Perdana Menteri Banjamin Netanyahu bersepakat dengan Hamas bahwa pembebasan sersan Gilad Shalit yang ditahan Hamas sejak tahun 2006 ditukar dengan pembebasan 1.027 orang Palestina yang ditahan Israel.
Sersan Gilad Shalit dibebaskan tanggal 18 Oktober 2011
Satu orang ditukar 1.027 orang! Begitu berharganya Shalit padahal ia seorang tentara biasa. Ketika Shalit ditangkap pada 26 Juni 2006, ia baru berpangkat kopral dan berusia 19 tahun atau baru lulus SMA dan baru setahun bergabung dengan Tentara Pertahanan Israel. Saat itu Shalit, yang berkewarganegaraan ganda Israel dan Perancis, bertugas sebagai penembak di tank yang beroperasi di perbatasan Israel jalur Gaza.
(Mayoritas warga negara Israel diwajibkan mengikuti program wajib militer pada usia 18 tahun. Laki-laki diwajibkan mengikuti wamil selama tiga tahun, sedangkan perempuan dua tahun. Setelah wamil, laki-laki Israel bergabung ke dalam angkatan cadangan dan melakukan tugas-tugas angkatan cadangan selama beberapa minggu setiap tahunnya sampai usia 40 tahun. Kebanyakan perempuan dibebaskan dari tugas ini.)
Selama lima tahun, Israel berusaha membebaskan Shalit dengan berbagai cara, tetapi selalu gagal. Bahkan, penahanan Shalit ini turut memicu serangan Israel ke Jalur Gaza pada akhir 2008.
(Perang Gaza berlangsung dari tanggal 27 Desember 2008 sampai 18 Januari 2009. Sekitar 4,000-20,000 Tentara Pertahanan Israel menyerbu Gaza dilawan oleh 20,000 militan Hamas dibantu oleh 10,000 militan Palestina yang lain. Korban yang jatuh dari pihak Hamas 1,417 tewas, 5,303 luka-luka dan 120 ditawan; sedangkan di pihak Israel 13 tewas dan 518 luka-luka.)
Ketika Netanyahu sepakat menukar Shalit dengan 1.027 orang Palestina, mayoritas rakyat mendukung. Keputusan Netanyahu juga didukung kabinet walau orang-orang yang dibebaskan adalah mereka yang dianggap membahayakan Israel.
Tak membiarkan anak sendirian.
Gordis menduga, Netanyahu dan rakyat Israel memilih kembali ke akar mereka, menghidupkan prinsip ideologi Israel masa lalu: "Kami tak akan membiarkan anak-anak kami sendirian di padang!" Apa pun dilakukan untuk kembalinya "si anak" hilang.
Prinsip itu menjadi sangat penting artinya melihat perkembangan kawasan Timur Tengah setelah "Arab spring" dan juga perkembangan posisi Israel di panggung internasional setelah Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas meminta pengakuan Negara Palestina merdeka PBB.
Sebelum "Arab spring", Israel menikmati hubungan baik dengan Mesir, Jordania, dan Turki. Wilayah perbatasan dengan Suriah pun aman sehingga Israel bisa memfokuskan perhatian kepada Hamas, Hezbollah dan Iran. Namun, tumbangnya Hosni Mubarak dari posisi presiden memunculkan perkembangan baru di Mesir yang kurang menguntungkan Israel. Jordania pun goyang, juga Suriah. Hubungannya dengan Turki juga terganggu.
Perekembangan itu membuat "prinsip ideologi kuno" itu menjadi penting, yakni memastikan seluruh rakyat Israel - yang ikut wajib militer - bahwa negara dan tentara akan melindungi seluruh pasukan. Apa pun yang terjadi, mereka tetap dibawa pulang. Negara tidak akan membiarkan tentaranya tertangkap musuh dan dibiarkan saja nasibnya.
No comments:
Post a Comment