"Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia." (Pengkhotbah 1:2)
Kadang-kadang kita berkata "Hidup ini terasa sangat hampa!" Di tengah kesibukan, tidak jarang kita merasakan kekosongan hidup. Kadang kita mencoba untuk menonton televisi sampai larut malam; main game yang sama berulang-ulang; berjalan-jalan di Internet; pergi ke plaza sesering mungkin; mencari tempat makanan yang baru, dan apa pun yang bisa memuaskan batin kita. Akan tetapi setelah itu semua... kita masih merasakan kehampaan.
Terkadang kita melakukan banyak hal, sibuk dan berusaha tampak sibuk, tanpa tahu apa tujuan kita. Tetapi, ketika kejujuran bertahta di dalam hati, kita mulai sadar masalah yang sesungguhnya. Kita merasakan bahwa hidup kita ini adalah tanpa makna. Kita mencari makna hidup dalam aktivitas (doing) bukan dalam keberadaan kita (being) di hadapan Tuhan Semesta Alam sang "Ultimate Being". Sering kali berbagai aktivitas kita adalah upaya mencari makna hidup atau menutupi ketiadaan makna dalam hidup kita.
Pergumulan batin semacam ini sering kali kita abaikan begitu saja. Di dalam komunitas Kristen, kita mengakui bahwa kita sedang mencari dan menggali makna hidup yang rasanya hanya pantas diucapkan oleh kanak-kanak rohani. Tetapi kebenarannya adalah sebaliknya. Pergumulan menyangkut makna hidup justru merupakan pergumulan orang-orang dewasa.
Kanak-kanak hanya mengerti tentang "cita-cita" tanpa mengetahui bahwa jika mereka mencapainya, mereka masih mungkin mengalami kekosongan jiwa. Tetapi, jika kita mau kembali kepada sebuah buku kuno bernama Alkitab, ada sebuah kitab yang secara blak-blakan berbicara tentang pergumulan mencari makna hidup. Kitab ini tidak lain adalah kitab Pengkhotbah.
Pengkhotbah memulai kitabnya dengan pernyataan, "Kesia-siaan belaka, kata Pengkhotbah, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia. Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari" (1:2-3). Dan kesimpulannya ditemukan dalam pernyataan dibawah ini: "Akhir kata dari segala yang didengar ialah: takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya, karena ini adalah kewajiban setiap orang. Karena Allah akan membawa setiap perbuatan ke pengadilan yang berlaku atas segala sesuatu yang tersembunyi, entah itu baik, entah itu jahat." (12:13-14)
Jika kita membaca kitab Pengkhotbah, kita akan menemukan bahwa Pengkhotbah berbicara tentang realitas sehari-hari yang kita alami. Rutinitas kehidupan. Ya, hidup ini penuh dengan rutinitas belaka. Pengkhotbah berkata: "Matahari terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit kembali. Angin bertiup ke selatan, lalu berputar ke utara, terus-menerusia berputar, dan dalam putarannya angin itu kembali. Semua sungai mengalir kelaut, tetapi laut tidak juga menjadi penuh; ke mana sungai mengalir, ke situ sungai mengalir selalu." (1:5-7). Inilah realitas kita setiap hari. Bangun pagi, sekolah/ bekerja, pulang dan beraktifitas sebentar, tidur dalam kelelahan, dan bangun pagi lagi. Repetisi tidak hanya terjadi dalam alam (sungai, angin, matahari) tetapi juga dalam hidup kita. Betapa sia-sianya, demikianlah pengamatan Pengkhotbah.
Selanjutnya Pengkhotbah mengajak kita mengakui bahwa kehidupan ini tidak menawarkan sesuatu yang memuaskan jiwa kita. Pengkhotbah berkata: "Segala sesuatu menjemukan, sehingga tak terkatakan oleh manusia; mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas mendengar". Kalimat ini kedengarannya memang ekstrem. Tetapi itulah faktanya, Pengkhotbah sudah puas dengan seks, kekayaan, hikmat dan prestasi, tetapi ia menemukan bahwa semua itu tidak memuaskan, bahkan menjemukan. Jika kita tidak setuju dengan perkataan Pengkhotbah ini, mungkin kita baru mencicipi sedikit atau malah tidak pernah merasakan kenikmatan dunia sebagaimana dirasakan Pengkhotbah.
Mereka yang pernah bergelimangan dalam pornografi tahu bahwa hal itu tidak pernah memuaskan jiwa mereka; mereka yang pernah terjun dalam perjudian menyadari bahwa tidak ada rasa puas setelah kemenangan seberapapun besarnya. Bahkan dalam contoh-contoh yang lebih umum, mereka yang terobsesi dengan jalan-jalan dan shopping ke plaza tahu bahwa suatu kali mereka ingin muntah ketika mendengar kata "plaza".
Kedua hal di atas ditambah lagi dengan fakta kematian yang akan dialami oleh semua orang, kaya atau miskin, berhikmat maupun tidak menambahkan lagi satu faktor bagi kesia-sian hidup. Pengkhotbah 2:14 mengatakannya demikian:
"Mata orang berhikmat ada dikepalanya, sedangkan orang yang bodoh berjalan dalam kegelapan, tetapi aku tahu juga bahwa nasib yang sama menimpa mereka semua."
Akhir dari nasib semua manusia, baik yang kaya maupun miskin, berhikmat maupun tidak, adalah kematian. Itu adalah "upah dari dosa-dosa" yang kita yang kita perbuat (Roma 6:23). Pada saat pertama kali, manusia diciptakan sempurna dan kekal oleh Tuhan (dalam gambar dan rupa Tuhan, atau dalam citra Tuhan), akan tetapi ketika manusia (Adam dan Hawa) mulai memberontak maka kematian mulai masuk ke dalam dunia. Dan kecuali Tuhan menyelamatkan kita dengan memberikan "anugrah" kebangkitan jiwa yang kekal, yang hanya Tuhan saja yang dapat memberikannya kepada kita sebagai "hadiah", maka pada akhirnya kita tidak lebih dari binatang yang akan musnah dan dilupakan. Pengkhotbah 3:19-20 berkata demikian:
"Berkatalah aku dalam hati: "Allah akan mengadili baik orang yang benar maupun yang tidak adil, karena untuk segala hal dan segala pekerjaan ada waktunya. Tentang anak-anak manusia aku berkata dalam hati: "Allah hendak menguji mereka dan memperlihatkan kepada mereka bahwa mereka hanyalah binatang. Karena nasib manusia adalah sama dengan nasib binatang, nasib yang sama menimpa mereka; sebagaimana yang satu mati, demikian juga yang lain. Kedua-duanya mempunyai nafas yang sama, dan manusia tak mempunyai kelebihan atas binatang, karena segala sesuatu adalah sia-sia. Kedua-duanya menuju satu tempat; kedua-duanya terjadi dari debu dan kedua-duanya kembali kepada debu."
Dengan kata lain, kepuasan yang sejati yang dapat mengisi hati kita dengan sempurna hanya dapat ditemukan di dalam Tuhan Semesta Alam, Yang Maha Pengampun dan Pengasih. Ingatlah bahwa Tuhan secara langsung akan menghakimi segala perbuatan kita, dan bukan hanya di dalam perbuatan, tetapi juga segala sesuatu yang tersembunyi di dalam hati, entah itu baik, entah itu jahat.
No comments:
Post a Comment