Tim ilmuwan dari Nanyang Technological University (NTU Singapore) dan Penn State University AS telah berhasil menemukan salah satu garis keturunan tertua pada manusia modern melalui urutan gen Khoisa. Khoisa adalah nama pemersatu bagi dua kelompok masyarakat Afrika Selatan, populasi ini memiliki karakteristik linguistik fisik dan diduga berbeda dari budaya Bantu.
Menurut Profesor Stephan Christoph Schuster, temuan ini merupakan yang pertama kalinya menyebutkan tentang sejarah populasi manusia dianalisis dan disesuaikan dengan kondisi iklim bumi selama 200,000 tahun terakhir. Hasil studi ini diterbitkan dalam jurnal Nature Communications edisi 4 Desember 2014. Proyek ini melibatkan enam peneliti NTU dan Penn State University. Lembaga lain yang berpartisipasi termasuk Ohio State University dan Sao Paulo State University, Brasil. Prof Schuster akan terus berupaya mencari dan menemukan lebih banyak genetik non-campuran yang berada diwilayah lain, seperti di Amerika Selatan dan Asia Selatan (termasuk Indonesia) dimana suku terasing masih ada.
Genom Tertua Suku Khoisa, Afrika Selatan
Khoisa berasal dari dua kata yaitu pencari makan yang disebut San, atau manusia semak belukar, dan Khoi pastoral dikenal sebagai Hottentots. San termasuk penduduk asli Afrika Selatan sebelum migrasi Bantu selatan dari Afrika Tengah dan Timur mencapai wilayah mereka. Beberapa Khoi ditinggalkan pastoralism dan mengadopsi ekonomi pemburu-pengumpul dari San, mungkin karena iklim kering. Demikian pula, orang-orang Bantu Damara yang bermigrasi ke selatan kemudian meninggalkan pertanian dan mengadopsi ekonomi Khoi. Populasi Khoisa tetap berada didaerah kering, terutama di Gurun Kalahari.
Dalam studi sebelumnya, genom suku Khoisa telah dianalisis oleh tim yang sama pada tahun 2010. Studi baru kali ini menghasilkan urutan genom lengkap berkualitas tinggi yang memungkinkan analisis campuran dan sejarah populasi. Genom Afrika Selatan berkualitas tinggi memungkinkan penyelidikan lebih lanjut tentang sejarah populasi dan cabangnya.
Para ilmuwan mengurutkan genom yang diambil dari lima orang suku pemburu-pengumpul yang hidup di Afrika Selatan, dan membandingkannya dengan 420,000 varian genetik pada 1462 genom yang diperoleh dari 48 kelompok etnis global. Dengan menggunakan analisis perhitungan canggih, tim ilmuwan menemukan bahwa suku Khoisa di Afrika Selatan secara genetik berbeda, tidak hanya dari Eropa dan Asia, tetapi juga dari semua orang Afrika lainnya.
Para ahli genetik juga menemukan keberadaan individu suku Khoisa dimana nenek moyang mereka tidak kawin silang dengan salah satu kelompok etnis lain selama 150,000 tahun terakhir. Khoisa merupakan kelompok mayoritas yang hidup pada periode waktu sekitar 20,000 tahun yang lalu. Analisis ini menggunakan pengurutan genetik guna mengungkap garis keturunan leluhur dari setiap kelompok etnis, bahkan hingga 200,000 tahun yang lalu. Jika ditemukan individu non campuran seperti kasus Khoisa, hal ini akan menunjukkan bukti terjadinya perubahan genetik penting bagi keturunan nenek moyang mereka, karena kawin silang atau migrasi terjadi selama berabad-abad.
Kelompok Khoisa, kaum pemburu dan pengumpul di Afrika Selatan selalu menganggap dirinya sebagai orang tertua. Studi ini membuktikan bahwa mereka termasuk salah satu yang paling kuno dalam garis keturunan manusia. Dan urutan genom berkualitas tinggi akan membantu ilmuwan lebih memahami sejarah populasi manusia. Data baru yang dikumpulkan memungkinkan ilmuwan lebih memahami bagaimana genom manusia berkembang dan menciptakan pengobatan yang lebih efektif untuk penyakit genetik tertentu.
Dari lima suku yang merupakan anggota tertua dari suku Ju/'hoansi dan suku-suku lain yang tinggal di kawasan laut Namibia, dua orang memiliki genom yang tidak tercampur dengan kelompok etnis lain. Suku Ju/'hoansi terkenal sejak adanya film 'The Gods Must Be Crazy' di tahun 80-an dan 90-an. Menurut Dr Lim Kim Hie, bahwa kelompok ini tampaknya tidak kawin dengan suku tetangga non-Khoisa selama ribuan tahun. Karena orang-orang Khoisa dan manusia modern hidup bersama nenek moyang mereka sekitar 150,000 tahun yang lalu.
Dalam budaya dan tradisi suku Khoisa, perkawinan silang terjadi sangat lama diantara kelompok Khoisa atau hasil perkawinan perempuan yang meninggalkan suku mereka setelah menikah dengan pria non-Khoisa. Bahkan setelah 150,000 tahun, individu tunggal non-campuran atau keturunan mereka yang tidak kawin silang dengan populasi terpisah dapat teridentifikasi dalam populasi Ju/'hoansi.
Menurut Profesor Stephan Christoph Schuster, temuan ini merupakan yang pertama kalinya menyebutkan tentang sejarah populasi manusia dianalisis dan disesuaikan dengan kondisi iklim bumi selama 200,000 tahun terakhir. Hasil studi ini diterbitkan dalam jurnal Nature Communications edisi 4 Desember 2014. Proyek ini melibatkan enam peneliti NTU dan Penn State University. Lembaga lain yang berpartisipasi termasuk Ohio State University dan Sao Paulo State University, Brasil. Prof Schuster akan terus berupaya mencari dan menemukan lebih banyak genetik non-campuran yang berada diwilayah lain, seperti di Amerika Selatan dan Asia Selatan (termasuk Indonesia) dimana suku terasing masih ada.
Genom Tertua Suku Khoisa, Afrika Selatan
Khoisa berasal dari dua kata yaitu pencari makan yang disebut San, atau manusia semak belukar, dan Khoi pastoral dikenal sebagai Hottentots. San termasuk penduduk asli Afrika Selatan sebelum migrasi Bantu selatan dari Afrika Tengah dan Timur mencapai wilayah mereka. Beberapa Khoi ditinggalkan pastoralism dan mengadopsi ekonomi pemburu-pengumpul dari San, mungkin karena iklim kering. Demikian pula, orang-orang Bantu Damara yang bermigrasi ke selatan kemudian meninggalkan pertanian dan mengadopsi ekonomi Khoi. Populasi Khoisa tetap berada didaerah kering, terutama di Gurun Kalahari.
Dalam studi sebelumnya, genom suku Khoisa telah dianalisis oleh tim yang sama pada tahun 2010. Studi baru kali ini menghasilkan urutan genom lengkap berkualitas tinggi yang memungkinkan analisis campuran dan sejarah populasi. Genom Afrika Selatan berkualitas tinggi memungkinkan penyelidikan lebih lanjut tentang sejarah populasi dan cabangnya.
Para ilmuwan mengurutkan genom yang diambil dari lima orang suku pemburu-pengumpul yang hidup di Afrika Selatan, dan membandingkannya dengan 420,000 varian genetik pada 1462 genom yang diperoleh dari 48 kelompok etnis global. Dengan menggunakan analisis perhitungan canggih, tim ilmuwan menemukan bahwa suku Khoisa di Afrika Selatan secara genetik berbeda, tidak hanya dari Eropa dan Asia, tetapi juga dari semua orang Afrika lainnya.
Para ahli genetik juga menemukan keberadaan individu suku Khoisa dimana nenek moyang mereka tidak kawin silang dengan salah satu kelompok etnis lain selama 150,000 tahun terakhir. Khoisa merupakan kelompok mayoritas yang hidup pada periode waktu sekitar 20,000 tahun yang lalu. Analisis ini menggunakan pengurutan genetik guna mengungkap garis keturunan leluhur dari setiap kelompok etnis, bahkan hingga 200,000 tahun yang lalu. Jika ditemukan individu non campuran seperti kasus Khoisa, hal ini akan menunjukkan bukti terjadinya perubahan genetik penting bagi keturunan nenek moyang mereka, karena kawin silang atau migrasi terjadi selama berabad-abad.
Kelompok Khoisa, kaum pemburu dan pengumpul di Afrika Selatan selalu menganggap dirinya sebagai orang tertua. Studi ini membuktikan bahwa mereka termasuk salah satu yang paling kuno dalam garis keturunan manusia. Dan urutan genom berkualitas tinggi akan membantu ilmuwan lebih memahami sejarah populasi manusia. Data baru yang dikumpulkan memungkinkan ilmuwan lebih memahami bagaimana genom manusia berkembang dan menciptakan pengobatan yang lebih efektif untuk penyakit genetik tertentu.
Dari lima suku yang merupakan anggota tertua dari suku Ju/'hoansi dan suku-suku lain yang tinggal di kawasan laut Namibia, dua orang memiliki genom yang tidak tercampur dengan kelompok etnis lain. Suku Ju/'hoansi terkenal sejak adanya film 'The Gods Must Be Crazy' di tahun 80-an dan 90-an. Menurut Dr Lim Kim Hie, bahwa kelompok ini tampaknya tidak kawin dengan suku tetangga non-Khoisa selama ribuan tahun. Karena orang-orang Khoisa dan manusia modern hidup bersama nenek moyang mereka sekitar 150,000 tahun yang lalu.
Dalam budaya dan tradisi suku Khoisa, perkawinan silang terjadi sangat lama diantara kelompok Khoisa atau hasil perkawinan perempuan yang meninggalkan suku mereka setelah menikah dengan pria non-Khoisa. Bahkan setelah 150,000 tahun, individu tunggal non-campuran atau keturunan mereka yang tidak kawin silang dengan populasi terpisah dapat teridentifikasi dalam populasi Ju/'hoansi.
No comments:
Post a Comment