Terletak di salah satu persimpangan jalan di dunia kuno tempat bertemunya jalur kafilah dari kawasan Laut Tengah menuju ke Cina dan dari Mesir menuju ke Anatolia. Bala tentara Akad, Babilon, Mesir, Persia, Yunani, dan Roma pernah melintasinya. Berabad-abad kemudian, orang Turki dan para ksatria Perang Salib melintasinya. Pada zaman modern, bala tentara Prancis dan Inggris berperang untuk menguasainya. Sekarang, sebagian kawasan itu dikenal dengan sebutan yang digunakan ribuan tahun yang lalu Siria (di Indonesia dikenal dengan sebutan Suriah). Meskipun daerah itu telah banyak berubah, gema sejarah masih bergaung di sana. Kawasan ini khususnya menarik bagi para pelajar Alkitab, mengingat Siria memegang peranan dalam sejarah Alkitab.
Sebagai contoh, perhatikanlah Damaskus, ibu kota Siria. Konon, kota itu adalah salah satu kota tertua di dunia yang senantiasa berpenghuni sejak didirikan. Damaskus, yang terletak di kaki Pegunungan Anti-Lebanon dan dilalui aliran Sungai Barada, telah berabad-abad lamanya menjadi oasis yang dinanti-nantikan di tepi Gurun Siria yang luas. Kemungkinan besar, patriark Abraham melintasi kota ini dalam perjalanannya ke selatan menuju Kanaan. Dan, ia mengambil Eliezer, "orang Damaskus", menjadi anggota rumah tangganya sebagai pelayan. Kejadian 15:2. Hampir seribu tahun kemudian, raja-raja Zoba dari Siria berperang melawan raja pertama Israel, Saul. (1 Samuel 14:47) Raja kedua Israel, Daud, juga berperang melawan raja-raja Aram (nama Ibrani untuk Siria), mengalahkan mereka, dan "menempatkan garnisun-garnisun di Siria, di Damaskus". (2 Samuel 8:3-8) Dengan demikian, Israel dan Siria menjadi musuh bebuyutan. 1 Raja 11:23-25. Pada abad pertama M, permusuhan antara orang Siria dan orang Yahudi tampaknya telah mereda. Bahkan, terdapat sejumlah sinagoga Yahudi di Damaskus pada saat itu. Anda mungkin ingat bahwa Saul (belakangan Paulus) dari Tarsus sedang dalam perjalanan ke Yerusalem ke Damaskus ketika ditobatkan kepada Kekristenan. Kisah 9:1-8. Di kota Damaskus sekarang, tidak ada bukti bahwa Abraham pernah melintasinya atau bahwa Daud pernah menaklukkannya. Tetapi, ada reruntuhan kota Romawi kuno serta sebuah jalan raya utama yang melintasi kota tua tersebut yang mengikuti jalan Romawi kuno Via Recta (Jalan Lurus). Di sebuah rumah di jalan itulah Ananias menjumpai Saul setelah Saul ditobatkan secara mukjizat kepada Kekristenan tepat di luar kota Damaskus. (Kisah 9:10-19) Meskipun jalan itu kini sudah jauh berbeda dibanding keadaannya pada zaman Romawi, di sinilah rasul Paulus memulai kariernya yang menonjol. Jalan Lurus berakhir di gerbang Romawi Bab-Sharqi. Tembok kota itu, dengan rumah-rumah di atasnya, membantu kita memahami bagaimana Paulus dapat melarikan diri dengan diturunkan dalam sebuah keranjang melalui sebuah lubang di tembok. Kisah 9:23-25; 2 Korintus 11:32, 33.
Kira-kira sejauh tiga jam perjalanan ke sebelah timur laut Damaskus terdapat lokasi arkeologis yang terkenal: Palmira, yang di dalam Alkitab disebut Tadmor. (2 Tawarikh 8:4) Oasis yang terletak di pertengahan antara Laut Tengah dan Sungai Efrat ini mendapatkan airnya dari mata air bawah tanah yang memancar di sini dari pegunungan di sebelah utara. Jalur perdagangan zaman dahulu antara Mesopotamia dan negeri-negeri di sebelah barat mengikuti Daerah Bulan Sabit Subur dan karenanya membentang jauh di sebelah utara Palmira. Namun, pada abad pertama M, ketidakstabilan politik di utara menyebabkan orang-orang memilih jalur perdagangan yang lebih pendek dan letaknya lebih ke selatan. Dengan cara itu Palmira memasuki masa kejayaannya. Karena berguna bagi Roma sebagai basis pertahanan di sebelah timur imperiumnya, Palmira diintegrasikan ke dalam Provinsi Siria di wilayah Romawi, tetapi akhirnya dinyatakan sebagai kota yang merdeka. Kuil-kuil besar, gapura-gapura peringatan, tempat-tempat pemandian, dan sebuah teater berderet di sebuah jalan yang dihiasi oleh barisan tiang yang megah. Trotoar beratap di kiri-kanan jalan diberi lapisan keras untuk para pejalan kaki, tetapi jalan utama di tengah tidak dilapisi demi kenyamanan kereta-kereta unta yang melintas. Kafilah-kafilah yang menempuh rute perdagangan antara Cina dan India di Timur dan dunia Yunani-Romawi di Barat selalu singgah di Palmira. Di sana, mereka dipaksa membayar pajak atas sutra, rempah-rempah, dan komoditas-komoditas lain yang mereka bawa. Pada puncak kejayaannya, pada abad ketiga SM, Palmira berpopulasi sekitar 200.000 jiwa. Pada saat itulah, ratunya yang ambisius, Zenobia, angkat senjata melawan Roma dan akhirnya dikalahkan pada tahun 272 M. Dengan cara itu, Zenobia tanpa sadar menggenapi bagian dari nubuat yang dicatat nabi Daniel sekitar 800 tahun sebelumnya. (Daniel, pasal 11) Setelah kekalahan Zenobia, Palmira tetap ada selama beberapa waktu sebagai pos terdepan strategis untuk Imperium Romawi, tetapi tidak pernah mendapatkan kembali kekuasaan dan kesemarakan yang pernah ia miliki.
Setelah tiga jam perjalanan ke sebelah timur laut melintasi padang gurun terdapat kota Deir ez Zor, tempat Sungai Efrat yang perkasa dapat terlihat. Sungai yang bersejarah ini bersumber dari pegunungan di Anatolia bagian timur (Turki Asia), memasuki Siria persis di sebelah utara di Karkhemis, dan mengalir ke tenggara melewati Siria menuju Irak. Tidak jauh dari perbatasan Irak, terdapat reruntuhan dua kota kuno Siria. Seratus kilometer ke sebelah tenggara, di lengkungan Sungai Efrat, terdapat reruntuhan kota kuno berbenteng, Dura-Europos. Dua puluh lima kilometer lagi ke sebelah tenggara, terdapat lokasi kota Mari. Kota perdagangan yang pernah sangat makmur ini dihancurkan pada abad ke-18 M oleh Raja Babilonia Hammurabi. Dalam arsip istana kerajaannya ditemukan sedikitnya 15.000 lempeng tanah liat berinskripsi dokumen-dokumen yang telah menyingkapkan banyak hal tentang sejarah masa lampau. Sewaktu pasukan Hammurabi menghancurkan kota itu, mereka meruntuhkan tembok atas kota, sehingga memenuhi ruang-ruang yang lebih rendah dengan batu bata dan tanah. Alhasil, lukisan-lukisan dinding, keramik-keramik, dan artifak lain yang tak terhitung banyaknya tetap terlindung dengan aman sampai sebuah tim arkeolog Prancis menemukan lokasi ini pada tahun 1933. Barang-barang ini dapat dilihat di museum di Damaskus dan Aleppo serta di Louvre, Paris.
Dengan menyusuri Sungai Efrat ke sebelah barat laut, kita sampai di kota Aleppo (Haleb). Aleppo, seperti Damaskus, mengaku sebagai salah satu kota tertua di dunia yang senantiasa berpenghuni. Souk, atau pasar tertutup, di Aleppo termasuk yang terindah di Timur Tengah.
Persis di sebelah selatan Aleppo terdapat Tell Mardikh, lokasi negara-kota kuno Ebla. Ebla adalah kota perdagangan yang berpengaruh yang mendominasi Siria bagian utara pada paruh kedua milenium ketiga SM. Penggalian-penggalian yang dilakukan di sana menemukan reruntuhan sebuah kuil yang dibaktikan kepada dewi Babilonia Istar. Di situ juga ditemukan sebuah istana kerajaan yang ruangan arsipnya menampung sekitar 17.000 lempeng tanah liat. Artifak-artifak dari Ebla dapat dilihat di museum di Idlib, kota kecil berjarak 25 kilometer dari lokasi itu. Bergerak ke selatan di jalan menuju Damaskus, tibalah kita di Hama, yang dalam Alkitab disebut Hamat. (Bilangan 13:21) Sungai Orontes berkelok-kelok melewati Hama, menjadikannya salah satu kota yang paling menyenangkan di Siria. Lalu, ada pula Ras Syamra, lokasi kota kuno Ugarit. Pada milenium ketiga dan kedua SM, Ugarit adalah pelabuhan dagang yang makmur yang sangat dipengaruhi oleh ibadat kepada Baal dan Dagon. Sejak tahun 1929, para arkeolog Prancis telah menemukan banyak lempeng tanah liat dan perunggu berinskripsi yang banyak menyingkapkan kebejatan ibadat kepada Baal. Hal ini membantu kita lebih mengerti mengapa Allah membasmi orang-orang Kanaan penyembah Baal. Ulangan 7:1-4. Ya, di Siria modern masih terdengar gema dari masa lampau yang menarik.
Kota yang hilang. Kuil yang misterius. Kumpulan inskripsi kuno. Kedengarannya seperti pengantar sebuah film petualangan yang menarik. Sebenarnya, semua hal ini dan banyak lagi yang lain terkubur selama berabad-abad di bawah lapisan pasir gurun di Tel Arad, Israel, hingga para arkeolog mulai menggali di sana.
saat ini, Arad modern dianggap oleh banyak pengunjung sebagai kota khas Israel. Kota ini yang berpenduduk 27.000 orang, terletak di padang belantara Yudea di sebelah barat Laut Mati. Namun, kota Arad orang Israel kuno terletak sekitar delapan kilometer ke sebelah baratnya. Di sanalah para arkeolog dengan hati-hati menggali lapisan-lapisan pasir, menemukan banyak bangunan dan inskripsi kuno. Inskripsi-inskripsi tersebut tertera pada ostraka, pecahan tembikar yang digunakan sebagai lempeng tulis. Cara menulis seperti itu sudah umum pada zaman Alkitab. Hasil penggalian di situs Tel Arad digambarkan sebagai koleksi terbesar dari ostraka semacam itu yang pernah ditemukan di Israel. Sebenarnya, apa manfaat dari penggalian arkeologis ini? Temuan di Tel Arad meliputi sejarah Alkitab yang panjang, mulai dari zaman para Hakim Israel hingga penyerbuan Babilonia ke Yehuda pada tahun 607 SM. Jadi, temuan ini turut meneguhkan kesaksamaan Alkitab. Temuan tersebut juga menyediakan contoh-contoh yang informatif tentang cara orang-orang Israel zaman dahulu memandang nama pribadi Allah.
Memang, tidak banyak yang diceritakan Alkitab tentang Arad. Tetapi, kota yang letaknya strategis ini pernah mengendalikan rute perdagangan yang penting. Maka, tidaklah mengherankan, catatan sejarah dan temuan arkeologis menunjukkan pasang surut yang dialami kota kuno ini, sering kali ditaklukkan, dihancurkan, dan dibangun kembali. Karena sering dibangun kembali, reruntuhannya telah menjadi gundukan puing atau tell yang sangat besar. Alkitab pertamakali menyebut Arad sewaktu menceritakan akhir perjalanan orang Israel selama 40 tahun melalui padang belantara. Tidak lama setelah kematian Harun, kakak Musa, umat Allah melintas di dekat perbatasan selatan Tanah Perjanjian. Raja kota Arad, orang Kanaan, menganggap para pengembara padang belantara ini sebagai sasaran empuk. Ia melancarkan serangan. Dengan dukungan Allah Yehuwa, orang Israel yang gagah berani menyerang balik, mendapatkan kemenangan telak dan menghancurkan Arad hingga rata ke tanah, walaupun tampaknya ada orang yang luput. Bilangan 21:1-3.
Orang Kanaan dengan cepat membangun kembali kota mereka yang strategis itu; sewaktu Yosua sampai di daerah itu beberapa tahun kemudian, menyerang dari utara dan secara sistematis melenyapkan orang Kanaan "di wilayah pegunungan, [dan] Negeb", salah seorang yang mengadangnya adalah "raja Arad". (Yosua 10:40; 12:14) Belakangan, keturunan Hobab orang Keni, yang telah memberikan dukungan dan bergabung dengan rombongan Israel selama perjalanan di padang belantara, menetap di wilayah Negeb ini. Hakim 1:16.
Reruntuhan di Tel Arad memberikan keterangan tambahan yang menarik tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan dalam catatan Alkitab. Misalnya, para arkeolog telah menemukan berbagai tembok pertahanan. Beberapa di antaranya mungkin berasal dari masa pemerintahan Raja Salomo, yang terkenal dengan proyek pembangunan kota secara ekstensif. (1 Raja 9:15-19) Dari satu lapisan penggalian terlihat bahwa kota itu pernah dibumihanguskan dan hal itu diperkirakan terjadi pada awal abad kesepuluh SM. Temuan tersebut cocok dengan masa penyerbuan Raja Syisyak dari Mesir, hanya lima tahun setelah kematian Salomo. Di Karnak, daerah selatan Mesir, ada relief pada tembok yang memperingati penyerbuan tersebut dan Arad termasuk dalam daftar banyak kota yang dikalahkan. 2 Tawarikh 12:1-4.
Yang paling menarik adalah banyak dari sekitar 200 ostraka yang ditemukan memuat nama-nama Ibrani yang juga terdapat dalam Alkitab, seperti Pasyur, Meremot, dan putra-putra Korah. Beberapa dari dokumen sekuler ini bahkan lebih menarik lagi karena memuat nama pribadi Allah. Nama pribadi yang terdiri dari empat huruf Ibrani יהוה (YHWH) sering disebut Tetragramaton hanya digunakan untuk Allah Yang Mahakuasa. Belakangan, takhayul membuat banyak orang percaya bahwa mengucapkan atau menulis nama Allah adalah hujah, atau melanggar kesucian. Namun, temuan di Tel Arad, seperti banyak temuan lainnya, meneguhkan bahwa pada zaman Alkitab nama Allah sering dan umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari, sewaktu memberi salam, dan sewaktu mengucapkan berkat. Misalnya, sebuah inskripsi berbunyi, "Kepada tuanku Elyasyib. Semoga Yahweh [Yehuwa] mengupayakan kedamaianmu Ia tinggal di rumah Yahweh." Namun, bagaimana tentang kuil misterius yang disebutkan pada awal artikel ini? Sebuah bangunan di Tel Arad yang telah menimbulkan banyak dugaan ialah kompleks kuil, lengkap dengan mezbah, dari masa orang Yehuda. Meskipun ukurannya jauh lebih kecil daripada bait Salomo di Yerusalem, kuil ini memiliki banyak kemiripan dengan bangunan suci itu. Mengapa dan kapan kuil Arad itu dibangun? Digunakan untuk apa saja? Para arkeolog dan sejarawan hanya bisa berspekulasi.
Yehuwa dengan jelas menetapkan bahwa bait di Yerusalem adalah satu-satunya pusat ibadat yang diperkenan-Nya untuk perayaan tahunan dan persembahan korban. (Ulangan 12:5; 2 Tawarikh 7:12) Jadi, pembangunan dan penggunaan kuil Arad bertentangan dengan Hukum Allah, mungkin dilakukan pada masa ketika banyak orang Israel tersimpang dari ibadat sejati dengan menggunakan mezbah-mezbah dan berbagai upacara lain. (Yehezkiel 6:13) Jika demikian halnya, pusat ibadat tiruan ini boleh jadi dimusnahkan selama masa reformasi besar-besaran yang dilakukan oleh Hizkia atau Yosia pada abad kedelapan dan ketujuh SM. 2 Tawarikh 31:1; 34:3-5, 33. Jelaslah, sekelumit masa lalu Arad yang bisa kita ketahui sekarang mengandung pelajaran penting bagi kita. Setelah berabad-abad berlalu, berbagai artefak yang ditemukan meneguhkan kesaksamaan Alkitab, membuktikan timbul tenggelamnya penyelewengan dari ibadat sejati, dan menyediakan berbagai contoh penggunaan nama Yehuwa yang penuh respek dalam kehidupan sehari-hari.
Para arkeolog Israel telah menemukan sebuah teks kuno yang tampaknya ditulis 1.000 tahun sebelum Gulungan Laut Mati. Dokumen itu, lima baris teks yang ditulis dengan tinta pada sebuah fragmen tembikar, ditemukan dalam penggalian sebuah benteng Yehuda dari abad ke-10 SM di Khirbet Qeiyafa, Israel. Dokumen itu belum sepenuhnya diterjemahkan, tetapi tampaknya itu adalah sebuah teks hukum yang ditulis oleh seorang penulis terlatih dan, menurut sebuah pernyataan pers dari Hebrew University di Yerusalem, berisi "akar kata dari kata 'hakim', 'budak' dan 'raja'".
Para arkeolog yang menyelidiki gua-gua dekat Laut Mati telah menemukan perhiasan dan benda-benda lain yang konon berumur kira-kira 2.500 tahun, yaitu dari masa ketika orang Yahudi kembali ke tanah air mereka dari pembuangan di Babilon. Para arkeolog itu, dari Universitas Ibrani di Yerusalem dan Universitas Bar Ilan di Ramat Gan, menemukan benda-benda tersebut dengan bantuan detektor logam. Di antara harta karun itu terdapat sebuah cermin perunggu kecil, liontin perak, kalung emas dan manik-manik batu semiberharga, medali akik Babilonia, dan segel dengan gambar seorang imam Babilonia sujud kepada bulan, lapor Associated Press. "Temuan ini sangat langka. Kita hampir tidak pernah mendengar ada temuan yang begitu banyak dan yang berasal dari periode itu," kata Tsvika Tsuk, kepala arkeolog untuk Pengelola Perlindungan Alam dan Taman Nasional Israel
Para arkeolog dari University of Chicago yang melakukan penggalian di Mesir bagian selatan telah menemukan tujuh wadah kuno tempat menyimpan biji-bijian, yang terbesar yang pernah ditemukan di negeri itu. Berdasarkan artefak yang ditemukan di dekatnya, para arkeolog menentukan bahwa wadah, atau lumbung, itu dibuat antara tahun 1630 dan 1520 SM. Jika penentuan tahun itu akurat, lumbung itu berasal dari zaman Musa. Bentuknya bundar, terbuat dari bata lumpur, dengan diameter 5,5 meter sampai 6,5 meter dan mungkin tingginya tidak kurang dari 7,5 meter. Dulu, ini digunakan oleh pemerintah sebagai bagian dari pusat distribusi makanan setempat. Mengenai temuan tersebut, universitas itu melaporkan bahwa pusat-pusat demikian "berfungsi sebagai tempat dikumpulkannya panenan yang limpah dari Lembah Nil untuk dimanfaatkan demi kepentingan negara. Kekuasaan para firaun semakin mantap dengan digunakannya biji-bijian itu sebagai mata uang". Laporan itu menambahkan, "karena biji-bijian memiliki nilai tukar, lumbung itu berfungsi sebagai bank dan sumber makanan".
Menurut laporan, para arkeolog yang mengayak bertruk-truk tanah dari situs bait di Yerusalem telah mengumpulkan ribuan artefak yang berasal dari masa pra-Israel hingga zaman modern ini. Di antaranya terdapat sebuah kepala anak panah dari jenis yang digunakan oleh pasukan Nebukhadnezar, yang menghancurkan bait pertama orang Yahudi di situs itu. Temuan yang paling mengejutkan ialah sebuah meterai tanah liat, yang berasal dari abad ketujuh atau abad keenam SM, yang katanya memuat nama Ibrani Gedalyahu Ben Immer Ha-Cohen. Menurut arkeolog Gabriel Barkai, pemilik meterai itu "kemungkinan adalah saudara lelaki Pasyur Ben Imer, yang disebutkan dalam Alkitab [Yeremia 20:1] sebagai imam dan pejabat di bait".
Di Etiopia ia dinamakan Makeda. Di Yaman, namanya adalah Bilqis. Ia lebih dikenal sebagai ratu Syeba, disebut dalam Alkitab maupun Quran. Setiap negara menyatakan memilikinya dan berharap agar makamnya segera ditemukan di negara mereka, mengimbau para arkeolog untuk terus menggali mencari bukti. Jika bukti mengenai ratu Syeba dapat ditemukan, lokasi tersebut akan menjadi objek wisata yang sangat besar bagi wisatawan dan mengesahkan pernyataan mengenai mata ranatai purba negara itu dengan peradaban. "Para arkeolog telah menemukan banyak inskripsi dari kerajaan Syeba pada batu-batu kuno di Etiopia dan Yaman," demikian komentar The Wall Street Journal. "Anehnya, tidak ada yang menyebut Makeda atau Bilqis." Ditambahkan, "Alkitab tidak banyak membantu. Memang disebutkan secara terperinci semua emas dan rempah-rempah yang dibawa Syeba kepada Salomo, tetapi tidak disebutkan dari mana ia datang."
Para arkeolog Swedia menyatakan telah menemukan Sodom dan Gomora Purba. Bekerja sama dengan Badan Kepurbakalaan Amman, para ilmuwan melakukan penyelidikan di El Lisan, sebelah timur Laut Mati, di Yordania. Surat kabar Swedia Östgöta-Correspondenten menjelaskan bahwa penemuan reruntuhan bangunan yang dihancurkan kira-kira 1.900 tahun Sebelum Masehi sangat menakjubkan. Para arkeolog yakin bahwa mereka telah menemukan Sodom dan Gomora. Setelah menganalisis tembikar, dinding, makam, dan batu api, kesimpulan mereka adalah bahwa kota itu dihancurkan oleh bencana alam. Akan tetapi, Alkitab memperlihatkan bahwa Allah sendiri yang menghancurkan karena perbuatan amoral yang bejat dari kota itu.
Perahu Galilea - Harta Karun dari Zaman Alkitab
Laut Galilea adalah saksi mata berbagai peristiwa yang paling mengesankan selama pelayanan Yesus. Di danau inilah atau di dekat pantainya, Putra Allah sendiri berjalan di atas air, menenangkan gelombang yang mengamuk, memberi makan ribuan orang secara mukjizat, dan menyembuhkan orang sakit. Pada tahun 1986, sesuatu yang tak terduga ditemukan di dasar laut dekat kota Kapernaum kuno. Ini adalah sebuah perahu yang pernah mengarungi laut ini pada masa pelayanan Yesus. Bagaimana perahu itu ditemukan? Dan, informasi apa yang dapat kita peroleh darinya?
Terungkap karena Kemarau
Curah hujan di bawah rata-rata selama bertahun-tahun, diikuti oleh musim panas yang terik pada tahun 1985, berdampak buruk atas Laut Galilea. Selain itu, air danau ini juga disedot untuk irigasi pertanian. Permukaan air turun drastis sehingga banyak bagian dari dasar danau pun kelihatan. Dua pria kakak beradik dari sebuah kibbutz (permukiman Israel) di dekat lokasi itu melihat peluang emas untuk mencari harta terpendam. Ketika mereka berjalan di dasar danau itu, mereka menemukan paku-paku kuno dan beberapa uang logam dari perunggu. Tiba-tiba, mereka melihat sesuatu—sebuah rangka lonjong, yang ternyata adalah bagian atas sebuah perahu kuno yang terkubur dalam lumpur. Mereka benar-benar telah menemukan harta karun!
Para arkeolog tidak pernah menduga akan menemukan perahu berusia 2.000 tahun di Laut Galilea. Menurut mereka, kayu apa pun pasti sudah lama hancur dimakan mikroorganisme. Namun, berdasarkan metode penentuan umur spesimen purba dan uang logam yang ditemukan di situs tersebut, para pakar menyimpulkan bahwa temuan itu berasal dari abad pertama SM atau abad pertama M. Yang luar biasa, kondisi badan perahu itu masih lumayan baik. Bagaimana mungkin?
Tampaknya, perahu itu berada di daerah yang tidak terusik sehingga seluruh bagian bawahnya terkubur dalam endapan lumpur halus. Seraya waktu berlalu, lumpur itu mengeras. Dengan demikian, sepenggal sejarah terlestarikan selama kira-kira 20 abad!
Sewaktu berita tentang temuan ini menyebar, perahu itu dijuluki Perahu Yesus. Tentu saja, tidak seorang pun benar-benar menganggap bahwa perahu inilah yang digunakan oleh Yesus atau murid-muridnya. Tetapi, yang membuat para sejarawan maupun pakar Alkitab tertarik pada perahu ini adalah umur dan kesamaannya dengan perahu-perahu yang digambarkan dalam kisah-kisah Injil.
Perahu itu panjangnya 8,2 meter dan lebarnya 2,3 meter. Pembuatannya tidak dimulai dengan sebuah rangka, tetapi papan-papan langsung dipasang pada lunas sehingga badan perahu terbentuk. Baru setelah itu, kayu-kayu yang melengkung dipasang melintang sebagai penguat badan perahu. Metode ini umum dalam pembuatan kapal yang dirancang untuk mengarungi Laut Tengah. Tetapi, perahu Galilea ini mungkin disesuaikan untuk pelayaran di danau.
Tampaknya, perahu itu semula dilengkapi sebuah layar segi empat. Ada empat dayung, yang menunjukkan bahwa dibutuhkan sedikitnya lima awak empat pendayung dan seorang juru mudi. Namun, perahu itu bisa mengangkut orang sebanyak dua kali jumlah itu atau lebih. Tidak sulit untuk membayangkan perahu yang mirip ukurannya sewaktu kita membaca tentang ketujuh murid yang melihat Yesus yang telah dibangkitkan ketika mereka sedang menangkap ikan. Yohanes 21:2-8.
Perahu Galilea itu tidak diragukan mempunyai dek di buritan untuk menyimpan jala yang besar. Di bawah papan-papan dek seperti itu terdapat ruangan yang agak terlindung untuk tempat istirahat para nelayan yang lelah. Bisa jadi, Yesus menggunakan tempat seperti itu ketika selama suatu badai angin "ia berada di buritan, sedang tidur di atas bantal". (Markus 4:38) Ada yang berpendapat bahwa "bantal" itu bisa jadi adalah sebuah kantong pasir yang dibawa di perahu untuk pengimbang .
Para Nelayan di Sekitar Laut Galilea
Coba bayangkan diri Anda sebagai penumpang perahu seperti ini pada abad pertama. Seraya Anda berlayar di Laut Galilea, apa yang mungkin Anda lihat? Ada nelayan-nelayan yang menebarkan jala, beberapa dari perahu-perahu kecil dan yang lain sambil berjalan di air yang dangkal. Dengan terampil, mereka menggunakan satu tangan untuk melemparkan jala-jala bundar itu, yang berdiameter antara enam dan delapan meter dan ujung-ujungnya diberi pemberat. Setelah terentang rata di permukaan air, jala itu terbenam, lalu ikan-ikan pun terjerat. Seorang nelayan akan mengambil tangkapan dengan menyeret jala tersebut ke darat atau mungkin dengan menyelam untuk mengangkat jala beserta isinya ke perahu. Dalam Alkitab, Simon dan Andreas digambarkan sedang "menebarkan" jala mereka, mungkin dengan cara yang serupa. Markus 1:16.
Anda mungkin juga melihat sekelompok nelayan yang asyik bercakap-cakap seraya menyiapkan pukat tarik. Jaring ini panjangnya barangkali 300 meter, ujung-ujungnya dipasangi tali pengeret dan bagian tengahnya kalau ditarik lurus lebarnya 8 meter. Setelah para nelayan memilih lokasi, setengah dari mereka akan menuju ke pantai sambil membawa salah satu tali pengeret. Perahu berlayar menjauhi pantai sehingga jaring terbentang, lalu perahu pun berbalik sambil perlahan-lahan menarik jaring itu hingga membentuk setengah lingkaran menghadap pantai. Kemudian, para nelayan lain turun dari perahu dengan tali pengeret yang kedua. Seraya kedua kelompok nelayan itu saling mendekat, mereka menarik tangkapan mereka. Matius 13:47, 48.
Di kejauhan, Anda melihat seorang nelayan dengan tali pancingnya. Yesus pernah menyuruh Petrus melemparkan pancingnya di laut ini. Bayangkan betapa tercengangnya Petrus ketika menemukan uang logam dari perak dalam mulut ikan yang ditangkapnya tepat senilai yang dibutuhkan untuk membayar pajak bait. Matius 17:27.
Para pekerja menyingkirkan lumpur di bagian dalam perahu
Pada waktu senja, danau ini hening. Tiba-tiba, keheningan dipecahkan oleh bunyi entakan kaki para nelayan di dek seraya mereka memukul-mukulkan dayung ke air untuk menimbulkan bunyi segaduh mungkin. Ada apa gerangan? Mereka sudah menaruh dalam air semacam jaring insang sedemikian rupa sehingga ikan, yang ketakutan karena kegaduhan itu, langsung berenang masuk perangkap.
Dibungkus dengan busa poliuretan. Jaring ini, yang terpasang tegak di dasar danau, tidak tampak dalam kegelapan dan dirancang sedemikian rupa supaya ikan mudah terbelit di dalamnya. Jaring-jaring tersebut berulang kali diturunkan ke air sepanjang malam dan pada pagi hari dicuci, lalu digantung hingga kering. Anda mungkin bertanya-tanya, 'Apakah jaring yang digunakan dalam kisah tentang mukjizat tangkapan ikan di Lukas 5:1-7 adalah jaring insang?'
Pemugaran
Perahu itu terapung lagi setelah hampir 2.000 tahun berlalu. Mari kita kembali ke zaman modern. Apa yang dilakukan selanjutnya dengan perahu yang telah ditemukan itu? Walaupun utuh, strukturnya tidak lebih kokoh daripada kardus basah. Pasti tidak bijaksana kalau perahu itu ditarik begitu saja dari lumpur. Betapa menyedihkan jika perahu tersebut hancur sewaktu diangkat dari lumpur padahal sudah sekian lama tetap utuh! Mengingat air danau kemungkinan besar akan pasang lagi, sebuah tanggul dibuat di sekeliling situs itu. Beberapa terowongan dibuat untuk menyisipkan penopang dari fiberglass di bawah badan perahu. Lalu, seraya lumpur disingkirkan dengan hati-hati, bagian luar dan dalam perahu disemprot dengan lapisan pelindung dari busa poliuretan.
Kesulitan berikutnya adalah mengangkut perahu yang rapuh ini ke tempat yang jauhnya 300 meter untuk dilestarikan. Lapisan poliuretan yang melapisinya memang kuat, tetapi kayu yang telah rapuh itu bisa rontok akibat guncangan mendadak. Tim memilih jalan keluar yang kreatif. Mereka membuka tanggul dan membiarkan air masuk. Untuk pertama kali setelah berabad-abad, perahu kuno itu, yang kini terbungkus dalam lapisan modern, terapung lagi di Laut Galilea.
Sebuah tangki beton dibangun sebagai rumah untuk perahu itu selama proses pelestarian, yang berlangsung hingga 14 tahun. Problem timbul sewaktu larva nyamuk menghuni tangki tersebut, sehingga mengganggu para pekerja yang harus masuk ke tangki yang penuh air. Tetapi, tim konservasi menemukan solusi yang unik dan kuno. Mereka memanfaatkan sejumlah ikan Santo Petrus, yang memakan larva dan membersihkan air.
Setelah itu, perahu harus segera dikeringkan. Kondisinya masih terlalu rapuh untuk dibiarkan mengering secara alami. Air yang diserap oleh kayu harus diganti dengan bahan lain. Tim menggunakan teknik yang menggantikan air dengan lilin sintetis yang larut dalam air, sehingga kayu dapat mengering tanpa berubah bentuk.
Setelah pelestarian rampung, terlihatlah sebuah perahu yang sederhana. Perahu itu terbuat dari 12 jenis kayu. Mengapa begitu? Satu kemungkinan ialah kayu sulit diperoleh pada zaman itu. Kemungkinan yang lebih besar ialah pemiliknya bukan orang kaya. Perahu tersebut telah sering kali diperbaiki sampai akhirnya dibiarkan tenggelam.
Perahu Galilea itu mungkin sama sekali tidak ada kaitannya dengan Yesus. Tetapi, bagi banyak orang ini adalah harta karun. Terbukalah kesempatan untuk menengok ke masa silam dan membayangkan kehidupan berabad-abad yang lalu di Laut Galilea pada masa yang bersejarah selama pelayanan Yesus di bumi.
No comments:
Post a Comment