Sepanjang sejarah 3500 tahun sejak bangsa Israel menguasai wilayah Palestina, daerah itu adalah tanah air yang dikaruniakan Allah kepadanya sebagaimana dicatat dalam Al-Qur'an (Surah Al Maidah 5:20-21) dan Alkitab (Keluaran 6:7). Kita sudah lihat pula bahwa sepanjang 3500 tahun itu tidak pernah ada waktu di mana tidak ada masyarakat Israel yang tinggal di sana.
Tujuh Periode Pengembangan dan Pembentukan Israel
Perbudakan di Mesir – 2100 sM – 1500 sM.
Perbudakan di Babel – 536 sM-457 sM
Kekuasaan Farsi – 457 sM – 332 sM
Kekuasaan Yunani – 332 sM – 52 sM
Jajahan Roma – 52 sM – 70 M
Pembuangan ke seluruh dunia – 70 M – 1948
Pemulangan diaspora ke Palestina – 18 – 1948
Bangsa Israel pernah melalui berbagai masa jajahan atau perbudakan. Dalam masa-masa itu telah terjadi tiga kali masa pembangunan, kembalinya masyarakat sejarah massal atau pemulihan Israel sebagai bangsa yang menduduki Palestina. Ketiga masa itu adalah:
1. Zaman Keluaran 3 juta orang yang keluar dari Mesir untuk menjadi bangsa Israel di Palestina – 1500 sM
2. Zaman pemulangan dari Babel atas perintah Raja Farsi, Koresh – 457 sM
3. Zaman pemulangan diaspora di zaman modern – 1700-1948.
Memang wilayah itu telah mengalami pergantian pemerintahan, penjajah dan penduduk berulang kali tetapi satu-satunya bangsa yang selalu dan selamanya ada di sana adalah kaum Yahudi. Walaupun sampai 85% kaum Yahudi sudah masuk diaspora di berbagai bangsa, yang 15% itu tetap tinggal di wilayah Palestina. Kadang-kadang mereka adalah penduduk mayoritas, kadang-kadang minoritas, tergantung jumlah penjajah yang masuk. Namun karena wilayah itu tandus, tidak produktif dan terdapat banyak tantangan, penduduk-penduduk baru biasanya tidak tahan lama.
Mulai pada awal 1700'an ada gerakan pemulangan antara yang 85% yang di diaspora itu berkaitan dengan situasi politik dunia, penganiayaan dan perubahan situasi ekonomi. Gerakan pemulangan ini menjadi terkenal sebagai Gerakan Sionisme. Dalam edisi yang lalu kita sudah melihat "Makna Sionisme" dan "Sebabnya Muncul Sionisme". Sekarang kita akan melihat beberapa hal lainnya yaitu Sionisme Sosialis, Religius, Nasionalis dan Kultural dan pengaruhnya dalam pemulangan kaum Yahudi ke Palestina.
Visi Pemulangan Yahudi ke Palestina
Visi Sionisme Sosialis
Pada tahun 1862, penulis Yahudi, Moses Hess telah menerbitkan visinya untuk kaum Yahudi kembali ke Palestina. Bukunya berjudul, Rome and Jerusalem; The Last National Question. Buku ini mengemukanan visi kaum Yahudi kembali ke Palestina sebagai sarana menyelesaikan masalah identitas nasionalnya. Hess menginginkan negara sosialis di mana kaum Yahudi menjadi negara petani yang akan "menebus tanah" dan mengubahnya menjadi bangsa yang sesungguhnya yang menguasai semua lapisan ekonomi yang produktif sebagai pemilik tanah daripada yang non-produktif yaitu lapisan perdagangan. Gerakan ini telah melahirkan gerakan Sionis Sosialisme yang menjadi pelopor sistem kibbutz yang banyak dipakai di Israel sampai masa kini.
Visi Sionisme Religius
Juga pada tahun 1862, Rabbi Zvi Hirsch Kalischer seorang Yahudi Jerman Ortodoks menerbitkan tulisannya, Derishat Sion, yang mengemukakan Sionisme Religius yang menjanjikan keselamatan kepada kaum Yahudi sesuai janji-janji para nabi dan bahwa pertolongan Tuhan hanya akan terjadi bilamana bangsa Yahudi sendiri bersedia bertindak dan menolong dirinya sendiri.
Walaupun Sionisme sangat berakar dalam tradisi-tradisi agama Yahudi yang mengikat kaum Yahudi ke Tanah Israel, gerakan pemulangan modern lebih bersifat sekuler sebagai reaksi terhadap anti-Semitisme yang berkembang bahkan membludak pada akhir abad ke-19 di Eropa. Buku "The Protocols of the Elders of Zion" sebuah buku yang ditulis oleh beberapa orang yang membenci kaum Yahudi. Buku tersebut diedarkan seolah-olah ditulis tokoh-tokoh Yahudi dengan rencana besar untuk menaklukkan seluh dunia. Buku itu tidak ditulis kaum Yahudi tetapi justru oleh kaum anti-semitis guna menimbulkan lebih banyak kebencian terhadap kaum Yahudi. Tujuan mereka dicapai. Penganiayaan meningkat bahkan dipakai Hitler untuk membenarkan holocaust. Semuanya ini mendorong kaum Yahudi untuk harus pulang ke Palestina.
Visi Sionisme Nasionalis
Berkaitan dengan keinginan kembali ke Palestina telah muncul Sionisme yang bersifat Nasionalis, suatu gerakan kemerdekaan nasional kaum Yahudi. Gerakan ini telah bertumbuh pada abad ke-19 dalam konteks nastionalisme umum yang berkembang dalam semua bangsa Eropa. Sionisme menyatukan dua tujuan besar, kemerdekaan dan kesatuan. Kedua hal ini dapat dicapai dengan mengembangkan visi memerdekakan kaum Yahudi dari penganiayaan, kebencian dan penekanan pemerintahan asing di Eropa lalu memanggil semua diaspora Yahudi untuk bersatu kembali dengan suatu pemulangan global dari keempat penjuru dunia dan mendirikan kembali Tanah Airnya, Israel.
Pada tahun 1880an di Eropa Timur ada beberapa kelompok aktifis gerakan Sionisme ini seperti Hibbat Sion di mana emansipasi kaum minoritas belum terjadi seperti di Eropa Barat. Penganiayaan anti-Yahudi yang disebut pogrom telah menyusul asasinasi Kaisar Aleksander II dan ini membuat emansipasi bagi kaum Yahudi semakin sulit sehingga gerakan dan visi pemulangan menjadi semakin populer.
Di samping itu, di Perancis pada tahun 1894 terjadi skandal yang disebut The Dreyfus Affair yang melapaskan gerakan anti-Semitisme yang sangat mengejutkan Eropa. Perancis sebelumnya dianggap bangsa terkemuka dalam toleransi. Karenanya, seorang wartawan Yahudi, Theodore Herzl, telah menulis sebuah buku, "Negara Yahudi" yang mengungkapkan skandal Dreyfus sebagai pemicu mengubah visi banyak orang Yahudi yang tadinya tidak mendukung Sionisme tetapi sekarang telah menjadi seperti suatu banjir besar sehingga kerinduan kaum Yahudi untuk kembali ke tanah airnya menjadi sulit dibendung lagi. Pada tahun 1897 the Gerakan Sionis Sedunia dibentuk dan Herzl menjadi Presiden Sionisme yang pertama dan pengaruh gerakan nasionalis menjadi semakin luas.
Visi Sionisme Kultural
Sionisme juga mengembangkan visi pemulihan dan pertahanan kebudayaan Yahudi, khususnya bahasa Ibrani yang secara utuh sudah menghilang dari bahasa-bahasa dunia.
Hasil visi itu adalah bahasa Ibrani dibangkitkan kembali sebagai bahasa yang hidup yang dipakai dalam pemerintahan, perdagangan, pendidikan dan keilmuan, sebuah bahasa yang dipakai oleh semua orang Yahudi sebagai bahasa pemersatu.
Seorang pemikir Sionis, Asher Ginsberg, yang lebih dikenal dengan nama samaran Ahad Ha'am, dalam bukunya One of the People telah menolak pentingnya Sionisme Politik untuk mencapai Negara Israel karena dia berpendapat bahwa persatuan melalui kebudayaan dan bahasa jauh lebih penting. Ahad Ha'am telah menyadari bahwa gerakan kemerdekaan dan pendirian Negara Israel pasti akan menimbulkan konflik dengan masyarakat Arab yang sudah ada di Palestina apalagi dengan penguasa daerah itu, Kerajaan Ottoman dan penguasa kolonial Eropa yang pada saat itu sedang berusaha merebutnya juga dari tangan Ottoman.
Daripada langsung mengusahakan Negara Israel lewat jalur politik, Ahad Ha'am lebih cenderung membangun gerakan pemulihan kebudayaan dan bahasa yang akan menyatukan kaum Yahudi dan tidak kelihatan sebagai ancaman terhadap penguasa-penguasa tsb. Gerakan seperti itu bisa membangun suatu momentum alamiah sehingga menjadi otomatis dan nyata bahwa ada bangsa Yahudi sebagai penduduk mayoritas Palestina.
Tokoh sebagai pelopor gerakan memulihkan bahasa Ibrani yang hidup adalah Eliezer Ben Yehuda. Pada tahun 1880'an kebanyakan kaum Yahudi Eropa hanya berbahasa bahasa Yiddish, sebuah bahasa campuran berdasarkan bahasa Jerman kuno campur kata-kata Ibrani. Ben Yehuda dan para pendukungnya mulai menganjurkan pemulihan bahasa Ibrani lalu mulai mengajarkan bahasa Ibrani modern berdasarkan bahasa Ibrani Alkitabiah. Setelah 1800 tahun bahasa Ibrani dianggap bahasa mati. Ben Yehuda telah menghidupkannya kembali.
Ben Yehuda telah tiba di Palestina mengikuti Aliyah Pertama pada tahun 1881 lalu memimpin proyek pemulihan bahasa Ibrani. Aliyah adalah kata bahasa Ibrani dengan arti 'mendaki', dan bermakna, "mendaki ke Tanah Kudus". Dengan pertolongan Nissim Bechar, Dekan Alliance Israelite Universelle, Ben Yehuda mulai mengajarkan bahasa Ibrani. Kemudian dia menerbitkan surat kabar harian Hatzvi dan mendirikan sebuah Dewan Linguistik. Karya Ben Yehuda telah berhasil menyelidiki, memulihkan dan menghidupkan kembali bahasa Ibrani sebagai bahasa modern.
Bahasa Ibrani mulai menjadi faktor pemersatu para pendatang baru dan para penduduk lama. Banyak dari mereka mulai mengambil nama-nama baru, nama-nama Ibrani.
Perkembangan kota modern baru, Tel Aviv, sebagai kota pertama yang berbahasa Ibrani modern bersamaan dengan perkembangan gerakan kibbutz, dan perkembangan institusi-institusi ekonomi Yahudi lainnya telah meletakkan dasar kuat untuk nasionalisme baru yang menjadi nyata pada Perang Dunia Pertama (1914-1918) yang juga mendukung deklarasi Inggris pada tahun 1917 yang disebut Deklarasi Balfour, yang meluncurkan gerakan dari bangsa adidaya itu untuk mendirikan kembali Negara Israel di Palestina. Realita dari deklarasi itu kemudian disaksikan setelah Perang Dunia Kedua (1939-1945) berakhir.
Kombinasi berbagai faktor ini, Sionisme Sosialis, Sionisme Religius, Sionisme Nasionalis dan Sionisme Kultural telah melahirkan suatu gerakan yang menyatukan semua elemen kaum Yahudi dengan visi bahwa pada generasi mereka, doa, kerinduan dan perjuangan mereka selama 1800 tahun untuk "tahun depan di Yerusalem" dapat terwujud dengan sesungguhnya.
Namun, munculnya Sionisme, publikasi buku fabrikasi The Protocols of the Elders of Zion, tekanan-tekanan politik dan ekonomi di antara bangsa-bangsa Eropa telah membuat gerakan anti-semitisme membludak dan memuncak dengan pogrom-pogrom dan kemudian komunisme di Rusia, penganiayaan di Perancis, fasisme di Italia dan Spanyol dan nazisme di Jerman dan sebagainya sehingga suatu solusi harus ditemukan. Untuk kaum Yahudi solusi adalah pemulangan ke Palestina. Untuk Hitler solusinya, yang dia sebut "Solusi Akhir", adalah eksterminasi semua orang Yahudi dari permukaan bumi.
Tujuh Periode Pengembangan dan Pembentukan Israel
Perbudakan di Mesir – 2100 sM – 1500 sM.
Perbudakan di Babel – 536 sM-457 sM
Kekuasaan Farsi – 457 sM – 332 sM
Kekuasaan Yunani – 332 sM – 52 sM
Jajahan Roma – 52 sM – 70 M
Pembuangan ke seluruh dunia – 70 M – 1948
Pemulangan diaspora ke Palestina – 18 – 1948
Bangsa Israel pernah melalui berbagai masa jajahan atau perbudakan. Dalam masa-masa itu telah terjadi tiga kali masa pembangunan, kembalinya masyarakat sejarah massal atau pemulihan Israel sebagai bangsa yang menduduki Palestina. Ketiga masa itu adalah:
1. Zaman Keluaran 3 juta orang yang keluar dari Mesir untuk menjadi bangsa Israel di Palestina – 1500 sM
2. Zaman pemulangan dari Babel atas perintah Raja Farsi, Koresh – 457 sM
3. Zaman pemulangan diaspora di zaman modern – 1700-1948.
Memang wilayah itu telah mengalami pergantian pemerintahan, penjajah dan penduduk berulang kali tetapi satu-satunya bangsa yang selalu dan selamanya ada di sana adalah kaum Yahudi. Walaupun sampai 85% kaum Yahudi sudah masuk diaspora di berbagai bangsa, yang 15% itu tetap tinggal di wilayah Palestina. Kadang-kadang mereka adalah penduduk mayoritas, kadang-kadang minoritas, tergantung jumlah penjajah yang masuk. Namun karena wilayah itu tandus, tidak produktif dan terdapat banyak tantangan, penduduk-penduduk baru biasanya tidak tahan lama.
Mulai pada awal 1700'an ada gerakan pemulangan antara yang 85% yang di diaspora itu berkaitan dengan situasi politik dunia, penganiayaan dan perubahan situasi ekonomi. Gerakan pemulangan ini menjadi terkenal sebagai Gerakan Sionisme. Dalam edisi yang lalu kita sudah melihat "Makna Sionisme" dan "Sebabnya Muncul Sionisme". Sekarang kita akan melihat beberapa hal lainnya yaitu Sionisme Sosialis, Religius, Nasionalis dan Kultural dan pengaruhnya dalam pemulangan kaum Yahudi ke Palestina.
Visi Pemulangan Yahudi ke Palestina
Visi Sionisme Sosialis
Pada tahun 1862, penulis Yahudi, Moses Hess telah menerbitkan visinya untuk kaum Yahudi kembali ke Palestina. Bukunya berjudul, Rome and Jerusalem; The Last National Question. Buku ini mengemukanan visi kaum Yahudi kembali ke Palestina sebagai sarana menyelesaikan masalah identitas nasionalnya. Hess menginginkan negara sosialis di mana kaum Yahudi menjadi negara petani yang akan "menebus tanah" dan mengubahnya menjadi bangsa yang sesungguhnya yang menguasai semua lapisan ekonomi yang produktif sebagai pemilik tanah daripada yang non-produktif yaitu lapisan perdagangan. Gerakan ini telah melahirkan gerakan Sionis Sosialisme yang menjadi pelopor sistem kibbutz yang banyak dipakai di Israel sampai masa kini.
Visi Sionisme Religius
Juga pada tahun 1862, Rabbi Zvi Hirsch Kalischer seorang Yahudi Jerman Ortodoks menerbitkan tulisannya, Derishat Sion, yang mengemukakan Sionisme Religius yang menjanjikan keselamatan kepada kaum Yahudi sesuai janji-janji para nabi dan bahwa pertolongan Tuhan hanya akan terjadi bilamana bangsa Yahudi sendiri bersedia bertindak dan menolong dirinya sendiri.
Walaupun Sionisme sangat berakar dalam tradisi-tradisi agama Yahudi yang mengikat kaum Yahudi ke Tanah Israel, gerakan pemulangan modern lebih bersifat sekuler sebagai reaksi terhadap anti-Semitisme yang berkembang bahkan membludak pada akhir abad ke-19 di Eropa. Buku "The Protocols of the Elders of Zion" sebuah buku yang ditulis oleh beberapa orang yang membenci kaum Yahudi. Buku tersebut diedarkan seolah-olah ditulis tokoh-tokoh Yahudi dengan rencana besar untuk menaklukkan seluh dunia. Buku itu tidak ditulis kaum Yahudi tetapi justru oleh kaum anti-semitis guna menimbulkan lebih banyak kebencian terhadap kaum Yahudi. Tujuan mereka dicapai. Penganiayaan meningkat bahkan dipakai Hitler untuk membenarkan holocaust. Semuanya ini mendorong kaum Yahudi untuk harus pulang ke Palestina.
Visi Sionisme Nasionalis
Berkaitan dengan keinginan kembali ke Palestina telah muncul Sionisme yang bersifat Nasionalis, suatu gerakan kemerdekaan nasional kaum Yahudi. Gerakan ini telah bertumbuh pada abad ke-19 dalam konteks nastionalisme umum yang berkembang dalam semua bangsa Eropa. Sionisme menyatukan dua tujuan besar, kemerdekaan dan kesatuan. Kedua hal ini dapat dicapai dengan mengembangkan visi memerdekakan kaum Yahudi dari penganiayaan, kebencian dan penekanan pemerintahan asing di Eropa lalu memanggil semua diaspora Yahudi untuk bersatu kembali dengan suatu pemulangan global dari keempat penjuru dunia dan mendirikan kembali Tanah Airnya, Israel.
Pada tahun 1880an di Eropa Timur ada beberapa kelompok aktifis gerakan Sionisme ini seperti Hibbat Sion di mana emansipasi kaum minoritas belum terjadi seperti di Eropa Barat. Penganiayaan anti-Yahudi yang disebut pogrom telah menyusul asasinasi Kaisar Aleksander II dan ini membuat emansipasi bagi kaum Yahudi semakin sulit sehingga gerakan dan visi pemulangan menjadi semakin populer.
Di samping itu, di Perancis pada tahun 1894 terjadi skandal yang disebut The Dreyfus Affair yang melapaskan gerakan anti-Semitisme yang sangat mengejutkan Eropa. Perancis sebelumnya dianggap bangsa terkemuka dalam toleransi. Karenanya, seorang wartawan Yahudi, Theodore Herzl, telah menulis sebuah buku, "Negara Yahudi" yang mengungkapkan skandal Dreyfus sebagai pemicu mengubah visi banyak orang Yahudi yang tadinya tidak mendukung Sionisme tetapi sekarang telah menjadi seperti suatu banjir besar sehingga kerinduan kaum Yahudi untuk kembali ke tanah airnya menjadi sulit dibendung lagi. Pada tahun 1897 the Gerakan Sionis Sedunia dibentuk dan Herzl menjadi Presiden Sionisme yang pertama dan pengaruh gerakan nasionalis menjadi semakin luas.
Visi Sionisme Kultural
Sionisme juga mengembangkan visi pemulihan dan pertahanan kebudayaan Yahudi, khususnya bahasa Ibrani yang secara utuh sudah menghilang dari bahasa-bahasa dunia.
Hasil visi itu adalah bahasa Ibrani dibangkitkan kembali sebagai bahasa yang hidup yang dipakai dalam pemerintahan, perdagangan, pendidikan dan keilmuan, sebuah bahasa yang dipakai oleh semua orang Yahudi sebagai bahasa pemersatu.
Seorang pemikir Sionis, Asher Ginsberg, yang lebih dikenal dengan nama samaran Ahad Ha'am, dalam bukunya One of the People telah menolak pentingnya Sionisme Politik untuk mencapai Negara Israel karena dia berpendapat bahwa persatuan melalui kebudayaan dan bahasa jauh lebih penting. Ahad Ha'am telah menyadari bahwa gerakan kemerdekaan dan pendirian Negara Israel pasti akan menimbulkan konflik dengan masyarakat Arab yang sudah ada di Palestina apalagi dengan penguasa daerah itu, Kerajaan Ottoman dan penguasa kolonial Eropa yang pada saat itu sedang berusaha merebutnya juga dari tangan Ottoman.
Daripada langsung mengusahakan Negara Israel lewat jalur politik, Ahad Ha'am lebih cenderung membangun gerakan pemulihan kebudayaan dan bahasa yang akan menyatukan kaum Yahudi dan tidak kelihatan sebagai ancaman terhadap penguasa-penguasa tsb. Gerakan seperti itu bisa membangun suatu momentum alamiah sehingga menjadi otomatis dan nyata bahwa ada bangsa Yahudi sebagai penduduk mayoritas Palestina.
Tokoh sebagai pelopor gerakan memulihkan bahasa Ibrani yang hidup adalah Eliezer Ben Yehuda. Pada tahun 1880'an kebanyakan kaum Yahudi Eropa hanya berbahasa bahasa Yiddish, sebuah bahasa campuran berdasarkan bahasa Jerman kuno campur kata-kata Ibrani. Ben Yehuda dan para pendukungnya mulai menganjurkan pemulihan bahasa Ibrani lalu mulai mengajarkan bahasa Ibrani modern berdasarkan bahasa Ibrani Alkitabiah. Setelah 1800 tahun bahasa Ibrani dianggap bahasa mati. Ben Yehuda telah menghidupkannya kembali.
Ben Yehuda telah tiba di Palestina mengikuti Aliyah Pertama pada tahun 1881 lalu memimpin proyek pemulihan bahasa Ibrani. Aliyah adalah kata bahasa Ibrani dengan arti 'mendaki', dan bermakna, "mendaki ke Tanah Kudus". Dengan pertolongan Nissim Bechar, Dekan Alliance Israelite Universelle, Ben Yehuda mulai mengajarkan bahasa Ibrani. Kemudian dia menerbitkan surat kabar harian Hatzvi dan mendirikan sebuah Dewan Linguistik. Karya Ben Yehuda telah berhasil menyelidiki, memulihkan dan menghidupkan kembali bahasa Ibrani sebagai bahasa modern.
Bahasa Ibrani mulai menjadi faktor pemersatu para pendatang baru dan para penduduk lama. Banyak dari mereka mulai mengambil nama-nama baru, nama-nama Ibrani.
Perkembangan kota modern baru, Tel Aviv, sebagai kota pertama yang berbahasa Ibrani modern bersamaan dengan perkembangan gerakan kibbutz, dan perkembangan institusi-institusi ekonomi Yahudi lainnya telah meletakkan dasar kuat untuk nasionalisme baru yang menjadi nyata pada Perang Dunia Pertama (1914-1918) yang juga mendukung deklarasi Inggris pada tahun 1917 yang disebut Deklarasi Balfour, yang meluncurkan gerakan dari bangsa adidaya itu untuk mendirikan kembali Negara Israel di Palestina. Realita dari deklarasi itu kemudian disaksikan setelah Perang Dunia Kedua (1939-1945) berakhir.
Kombinasi berbagai faktor ini, Sionisme Sosialis, Sionisme Religius, Sionisme Nasionalis dan Sionisme Kultural telah melahirkan suatu gerakan yang menyatukan semua elemen kaum Yahudi dengan visi bahwa pada generasi mereka, doa, kerinduan dan perjuangan mereka selama 1800 tahun untuk "tahun depan di Yerusalem" dapat terwujud dengan sesungguhnya.
Namun, munculnya Sionisme, publikasi buku fabrikasi The Protocols of the Elders of Zion, tekanan-tekanan politik dan ekonomi di antara bangsa-bangsa Eropa telah membuat gerakan anti-semitisme membludak dan memuncak dengan pogrom-pogrom dan kemudian komunisme di Rusia, penganiayaan di Perancis, fasisme di Italia dan Spanyol dan nazisme di Jerman dan sebagainya sehingga suatu solusi harus ditemukan. Untuk kaum Yahudi solusi adalah pemulangan ke Palestina. Untuk Hitler solusinya, yang dia sebut "Solusi Akhir", adalah eksterminasi semua orang Yahudi dari permukaan bumi.
No comments:
Post a Comment