara kecil dengan besarnya dosa‑dosa mereka yang sebenarnya, berkata kepada orang Farisi, "Hai pemimpin yang buta, yang menapis nyamuk, tetapi menelan onta."
"Wai bagi kamu, hai ahli taurat dan orang Farisi, orang munafik! karena kamu seumpama kubur yang bersapu kapur; sungguh pun dari luar kelihatan elok, tetapi di dalamnya berisi tulang orang mati dan berbagai‑bagai najis." Sebagaimana kubur yang dilabur putih dan dihiasi dengan indahnya menyembunyikan tubuh yang sedang membusuk di dalamnya, demikian juga kesucian secara lahir di pihak para imam dan penghulu menyembunyikan kejahatan. Yesus meneruskan:
"Wai bagi kamu, hai ahli taurat dan orang Farisi, orang munafik! karena kamu memperbuat kubur nabi‑nabi, dan menghiasi kubur orang benar. Lalu katamu, Jikalau kami sudah ada pada zaman nenek moyang kami, niscaya tiadalah kami bersekutu dengan orang yang menumpahkan darah nabi‑nabi. Demikianlah kamu menyaksikan dirimu sendiri, bahwa kamulah anak‑cucu orang yang membunuh nabi‑nabi itu." Untuk menunjukkan penghormatan mereka bagi nabi‑nabi yang sudah mati itu, orang Yahudi sangat rajin memperindah kubur‑kubur itu; tetapi mereka tidak mengambil manfaat dari ajaran nabi‑nabi itu, dan juga tidak menghiraukan amaran mereka.
Pada zaman Kristus orang berpaut pada takhyul yang menghormati tempat peristirahatan orang mati, dan uang dalam jumlah yang besar diboroskan untuk menghiasinya. Pada pemandangan Allah hal ini merupakan penyembahan berhala. Dalam penghormatan mereka yang berlebih‑lebihan bagi orang mati, manusia menunjukkan bahwa mereka tidak mengasihi Allah lebih dari segala sesuatu, atau pun sesama manusia seperti diri sendiri. Penyembahan berhala seperti itu dilakukan besar‑besaran dewasa ini. Banyak orang bersalah karena melalaikan perempuan janda dan yang tidak berbapa lagi, yang sakit dan yang miskin, agar dapat mendirikan peringatan yang mahal bagi orang mati. Waktu, uang, dan pekerjaan digunakan dengan bebas untuk maksud ini, sementara kewajiban terhadap orang yang hidup—kewajiban yang telah diperintahkan oleh Kristus dengan jelasnya—ditinggalkan.
Orang Farisi mendirikan kubur nabi‑nabi, serta menghiasinya, seraya berkata satu dengan yang lain, Jikalau kami sudah ada pada zaman nenek moyang kami, niscaya tiadalah kami bersekutu dengan orang yang menumpahkan darah hamba‑hamba Allah. Pada saat yang sama mereka sedang merencanakan hendak membunuh Anak‑Nya. Hal ini harus menjadi suatu pelajaran bagi kita. Hal ini harus membuka mata kita terhadap kuasa Setan yang hendak memperdayakan pikiran yang berbalik dari terang kebenaran. Banyak orang berjalan pada jalan orang Farisi. Mereka menghormati orang‑orang yang sudah mati karena iman mereka. Mereka heran melihat kebutaan orang Yahudi dalam menolak Kristus. Mereka menyatakan, Sekiranya kami hidup pada zaman‑Nya, dengan senang hati kami akan menerima ajaran‑Nya; kami sekali‑kali tidak akan mengambil bagian dalam kesalahan orang‑orang yang menolak Juruselamat. Tetapi bila penurutan kepada Allah menuntut penyangkalan diri dan kerendahan hati, orang‑orang yang sama ini memadamkan keyakinan mereka dengan enggan menurut. Dengan demikian mereka menunjukkan roh yang sama sebagaimana yang ditunjukkan oleh orang Farisi yang disalahkan oleh Kristus.
Orang Yahudi kurang menyadari tanggung jawab yang hebat yang diakibatkan oleh penolakan akan Kristus. Sejak darah orang yang tidak bersalah mula‑mula ditumpahkah, ketika Habil yang benar gugur oleh tangan Kain, sejarah yang sama sudah diulangi, dengan kesalahan yang kian bertambah. Pada setiap zaman nabi‑nabi telah menyaringkan suaranya terhadap dosa raja‑raja, penghulu‑penghulu dan orang banyak, mengucapkan perkataan yang diberikan Allah kepada mereka, dan mentaati kehendak‑Nya meski pun hidup mereka terancam bahaya. Dari generasi kepada generasi tertimbunlah hukuman yang hebat bagi mereka yang menolak terang dan kebenaran. Hal inilah yang sedang ditimpakan oleh musuh‑musuh Kristus ke atas kepala mereka sendiri. Dosa imam‑imam dan penghulu‑penghulu lebih besar daripada dosa generasi sesudah itu. Oleh penolakan mereka akan Juruselamat, mereka sedang menjadikan diri mereka bertanggung jawab atas darah segala orang benar yang dibunuh sejak Habil sampai kepada Kristus. Mereka sudah hampir akan mengisi cawan kejahatan mereka sampai meluap. Dan tidak lama kemudian cawan itu akan dituangkan di atas kepala mereka dalam hukuman pembalasan. Tentang hal ini, Yesus mengamarkan mereka:
"Supaya tertanggunglah atas kamu segala darah orang benar yang tumpah di atas bumi, yaitu daripada darah Habil yang benar sehingga sampai kepada darah Zakaria anak Barakia, yang telah kamu bunuh di antara rumah Allah dengan tempat korban. Dengan sesungguhnya Aku berkata kepadamu, bahwa segala perkara ini akan berlaku ke atas bangsa ini."
Ahli taurat dan orang Farisi yang mendengarkan Yesus mengetahui bahwa perkataan‑Nya benar adanya. Mereka mengetahui bagaimana nabi Zakaria telah dibunuh. Sementara perkataan amaran dari Allah masih di bibirnya, suatu kemarahan Setan menguasai raja yang murtad itu, dan atas perintahnya nabi itu telah dibunuh. Darahnya tertera pada batu‑batu halaman kaabah, dan tidak dapat dihapuskan; darah itu tetap menyaksikan tentang Israel yang murtad. Selama kaabah itu berdiri, akan terdapatlah noda dari darah yang benar itu berseru kepada Allah untuk dibalas. Ketika Yesus menyinggung dosa‑dosa yang menakutkan ini, suatu perasaan ketakutan memenuhi orang banyak itu.
Sambil memandang ke depan, Yesus menyatakan bahwa keadaan orang Yahudi yang tidak mau bertobat serta sikap menolak hamba‑hamba Allah akan serupa pada masa depan sebagaimana yang lampau:
"Sebab itu ingatlah, bahwa Aku ini akan menyuruhkan kepadamu beberapa nabi dan orang budiman dan ahli taurat. Maka separuhnya akan
kamu bunuh dan kamu salibkan, dan separuhnya lagi akan kamu sesah di dalam rumah sembahyang dan menghambat dari sebuah negeri ke sebuah negeri." Nabi‑nabi dan orang budiman, penuh dengan iman dan Roh Kudus—Stepanus, Yakub, dan banyak lagi yang lain—akan dipersalahkan dan dibunuh. Dengan tangan yang terangkat arah ke surga, dan suatu terang Ilahi menyelubungi diri‑Nya, Kristus berbicara sebagai seorang hakim kepada mereka yang ada di hadapan‑Nya. Suara‑Nya yang sudah terlalu sering kedengaran dalam kelemah‑lembutan dan sifat memohon, sekarang kedengaran dalam sifat menempelak dan menghukum. Para pendengar gemetar. Tidak pernah kesan yang diberikan oleh perkataan‑Nya dan pandangan‑Nya dapat dihapuskan.
Kemarahan Kristus ditujukan kepada kepura‑puraan, dosa‑dosa yang sangat jahat, yang dengan itu orang‑orang sedang membinasakan jiwa mereka sendiri, menipu orang banyak dan tidak menghormati Allah. Dalam pertimbangan yang menyesatkan tetapi tampaknya baik di pihak imam‑imam dan penghulu‑penghulu Ia melihat pekerjaan agen‑agen Setan. Ia senantiasa menentang dosa dengan pedas dan tajam, tetapi tidak ada perkataan dendam diucapkan‑Nya. Ia mempunyai suatu kemarahan yang suci terhadap putera kegelapan, tetapi Ia tidak menunjukkan suatu perangai yang menimbulkan kemarahan. Demikian juga orang Kristen yang hidup sesuai dengan Allah, yang memiliki sifat‑sifat kasih dan kemurahan yang manis, akan merasakan suatu kemarahan yang benar terhadap dosa; tetapi ia tidak akan digerakkan oleh hawa napsu untuk menghinakan orang‑orang yang menghinakan dia. Bila bertemu dengan orang‑orang yang digerakkan oleh kuasa dari bawah sekali pun yang berusaha mempertahankan kepalsuan, dalam Kristus ia akan tetap memelihara ketenangan dan penahanan hawa napsu.
Belas kasihan Ilahi kelihatan pada wajah Anak Allah ketika ia menatapi kaabah dan kemudian pada para pendengar‑Nya. Dalam suara yang tertahan‑tahan oleh dukacita yang dalam dan air mata kepahitan Ia berseru, "Hai Yerusalem, Yerusalem, yang membunuh nabi‑rrabi, dan yang merajam segala orang yang disuruhkan kepadamu. Berapa banyak kali sudah Aku berkehendak menghimpunkan anak‑anakmu, seperti seekor induk ayam menghimpunkan anak‑anaknya di bawah sayapnya, tetapi tidak kamu mau?" Inilah pergumulan perpisahan. Dalam ratapan Kristus perasaan hati Allah sedang dicurahkan. Itulah ucapan perpisahan yang sukar dipahami dari kasih Ilahi yang panjang sabar.
Orang Farisi dan orang Saduki sama‑sama terdiam. Yesus memanggil murid‑murid‑Nya, dan bersedia hendak meninggalkan kaabah, bukannya sebagai seorang yang telah dikalahkan dan dipaksa keluar dari hadapan musuh‑musuh‑Nya, melainkan sebagai seorang yang telah melaksanakan pekerjaan‑Nya. Ia beristirahat sebagai pemenang dari pertarungan itu. Permata kebenaran yang keluar dari bibir Kristus pada hari bersejarah itu disimpan dalam hati banyak orang. Bagi mereka pikiran yang baru mulai hidup, cita‑cita baru tergugah, dan suatu darah yang baru pun mulailah. Sesudah penyaliban dan kebangkitan Kristus, orang‑orang ini maju ke depan, dan menunaikan perintah Ilahi dengan kebijaksanaan dan semangat yang sesuai dengan kebesaran pekerjaan itu. Mereka membawa suatu pekabaran yang menarik hati manusia, melemahkan takhyul lama yang sudah lama menghambat pertumbuhan hidup beribu‑ribu orang. Mereka sendiri menyaksikan bahwa teori dan filsafat manusia menjadi sebagai dongeng yang sia‑sia. Sangatlah besarnya akibat yang mengalir dari perkataan Juruselamat kepada orang banyak yang keheran‑heranan dan termangu‑mangu di dalam kaabah di Yerusalem.
Tetapi Israel sebagai suatu bangsa telah memisahkan dirinya dari Allah. Cabang‑cabang alamiah pada pohon zaitun sudah dipatahkan. Sambil memandang untuk kali terakhir pada bagian dalam kaabah, Yesus mengatakan dengan kepiluan yang menyedihkan, "Sesungguhnya rumahmu kelak tertinggal sunyi‑senyap. Karena Aku berkata kepadamu, bahwa daripada masa ini tiada lagi kamu melihat Aku, sehingga kamu berkata, 'Mubaraklah Ia yang datang dengan nama Tuhan.' " Sampai saat itu Ia telah menyebut kaabah itu rumah Bapa‑Nya; tetapi sekarang, ketika Anak Allah harus meninggalkan temboknya, hadirat Allah akan ditarik selama‑lamanya dari kaabah yang didirikan bagi kemuliaan‑Nya. Sejak saat itu upacara‑upacaranya tidak ada artinya lagi, acara‑acaranya menjadi suatu olokan semata‑mata.
No comments:
Post a Comment