Sangiran adalah sebuah situs arkeologi. Secara geografis situs Sangiran terletak antara kabupaten Sragen dan kabupaten Karanganyar di Jawa Tengah. Area ini memiliki luas 48 km2 15km2 sebelah utara Surakarta di lembah sungai Bengawan Solo dan terletak di kaki gunung Lawu.
Dari sekitar 100 individu temuan fragmen fosil manusia purba yang didapatkan di Indonesia, hampir 65% -nya berasal dari Situs Sangiran. Mencakup sekitar 50 % dari populasi taxon Homo Erectus di dunia.
Pada umumnya fosil-fosil tersebut ditemukan secara kebetulan (temuan penduduk) dan dalam bentuk fragmenter; antara lain berupa tulang-tulang tengkorak, mandibula, dan femur.
Fosil-fosil tersebut ditemukan di beberapa tempat atau lokasi utama di Pulau Jawa, antara lain; di Pati Ayam, Sangiran, Ngandong, dan Sambungmacan (Jawa Tengah) serta di daerah Trinil dan Perning (Jawa Timur).
“Mandibula: Istilah anatomi tubuh; rahang bawah, tulang berbentuk tapal kuda, tempat melekat gigi bawah; rangka bagian depan-bawah muka.
Femur: Istilah anatomi tubuh; tulang paha.”
Secara geostratigrafis, Situs Sangiran yang posisinya berada pada depresi Solo di kaki Gunung Lawu ini dahulu merupakan suatu kubah (dome) yang ter-erosi di bagian puncaknya sehingga menyebabkan terjadinya reverse (kenampakan terbalik).
Kondisi deformasi geologis seperti ini kemudian semakin diperjelas oleh aliran Kali Brangkal, Cemoro, dan Pohjajar (anak-anak cabang Bengawan Solo) yang mengikis situs ini; mulai dari bagian utara, tengah, dan selatan.
“Kalsedon: batu yang terdiri dari microcrystalline atau cryptocrystalline dalam berbagai batu kuarsa. Lapisan Kabuh: Formasi Kabuh merupakan lapisan stratigrafi yang paling banyak menghasilkan fossil mammalia, fosil manusia purba, dan alat-alat batu.”
Penelitian di Situs Sangiran bermula dari laporan GHR Von Koenigswald yang menemukan sejumlah alat serpih dari bahan batuan jaspis (sejenis batu mulia) dan kalsedon di sekitar Bukit Ngebung pada tahun 1934 (Koenigswald, 1936).
Temuan alat-alat serpih yang kemudian terkenal dengan istilah “Sangiran Flakes-industry” tersebut diperkirakan berasal dari lapisan (seri) Kabuh Atas yang berusia Plestosen Tengah.
Namun hasil pertanggalan tersebut banyak dikritik oleh para ahli (de Terra, 1943; Heekeren, 1972) karena temuan tersebut dihubungkan dengan konteks Fauna Trinil yang tidak autochton (Bartstra dan Basoeki, 1984: 1989) atau bukan dari hasil pengendapan primer (Bemellen, 1949).
Penelitian di situs ini menjadi semakin menarik dan berkelanjutan ketika pada tahun 1936 ditemukan fragmen fosil rahang bawah (mandibula) manusia purba Homo Erectus yang kemudian disusul oleh temuan fosil-fosil lainnya.
Setelah masa pasca Koenigswald atau pada sekitar tahun 1960-an, penelitian terhadap fosil-fosil hominid dan paleotologis di situs ini kemudian diambil alih oleh para peneliti dari Indonesia (antara lain T. Jacob dan S. Sartono) serta terus berkelanjutan sampai sekarang.
Penelitian yang sangat “spektakuler” terjadi ketika Puslit Arkenas melakukan kerjasama penelitian dengan Museum National d’Histoire Naturelle (MNHN), Perancis. Mereka melakukan ekskavasi besar-besaran selama 5 tahap (tahun 1989–1993) di Bukit Ngebung yang menghasilkan sejumlah temuan secara ‘”nsitu’”dan pertanggalan absolut yang sangat menarik.
“Ekskavasi: Istilah Arkeologi; penggalian yg dilakukan di tempat yang mengandung benda purbakala; atau tempat penggalian benda purbakala.”
Penelitian Situs Sangiran semakin berkembang pesat dalam dekade lima tahun belakangan ini. Setelah Balar Yogya ikut berpartisipasi langsung dan melakukan program-program penelitian secara intensif dan terpadu.
Sejarah Penemuan dan Pengakuan
Pada 1936-1941 seorang ilmuwan antropologi dari Jerman Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald Mulai melakukan penelitian terhadap situs Sangiran tersebut. Setelah dilakukan penelitian berikutnya, ditemukan 50 fosil lebih di antaranya Pithecanthropus erectus (“Manusia Jawa”), Meganthropus palaeo javanicus.
Selain itu juga ditemukan fosil hewan seperti badak, tanduk kerbau, gading gajah, tanduk rusa dan lain-lain. Secara keseluruhan diperkirakan umur fosil yang ditemukan tersebut berusia 1 sampai 1,5 juta tahun dan diperkirakan juga umur fosil sudah terkubur sejak 2 juta tahun yang lalu. Dari 50 fosil yang ditemukan tersebut sudah mewakili 50% fosil yang ada di dunia.
Sebelum kemunculan Koenigswald, pada awal 1930-an, masyarakat di sana hanya mengenal fosil-fosil yang banyak terdapat di lingkungan alam sekitar mereka sebagai balung buto alias tulang-tulang raksasa. Ilmuwan asal Jerman itu telah memberi pemahaman baru kepada masyarakat Sangiran terkait keberadaan fosil dan artefak purba.
Selain itu, pemahaman mereka terkait balung buto juga berkaitan dengan tradisi lisan mengenai perang besar yang pernah terjadi di kawasan perbukitan Sangiran, ribuan tahun silam. Dalam pertempuran itu banyak raksasa yang gugur dan terkubur di perbukitan Sangiran, sebagaimana “dibuktikan” lewat potongan-potongan tulang-belulang besar yang mereka namakan balung buto.
Para tetua kampung yang berusia di atas 60 tahun masih ada yang mengenal mitos tentang asal usul balung buto tersebut. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang masih percaya akan kebenarannya.
Sebelum kedatangan Koenigswald, balung buto dianggap memiliki kekuatan magis. Selain berfungsi sebagai sarana penyembuhan berbagai penyakit, pelindung diri atau sebagai jimat, nilai magis balung buto juga dipercaya dapat membantu ibu-ibu yang susah melahirkan.
Karena itu, tidak heran bila pada kurun waktu sebelum 1930-an, balung buto yang banyak banyak bermunculan di berbagai tempat—di tepi sungai dan di lereng-lereng perbukitan jarang diganggu oleh penduduk setempat.
Koenigswald mengubah pandangan itu. Luasnya cakupan wilayah situs Sangiran, dengan kondisi alam yang tandus-gersang dan bebukit-bukit, memang tidak memungkinkan peneliti asing itu bekerja sendiri. Dalam upaya untuk mengumpulkan fosil, Koenigswald minta bantuan penduduk.
Sebagai imbalan atas keterlibatan penduduk, Koenigswald menerapkan sistem upah berupa uang kepada penduduk yang menemukannya. Besaran hadiah cukup beragam, bergantung pada jenis fosil dan kelangkaannya.
Masyarakat pun mulai sadar, ternyata benda yang dulu mereka sebut balung buto memiliki nilai tukar yang cukup menjanjikan.
Setelah itu istilah balung buto perlahan lenyap digantikan fosil sebagai nama baru, pengertian dan nilainya pun berhasil diinternalisasikan oleh Koenigswald.
Sejak itu pula, masyarakat Sangiran mengenal konsep pemaknaan baru terkait keberadaan fosil alias balung buto, yang semula dikaitkan dengan keyakinan sebagai mitos yang bernilai magis menjadi semacam komoditi baru yang hanya bernilai ekonomis.
Pada tahun 1977 situs Sangiran dideklarasikan oleh Mentri Pendidikan dan Kebudayaan dan pada tahun 1996 terdaftar dalam situs warisan dunia oleh UNESCO.
Masih terletak di wiliyah Sangiran terdapat museum Sangiran, di museum tu terdapat koleksi13.086 koleksi fosil manusia purba dan merupakan situs manusia purba berdiri tegak yang terlengkap di Asia.
Selain itu juga dapat ditemukan fosil hewan bertulang belakang, fosil binatang air, batuan, fosil tumbuhan laut serta alat-alat batu sekitar 2 juta tahun yang lalu hingga 200.000 tahun yang lalu, yaitu dari kala Pliosen akhir hingga akhir Pleistosen tengah.
Dari sekitar 100 individu temuan fragmen fosil manusia purba yang didapatkan di Indonesia, hampir 65% -nya berasal dari Situs Sangiran. Mencakup sekitar 50 % dari populasi taxon Homo Erectus di dunia.
Pada umumnya fosil-fosil tersebut ditemukan secara kebetulan (temuan penduduk) dan dalam bentuk fragmenter; antara lain berupa tulang-tulang tengkorak, mandibula, dan femur.
Fosil-fosil tersebut ditemukan di beberapa tempat atau lokasi utama di Pulau Jawa, antara lain; di Pati Ayam, Sangiran, Ngandong, dan Sambungmacan (Jawa Tengah) serta di daerah Trinil dan Perning (Jawa Timur).
“Mandibula: Istilah anatomi tubuh; rahang bawah, tulang berbentuk tapal kuda, tempat melekat gigi bawah; rangka bagian depan-bawah muka.
Femur: Istilah anatomi tubuh; tulang paha.”
Secara geostratigrafis, Situs Sangiran yang posisinya berada pada depresi Solo di kaki Gunung Lawu ini dahulu merupakan suatu kubah (dome) yang ter-erosi di bagian puncaknya sehingga menyebabkan terjadinya reverse (kenampakan terbalik).
Kondisi deformasi geologis seperti ini kemudian semakin diperjelas oleh aliran Kali Brangkal, Cemoro, dan Pohjajar (anak-anak cabang Bengawan Solo) yang mengikis situs ini; mulai dari bagian utara, tengah, dan selatan.
“Kalsedon: batu yang terdiri dari microcrystalline atau cryptocrystalline dalam berbagai batu kuarsa. Lapisan Kabuh: Formasi Kabuh merupakan lapisan stratigrafi yang paling banyak menghasilkan fossil mammalia, fosil manusia purba, dan alat-alat batu.”
Penelitian di Situs Sangiran bermula dari laporan GHR Von Koenigswald yang menemukan sejumlah alat serpih dari bahan batuan jaspis (sejenis batu mulia) dan kalsedon di sekitar Bukit Ngebung pada tahun 1934 (Koenigswald, 1936).
Temuan alat-alat serpih yang kemudian terkenal dengan istilah “Sangiran Flakes-industry” tersebut diperkirakan berasal dari lapisan (seri) Kabuh Atas yang berusia Plestosen Tengah.
Namun hasil pertanggalan tersebut banyak dikritik oleh para ahli (de Terra, 1943; Heekeren, 1972) karena temuan tersebut dihubungkan dengan konteks Fauna Trinil yang tidak autochton (Bartstra dan Basoeki, 1984: 1989) atau bukan dari hasil pengendapan primer (Bemellen, 1949).
Penelitian di situs ini menjadi semakin menarik dan berkelanjutan ketika pada tahun 1936 ditemukan fragmen fosil rahang bawah (mandibula) manusia purba Homo Erectus yang kemudian disusul oleh temuan fosil-fosil lainnya.
Setelah masa pasca Koenigswald atau pada sekitar tahun 1960-an, penelitian terhadap fosil-fosil hominid dan paleotologis di situs ini kemudian diambil alih oleh para peneliti dari Indonesia (antara lain T. Jacob dan S. Sartono) serta terus berkelanjutan sampai sekarang.
Penelitian yang sangat “spektakuler” terjadi ketika Puslit Arkenas melakukan kerjasama penelitian dengan Museum National d’Histoire Naturelle (MNHN), Perancis. Mereka melakukan ekskavasi besar-besaran selama 5 tahap (tahun 1989–1993) di Bukit Ngebung yang menghasilkan sejumlah temuan secara ‘”nsitu’”dan pertanggalan absolut yang sangat menarik.
“Ekskavasi: Istilah Arkeologi; penggalian yg dilakukan di tempat yang mengandung benda purbakala; atau tempat penggalian benda purbakala.”
Penelitian Situs Sangiran semakin berkembang pesat dalam dekade lima tahun belakangan ini. Setelah Balar Yogya ikut berpartisipasi langsung dan melakukan program-program penelitian secara intensif dan terpadu.
Sejarah Penemuan dan Pengakuan
Pada 1936-1941 seorang ilmuwan antropologi dari Jerman Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald Mulai melakukan penelitian terhadap situs Sangiran tersebut. Setelah dilakukan penelitian berikutnya, ditemukan 50 fosil lebih di antaranya Pithecanthropus erectus (“Manusia Jawa”), Meganthropus palaeo javanicus.
Selain itu juga ditemukan fosil hewan seperti badak, tanduk kerbau, gading gajah, tanduk rusa dan lain-lain. Secara keseluruhan diperkirakan umur fosil yang ditemukan tersebut berusia 1 sampai 1,5 juta tahun dan diperkirakan juga umur fosil sudah terkubur sejak 2 juta tahun yang lalu. Dari 50 fosil yang ditemukan tersebut sudah mewakili 50% fosil yang ada di dunia.
Sebelum kemunculan Koenigswald, pada awal 1930-an, masyarakat di sana hanya mengenal fosil-fosil yang banyak terdapat di lingkungan alam sekitar mereka sebagai balung buto alias tulang-tulang raksasa. Ilmuwan asal Jerman itu telah memberi pemahaman baru kepada masyarakat Sangiran terkait keberadaan fosil dan artefak purba.
Selain itu, pemahaman mereka terkait balung buto juga berkaitan dengan tradisi lisan mengenai perang besar yang pernah terjadi di kawasan perbukitan Sangiran, ribuan tahun silam. Dalam pertempuran itu banyak raksasa yang gugur dan terkubur di perbukitan Sangiran, sebagaimana “dibuktikan” lewat potongan-potongan tulang-belulang besar yang mereka namakan balung buto.
Para tetua kampung yang berusia di atas 60 tahun masih ada yang mengenal mitos tentang asal usul balung buto tersebut. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang masih percaya akan kebenarannya.
Sebelum kedatangan Koenigswald, balung buto dianggap memiliki kekuatan magis. Selain berfungsi sebagai sarana penyembuhan berbagai penyakit, pelindung diri atau sebagai jimat, nilai magis balung buto juga dipercaya dapat membantu ibu-ibu yang susah melahirkan.
Karena itu, tidak heran bila pada kurun waktu sebelum 1930-an, balung buto yang banyak banyak bermunculan di berbagai tempat—di tepi sungai dan di lereng-lereng perbukitan jarang diganggu oleh penduduk setempat.
Koenigswald mengubah pandangan itu. Luasnya cakupan wilayah situs Sangiran, dengan kondisi alam yang tandus-gersang dan bebukit-bukit, memang tidak memungkinkan peneliti asing itu bekerja sendiri. Dalam upaya untuk mengumpulkan fosil, Koenigswald minta bantuan penduduk.
Sebagai imbalan atas keterlibatan penduduk, Koenigswald menerapkan sistem upah berupa uang kepada penduduk yang menemukannya. Besaran hadiah cukup beragam, bergantung pada jenis fosil dan kelangkaannya.
Masyarakat pun mulai sadar, ternyata benda yang dulu mereka sebut balung buto memiliki nilai tukar yang cukup menjanjikan.
Setelah itu istilah balung buto perlahan lenyap digantikan fosil sebagai nama baru, pengertian dan nilainya pun berhasil diinternalisasikan oleh Koenigswald.
Sejak itu pula, masyarakat Sangiran mengenal konsep pemaknaan baru terkait keberadaan fosil alias balung buto, yang semula dikaitkan dengan keyakinan sebagai mitos yang bernilai magis menjadi semacam komoditi baru yang hanya bernilai ekonomis.
Pada tahun 1977 situs Sangiran dideklarasikan oleh Mentri Pendidikan dan Kebudayaan dan pada tahun 1996 terdaftar dalam situs warisan dunia oleh UNESCO.
Masih terletak di wiliyah Sangiran terdapat museum Sangiran, di museum tu terdapat koleksi13.086 koleksi fosil manusia purba dan merupakan situs manusia purba berdiri tegak yang terlengkap di Asia.
Selain itu juga dapat ditemukan fosil hewan bertulang belakang, fosil binatang air, batuan, fosil tumbuhan laut serta alat-alat batu sekitar 2 juta tahun yang lalu hingga 200.000 tahun yang lalu, yaitu dari kala Pliosen akhir hingga akhir Pleistosen tengah.