Siapa yang layak dikenang ketika Tembok Berlin runtuh seperempat abad lalu, dan Jerman menyatu?
Jika pertanyaan ini Anda layangkan ke orang Jerman, mereka hanya akan menyebut satu nama; Letnan Kolonel Harald Jaeger, perwira Jerman Timur yang bertanggung jawab atas keamanan Tembok Berlin.
"Saya yang memberi perintah 46 serdadu membuka penghalang, dan membiarkan 20 ribu demonstran Jerman Timur melintasi pintu Tembok Berlin menuju Jerman Barat," kenang Jaeger.
Namun, itu cerita yang telah terungkap dan berusaha dikenang kembali. Ada cerita belum terungkap, dan layak menjadi catatan sejarah, yaitu situasi di pos penjagaan Tembok Berlin di wilayah Jerman Timur beberapa jam sebelum Jaeger mengambil keputusan.
"Saya menghabiskan berjam-jam sebelum membuat keputusan bersejarah itu," tutur Jaeger seperti diberitakan kantor berita Reuters.
Saat itu, menurut Jaeger, 20 ribu demonstran menyemut di persimpangan perbatasan. Mereka berteriak minta keluar, dan mendesak penjaga untuk menggeser penghalang, serta membuka pintu.
Di pos penjagaan, Jaeger menghubungi perwira di atasnya lewat telepon. Yang diperoleh bukan - menggunakan istilah birokrat di Indonesia - arahan tapi ejekan dan tertawaan. Ia dilemparkan ke posisi untuk mengambil keputusan sendiri.
"Saya keluar pos, dan memerintahkan 46 penjaga bersenjata lengkap membuka penghalang," ujar Jaeger.
"Setelah itu, saya kembali ke dalam pos dan menangis," lanjut lelaki yang kini berusia 71 tahun itu.
Menurut Jaeger, dirinya menangis untuk banyak hal; lega karena kebuntuan berakhir tanpa kekerasan dan darah, frustrasi karena semua atasan meninggalkannya dalam kesusahan, dan kecewa pada diri sendiri karena terlalu lama percaya pada cita-cita komunis.
Jaeger bergabung dengan unit penjaga perbatasan tahun 1961. Ia tumbuh tak jauh dari Tembok Berlin. Ia melihat penghalang, kawat berduri, dan dinding bata yang mengelilingi Berlin Barat, melintasi jalan-jalan, rumah-rumah, dan membelah pemakaman, sejak kecil.
Sejarawan Jerman mengatakan keberanian Jaeger di persimpangan Bornholmer Street adalah penentu runtuhnya Tembok Berlin dan berakhirnya Perang Dingin. Hari itu, 9 November 1989 pukul 11.30 waktu setempat. Warga Jerman Timur menari-nari di Gerbang Brandeburg dan pintu penyeberangan lainya segera dibuka.
Bagi mereka yang rasional, runtuhnya Tembok Berlin adalah keajaiban. Bagi mereka yang naif, keruntuhan itu telah terbayang sejak lama.
Mereka yang rasional hanya tersenyum sinis ketika Presiden AS Ronald Reagan, dalam pidato beberapa hari sebelum tembok runtuh, mendesak pemimpin Uni Soviet -- yang pasukannya memegang kekuasaan di Jerman Timur untuk meruntuhkan tembok.
"Tuan Gorbachev! Runtuhkan tembok ini," desak Reagan.
Sebelum Reagan berbicara, menurut Jaeger, Guenter Schabowski -- pejabat senior Partai Komunis Jerman Timur -- menggelar konferensi pers yang disiarkan televisi. Semua warga Jerman menyaksikan, seraya berharap ada sesuatu yang penting akan diumumkan.
"Saya juga nonton, tapi perhatian saya tertuju pada gestur Schabowski yang terus meraba-raba dokumen di tangannya," ujar Jaeger. "Ia bingung ketika harus mengumumkan bahwa orang Jerman Timur akan diperbolehkan bepergian bebas ke Barat."
Menurut Jeager, dirinya berkata dalam hati beban omong kosong apa lagi yang ada di pundak orang ini. Schabowski seharusnya tahu Jerman Timur akan menuju ke Barat.
"Konferensi pers tidak memberikan apa-apa. Schabowski menahan informasi itu, yang membuat kami tetap berada dalam gelap," demikian Jaeger. "Seandainya saya tidak secara kebetulan melihat kebingungan Schabowski, saya mungkin tidak bisa tahu apa yang seharusnya terjadi."
Namun, mengapa Jaeger sampai pada keputusan membuka gerbang Tembok Berlin, dan tidak menggunakan kekuatan untuk membubarkan kerumunan?
"Aku hanya seorang letnan kolonel, dan tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan itu," ujar Jaeger. "Namun ketika semua jenderal dilanda kebingungan seperti yang dialami Schabowski, aku terdorong untuk mengambil tindakan."
Yang juga menarik adalah ketika Jaeger mengeluarkan instruksi itu, seluruh dari 46 serdadu di bawahnya tidak bereaksi. Semua diam. Jaeger mengulangi lagi instruksinya, dan hanya beberapa yang bergeming.
"Mereka tidak melawan, tapi ragu-ragu karena yang ada di benak mereka adalah itu tidak boleh terjadi," kenang Jaeger.
"Namun mereka hanya butuh sekejap untuk berdamai dengan doktrin di kepala mereka, dan membuka penghalang," lanjutnya. "Setelah pintu terbuka, beberapa serdadu mengatakan; Kerja hebat, Harald."
Ada penjaga yang khawatir ketika massa menyerbu gerbang, satu atau dua perusuh berusaha merebut senjata dan pertumpahan darah tak terhindarkan. Beruntung, pedemo datang tidak untuk membuat kerusuhan, tapi mencari kebebasan.
Jaeger kini tinggal di sebuah kota kecil di utara Berlin. Ia hidup sederhana. Ia masih tidak percaya bagaimana mungkin massa sebanyak itu tak menumpahkan darah, dan penjaga yang ketakutan tidak menarik pistol dan menembak kerumunan.
"Yang juga saya pikirkan adalah jika malam itu bukan saya yang bertugas, apakah jalannya sejarah akan berbeda," Jaeger mengakhiri.
Jika pertanyaan ini Anda layangkan ke orang Jerman, mereka hanya akan menyebut satu nama; Letnan Kolonel Harald Jaeger, perwira Jerman Timur yang bertanggung jawab atas keamanan Tembok Berlin.
"Saya yang memberi perintah 46 serdadu membuka penghalang, dan membiarkan 20 ribu demonstran Jerman Timur melintasi pintu Tembok Berlin menuju Jerman Barat," kenang Jaeger.
Namun, itu cerita yang telah terungkap dan berusaha dikenang kembali. Ada cerita belum terungkap, dan layak menjadi catatan sejarah, yaitu situasi di pos penjagaan Tembok Berlin di wilayah Jerman Timur beberapa jam sebelum Jaeger mengambil keputusan.
"Saya menghabiskan berjam-jam sebelum membuat keputusan bersejarah itu," tutur Jaeger seperti diberitakan kantor berita Reuters.
Saat itu, menurut Jaeger, 20 ribu demonstran menyemut di persimpangan perbatasan. Mereka berteriak minta keluar, dan mendesak penjaga untuk menggeser penghalang, serta membuka pintu.
Di pos penjagaan, Jaeger menghubungi perwira di atasnya lewat telepon. Yang diperoleh bukan - menggunakan istilah birokrat di Indonesia - arahan tapi ejekan dan tertawaan. Ia dilemparkan ke posisi untuk mengambil keputusan sendiri.
"Saya keluar pos, dan memerintahkan 46 penjaga bersenjata lengkap membuka penghalang," ujar Jaeger.
"Setelah itu, saya kembali ke dalam pos dan menangis," lanjut lelaki yang kini berusia 71 tahun itu.
Menurut Jaeger, dirinya menangis untuk banyak hal; lega karena kebuntuan berakhir tanpa kekerasan dan darah, frustrasi karena semua atasan meninggalkannya dalam kesusahan, dan kecewa pada diri sendiri karena terlalu lama percaya pada cita-cita komunis.
Jaeger bergabung dengan unit penjaga perbatasan tahun 1961. Ia tumbuh tak jauh dari Tembok Berlin. Ia melihat penghalang, kawat berduri, dan dinding bata yang mengelilingi Berlin Barat, melintasi jalan-jalan, rumah-rumah, dan membelah pemakaman, sejak kecil.
Sejarawan Jerman mengatakan keberanian Jaeger di persimpangan Bornholmer Street adalah penentu runtuhnya Tembok Berlin dan berakhirnya Perang Dingin. Hari itu, 9 November 1989 pukul 11.30 waktu setempat. Warga Jerman Timur menari-nari di Gerbang Brandeburg dan pintu penyeberangan lainya segera dibuka.
Bagi mereka yang rasional, runtuhnya Tembok Berlin adalah keajaiban. Bagi mereka yang naif, keruntuhan itu telah terbayang sejak lama.
Mereka yang rasional hanya tersenyum sinis ketika Presiden AS Ronald Reagan, dalam pidato beberapa hari sebelum tembok runtuh, mendesak pemimpin Uni Soviet -- yang pasukannya memegang kekuasaan di Jerman Timur untuk meruntuhkan tembok.
"Tuan Gorbachev! Runtuhkan tembok ini," desak Reagan.
Sebelum Reagan berbicara, menurut Jaeger, Guenter Schabowski -- pejabat senior Partai Komunis Jerman Timur -- menggelar konferensi pers yang disiarkan televisi. Semua warga Jerman menyaksikan, seraya berharap ada sesuatu yang penting akan diumumkan.
"Saya juga nonton, tapi perhatian saya tertuju pada gestur Schabowski yang terus meraba-raba dokumen di tangannya," ujar Jaeger. "Ia bingung ketika harus mengumumkan bahwa orang Jerman Timur akan diperbolehkan bepergian bebas ke Barat."
Menurut Jeager, dirinya berkata dalam hati beban omong kosong apa lagi yang ada di pundak orang ini. Schabowski seharusnya tahu Jerman Timur akan menuju ke Barat.
"Konferensi pers tidak memberikan apa-apa. Schabowski menahan informasi itu, yang membuat kami tetap berada dalam gelap," demikian Jaeger. "Seandainya saya tidak secara kebetulan melihat kebingungan Schabowski, saya mungkin tidak bisa tahu apa yang seharusnya terjadi."
Namun, mengapa Jaeger sampai pada keputusan membuka gerbang Tembok Berlin, dan tidak menggunakan kekuatan untuk membubarkan kerumunan?
"Aku hanya seorang letnan kolonel, dan tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan itu," ujar Jaeger. "Namun ketika semua jenderal dilanda kebingungan seperti yang dialami Schabowski, aku terdorong untuk mengambil tindakan."
Yang juga menarik adalah ketika Jaeger mengeluarkan instruksi itu, seluruh dari 46 serdadu di bawahnya tidak bereaksi. Semua diam. Jaeger mengulangi lagi instruksinya, dan hanya beberapa yang bergeming.
"Mereka tidak melawan, tapi ragu-ragu karena yang ada di benak mereka adalah itu tidak boleh terjadi," kenang Jaeger.
"Namun mereka hanya butuh sekejap untuk berdamai dengan doktrin di kepala mereka, dan membuka penghalang," lanjutnya. "Setelah pintu terbuka, beberapa serdadu mengatakan; Kerja hebat, Harald."
Ada penjaga yang khawatir ketika massa menyerbu gerbang, satu atau dua perusuh berusaha merebut senjata dan pertumpahan darah tak terhindarkan. Beruntung, pedemo datang tidak untuk membuat kerusuhan, tapi mencari kebebasan.
Jaeger kini tinggal di sebuah kota kecil di utara Berlin. Ia hidup sederhana. Ia masih tidak percaya bagaimana mungkin massa sebanyak itu tak menumpahkan darah, dan penjaga yang ketakutan tidak menarik pistol dan menembak kerumunan.
"Yang juga saya pikirkan adalah jika malam itu bukan saya yang bertugas, apakah jalannya sejarah akan berbeda," Jaeger mengakhiri.
No comments:
Post a Comment