1. DUNIA YAHUDI KUNO
Kemungkinan besar terhapusnya kenangan mengenai sejarah mereka di Arabia Barat dalam jangka waktu yang relatif singkat --mungkin tak lebih dari dua atau tiga abad-- disebabkan oleh adanya suatu perubahan bahasa, yang pada abad ke-6 S.M. telah menguasai Arabia, Suria dan Mesopotamia. Seperti kita ketahui, dialek-dialek bahasa Kanaan sebagai bahasa Bibel Ibrani, telah banyak dipakai di Arabia Barat dan Suria masa itu bersama-sama dengan dialek-dialek bahasa Aram. Kitab-kitab suci Yahudi, kecuali beberapa bagian kitab-kitab karangan nabi-nabi yang kemudian, ditulis dalam bahasa Ibrani, bukan bahasa Aram. Tetapi, setelah kira-kira tahun 500 S.M., bahasa Kanaan telah jarang dipergunakan, bahkan mungkin telah punah di Arabia dan Suria; tergeser oleh ballasa Aram yang telah menyebar sampai ke Mesopotamia. Di bawah Achaemenes bahasa Aram bahasa resmi pemerintahan kerajaan Persia dan menjadi lingua franca wilayah Timur Dekat. Pergantian bahasa di kawasan ini terus berlanjut sampai pada abad-abad berikutnya, yang sebegitu jauh sebagai logat bahasa Semit yang mulai bersaing dengan bahasa Aram di berbagai kawasan di Timur Dekat. Sampai pada abad-abad permulaan zaman penyebaran agama Nasrani, bahasa Arab, yang pada mulanya merupakan bahasa suku-suku penggembala padang pasir Syro-Arabia, telah menggantikan bahasa Aram di sebagian besar Arabia dan Suria serta Mesopotamia, dan pada abad ke-7 atau ke-8 M. hanya tinggal beberapa tempat saja yang masih memakai bahasa di daerah itu. Di Arabia Barat kedua penggeseran bahasa itu dapat dilihat melalui beberapa nama tempat, terutama kota kuno Zeboiim (sbym atau sbyym, bentuk jamak sby, dalam bahasa Ibrani, yang berarti 'gazelle' (semacam kijang), tergantung pada penyuaraannya). Kota Zeboiim, seperti yang akan dibahas pada Bab 4, menandakan dua kota kembar di daerah pesisir Jizan (Gizan) di daerah pantai sebelah Asir selatan. Kedua kota ini kini masih ada dengan nama Sabya (sby) dan Al-Zabyah (zby). Sabya adalah bentuk bahasa Aram yang telah ditambah akhiran. Sedangkan Al-Zabyah adalah bentuk bahasa Arab dari kata yang sama (sby) dengan kata sandang tertentu bahasa Arab yang telah diberi akhiran. Dengan demikian itulah nama-nama tempat itu menghentikan segala proses sejarah.
Suatu hal yang sama pentingnya dengan kesimpulan yang telah tarik mengenai identitas nama-nama tempat di Arabia Barat dan di negeri-negeri yang dijangkau Bibel ialah dengan punahnya bahasa Bibel Ibrani sebagai bahasa lisan maka pembacaan kitab-kitab suci Yahudi itu menjadi suatu problema. Bahasa Ibrani, seperti kebanyakan bahasa Semit, ditulis dalam bentuk konsonan dan harus diberi tanda-tanda vokal jika kita hendak memahaminya, seperti sudah sebutkan. Suatu kekecualian adalah bahasa Akkadia, yaitu bahasa Mesopotamia kuno, yang tulisan kuneiformnya ditulis menurut suku kata bukan menurut alfabet. Perlu diingatkan bahwa bahasa Ibrani kuno harus dimengerti terlebih dahulu sebelum diberi vokal menggunakan tanda-tanda vokal yang tepat dan dengan menggunakan konsonan-konsonan ganda. Oleh sebab itu, pada permulaan era Achaemenid orang-orang Yahudi Palestina dan Babilonia, karena mereka tidak mengetahui bagaimana tulisan-tulisan Ibrani itu seharusnya dibaca, tampaknya mereka mendasarkan penambahan-penambahan vokal terhadap tulisan-tulisan itu kepada bahasa Aram yang mereka pakai. Di dalam teks-teks yang mereka akui terdapat banyak nama tempat yang berhubungan dengan lokasi-lokasi di Arabia Barat yang asing bagi mereka. Terlebih lagi, di Arabia Barat sendiri, kaum Yahudi pada sekitar tahun 500 S.M. telah mengalami kemunduran, sehingga tidak ada lagi orang-orang yang cukup terpelajar di antara mereka untuk membenarkan sesama kaum Yahudi dari Palestina dan Babilonia dalam tafsiran geografis mereka. Pula, orang-orang Yahudi dari Arabia Barat ini hanya beragama Yahudi saja dan tidak merupakan kelompok etnis ataupun mempunyai pandangan politik orang-orang Israil; dan mereka tidak lagi berbahasa Ibrani kuno, dan dalam waktu yang singkat bahasa mereka berubah menjadi bahasa Arab. Sudah pasti orang-orang Yahudi di Arabia Barat masih mempunyai kenangan mengenai kehidupan mereka yang dahulu sebagai bangsa Israil; akan tetapi menjelang akhir era Achaemenid, hubungan mereka dengan kaum Yahudi lainnya di luar Arabia tidak teratur dan mereka mengalami kesulitan dalam menyampaikan secara efisien apa yang mereka ingat. Pada waktu umat-umat Yahudi Palestina dan Babilonia menetapkan bentuk-bentuk pembacaan Kitab Bibel Ibrani dengan mempergunakan tanda-tanda vokal, yang dimulai pada sekitar abad ke-16 M. (lihat Bab 2), telah lama orang meninggalkan pemakaian bahasa Ibrani atau dialek-dialek bahasa Kanaan lainnya, dan asal mula Yudaisme di Arabia pun telah lama dilupakan.
Faktor lain yang mungkin menyebabkan kaum Yahudi melupakan sejarah mereka di Arabia Barat bersangkutan dengan perkembangan politik di Arabia Barat dan juga di Palestina setelah runtuhnya kerajaan Israil kuno. Di Arabia Barat, kemunduran yang dialami kerajaan Achaemenid yang sudah mulai terlihat pada tahun 400 S.M., mendorong munculnya perkumpulan-perkumpulan politik baru, terutama perkumpulan politik bangsa Minaean (Ma'in), di daerah tempat kerajaan Israil pernah berjaya. Karena tersebar di antara perkumpulan-perkumpulan politik baru ini, yang beberapa di antaranya dibentuk secara politis sebagai kerajaan-kerajaan, kaum-kaum Yahudi Arabia Barat kehilangan sifat nasionalisme mereka. Perkembangan di Palestina agaknya berbeda dengan yang terjadi di Arabia Barat. Sampai pada tahun 330 S.M., penjajahan Alexander Agung telah menghancurkan kerajaan Persia; setelah wafatnya Alexander panglima-panglimanya mendirikan kerajaan-kerajaan baru di daerah yang dahulunya merupakan wilayah-wilayah kekuasaan kerajaan Achaemenid. Salah satu dari kerajaan Hellenis ini adalah kerajaan Ptolemi dengan pusatnya di Mesir yang beribukotakan Alexandria. Satu lagi kerajaan yang terbentuk adalah kerajaan Seleucid, yang akhirnya berpusatkan di daerah Suria dan ibukotanya di Antioch. Penguasaan atas Palestina pada mulanya diperebutkan antara, kerajaan Ptolemi dan Seleucid, dan akhirnya jatuh ke tangan kerajaan Seleucid; akan tetapi kerajaan Ptolemi tidak putus harapan dalam tekadnya untuk menguasai kembali atau mempengaruhi negara itu. Pada abad ke-2 S.M., orang-orang Yahudi Palestina mempergunakan kesempatan yang ada selagi adanya pertikaian atas tanah mereka, dan mereka mengadakan suatu pemberontakan (yang dimulai pada tahun 167 S.M.) dan berhasil memerdekakan negara mereka dari kekuasaan pemerintahan kerajaan Seleucid pada tahun 142 atau 141 S.M. Para pemimpin pemberontakan ini, yang berasal dari perkumpulan kependetaan Hasmonia (Hasmonaean), mengambil alih kekuasaan atas Yerusalem Palestina; di tempat ini terdapat kuil yang pada waktu itu mungkin sudah dianggap kaum Yahudi sedunia sebagai tempat perlindungan yang tersuci. Dengan bergerak melalui serangkaian aksi-aksi militer yang sukses, orang-orang Hasmonia ini juga memperluas wilayah kekuasaan kaum Yahudi di Palestina, sehingga akhirnya tidak hanya seluruh negeri itu saja yang dikuasainya, bahkan juga bagian Selatan Galilee di Utara dan daerah perbukitan sebelah Timur sungai Yordan dan Laut Mati.
Orang-orang Hasmonia ini, pada era mereka, menganggap diri mereka sebagai keturunan sah bangsa Israil kuno, dan kerajaan mereka bertahan sampai pada kedatangan bangsa Rumawi pada tahun 37 S.M., yang menyusun kembali daerah kekuasaan mereka sebagai 'client-kingdomnya' kerajaan Rumawi dengan nama 'Judaea' yang artinya 'tanah kaum Yahudi', dengan Herod Agung (wafat pada tahun 4 S.M.) sebagai raja. Herod ini kemudian memperbaiki kuil Yerusalem Palestina, yang kemudian dihancurkan oleh bangsa Rumawi sewaktu mereka merampok kota itu pada tahun 70 M., dan mengakibatkan tersebarnya penduduk Judaea. Tak lama kemudian, bangsa Rumawi, di bawah pimpinan Hadrian, membangun kembali kota ini dan menamakannya Aelia Capitolina, nama Aelius diambil dari salah satu nama Hadrian. Akan tetapi ada pula kemungkinan bahwa nama ini adalah bentuk Semit dari nama Aelia, yang merupakan nama asli tempat ini sebelum diberi nama Yerusalem, untuk mengingatkan kembali pada kota Yerusalem di Arabia Barat. Aelia, dalam bentuk Semit aslinya dapat berarti 'benteng' (bandingkan dengan kata 'yl dalam bahasa Ibrani, yang berarti kekuatan), walaupun ini belum dapat dipastikan. Namun, yang dapat dipastikan adalah bahwa orang-orang Arab pada zaman dahulu mengenal kota ini bukan dengan nama Yerusalem, melainkan Iliya ('yly') sebelum mereka memanggilnya 'tempat suci', Bayt al-Muqqadas, Bayt al-Maqdis ataupun hanya al-Quds.
Tanpa mempermasalahkan nama asli kota Yerusalem Palestina, kota ini kemudian telah dikenal sebagai kota Yerusalem Daud dan Sulaiman yang asli pada era Hasmonia dan bahkan mungkin jauh sebelumnya. Sama halnya dengan Palestina yang pada waktu yang sama telah dikenal sebagai tanah asal Bibel Ibrani. Dan pada saat itu pun sudah ada anggapan yang kuat bahwa lokasi-lokasi geografis dari cerita-cerita bersejarah dalam Kitab Bibel sebagian besar hanya mencakup bagian Utara dari daerah Timur Dekat, yaitu Mesopotamia Suria dan Mesir, bukan Arabia Barat.
Ada kemungkinan sebuah kerajaan Yahudi di Arabia pada era orang-orang Hasmonia, yaitu kerajaan Himyar di Yaman yang mengalami kemakmuran dari tahun 115 S.M. sampai abad ke-6 M. Dua orang raja Himyar terakhir diketahui sebagai penganut-penganut agama Yahudi, tetapi kesalahan mereka sampai kini belum dapat dijelaskan secara meyakinkan. Tidak ada bukti-bukti bahwa mereka adalah umat Yahudi, seperti apa yang dikatakan oleh tradisi kuno Arab. Sejarawan Flavius Josephus, akan kita bicarakan nanti, sadar akan adanya orang-orang Yahudi kuno di Arabia, tetapi ia tidak memberi penjelasan mengenai hal ini. Orang-orang Hasmonia mungkin sengaja menafsirkan kembali lokasi-lokasi geografis dalam Bibel berkenaan dengan Palestina guna mengesahkan status mereka sebagai orang Yahudi, jika status mereka diragukan oleh para raja Yahudi Arabia di Himyar. Tentu saja ini hanya merupakan sebuah dugaan saja, akan tetapi berkenaan dengan argumentasi , hal ini sangat mungkin terjadi.
Apakah adanya sebuah kerajaan Yahudi di Yaman atau tidak, bukanlah hal yang amat penting, tetapi dari kitab Septuaginta, yaitu terjemahan kitab-kitab Yahudi ke dalam bahasa Yunani yang dibuat pada era kerajaan Yunani Kuno dan pada awal era kerajaan Rumawi, jelas terbukli bahwa pada zaman Hasmonia itu Arabia Barat tidak lagi dipandang sebagai tanah asal Kitab Bibel Ibrani. Ini jelas terlihat dalam bagaimana nama-nama topografis Arabia Barat seperti ksdym, nhrym, prt dan msrym, berubah masing-masing menjadi Kaldia (Chaldaean), Mesopotamia, Efrat dan Mesir. Lebih lagi, kita dapat mendapatkan bukti-bukti tambahan untuk memperkuat dugaan ini melalui gulungan-gulungan kertas dari Laut Mati (Dead Sea scrolls). Di sini kita menemukan suatu karya orang Aram yang mendetil dari sebuah tulisan di dalam Kitab Bibel yang menyebutkan nama-nama tempat di sebelah Utara daerah Timur Dekat.
2. MASALAH METODE
Dalam mempelajari sesuatu kita harus belajar melupakan; didalam bidang penyelidikan Kitab Bibel ini sangat mutlak. Karena bahasa yang dipakai dalam Bibel Ibrani telah lama tidak dipergunakan lagi, beberapa waktu setelah abad ke-6 atau ke-5 S.M., maka tidak mungkin kita mengetahui pengucapan serta pemberian tanda vokal aslinya seperti yang dipergunakan orang-orang dahulu itu. Kita pun tidak mengetahui apa-apa tentang orthografi, tatabahasa, sintaksis serta langgam suaranya. Perbendaharaan kata di Kitab Bibel Ibrani yang kita ketahui sangat terbatas pada kata-kata yang tertera dalam teks-teks Kitab Bibel itu.
Memang benar, bahasa Ibrani para rabbi (pendeta Yahudi) telah memperlengkapi kita dengan perbendaharaan kata dari Bibel Ibrani yang sebagian didasarkan pada perbendaharaan kata kuno Kitab Bibel dan sebagian lagi dipinjam dari bahasa Aram dan bahasa-bahasa lain. Akan tetapi kita harus mengingat bahwa bahasa Ibrani para rabbi Yahudi itu bukanlah suatu bahasa lisan; bahasa ini merupakan suatu bahasa kesarjanaan saja. Lagi pula, banyak kata di dalam Kitab Bibel yang hanya timbul sekali atau dua kali saja sehingga arti kata-kata itu masih dapat diperdebatkan. Oleh sebab itu, untuk membaca dan mengerti Bibel Ibrani kita harus melakukannya menurut tradisi para pendeta Yahudi atau dengan cara mempelajari bahasa-bahasa Semit lainnya yang masih dipakai. Cara yang kedua, mendasarkan penafsiran pada bahasa Arab, dan dalam beberapa hal pada bahasa Suryani, yang merupakan bentuk modern bahasa Aram kuno. Pendeknya, telah memperlakukan bahasa Ibrani sebagai bahasa yang sebenarnya sudah tak dikenal lagi dan yang perlu diungkapkan kembali, bukan lagi sebagai bahasa yang teka-teki dasarnya telah dipecahkan.
Berkat kejujuran kesarjanaan kaum Masoret atau tradisional Yahudi, teks-teks dalam bentuk konsonan Bibel Ibrani itu telah diturunkan kepada kita dari zaman kuno dalam keadaan yang hampir dalam keadaan utuh. ng, sarjana-sarjana modern jarang yang menghargai hal ini. Seringkali, bila mereka gagal dalam memahami sebuah kutipan dari Kitab Bibel, karena prasangka-prasangka terhadap konteks geografisnya, mereka dengan salah menganggap bahwa teks-teks itu telah diubah, seperti halnya seorang pekerja yang tidak terampil menyalahkan alat-alatnya. Memang benar, beberapa kitab dalam Bibel Ibrani itu merupakan kumpulan sumber naskah yang lebih tua dan yang telah disusun kembali. Ini tidak diragukan lagi. Tetapi mungkin saja berbagai kitab teks Bibel kanonik yang ada pada kita, telah dalam bentuknya yang sekarang ini sebelum runtuhnya kerajaan Israil, yaitu paling lambat pada abad ke-5 atau ke-6 S.M. Dugaan ini timbul dengan adanya kenyataan bahwa Bibel Ibrani telah diterjemahkan secara keseluruhan ke dalam bahasa Aram (kitab-kitab Targum) pada zaman Achaemenid, dan ke dalam bahasa Yunani (kitab Septuaginta) pada awal periode Hellenis. Gulungan kertas Laut Mati, yang telah begitu banyak menarik perhatian dalam dasawarsa belakangan ini, jauh lebih muda dibandingkan dengan kedua terjemahan itu. Oleh sebab itu gulungan kertas Laut Mati mungkin dapat berguna dalam studi mengenai agama Yahudi Palestina pada zaman Rumawi; akan tetapi tidak akan dapat banyak menolong dalam pemecahan teka-teki Kitab Bibel Ibrani.
Kita kini mengetahui bahwa Bibel Ibrani yang mula-mula ditulis dalam bentuk konsonan. Kemudian diberi vokal, dengan mempergunakan tanda-tanda vokal khusus, oleh kaum Masoret Palestina dan Babilonia antara abad ke-6 dan ke-9 atau ke-10 tahun Masehi. Dengan kata lain, mereka yang melakukan ini sebenarnya menyusun kembali sebuah bahasa yang telah tidak dipergunakan lagi selama seribu tahun atau lebih. Kaum Masoret ini apakah mereka berbahasa Aram atau tidak, melakukan tugas mereka dengan seluruh pengetahuan yang mereka miliki. Karena mereka menghormati Bibel sebagai kitab suci, maka dapat dipastikan bahwa mereka berhati-hati agar tidak mengubahnya, dan membiarkan teks konsonannya seperti apa adanya, sekalipun mereka menemukan sebuah kutipan yang menurut mereka tidak masuk akal. Mereka hanya mencatat bilamana ada atau sepertinya ada kejanggalan-kejanggalan dalam ejaan atau tata bahasa, dan tampaknya tidak ada usaha-usaha yang disengaja untuk membetulkan kejanggalan-kejanggalan itu. Ironisnya, jika para ahli Bibel modern berhati-hati seperti halnya para leluhur Masoret mereka, maka Ilmu Pengetahuan Bibel modern tidak akan membingungkan seperti sekarang ini, dan proses mempelajari yang sebenarnya bidang ini tidak perlu begitu banyak melupakan apa yang telah diketahui.
Teks-teks suci, pada umumnya, dipelihara dalam bentuk aslinya oleh mereka yang taat dan setia dalam agama apa pun, sehingga hampir tidak berubah. Diturunkan melalui tradisi, seperti halnya teks-teks suci, nama-nama tempat juga jarang berubah, paling tidak dalam struktur dasarnya, beberapa pun lamanya proses penurunan ini berlangsung. Jarang sekali nama-nama itu diubah, akan tetapi jika ini terjadi, nama-nama tua itu tetap dikenang oleh masyarakat, dan lebih sering dipergunakan kembali pada suatu saat.
Bertahannya nama-nama tempat inilah yang memungkinkan untuk melakukan suatu analisa toponimis, dan terkadang memberi lebih banyak informasi mengenai geografi Bibel Ibrani daripada yang dapat kita peroleh melalui arkeologi. Dalam hal-hal tertentu, studi mengenai nama-nama tempat dan arkeologi mempunyai tujuan yang sama kecuali dalam satu perbedaan yang penting. Kalau penemuan-penemuan arkeologis itu bisu, jika terdapat inskripsi-inskripsi apa pun adanya, maka nama-nama tempat dapat berbicara dengan jelas. Maksud , bukan hanya memberitahu kita apa sebenarnya nama-nama tempat itu, bagaimana diucapkan, apa arti dan dari bahasa atau jenis bahasa mana asalnya. Tanpa adanya inskripsi, penemuan-penemuan arkeologi sangatlah sulit untuk ditafsirkan, begitu sulitnya sampai-sampai pertengkaran di antara para arkeolog, mengenai arti sejarah suatu penemuan tertentu, seringkali memburuk menjadi permusuhan pribadi. Walaupun nama-nama tempat tidak memberikan informasi sebanyak yang dihasilkan oleh penggalian-penggalian arkeologis, namun apa yang diberikan paling tidak merupakan suatu kepastian yang relatif atau mutlak.
akan mengemukakan sebuah contoh. Kalau seseorang menemukan sekelompok nama-nama tempat di Arabia Barat yang berasal dari sebuah bahasa yang bentuk konsonannya sama dengan bahasa Yahudi yang dipakai dalam Bibel atau bahasa Aram yang dipakai dalam Bibel, maka orang itu dapat menyimpulkan bahwa bahasa-bahasa yang sama atau serupa dengan bahasa Aram atau Yahudi Bibel pernah dipergunakan di Arabia Barat, meskipun bahasa Arablah yang merupakan bahasa sehari-hari di sana selama 2000 tahun. Kalau dapat lebih jauh lagi dibuktikan bahwa nama-nama tempat menurut Bibel, apa pun asal linguistiknya, terdapat pula di Arabia Barat yang sampai kini masih ada, sedangkan hanya sedikit yang tertinggal di Palestina, maka dapat dimaklumi jika kita bertanya: apakah Bibel Ibrani lebih merupakan catatan mengenai perkembangan sejarah di Arabia Barat daripada di Palestina?
Dalam suatu usaha untuk menjawab pertanyaan itu, strategi yang pergunakan pada halaman-halaman berikutnya adalah dengan membandingkan sekelompok nama-nama tempat Semit kuno, yang dalam Kitab Bibel ditulis dalam ejaan Ibrani, dengan nama-nama tempat yang benar-benar ada di Asir dan selatan Hijaz, yang oleh kamus-kamus geografi Arab Saudi modern ditulis dalam ejaan Arab. Kira-kira sudah 3000 tahun waktu yang memisahkan bentuk Bibel itu dari nama-nama tempat ini dengan persamaannya yang kini masih ada. Ini merupakan jangka waktu yang sangat lama, lebih dari satu pergeseran bahasa yang mestinya terjadi di daerah-daerah di Timur Dekat, apalagi dengan adanya peralihan dialek-dialek pada setiap tahap. Maka dari itu, bagi yang mengherankan adalah bukan kenyataan bahwa nama-nama tempat menurut Bibel telah mengalami perubahan; tetapi bahwasanya nama-nama itu tetap ada dalam bentuk Arab yang mudah dikenali.
Adalah wajar jika nama-nama tempat menurut Bibel di Arabia Barat telah mengalami perubahan pada fonologi dan morfologinya, setelah hampir 3000 tahun. Pada awal buku ini, sebuah catatan yang berjudul 'Perubahan bentuk Konsonan, menunjukkan bagaimana konsonan-konsonan tertentu dalam bahasa Ibrani dapat menjadi konsonan-konsonan lain dalam bahasa Arab dan sebaliknya. Catatan yang sama memperlihatkan pula seringnya terjadi metatesis (pindahnya huruf-huruf konsonan dalam suatu kata) antara bahasa-bahasa Semit dan bahkan antara dialek-dialek dalam bahasa yang sama. Sebagai tambahan dari perubahan yang disebabkan oleh peralihan-peralihan bahasa dan dialek-dialek ini, kita perlu memperhatikan pula distorsi yang disebabkan oleh ditulisnya nama-nama tempat tersebut dalam bahasa Ibrani Bibel dan dalam bahasa Arab modern.
Bahasa tulisan (dengan cara menggunakan huruf-huruf abjad atau dengan cara lain) hanya dapat mengira-ngira saja fonetik dari sebuah percakapan saja. Inilah sebabnya mengapa para ahli bahasa berpaling pada penggunaan begitu banyak simbol-simbol yang bukan abjad dalam pekerjaan mereka, karena mereka tahu benar bahwa simbol-simbol yang ruwet ini pun tidak dapat mewakili dengan akurat bunyi-bunyi yang sebenarnya.
Bagaimana nama-nama tempat, yang ada dalam bab ini dan ditempat lain sebenarnya diucapkan pada zaman Bibel, tidak dapat diketahui. Untuk mengetahui persis bagaimana diucapkan sekarang akan memerlukan penelitian lapangan yang sangat luas. Akan tetapi dalam memperbandingkan bentuk-bentuk tertulis nama-nama ini, baik dalam bahasa Ibrani Bibel maupun dalam bahasa Arab modern, kita harus mengingat tabiat abjad Semit itu. Pada mulanya abjad ini mengenal tidak lebih dari 22 konsonan (termasuk glottal stop yang menurut bahasa-bahasa Semit merupakan sebuah konsonan, dan dua buah semi-vokal, yaitu w dan y), walaupun bahasa lisan Semit yang sebenarnya sejak dahulu memakai lebih dari ini. Dalam bahasa Ibrani yang dipakai para rabbi Yahudi, sebuah konsonan tambahan ditambahkan pada abjad aslinya dengan cara memberi titik pada huruf sin, yang dapat disuarakan sebagai s atau s (dengan topi atas). Maka (s) mewakili huruf s, dan v menandakan s (dengan topi atas). Bahasa Arab, yang meminjam tulisannya dari bahasa Semit lainnya, menggunakan 22 abjad dasar mereka, pada awalnya. Tetapi lama kelamaan enam huruf lagi ditambahkan pada huruf-huruf yang telah ada. Maka t (ta') diberi satu lagi titik menjadi huruf t (tsa'); h (ha) diberi titik menjadi huruf h (kho'); d (dal) diberi titik menjadi huruf d (dzal); s (shod) diberi titik menjadi huruf s (dlod); t (tho') diberi titik menjadi huruf z (dho'); dan 'ayn (ain) diberi titik menjadi huruf g (ghoin) (lihat 'Kunci Transliterasi bahasa Ibrani dan Arab' pada awal buku ini). Dalam keenam contoh di atas, huruf-huruf baru yang ditambahkan ini mewakili konsonan-konsonan yang secara fonologis berhubungan dengan konsonan-konsonan yang diwakili oleh huruf-huruf yang lama.
Maka, dalam bahasa Arab, seperti yang tertulis aslinya, tidak semua konsonan yang terdengar dalam percakapan mempunyai huruf tersendiri dalam abjad untuk mewakili mereka. yakin bahwa begitu juga halnya dengan bahasa Ibrani Bibel, yang dalam bahasa lisan dalam berbagai dialeknya mestinya terdapat konsonan-konsonan yang dalam tulisan diwakili oleh huruf-huruf yang mewakili konsonan lain. Contohnya, tidak ada alasan untuk menganggap pemakai bahasa Ibrani di Arabia Barat atau ditempat lain untuk tidak mengucapkan h maupun h yang masih saling berhubungan, sambil menggunakan h untuk mewakili kedua konsonan itu di dalam tulisan. Dalam pengucapan bahasa Ibrani rabbi (yang mencerminkan pengaruh bahasa Aram), b dapat diucapkan sebagai b dan v; g sebagai g dan g (dengan titik di atas); k sebagai k dan h; sebagai p dan p (atau f); t sebagai t dan t. Ada kemungkinan besar para pemakai bahasa Ibrani kuno (paling tidak dalam beberapa dialek) juga mengucapkan konsonan-konsonan seperti d, d dan z yang tidak mempunyai huruf-huruf yang mewakili mereka dalam abjad Ibrani.
Bagaimana pemakai-pemakai bahasa Ibrani kuno dapat membedakan dalam percakapan antara s (s, atau sin) dan s (j, atau samek) adalah suatu pernyataan yang bagus sekali. Kemungkinan, s mewakili sebuah gabungan bunyi s, s dan z.
Mengingat semua ini, persamaan antara pengucapan nama-nama tempat di Arabia Barat dalam bahasa Ibrani kuno dan bentuk Arab modern mungkin lebih dekat daripada yang kita duga. Sebuah studi lapangan secara mendalam mengenai bagaimana nama-nama Arab itu sebenarnya diucapkan sekarang ini pasti akan dapat membantu memecahkan persoalan ini. Namun yang sudah pasti ialah bahwa abjad Arab, dengan enam buah huruf tambahannya, telah diperlengkapi untuk menghasilkan perkiraan yang lebih dekat kepada bentuk asli konsonan nama-nama itu daripada abjad Ibrani.
Sudah tentu, suatu persesuaian yang dapat diperlihatkan antara nama-nama tempat Bibel dengan nama-nama tempat di Arabia sendiri tidak akan cukup untuk membuktikan bahwa Arabia Barat adalah tanah asal Kitab Bibel Ibrani. Pertama-tama kita harus memastikan bahwa persetujuan toponimis yang sama tidak terdapat di daerah-daerah lain di jazirah Arabia atau di bagian-bagian lain di Timur Dekat. Kalau hal ini sudah dapat dipastikan, kita harus mencoba untuk mengetahui benar tidaknya koordinat-koordinat dalam Bibel yang diberikan kepada tempat-tempat yang kini masih ada, atau yang sepertinya masih ada di Arabia, cocok dengan tempat-tempat pasangannya di Arabia Barat. Dengan kata lain, jika kita mengenali sebuah tempat di Arabia Barat yang namanya sepertinya cocok dengan Beer-lahai-roi (b'r lhy r'y) dalam Bibel, kita harus kemudian menentukan apakah tempat ini terletak di sebuah jalan yang menuju ke suatu tempat yang bernama Shur (swr), antara sebuah tempat yang bernama Kadesh (qds) dan sebuah lagi yang bernama Bered (brd) (lihat Kejadian 16:7, 14). Dari sini, kita dapat menyerahkan prosedur selanjutnya pada arkeologi, yang akan mencoba untuk menentukan apakah lokasi di Arabia Barat yang namanya diambil dari Kitab Bibel itu mungkin dihuni pada periode Bibel itu layak, dan dengan kebudayaan materi apa tempat ini diasosiasikan. Karya yang sekarang ini hampir seluruhnya berdasarkan toponimik. Tetapi sebelum tesis ini kemajuan-kemajuannya dapat dipandang sebagai pasti, kita harus dapat menganggap bahwa arkeologi perlu memastikan penemuan-penemuan itu yang telah dijadikan dasar arkeologi itu.
Sebagai tambahan pada arkeologi, ada cara-cara lain untuk memastikan benar tidaknya sejarah Bibel itu berlangsung di Arabia Barat dan bukan di Palestina. Hal-hal yang berhubungan dengan topografi, geologi dan mineral, hidrologi, flora dan fauna perlu diperhatikan. Dengan kata lain, jika seseorang menemukan sebuah sungai atau anak sungai di Arabia Barat yang bernama Pishon, misalnya kemungkinan besar sungai itu bukan sungai Pishon dalam Kitab Bibel kecuali jika mengelilingi suatu daerah tempat emas dapat diketemukan, atau yang pada zaman dahulu terdapat emas (lihat Kejadian 2:11-12). Suatu tanda kepastian bahwa kota-kota dalam Bibel Sodom dan Gomorrah tidak mungkin merupakan kota-kota kuno di kawasan Laut Mati, karena di daerah itu tidak terdapat sebuah gunung berapi yang dahulunya menghancurkan kota-kota tersebut (lihat Kejadian 19:24-28). Jika seseorang menemukan sebuah kota yang bernama Sodom dan Gomorrah di Arabia Barat, orang itu harus mencari sebuah gunung berapi atau mencari puing-puing vulkanis di sekitar daerah itu. Begitu pula, jika istana Sulaiman terbuat dari 'batu-batu mahal' yang 'dipahat menurut ukuran, digergaji dengan menggunakan gergaji, dari depan dan belakang', dan ada pula 'batu-batu besar, batu-batu yang besarnya delapan sampai sepuluh hasta' (1 Raja-raja 7:9-10), bahan bangunan tersebut tidak mungkin batu kapur Palestina biasa. Batu itu kemungkinan adalah batu granit, yang masih dapat ditemukan dan digali di Arabia Barat. Bahan yang sama mestinya dipergunakan untuk mendirikan bangunan di sekeliling tembok-tembok kuil Sulaiman, mengingat bahwa bangunan ini terbuat dari batu 'yang telah disiapkan di penggalian', sehingga 'tak kedengaran palu atau kapak selama masa pembangunannya' (1 Raja-raja 6:7). Walaupun kata 'salju' atau slg dalam Bibel Ibrani kadang-kadang berarti tumbuhan soapwort (bukan tumbuhan Saponaria officinalis, tetapi mungkin tumbuhan Gypsophila arabica, lihat Catatan 1), dan terkadang berarti salju yang sebenarnya. Jika keadaannya begitu, maka kita harus memastikan adanya salju yang turun dan menetap di pegunungan Arabia Barat --dan kenyataannya memang demikian-- sebelum memulai menduga bahwa tanah asal Bibel Ibrani itu terletak di sana. Minyak yang disebutkan dalam Kitab Bibel mungkin saja minyak wijen dan bukan minyak zaitun, mengingat bahwa wijen sampai kini merupakan produk utama daerah Asir. Namun kenyataan bahwa tumbuhan zaitun liar masih tumbuh di Arabia Barat, menunjukkan bahwa buah zaitun yang tertera di dalam Kitab Bibel mungkin saja dibudidayakan di sana pada zaman dahulu, bersamaan dengan tumbuhan tin, buah badam, delima dan anggur, yang semua tertulis dalam Bibel Ibrani dan masih tetap dibudidayakan di sana sampai kini. Pula, buah zaitun masih dapat ditemukan pada dua bagian jazirah Arab, di sebelah Utara Hijaz dan di Oman. Oleh sebab itu, agaknya masih masuk di akal jika kita menganggap bahwa minyak yang disebut-sebut di dalam Kitab Bibel adalah minyak Zaitun, bukan minyak wijen. Dalam Imamat 11:29, 'kadal besar' (sb) termasuk dalam kelompok reptil-reptil yang diharamkan untuk dimakan. 'Kadal monitor' atau bengkarung dari Palestina dan Sinai disebut waral (wrl) atau waran (wrn). Sb yang tertera dalam Kitab Bibel sudah pasti adalah biawak gurun pasir Arabia atau dabb (db). Namun walaupun Bibel Ibrani berbicara mengenai berbagai jenis burung, kitab ini samasekali tidak pernah menyebut-nyebut tentang ayam maupun angsa. Menurut ahli geografi kuno Strabo (16:4:2), daerah-daerah Arabia di seberang Laut Merah dari Etiopia aneh karena di sana terdapat 'burung-burung ... dari semua jenis, kecuali angsa dan keluarga gallinaceous'.
Semua ini membuktikan perlunya untuk mempertimbangkan kembali lokasi geografis tanah asal Kitab Bibel, terlebih lagi karena semuanya mendukung bukti-bukti lain yang relevan.
Kembali pada ilmu toponimik, yang menjadi dasar buku ini, perlu diperhatikan bahwa sebuah pengenalan secara benar atas nama-nama tempat menurut Bibel dapat memperdalam dan terkadang mengubah samasekali pengetahuan yang ada tentang bahasa Ibrani. Bagi bahasa Ibrani Bibel, nama-nama tempat, jika diperlakukan sebagai sebuah bahasa yang hendak dibaca dan dimengerti, sifatnya mirip dengan nama-nama keningratan atau kedewaan pada tulisan-tulisan pajangan pada zaman Mesir kuno, yang memberi petunjuk untuk membaca dan mengerti sebuah bahasa yang telah mati. Kalau kita nmengakui nama-nama tempat menurut Bibel dalam bentuk yang telah ada, maka seluruh sebutan yang membawa nama tersebut akan mengungkapkan misterinya sehingga dapat dimengerti. Kenyataannya adalah bahwa banyak kata biasa (kata-kata kerja, nama-nama benda, kata-kata tambahan dan kata-kata sifat, terkadang dengan kata depan b, l atau m) yang secara tradisional telah dibaca dengan salah dalam konteks Bibel mereka sebagai nama-nama tempat. Sebaliknya, sudah tidak terhitung lagi banyaknya nama-nama tempat menurut Bibel, yang tidak diduga sebagai nama-nama tempat, dianggap sebagai kata-kata kerja, kata-kata benda, kata-kata tambahan atau sebagai kata-kata sifat. Perbedaan yang benar antara sesuatu yang sebenarnya merupakan sebuah nama tempat dan yang bukan dalam teks Bibel dapat membuat banyak pembacaan tradisional (dan tentunya juga penterjemahan-penterjemahan standar) kacau.
Catatan-catatan Mesir dan Mesopotamia kuno, jika pembacaan atas mereka dipertimbangkan kembali (seperti yang seharusnya, lihat Bab 1), dapat banyak membantu dalam mengungkapkan letak geografi Bibel. Dalam catatan-catatan itu, nama-nama tempat lainnya masih ada di Arabia Barat. Yang juga sangat membantu adalah karya-karya para sejarawan dan ahli-ahli geografi dari zaman Klasik. Dalam Bab sebelumnya, bukti-bukti yang didapat dari karya Herodotus disebutkan berhubungan dengan emigrasi orang-orang Filistin dan Kanaan dari Arabia Barat menuju ke pantai Suria; dalam Bab 4, bukti-bukti dari geografi Strabo akan dipergunakan untuk mengenali lokasi persis kota Beersheba di Arabia Barat, yang berbeda dengan kota Beersheba di Palestina. Apa yang terdapat di dalam Qur'an mengenai hal-hal yang berhubungan dengan geografi dan sejarah dalam Bibel, yang ternyata sangat banyak, harus benar-benar diperhatikan pula, tetapi kenyataannya belum begitu sampai sekarang.
Teks Qur'an dikumpulkan pada waktu yang hampir bersamaan dengan saat kaum Masoret memulai memberi vokal dan membanding-bandingkan secara teliti teks-teks Kitab Bibel Ibrani. Menurut tradisi Islam, edisi Qur'an yang terakhir, yang seperti ada pada kita sekarang, dibuat pada zaman kekuasaan Khalifah Usman, atau antara tahun 644 dan 655 M. Bilamana kitab suci ini membicarakan mengenai para leluhur Ibrani, tentang Israil, atau mengenai para nabi kaum Yahudi, Qur'an menyebut beberapa nama tempat yang dapat dipastikan berasal dari Arabia Barat. Persamaan antara nama-nama tempat di dalam Qur'an pada suatu konteks, dengan nama-nama tempat di dalam Bibel dalam konteks yang sama, kadang-kadang sangat menarik. Contohnya, bilamana Bibel menyebut nama sebuah gunung di Arabia Barat, Qur'an sebaliknya tidak, tetapi menurut Qur'an nama itu merupakan nama sebuah lembah, kota atau suatu lokasi lain di daerah yang sama. Maka Nabi Musa, menurut Kitab Injil (Keluaran 3:1f), dipanggil oleh malaikat Yahweh dari sebuah belukar yang bernyala-nyala di Gunung Horeb (hrb). Menurut Qur'an (20:12, 79:16), panggilan terhadap Nabi Musa tersebut terjadi di 'lembah suci' Tuwa (tw). Sampai saat ini Gunung Horeb dalam Bibel ini telah dicari-cari di Sinai, namun namanya belum berhasil ditemukan. 'Belukar yang bernyala-nyala, namun tidak musnah terbakar' telah diperkirakan oleh para ahli sebagai suatu referensi terhadap sebuah gunung berapi, akan tetapi belum ada tanda-tanda kegiatan vulkanis yang dapat dijumpai di Sinai. Hal ini telah membuat sejumlah penyelidik berpaling dari Sinai guna mencari Horeb di daerah-daerah vulkanis di bagian Utara Hijaz (lihat Kraeling pada halaman-halaman 108-110), tetapi sekali lagi tanpa hasil. Namun Qur'an memberitahukan kita letak persis Horeb: sebuah punggung bukit yang terasingkan di daerah pantai Asir, suatu tempat yang bernama Jabal Hadi. Di Jabal Hadi sampai kini masih berdiri sebuah dusun yang bernama Tiwa (tw), yang mestinya memberikan namanya kepada sebuah anak lembah Wadi Baqarah yang berdekatan dengannya - yaitu 'lembah suci' dalam Qur'an tempat Nabi Musa menerima panggilannya. Di Wadi Baqarah sampai kini masih berdiri sebuah desa yang bernama Harib (hrb), di mana punggung bukit Jabal Hadi yang berdekatan mestinya mendapatkan nama Bibelnya. Seluruh daerah tersebut dipenuhi oleh ladang-ladang lahar dan di sana gunung-gunung berapi mungkin pernah aktif.
Yang berkenaan dengan kisah-kisah dalam Bibel, Qur'an tidak sekadar mengulang bahan-bahan Bibel itu dalam bentuk yang berlainan, yang pada saat ini pandangan yang umumnya dipegang oleh para ahli. Isinya, yang sejalan dengan Kitab Bibel Ibrani (di sini tidak termasuk kitab-kitab Injil Perjanjian Baru Kristen) yakin merupakan versi yang berdiri sendiri menurut tradisi kuno Arab Barat yang sama, dan memang harus diperlakukan demikian. Kalau Bibel mewakili versi bahasa Ibrani Israil menurut tradisi di atas, yang bertarikh sejak sebelum abad ke-4 Pra-Masehi, maka Qur'an yang juga memperlakukan tradisi serupa, mewakili versi bahasa Arab menurut tradisi itu juga, berasal dari periode ketika bahasa Arab telah menggantikan bahasa Aram dan bahasa Ibrani sebagai bahasa lisan yang dipakai di Arabia Barat. Sepintas lalu, perbedaan-perbedaan antara kedua versi tersebut mungkin kelihatannya membingungkan; tetapi setelah penyelidikan yang lebih mendalam, kitab-kitab itu akan menjadi lebih informatif.
Sampai kini, yang telah kita peroleh adalah sebagai berikut: sebuah teks konsonan Ibrani yang dapat kita anggap akurat, yang harus dibaca kembali dengan teliti tanpa memikirkan tentang pengucapan tradisionalnya; catatan-catatan Mesir kuno, Mesopotamia kuno dan catatan-catatan lainnya yang menyebutkan nama-nama tempat menurut Bibel dan harus dibaca kembali tanpa berkonsultasi dengan penafsiran geografis ataupun topografisnya yang ada; karya-karya para sejarawan dan ahli geografi zaman Klasik yang dapat membantu; teks-teks konsonan Qur'an yang tidak beruhah sejak pertama kalinya dikumpulkan dan disusun; dan akhirnya suatu gambaran tentang Arabia Barat yang penuh dengan nama-nama menurut Bibel yang sebagian besar bentuk Bibelnya belum berubah, atau paling tidak masih dapat dikenali dengan mudah dalam bentuk-bentuk yang ada sekarang. Pada bab berikutnya, bagian dari Arabia Barat tempat nama-nama menurut Bibel berpusat akan digambarkan secara lebih mendetil lagi. Kemudian, akan meneliti teks-teks Bibel tertentu untuk memperlihatkan betapa cocoknya geografi teks itu dengan geografi Arabia Barat. Para pembaca akan dapat menilai sendiri adakan argumentasi utama buku ini cukup meyakinkan atau tidak. Tetapi kita perlu mengingat, apa pun kesimpulannya, Bibel tetap Bibel, tanpa peduli di mana letak tanah asalnya.
3. TANAH ASIR
Tanah asal Bibel Ibrani, seperti yang telah tegaskan, ialah Asir. Sebenarnya, pemakaian nama itu berlangsung belum lama, yaitu sejak abad ke-19 untuk menandakan tanah dataran tinggi Arabia Barat yang membentang dari utara ke selatan, dari Nimas (al-Nimas, 19° Lintang Utara dan 42° Bujur Timur) sampai Najran (nagran, 17° Lintang Utara dan 44°10'' Bujur Timur) dan juga daerah perbukitan dan gurun pasir pesisir daerah yang disebut Tihamah (Tihamah) antara kota pesisir Qahmah (al-Qahmah, 18° Lintang Utara dan 41° Bujur Timur) dan perbatasan sekarang dengan Yaman (16°25" dan 42°45" Bujur Timur. Kini Asir merupakan sebuah propinsi di Kerajaan Arab Saudi, yang ibukotanya merupakan sebuah kota dataran tinggi, yaitu Abha (18°15" Lintang Utara dan 42°30" Bujur Timur). Dari timur ke barat, Asir membentang dari ujung Gurun Pasir Arabia Tengah sampai ke Laut Merah.
Ciri-ciri nyata Asir ialah bentangan dataran tinggi yang bernama Sarat (al-Sarat, bentuk jamak sari, yang berarti 'gunung' atau 'ketinggian', ketinggiannya berkisar antara 1700 sampai 3200 meter, membentuk ujung barat dataran tinggi Arabia yang bernama Najd (Nagd) antara Taif dan perbatasan Yaman. Di sebelah utara Taif, dataran tinggi Arania berakhir dengan pegunungan rendah dan perbukitan Hijaz, dengan ketinggian antara 1200 sampai dengan 1500 meter. Namun, di sebelah selatan Taif, dataran tinggi ini tiba-tiba berakhir pada apa yang disebut Ngarai Arabia Barat. Ini merupakan jurang curam yang jatuh sedalam 100 meter, 80-120 kilometer dari pantai Laut Merah yang membentang sepanjang 700 kilometer dari Taif di utara, dan bergabung dengan pegunungan tinggi Yaman di selatan. Di atas tebing curam ini dataran tinggi Sarat mencapai puncak ketinggiannya dekat Abha; lebih jauh ke arah selatan, ngarai ini berakhir beberapa kilometer dari kota Dhahran (disebut Dhahran Selatan, Zahran al-Ganub, 17°40'' Lintang Utara dan 43°30" Bujur Timur). Di sebelah utara, dataran tinggi Sarat berakhir di Taif, di sebelah timur kota Mekah, bergabung pada sekitar 21° Lintang Utara dengan punggung Taif.
Maka dari itu, nama Asir itu sendiri dapat dipergunakan dalam pengertian geografi yang luas, untuk menandakan seluruh kawasan bentangan Sarat, dari Taif di utara sampai ke Dhahran dan perbatasan Yaman di selatan, mengingat bahwa bagian-bagian kawasan ini di sebelah utara wilayah Nimas biasanya dianggap sebagai bagian Hijaz. Sepanjang bentangan Sarat, wilayah Nimas membentuk sebuah pelana antara daerah-daerah yang lebih tinggi, wilayah Abha di sebelah selatan, dan wilayah-wilayah Bahah (al-Bahah) yang meliputi daerah-daerah Ghamid (Bilad Gamid) dan Zahran (Bilad Zahran) di sebelah utara. Sebuah daerah yang lebih rendah yang memisahkan ketinggian Zahran dari punggung bukit Taif, di tempat itu Sarat (dan begitupun daerah geografis Asir) dapat dikatakan berakhir.
Sepanjang pesisir Tihamah di Asir menurut geografis terdapat sejumlah kota dan pelabuhan, yang sampai sekarang paling jelas, di utara dan di selatan, ialah Lith (al-Lit), Qunfudhah (al-Qunfudhah); Birk (al-Birk); Qahmah (lihat di atas); Shuqayq (al-Suqayq) dan Jizan. Dataran itu timbul tiba-tiba di tepi padang pasir pesisir Tihamah, di sejumlah jalan bertangga di pegunungan yang terjal, hingga mencapai lereng yang curam dan saluran Sarat yang membelah di depannya. Tepi pantai Asir ini sebenarnya merupakan daratan yang sangat berbukit-bukit dan depresi-depresinya (dalam bahasa Arab wahd atau wahdah, dengan bentuk konsonannya whd atau whdh; bandingkan dengan yhwdh di dalam Bibel untuk 'Yudah'), yang tentunya adalah sebab mengapa nama 'Yudah' diberikan kepada daerah pada zaman Bibel dahulu (lihat Bab 8). Beberapa tempat di sana sampai kini benar-benar bernama Wahdah, memakai nama-nama yang berasal dari akar kata yang sama (kata whd, 'merendah, tertekan'). Sampai kini, lembah-lembah dan jurang-jurang di bagian Asir ini, telah menjadi tempat perkembangbiakan belalang-belalang, yang mungkin merupakan penyebab 'kelaparan di tanah ini' pada zaman Bibel (lihat Bab 13).
Kalau bagian-bagian Asir di sebelah barat tebing curam itu penuh dengan lembah-lembah dan jurang-jurang yang letaknya malang-melintang, sebaliknya, dari atas tebing curam, Sarat tebingnya landai dan menurun menuju ke daerah pedalaman. Di propinsi Asir, di sebelah selatan Nimas, tebing-tebing di sana menuruti zona-zona pecahan alami menuju ke arah selatan, dan tanah di sini didominasi, dari selatan sampai ke utara, oleh dua sistem pengaliran yaitu Wadi Tathlith (tatlit) dan Wadi Bishah, masing-masing dengan cabang-cabangnya tersendiri. Aliran-aliran utama kedua wadi ini akhirnya berubah haluan menuju ke timur untuk menuangkan air bah di Wadi Dawasir (al-Dawasir), yang mengalir menuju ke pedalaman padang pasir. Namun dari dataran tinggi Ghamid dan Zahran, daratannya menurun ke arah timur, didominasi oleh sistem pengaliran Wadi Ranyah. Aliran utama Wadi ini bergabung dengan aliran Wadi Bishah, sebelum aliran Wadi Bishah ini menuju ke timur untuk bergabung dengan Wadi Tathlith di dekat tepian gurun pasir.
Dari semua wilayah jaziran Arabia, Asir menerima curah hujan terbanyak. Bertempat tidak jauh di sebelah selatan garis balik sartan (utara), dataran tinggi Sarat menampung curah hujan dari dua iklim: angin barat daya pada musim hujan Monsoon dari barat daya pada musim panas. Jatuhnya hujan di wilayah itu berkisar antara 300 dan 500 mm per tahun, cukup untuk tetap memenuhi persediaan permukaan air di bawah tanah di daerah-daerah ketinggian yang lebih gersang di sekelilingnya. Di daerah ketinggian yang lebih tinggi, hujan musim dingin terkadang turun, untuk jangka waktu yang singkat sebagai salju. Tidak jarang terdapat air terjun pada bagian-bagian tertentu Sarat dan sungai-sungai kecil yang musiman maupun abadi yang berasal dari ketinggiannya mengalir di wadi-wadi ini pada bagian-bagian pedalaman dan pesisirnya. Hutan-hutan tanaman jenever yang lebat adalah ciri khas Sarat dan bagian-bagian yang lebih tinggi daerah pedalaman pantai Tihamah, sedangkan hutan-hutan pohon butun, tamarisk, akasia, saru dan pohon-pohon hutan lainnya terdapat di banyak tempat di daerah itu. Di mana tidak terdapat hutan, dataram tinggi Asir secara tradisional diteraskan untuk membudidayakan padi dan berbagai kacang-kacangan (terutama buah badam) dan juga buah-buahan, termasuk anggur. Padi dan sayuran dibudidayakan di tanah-tanah yang luas dan dapat ditanami di lembah-lembah dan dataran rendah daerah pesisir; padi dan buah kurma dibudidayakan di daerah-daerah pedalaman, terutama di daerah-daerah oase lembah sungai Wadi Bishah. Gradasi iklim di daerah ini antara daerah pesisir yang panas, dataran tinggi yang sedang dan gurun pasir di pedalaman, tercermin pada kekayaan akan banyaknya macam dan jenis flora; oleh karena itu madu dari Asir berkwalitas tinggi. Di sekitar daerah-daerah yang dibudidayakan, di mana-mana terdapat padang rumput yang luas dan di sana bangsa Badui bertahun-tahun secara tradisional menggembalakan ternak mereka berupa sapi, biri-biri, kambing, keledai, himar dan unta.
Bagian pedalaman Asir sejak dahulu diketahui mempunyai sejumlah kekayaan mincral. Emas, timah hitam dan bcsi pernah ditambang pada zaman dahulu - terutama emas di daerah Wadi Ranyah - dan pencarian mineral-mineral masih tetap dilakukan di sana, begitu juga di bagian utara di Mahd al-Dhahab (yang harfiahnya berarti 'Buaian Emas'), d; sebelah timur laut Taif. Ada sebuah cabang Wadi Bishah yang kenyataannya bernama Wadi Dhahab (harfiahnya berarti 'Lembah Emas'), yang menandakan bahwa daerah itu mungkin salah satu daerah tempat emas pernah diketemukan pada zaman dahulu.
Di sebelah selatan Asir, ketinggian Dhahran terbelah menjadi dua daerah yang mempunyai ciri-ciri yang berbeda. Satu di antaranya berisi lembah-lembah subur daerah pesisir Jizan, ke arah barat dan barat daya; dan yang satu lagi merupakan daerah oase Najran, ke arah timur. Dari seluruh wilayah di Asir, daerah Wadi Najran-lah yang terbentang ke arah timur dan berakhir di Bilad Yam (Bilad Yam) di sepanjang pinggiran gurun pasir luas Al-Rub'al Hali, mungkin yang paling subur. Di sana sebuah perkampungan masyarakat Yahudi berkembang sampai kini, sebuah bangsa yang menurut keyakinan merupakan sisa-sisa terakhir dari agama Yahudi di tanah asalnya. Membentang sejajar dengan Wadi Najran di utara, adalah cabang-cabang lembah yang kurang subur, yaitu Wadi Habuna (Habuna) dan Wadi Idimah (Idimah) dengan perkampungan oase mereka. Kedua lembah ini seperti halnya Wadi Najran, berakhir di daerah Yam.
Padang pesisir Jizan di seberang ketinggian Dhahran dari Wadi Najran juga sangat subur, karena diairi oleh air dari berbagai lembah seperti Wadi Khulab (Hulab), Wadi Jizan, Wadi Dhamad (Damad), Wadi Sabya (Sabya) dan Wadi Baysh (Bays). Akan tetapi yang menjadi ciri khas wilayah Jizan ialah lingkaran punggung bukit yang indah, yang memisahkan gurun pasir dari daerah tinggi Dhahran. Juga ada tiga kelompok kerucut-kerucut vulkanis (yaitu Umm al-Qumam, Al-Qari'ah dan 'Ukwah) yang mengelilingi padang pesisir dn bagian daratan. Letusan terakhir salah satu gunung berapi ini - yaitu al-Qariah diduga terjadi pada tahun 1820. Di bagian-bagian Asir lainnya juga terdapat daerah-daerah vulkanis, terutama lebih jauh ke arah selatan di Yaman. Di antara punggung bukit yang terpencil yang mengelilingi daerah Jizan ini adalah Jabal Harub (Harub), Jabal Faifa (Fayfa) dan Jabal Bani Malik (Bani Malik).
Sejak zaman lahirnya Islam, Asir secara menyeluruh, walaupun dengan kesuburan dan kekayaan alaminya, bukan merupakan daerah yang penting dalam sejarah tanah Arabia. Akan tetapi, pada zaman kuno, seperti yang telah katakan pada Bab 1, mestinya tanah ini sangat penting, karena terletak pada persimpangan jalur-jalur utama perdagangan dunia kuno. Di seberang Laut Merah, kapal-kapal dapat saja pulang-pergi antara bandar-bandar Asir dan bandar-bandar Abisinia, Nubia dan Mesir. Jalan-jalan raya kafilah bertolak ke arah utara dari pesisir dan pedalaman Asir, melalui Hijaz menuju Suria, atau melalui Wilayah Tengah dan utara Arabia menuju Mesopotamia. Jalan-jalan raya kafilah lainnya membentang ke selatan menuju Yaman, dan berakhir di bandar-bandar Arabia bagian selatan; atau ke timur menuju pesisir Arabia di teluk Persi melalui Yamamah (al-Yamamah). Ini merupakan bentangan oase yang panjang, yang meneruskan arah aliran Wadi Al-Dawasir dan berjalan di sebelah utara al-Rub'al Hali, yang bermula dari pinggiran gurun pasir Asir bagian selatan.
Oleh sebab itu sejak bermulanya perdagangan antara negara-negara di Samudera Hindia dan bagian timur lembah Laut Tengah, seperti halnya perdagangan antara negara-negara di Teluk Persi dan lembah-lembah Laut Merah, Asir kuno mestinya berkembang sebagai pusat terpenting untuk perdagangan perantara, dan pelayanan-pelayanan perdagangan dan transaksi. Kota-kota pedalamannya tumbuh dengan subur menjadi stasiun-stasiun kafilah; pedagang-pedagang berdatangan dari berbagai penjuru untuk menjajakan barang-barang mereka. Kota-kota yang terpenting di antara kota-kota pedalaman itu terletak di sepanjang jalan raya kafilah utama yang mengikuti puncak pegunungan Sarat, antara Dhahran al-Janub dan Taif. Di antara kota-kota dan bandar-bandar ini, jalan-jalan yang tidak rata menyeberangi jalan-jalan punggung pegunungan Sarat, menghubungkan perdagangan maritim dengan perdagangan yang menuju ke daerah pedalaman.
Pendeknya, tidak diragukan kalau Asir dahulunya merupakan daerah perdagangan yang makmur yang juga kaya akan produksi pertanian, peternakan dan hasil mineral. Walaupun kota-kota perdagangan besarnya mestinya menonjol sebagai pusat-pusat peradaban kota yang cukup canggih, namun peradaban Asir kuno berpusatkan pada kelompok- kelompok oase, yang terpisah dari oase-oase lain dan juga dari bagian-bagian lain Arabia oleh daerah hutan belantara atau gurun pasir yang sangat luas. Walaupun ada hubungan dengan negara-negara lain melalui perdagangan dara dan maritim, negara ini secara geografis terisolasi. Dalam pemerintahannya tidak terdapat kesatuan, dan bagian-bagiannya memilih jalan yang berbeda-beda, tidak saja dalam hal-hal politis, tetapi juga dalam hal-hal yang lain juga demikian. Di Asir kuno, bangsa-bangsa yang berbeda-beda tinggal di daerah-daerah yang berbeda pula, berbicara menggunakan berbagai dialek yang berlainan, bahkan kadang-kadang memakai bahasa yang berbeda pula, dan menyembah dewa-dewa yang berbeda dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa bangsa ini nanti akan kita kenali melalui nama-nama seperti yang tertera dalam Bibel Ibrani.
Namun perhatian utama tertuju pada sebuah bangsa Asir kuno yang dikenal sebagai orang-orang Israil, bangsa yang mengalami sebuah pengalaman sejarah yang kaya di dataran tinggi Sarat dan di lereng bagian baratnya - tanah Yudah - pada suatu waktu antara abad ke-10 dan ke-5 S.M. Kita beruntung mempunyai catatan di dalam Bibel Ibrani yang kaya dan tajam mengenai sejarah mereka yang penuh dengan kejadian-kejadian, sebuah teks yang menggambarkan dengan jelas harapan-harapan dan kekhawatiran mereka, kemenangan dan kesialan mereka, yang terjadi tidak hanya di Palestina tetapi juga di Arabia Barat.
4. MENCARI GERAR
Sebelum beranjak pada sebuah penyajian bukti-bukti secara sistematis untuk mendukung argumentasi bahwa Kitab Bibel berasal dari Arabia, ingin menunjukkan kesesuaian yang sempurna antara geografi Bibel Ibrani dengan geografi Arabia Barat, dan kesesuaian yang meragukan antara geografi Bibel Ibrani dengan Palestina. Yang paling membuka pikiran berkenaan dengan masalah ini ialah pertanyaan mengenai Gerar (grr), sebuah tempat yang menurut kebanyakan ahli Bibel pernah mengalami kemakmuran sebagai sebuah kota di daerah pedalaman Gaza, di pesisir Palestina, tidak jauh dari Bir al-Sab' (atau 'Beersheba'), walaupun di sana namanya tidak bertahan. Dalam mempertimbangkan lokasi Gerar, perhatian kita terpusat pada beberapa pertanyaan, termasuk yang berhubungan dengan tanah Kanaan dan Beersheba menurut Bibel, yang berbeda dengan Beersheba di Palestina .
Ada empat buah bagian yang berbeda dalam Kitab Bibel yang berhubungan dengan Gerar. Dalam penggambarannya mengenai luas daerah kekuasaan orang-orang Kanaan pada mulanya, (h-kn'ny), Kejadian 10:19 menyebut tempat itu sehubungan dengan sydn (biasanya dimengerti sebagai Sidon di Phoenicia) dan 'zh (umumnya dimengerti sebagai Gaza di Palestina). Dalam hal ini teks ini mengatakan bahwa perbatasan tanah orang-orang Kanaan, di satu bagian, membentang dari sydn sampai ke 'zh, dan menambahkan bahwa 'zh terletak searah dengan Gerar, walaupun tidak memperinci lebih lanjut ke arah mana persisnya. Teks ini juga tidak mengatakan apakah Gerar terletak antara sydn dan 'zh, atau apakah tempat ini terletak melewati 'zh dari sydn, dan tidak pula terdapat tanda-tanda yang jelas mengenai jarak antara Gerar dan sydn. Sebaliknya, Kejadian menjelaskan apa bentuk perbatasan tanah Kanaan di bagian yang lain, bermula dari sydn, akan tetapi ini pun tidak menjelaskan ke arah mana (lihat di bawah). Dalam Kejadian 20:1f, Gerar disebut sehubungan dengan 'rs h-ngb; yang dapat diartikan sebagai 'tanah ngb', yang biasanya ditafsirkan sebagai Naqab di Palestina atau gurun pasir 'Negeb', atau 'tanah selatan' (bandingkan dengan kata Arab gnb, disuarakan sebagai ganub), juga ditafsirkan sebagai Palestina bagian selatan, dan di sana terletak gurun pasir Negeb. Di sini, Gerar dilukiskan sebagai terletak di antara qds (ditulis Kadesh) dan swr (ditulis Shur) dan mempunyai seorang 'raja' yang bernama, 'bymlk (by mlk, ditulis sebagai Abimelech). Dalam konteks ini tidak ada referensi terhadap kota 'zh.
Dan lagi, dalam Kejadian 26:1f, Abimelech dari Gerar digambarkan sebagai seorang 'raja' plstym (ditulis sebagai orang-orang Filistin), sebuah deskripsi yang dihilangkan dalam Kejadian 20. Sebuah nhl grr (diterjemahkan sebagai 'lembah Gerar') juga disebutkan dalam Kejadian 26, berhubungan dengan lokasi empat buah sumur yang dikenal sebagai 'sq (ditulis sebagai Esek), stnh (ditulis sebagai Sitnah), rhbwt (ditulis Rehoboth) dan sb'h atau b'r sb' (ditulis Shibah atau Beersheba). Di sini kota 'zh tidak disebut-sebut.
Berpaling pada Tawarikh II (14:8f, atau 14:9f dalam kitab Septuaginta dan terjemahan-terjemahan standar), Gerar disebutkan berhubungan dengan peperangan antara 'Zerah dari Cushite' atau 'Zerah dari Etiopia' (zrh h-kwsy) dan Raja Asa dari Yudah (pada sekitar tahun 908-867 S.M.). Dalam pertempuran tersebut orang-orang 'Cushite' atau 'Etiopia' (h-kwsym) konon menyerbu Yudah dan berhasil maju sampai ke mrsh (ditulis Mareshah), sebelum terkalahkan oleh Raja Asa di gy' spth (lembah Zephathah) di dekat Mareshah. Setelah mendapat kemenangan ini, Raja Asa mengejar para penyerbunya yang telah terpukul mundur ke Gerar, merampoki kota ini dan sekeliling tanah-tanah pertanian beserta ternaknya. Kita kemudian dapat menganggap bahwa Gerar dan daerah sekelilingnya merupakan bagian tanah kekuasaan orang-orang 'Cushite'.
Dalam upaya mereka mencari Gerar, para ahli Bibel dan para arkeolog tidak memiliki petunjuk-petunjuk lain yang dapat diselidiki selain dari referensi-referensi dari Bibel ini; mereka pun hanya memiliki bahan-bahan dari Bibel untuk mengenali daerah kekuasaan bangsa Kanaan atau daerah kekuasaan bangsa Filistin ataupun bangsa Cushite. Nama-nama tempat sydn dan 'zh, yang muncul dalam Kejadian 10, selalu dianggap menunjuk pada Sidon dan Gaza di Suria. Dengan sendirinya ini mengakibatkan timbulnya prasangka bahwa 'tanah bangsa Kanaan' dalam Kitab Bibel tertera pada bagian-bagian lain di dalam Kitab Bibel Ibrani sebagai sebuah kota bangsa Filistin , maka para ahli Bibel juga telah menganggap bahwa tanah bangsa Filistin ini terdiri dari daerah pesisir Gaza. Mereka menerima selaku benar bahwa tanah ini tidak meliputi kawasan lainnya diluar daerah pesisir Palestina, terutama sekali karena daerah ini dengan jelas menyandang nama mereka (mengenai nama Palestina, Suria dan Kanaan . Disebutnya Gerar dalam Kejadian 26 berhubungan dengan plstym (yang selalu dianggap berarti 'bangsa Filistin'), ditambah dengan disebutnya Gerar dalam Kejadian 10 berhubungan dengan 'zh atau Gaza bagi mereka nampaknya cukup untuk membuktikan bahwa tempat itu hanya dapat terletak di daerah pesisir Palestina.
Selanjutnya, selain dari kenyataan bahwa sydn dan 'zh dalam Kejadian 10 tampaknya dapat dengan mudah disamakan dengan Sidon Suria dan Gaza, kebanyakan dari para ahli juga menganggap bahwa h-ngb dalam Bibel tidak lain adalah gurun pasir Negeb di Palestina (bahasa Arabnya al-Naqab, atau nqb), walau terkadang mengakui bahwa ungkapan Ibrani 'rs h-nqb mungkin hanya berarti 'negara selatan', yang meskipun demikian, mereka tetap saja menganggapnya sebagai Palestina bagian selatan. Beersheba, atau b'r sb' (alias sb'h, atau 'Shibah') rupa-rupanya hanya menunjuk pada Bir al-Sab', di daerah yang sama. Namun sewaktu para arkeolog Bibel menggali Bir al-Sab' di Paletina - yang sudah jelas merupakan nama Arab - penemuan yang paling kuno yang mereka temukan, seperti yang telah diketahui, berasal dari akhir periode Rumawi atau Bizantin, yang sebagian pedusunannya di Suria telah mulai diarabkan dengan pesat. Benteng-benteng yang dengan lemah diduga sebagai benteng-benteng Israil, dan mungkin berasal dari zaman Bibel baru-baru ini ditemukan di daerah itu beberapa kilometer dari kota itu.
Dalam bahasa Arab, Bir al-Sab' berarti 'Sumur Binatang Buas', walaupun dapat pula diartikan sebagai 'Sumur Tujuh'. Arti yang terakhir dapat diperkirakan sebagai terjemahan bahasa Arab dari kata Ibrani b'r sb', yang dengan janggal berarti 'Tujuh Sumur' (bukan 'Sumur Tujuh' atau b'r h-sb'). Lebih mungkin lagi, nama Ibrani itu berarti 'Sumur Kelimpahan'. Nama alternatif yang diberikan kepada tempat yang sama di Kejadian 26, yaitu sb'h (dalam bentuk feminin) dapat juga berarti 'Kelimpahan, kekenyangan'. Untuk memberi arti 'Sumur Kelimpahan', bentuk Arab dari b'r sb' harus diubah menjadi Bir Shaba' (b'r sb') atau Bir Shaba'ah (b'r sb'h) dan bukan Bir al-Sab' (b'r sb'). Hal ini, ditambah dengan bukti negatif penemuan arkeologi itu, menentang prasangka bahwa Bir al-Sab' Palestina itulah yang merupakan Beersheba yang tertera dalam Bibel Ibrani. Namun untuk lebih adilnya, kebanyakan para ahli Bibel mengakui bahwa menempatkan Gerar antara Gaza Palestina dan Bir al-Sab' merupakan suatu persoalan. Suatu karya standar geografi menurut Bibel (Kraeling, halaman 80) melukiskan keadaannya sebagai berikut:
Di mana persisnya Gerar terletak masih belum dapat dipastikan dan masih tergantung pada bagaimana seseorang menempatkan kota-kota lain di kawasan daerah ini.... Pada akhir zaman Rumawi ada sebuah distrik, yaitu Geraritike, jelas dinamakan demikian karena sebagian besar terdiri dari wilayah lama Gerar, dan pada waktu itu Beersheba termasuk dalam wilayahnya. Tell Jemeh, sebuah bukit penting di sebelah selatan Gaza, yang sebagian besar telah digali oleh Flinders Petrie pada tahun 1927, olehnya dikenali sebagai Gerar. Sejumlah ahli meragukan akan hal ini.... dan lebih suka memilih Tell esh-Sheri'a di barat laut Beersheba sebagai Gerar. Namun menurut sebuah laporan pada tahun 1961, arkeolog-arkeolog Israil telah menemukan sebuah bukit tidak jauh dari tempat itu, di jalan antara Beersheba dan Gaza, Tell Abu Hureira, dengan peninggalan-peninggalan pra-Hyksos, lebih penting dari kedua tell itu, dan mempunyai persamaan dengan Gerar (bandingkan dengan Simons, alinea 369).
Suatu problema dalam pencarian Gerar antara Beersheba dan Gaza timbul dari kenyataan bahwa kota ini digambarkan pada Kejadian 20 sebagai terletak antara Kadesh (qds) dan Shur (swr). Tetapi tidak ada tempat yang menyandang nama-nama seperti itu yang dapat dikenali di daerah Gaza-Beersheba pada masa ini, kalau kita menganggap daerah ini mungkin merupakan Geraritike dari zaman Rumawi. Sebenarnya, pengenalan terhadap kedua tempat yang disamakan dengan lokasi-lokasi di Palestina bagian selatan dan di semenanjung Sinai sangat lemah. Kraeling menyimpulkan:
Titik Kadesh mungkin merupakan sebuah titik tetap (hal. 69)... Kadesh terletak di segitiga el 'Arish - Raphia - Qoseimeh, yang jelas merupakan suatu distrik tunggal di seluruh daerah Sinai. Di sini sebuah kelompok suku pengembara yang besar pun dapat menetap untuk waktu yang tak terbatas. Survei terhadap daerah Negeb di Israil oleh Nelson Glueck... sejak tahun 1951, telah membuktikan kenyataan bahwa tempat ini pernah dihuni oleh orang-orang dalam jumlah yang cukup besar pada pertengahan Zaman Perunggu dan lagi pada Zaman Besi II, dan kemudian pada Zaman Nabataea dan pada akhir zaman Rumawi... Sebuah tempat yang bernama 'Ain Qedeis telah ditemukan pada tempat yang layak pada tahun 1842, oleh J. Rowlands... Tempat itu kemudian ditemukan kembali oleh H.C. Trumbull yang mengumumkannya pada tahun 1884. Di dekatnya, sebuah tempat yang bernama 'Ain el-Qhudeirat, yang merupakan sebuah mata air yang lebih melimpah, terdapat sebuah bukit yang menandakan sebuah perkampungan dengan pecahan-pecahan barang tanah dari Zaman Besi. Menurut Glueck, ini merupakan lokasi utama dari Zaman Besi di seluruh daerah itu (hal. 117)... Shur dianggap sebagai kata Ibrani untuk garis pertahanan Mesir di Genting Tanah Suez, meskipun kata itu, yang berarti 'tembok', tidak menggambarkan pertahanan ini secara tepat. Menurut arkeolog Perancis Cledat, yang menyelidiki daerah itu, tampaknya terdiri dari pos-pos pertahanan yang tidak saling menyambung. Bagaimanapun juga, jalan menuju Shur (drk _wr, Kejadian 16:7) mungkin merupakan jalur transportasi kuno ke Mesir dari Beersheba, dinamakan Darb el Shur oleh Wooley dan Lawrence, dan melewati Khalasa, Ruheibeh, Bir Birein', Muweileh ke arah selatan (hal. 69).
Pendeknya, terletaknya Kadesh dan Shur di selatan Palestina dan Sinai merupakan tidak lebih dari suatu dugaan saja, hanya sebuah dugaan yang mengasal. Perlu pula dicatat bahwa tidak ada Gerar yang dapat ditemukan antara 'Ayn Qudays dan daerah genting Suez. Kalaupun Gerar terletak di sana, bagaimanapun juga letaknya mestinya jauh dari Gaza dan bir al-Sab', yang samasekali tidak menolong kita.
Kesulitan dalam menempatkan Gerar di Palestina dilipatgandakan oleh referensi mengenai tempat ini dalam Tawarikh II 14. Di sini kota ini nampaknya dimiliki oleh bangsa Kusy (h-kwsym), yang biasanya disamakan dengan bangsa 'Etiopia', terutama karena teks-teks Bibel sering menghubungkan Kusy, atau kws dengan msrym, yang selama ini dianggap berarti 'Mesir' (mengingat bahwa Etiopia adalah tetangga Mesir di sebelah selatan). Dalam Septuaginta Yunani kata Ibrani kws terkadang diubah melalui transliterasi, dan terkadang diterjemahkan secara bebas sebagai Aithiopia atau Aithiopes, dan hal ini mendorong para ahli Bibel modern untuk menyamakan tempat ini dengan Etiopia. Andaikata bangsa Kusy benar-benar adalah bangsa Etiopia, adalah lazim bila seseorang bertanya bagaimana mereka dapat menguasai suatu daerah di Palestina yang jauh itu? Mungkinkah bangsa Etiopia tersebut merupakan bangsa Mesir pada abad ke-duapuluhlima atau dinasti 'Etiopia' (716-656 S.M.)? Rasanya ini tak boleh jadi, mengingat bahwa mereka memerangi Asa, yang kekuasaannya sebagai raja telah berakhir sekitar satu setengah abad sebelumnya. Di sini Kraeling lagi (hal. 217) menggambarkan bagaimana kesulitan ini yang sejauh kini telah terpecahkan:
Kisah dalam Tawarikh... menegaskankan pengetahuan (sic) tentang sebuah pendudukan pada zaman pemerintahan Asa oleh Zerah dari Kusy atau Zerah dari Etiopia... Bangsa Etiopia tidak memegang kekuasaan di Mesir sebelum ada berikutnya, maka orang Kusy ini tentunya bukan seorang Fir'aun, namun mungkin ia adalah seorang gubernur Mesir dari kerajaan 'Sungai kecil Mesir' dan daerah dalam kekuasaan Mesir di sebelah utaranya sampai sejauh Gerar. Kita juga mendengar dari tempat lain bahwa 'putra-putri Ham' (dengan kata lain, Kusy) tinggal bersebelahan dengan suku Simeon di daerah selatan. (Tawarikh I 4:3a) dan Gedor (mengenai penyangkalan hal yang belakangan ini, lihat Simons, alinea 322).
Perlu ditambahkan pula di sini bahwa Mareshah (atau mrsh) dan dari sini 'Zerah dari Etiopia' mencapai serangannya terhadap Yudah, telah dikenali dengan sebuah Tall Sandahannah di Palestina bagian selatan, 'yang juga menandakan Maris Greco Rumawi... di sebelah timur hirbet mer'ash, yang nama kunonya masih ada' (Simons, alinea 318). Sebenarnya 'Mer'ash' (mr's) dan 'Mareshah' (mrsh) samasekali tidak merupakan nama yang sama, dan hanya mungkin terlihat sama oleh mereka yang bukan pemakai bahasa Semit, yang mengabaikan desahan tekak yang disuarakan pada nama yang pertama, karena mereka tidak dapat mengucapkannya. 'Lembah Zephathah' (gy' spth) telah membuat pengenalan atasnya begitu sulit sampai-sampai tidak ada yang mencoba untuk menerka lokasinya --betapa pun ngawur terkaan itu. Salah satu penjelasan mengenai hal ini ialah bahwa bentuk Ibrani dari nama yang sama mungkin tidak lebih dari suatu ketidak jelasan teks (Simons, alinea 254), penjelasan yang bukan merupakan pemecahan yang memuaskan bagi problema ini.
Untuk meringkaskan, kita dapat menyimpulkan yang berikut ini:
Pengenalan terhadap Gerar menurut Injil di Palestina belum memberikan hasil yang memuaskan, dan tidak ada tempat-tempat di sana yang masih memakai nama itu.
Telah ada dugaan bahwasanya mestinya Gerar terletak di Palestina bagian selatan, karena Kejadian 10 menyebutkan tempat itu berhubungan dengan sebuah 'zh, yang diperkirakan adalah Gaza di Palestina, sedangkan Kejadian 26 menyebutnya berhubungan dengan sebuah sb'h atau b'r sb', yang diperkirakan adalah Bir al-Sab' di Palestina, yang sekarang biasa disebut Beersheba.
Kalau kita menganggap bahwa Kadesh menurut Bibel adalah oase 'Ayn Qudays di dekat Wadi Al-'Arish, dan bahwa Shur metinya terletak lebih jauh ke arah barat Sinai, di dekat genting tanah Suez, maka Gerar tidak mungkin terletak di antara Beersheba dan Gaza, dan juga antara Kadesh dan Shur, sebagaimana ditegaskan dalam Kejadian 20.
Kalau bangsa Kusy benar-benar adalah orang-orang Etiopia, dan Gerar terletak di selatan Palestina, maka kekuasaan atas Gerar oleh bangsa 'Kusy' sebagaimana dijelaskan dalam Tawarikh II 14, tidak dapat dijelaskan dengan mudah.
Guna membongkar misteri Gerar, mungkin paling baik jika kita memulai dengan bukti-bukti yang diberikan oleh Tawarikh II 14, dengan cara memastikan siapa sebenarnya bangsa Kusy itu. 'Kusy' seperti telah dikatakan tadi dihubungkan dengan msrym, yang jelas berarti Mesir dalam beberapa sebutan menurut Bibel (contohnya Raja-raja I 14:25f; Tawarikh II 12:2f; dan juga Raja-raja II 23:29; Tawarikh II 35:20f; Yeremia 46:2). Di tempat-tempat lain dalam Bibel, seperti yang akan kita lihat, nama msrym dapat menandakan satu di antara lokasi di Arabia Barat, termasuk dusun Misramah (msrm) di dataran tinggi Asir, antara Abha dan Khamis Mushait, atau dusun Masr (msr) di Wadi Bishah, di pedalaman Asir. Jika mencari kws (atau 'Kusy') di daerah itu, seseorang dapat dengan mudah menemukannya sebagai Kuthah (kwt), dekat Khamis Mushait. Ini merupakan sebuah oase yang terletak di hulu Wadi Bishah, dan oleh karena itu di daerah itu Masr dapat dijumpai. Di daerah Khamis Mushait yang sama terdapat oase Qararah (qrr) dan Ghurayrah (gryr, atau grr) salah satu dari Gerar-gerar dalam Bibel. Di dekatnya terdapat pula oase Shaba'ah (sb'h atau sb'), yang mestinya adalah 'Shibah' atau 'Beersheba' yang tertera dalam Bibel. Kalau pembaca menganggap bahwa hal ini sukar untuk dipercaya, pertimbangkanlah hal yang berikut ini, yang tampaknya membereskan argumentasi .
Kemungkinan besar terhapusnya kenangan mengenai sejarah mereka di Arabia Barat dalam jangka waktu yang relatif singkat --mungkin tak lebih dari dua atau tiga abad-- disebabkan oleh adanya suatu perubahan bahasa, yang pada abad ke-6 S.M. telah menguasai Arabia, Suria dan Mesopotamia. Seperti kita ketahui, dialek-dialek bahasa Kanaan sebagai bahasa Bibel Ibrani, telah banyak dipakai di Arabia Barat dan Suria masa itu bersama-sama dengan dialek-dialek bahasa Aram. Kitab-kitab suci Yahudi, kecuali beberapa bagian kitab-kitab karangan nabi-nabi yang kemudian, ditulis dalam bahasa Ibrani, bukan bahasa Aram. Tetapi, setelah kira-kira tahun 500 S.M., bahasa Kanaan telah jarang dipergunakan, bahkan mungkin telah punah di Arabia dan Suria; tergeser oleh ballasa Aram yang telah menyebar sampai ke Mesopotamia. Di bawah Achaemenes bahasa Aram bahasa resmi pemerintahan kerajaan Persia dan menjadi lingua franca wilayah Timur Dekat. Pergantian bahasa di kawasan ini terus berlanjut sampai pada abad-abad berikutnya, yang sebegitu jauh sebagai logat bahasa Semit yang mulai bersaing dengan bahasa Aram di berbagai kawasan di Timur Dekat. Sampai pada abad-abad permulaan zaman penyebaran agama Nasrani, bahasa Arab, yang pada mulanya merupakan bahasa suku-suku penggembala padang pasir Syro-Arabia, telah menggantikan bahasa Aram di sebagian besar Arabia dan Suria serta Mesopotamia, dan pada abad ke-7 atau ke-8 M. hanya tinggal beberapa tempat saja yang masih memakai bahasa di daerah itu. Di Arabia Barat kedua penggeseran bahasa itu dapat dilihat melalui beberapa nama tempat, terutama kota kuno Zeboiim (sbym atau sbyym, bentuk jamak sby, dalam bahasa Ibrani, yang berarti 'gazelle' (semacam kijang), tergantung pada penyuaraannya). Kota Zeboiim, seperti yang akan dibahas pada Bab 4, menandakan dua kota kembar di daerah pesisir Jizan (Gizan) di daerah pantai sebelah Asir selatan. Kedua kota ini kini masih ada dengan nama Sabya (sby) dan Al-Zabyah (zby). Sabya adalah bentuk bahasa Aram yang telah ditambah akhiran. Sedangkan Al-Zabyah adalah bentuk bahasa Arab dari kata yang sama (sby) dengan kata sandang tertentu bahasa Arab yang telah diberi akhiran. Dengan demikian itulah nama-nama tempat itu menghentikan segala proses sejarah.
Suatu hal yang sama pentingnya dengan kesimpulan yang telah tarik mengenai identitas nama-nama tempat di Arabia Barat dan di negeri-negeri yang dijangkau Bibel ialah dengan punahnya bahasa Bibel Ibrani sebagai bahasa lisan maka pembacaan kitab-kitab suci Yahudi itu menjadi suatu problema. Bahasa Ibrani, seperti kebanyakan bahasa Semit, ditulis dalam bentuk konsonan dan harus diberi tanda-tanda vokal jika kita hendak memahaminya, seperti sudah sebutkan. Suatu kekecualian adalah bahasa Akkadia, yaitu bahasa Mesopotamia kuno, yang tulisan kuneiformnya ditulis menurut suku kata bukan menurut alfabet. Perlu diingatkan bahwa bahasa Ibrani kuno harus dimengerti terlebih dahulu sebelum diberi vokal menggunakan tanda-tanda vokal yang tepat dan dengan menggunakan konsonan-konsonan ganda. Oleh sebab itu, pada permulaan era Achaemenid orang-orang Yahudi Palestina dan Babilonia, karena mereka tidak mengetahui bagaimana tulisan-tulisan Ibrani itu seharusnya dibaca, tampaknya mereka mendasarkan penambahan-penambahan vokal terhadap tulisan-tulisan itu kepada bahasa Aram yang mereka pakai. Di dalam teks-teks yang mereka akui terdapat banyak nama tempat yang berhubungan dengan lokasi-lokasi di Arabia Barat yang asing bagi mereka. Terlebih lagi, di Arabia Barat sendiri, kaum Yahudi pada sekitar tahun 500 S.M. telah mengalami kemunduran, sehingga tidak ada lagi orang-orang yang cukup terpelajar di antara mereka untuk membenarkan sesama kaum Yahudi dari Palestina dan Babilonia dalam tafsiran geografis mereka. Pula, orang-orang Yahudi dari Arabia Barat ini hanya beragama Yahudi saja dan tidak merupakan kelompok etnis ataupun mempunyai pandangan politik orang-orang Israil; dan mereka tidak lagi berbahasa Ibrani kuno, dan dalam waktu yang singkat bahasa mereka berubah menjadi bahasa Arab. Sudah pasti orang-orang Yahudi di Arabia Barat masih mempunyai kenangan mengenai kehidupan mereka yang dahulu sebagai bangsa Israil; akan tetapi menjelang akhir era Achaemenid, hubungan mereka dengan kaum Yahudi lainnya di luar Arabia tidak teratur dan mereka mengalami kesulitan dalam menyampaikan secara efisien apa yang mereka ingat. Pada waktu umat-umat Yahudi Palestina dan Babilonia menetapkan bentuk-bentuk pembacaan Kitab Bibel Ibrani dengan mempergunakan tanda-tanda vokal, yang dimulai pada sekitar abad ke-16 M. (lihat Bab 2), telah lama orang meninggalkan pemakaian bahasa Ibrani atau dialek-dialek bahasa Kanaan lainnya, dan asal mula Yudaisme di Arabia pun telah lama dilupakan.
Faktor lain yang mungkin menyebabkan kaum Yahudi melupakan sejarah mereka di Arabia Barat bersangkutan dengan perkembangan politik di Arabia Barat dan juga di Palestina setelah runtuhnya kerajaan Israil kuno. Di Arabia Barat, kemunduran yang dialami kerajaan Achaemenid yang sudah mulai terlihat pada tahun 400 S.M., mendorong munculnya perkumpulan-perkumpulan politik baru, terutama perkumpulan politik bangsa Minaean (Ma'in), di daerah tempat kerajaan Israil pernah berjaya. Karena tersebar di antara perkumpulan-perkumpulan politik baru ini, yang beberapa di antaranya dibentuk secara politis sebagai kerajaan-kerajaan, kaum-kaum Yahudi Arabia Barat kehilangan sifat nasionalisme mereka. Perkembangan di Palestina agaknya berbeda dengan yang terjadi di Arabia Barat. Sampai pada tahun 330 S.M., penjajahan Alexander Agung telah menghancurkan kerajaan Persia; setelah wafatnya Alexander panglima-panglimanya mendirikan kerajaan-kerajaan baru di daerah yang dahulunya merupakan wilayah-wilayah kekuasaan kerajaan Achaemenid. Salah satu dari kerajaan Hellenis ini adalah kerajaan Ptolemi dengan pusatnya di Mesir yang beribukotakan Alexandria. Satu lagi kerajaan yang terbentuk adalah kerajaan Seleucid, yang akhirnya berpusatkan di daerah Suria dan ibukotanya di Antioch. Penguasaan atas Palestina pada mulanya diperebutkan antara, kerajaan Ptolemi dan Seleucid, dan akhirnya jatuh ke tangan kerajaan Seleucid; akan tetapi kerajaan Ptolemi tidak putus harapan dalam tekadnya untuk menguasai kembali atau mempengaruhi negara itu. Pada abad ke-2 S.M., orang-orang Yahudi Palestina mempergunakan kesempatan yang ada selagi adanya pertikaian atas tanah mereka, dan mereka mengadakan suatu pemberontakan (yang dimulai pada tahun 167 S.M.) dan berhasil memerdekakan negara mereka dari kekuasaan pemerintahan kerajaan Seleucid pada tahun 142 atau 141 S.M. Para pemimpin pemberontakan ini, yang berasal dari perkumpulan kependetaan Hasmonia (Hasmonaean), mengambil alih kekuasaan atas Yerusalem Palestina; di tempat ini terdapat kuil yang pada waktu itu mungkin sudah dianggap kaum Yahudi sedunia sebagai tempat perlindungan yang tersuci. Dengan bergerak melalui serangkaian aksi-aksi militer yang sukses, orang-orang Hasmonia ini juga memperluas wilayah kekuasaan kaum Yahudi di Palestina, sehingga akhirnya tidak hanya seluruh negeri itu saja yang dikuasainya, bahkan juga bagian Selatan Galilee di Utara dan daerah perbukitan sebelah Timur sungai Yordan dan Laut Mati.
Orang-orang Hasmonia ini, pada era mereka, menganggap diri mereka sebagai keturunan sah bangsa Israil kuno, dan kerajaan mereka bertahan sampai pada kedatangan bangsa Rumawi pada tahun 37 S.M., yang menyusun kembali daerah kekuasaan mereka sebagai 'client-kingdomnya' kerajaan Rumawi dengan nama 'Judaea' yang artinya 'tanah kaum Yahudi', dengan Herod Agung (wafat pada tahun 4 S.M.) sebagai raja. Herod ini kemudian memperbaiki kuil Yerusalem Palestina, yang kemudian dihancurkan oleh bangsa Rumawi sewaktu mereka merampok kota itu pada tahun 70 M., dan mengakibatkan tersebarnya penduduk Judaea. Tak lama kemudian, bangsa Rumawi, di bawah pimpinan Hadrian, membangun kembali kota ini dan menamakannya Aelia Capitolina, nama Aelius diambil dari salah satu nama Hadrian. Akan tetapi ada pula kemungkinan bahwa nama ini adalah bentuk Semit dari nama Aelia, yang merupakan nama asli tempat ini sebelum diberi nama Yerusalem, untuk mengingatkan kembali pada kota Yerusalem di Arabia Barat. Aelia, dalam bentuk Semit aslinya dapat berarti 'benteng' (bandingkan dengan kata 'yl dalam bahasa Ibrani, yang berarti kekuatan), walaupun ini belum dapat dipastikan. Namun, yang dapat dipastikan adalah bahwa orang-orang Arab pada zaman dahulu mengenal kota ini bukan dengan nama Yerusalem, melainkan Iliya ('yly') sebelum mereka memanggilnya 'tempat suci', Bayt al-Muqqadas, Bayt al-Maqdis ataupun hanya al-Quds.
Tanpa mempermasalahkan nama asli kota Yerusalem Palestina, kota ini kemudian telah dikenal sebagai kota Yerusalem Daud dan Sulaiman yang asli pada era Hasmonia dan bahkan mungkin jauh sebelumnya. Sama halnya dengan Palestina yang pada waktu yang sama telah dikenal sebagai tanah asal Bibel Ibrani. Dan pada saat itu pun sudah ada anggapan yang kuat bahwa lokasi-lokasi geografis dari cerita-cerita bersejarah dalam Kitab Bibel sebagian besar hanya mencakup bagian Utara dari daerah Timur Dekat, yaitu Mesopotamia Suria dan Mesir, bukan Arabia Barat.
Ada kemungkinan sebuah kerajaan Yahudi di Arabia pada era orang-orang Hasmonia, yaitu kerajaan Himyar di Yaman yang mengalami kemakmuran dari tahun 115 S.M. sampai abad ke-6 M. Dua orang raja Himyar terakhir diketahui sebagai penganut-penganut agama Yahudi, tetapi kesalahan mereka sampai kini belum dapat dijelaskan secara meyakinkan. Tidak ada bukti-bukti bahwa mereka adalah umat Yahudi, seperti apa yang dikatakan oleh tradisi kuno Arab. Sejarawan Flavius Josephus, akan kita bicarakan nanti, sadar akan adanya orang-orang Yahudi kuno di Arabia, tetapi ia tidak memberi penjelasan mengenai hal ini. Orang-orang Hasmonia mungkin sengaja menafsirkan kembali lokasi-lokasi geografis dalam Bibel berkenaan dengan Palestina guna mengesahkan status mereka sebagai orang Yahudi, jika status mereka diragukan oleh para raja Yahudi Arabia di Himyar. Tentu saja ini hanya merupakan sebuah dugaan saja, akan tetapi berkenaan dengan argumentasi , hal ini sangat mungkin terjadi.
Apakah adanya sebuah kerajaan Yahudi di Yaman atau tidak, bukanlah hal yang amat penting, tetapi dari kitab Septuaginta, yaitu terjemahan kitab-kitab Yahudi ke dalam bahasa Yunani yang dibuat pada era kerajaan Yunani Kuno dan pada awal era kerajaan Rumawi, jelas terbukli bahwa pada zaman Hasmonia itu Arabia Barat tidak lagi dipandang sebagai tanah asal Kitab Bibel Ibrani. Ini jelas terlihat dalam bagaimana nama-nama topografis Arabia Barat seperti ksdym, nhrym, prt dan msrym, berubah masing-masing menjadi Kaldia (Chaldaean), Mesopotamia, Efrat dan Mesir. Lebih lagi, kita dapat mendapatkan bukti-bukti tambahan untuk memperkuat dugaan ini melalui gulungan-gulungan kertas dari Laut Mati (Dead Sea scrolls). Di sini kita menemukan suatu karya orang Aram yang mendetil dari sebuah tulisan di dalam Kitab Bibel yang menyebutkan nama-nama tempat di sebelah Utara daerah Timur Dekat.
2. MASALAH METODE
Dalam mempelajari sesuatu kita harus belajar melupakan; didalam bidang penyelidikan Kitab Bibel ini sangat mutlak. Karena bahasa yang dipakai dalam Bibel Ibrani telah lama tidak dipergunakan lagi, beberapa waktu setelah abad ke-6 atau ke-5 S.M., maka tidak mungkin kita mengetahui pengucapan serta pemberian tanda vokal aslinya seperti yang dipergunakan orang-orang dahulu itu. Kita pun tidak mengetahui apa-apa tentang orthografi, tatabahasa, sintaksis serta langgam suaranya. Perbendaharaan kata di Kitab Bibel Ibrani yang kita ketahui sangat terbatas pada kata-kata yang tertera dalam teks-teks Kitab Bibel itu.
Memang benar, bahasa Ibrani para rabbi (pendeta Yahudi) telah memperlengkapi kita dengan perbendaharaan kata dari Bibel Ibrani yang sebagian didasarkan pada perbendaharaan kata kuno Kitab Bibel dan sebagian lagi dipinjam dari bahasa Aram dan bahasa-bahasa lain. Akan tetapi kita harus mengingat bahwa bahasa Ibrani para rabbi Yahudi itu bukanlah suatu bahasa lisan; bahasa ini merupakan suatu bahasa kesarjanaan saja. Lagi pula, banyak kata di dalam Kitab Bibel yang hanya timbul sekali atau dua kali saja sehingga arti kata-kata itu masih dapat diperdebatkan. Oleh sebab itu, untuk membaca dan mengerti Bibel Ibrani kita harus melakukannya menurut tradisi para pendeta Yahudi atau dengan cara mempelajari bahasa-bahasa Semit lainnya yang masih dipakai. Cara yang kedua, mendasarkan penafsiran pada bahasa Arab, dan dalam beberapa hal pada bahasa Suryani, yang merupakan bentuk modern bahasa Aram kuno. Pendeknya, telah memperlakukan bahasa Ibrani sebagai bahasa yang sebenarnya sudah tak dikenal lagi dan yang perlu diungkapkan kembali, bukan lagi sebagai bahasa yang teka-teki dasarnya telah dipecahkan.
Berkat kejujuran kesarjanaan kaum Masoret atau tradisional Yahudi, teks-teks dalam bentuk konsonan Bibel Ibrani itu telah diturunkan kepada kita dari zaman kuno dalam keadaan yang hampir dalam keadaan utuh. ng, sarjana-sarjana modern jarang yang menghargai hal ini. Seringkali, bila mereka gagal dalam memahami sebuah kutipan dari Kitab Bibel, karena prasangka-prasangka terhadap konteks geografisnya, mereka dengan salah menganggap bahwa teks-teks itu telah diubah, seperti halnya seorang pekerja yang tidak terampil menyalahkan alat-alatnya. Memang benar, beberapa kitab dalam Bibel Ibrani itu merupakan kumpulan sumber naskah yang lebih tua dan yang telah disusun kembali. Ini tidak diragukan lagi. Tetapi mungkin saja berbagai kitab teks Bibel kanonik yang ada pada kita, telah dalam bentuknya yang sekarang ini sebelum runtuhnya kerajaan Israil, yaitu paling lambat pada abad ke-5 atau ke-6 S.M. Dugaan ini timbul dengan adanya kenyataan bahwa Bibel Ibrani telah diterjemahkan secara keseluruhan ke dalam bahasa Aram (kitab-kitab Targum) pada zaman Achaemenid, dan ke dalam bahasa Yunani (kitab Septuaginta) pada awal periode Hellenis. Gulungan kertas Laut Mati, yang telah begitu banyak menarik perhatian dalam dasawarsa belakangan ini, jauh lebih muda dibandingkan dengan kedua terjemahan itu. Oleh sebab itu gulungan kertas Laut Mati mungkin dapat berguna dalam studi mengenai agama Yahudi Palestina pada zaman Rumawi; akan tetapi tidak akan dapat banyak menolong dalam pemecahan teka-teki Kitab Bibel Ibrani.
Kita kini mengetahui bahwa Bibel Ibrani yang mula-mula ditulis dalam bentuk konsonan. Kemudian diberi vokal, dengan mempergunakan tanda-tanda vokal khusus, oleh kaum Masoret Palestina dan Babilonia antara abad ke-6 dan ke-9 atau ke-10 tahun Masehi. Dengan kata lain, mereka yang melakukan ini sebenarnya menyusun kembali sebuah bahasa yang telah tidak dipergunakan lagi selama seribu tahun atau lebih. Kaum Masoret ini apakah mereka berbahasa Aram atau tidak, melakukan tugas mereka dengan seluruh pengetahuan yang mereka miliki. Karena mereka menghormati Bibel sebagai kitab suci, maka dapat dipastikan bahwa mereka berhati-hati agar tidak mengubahnya, dan membiarkan teks konsonannya seperti apa adanya, sekalipun mereka menemukan sebuah kutipan yang menurut mereka tidak masuk akal. Mereka hanya mencatat bilamana ada atau sepertinya ada kejanggalan-kejanggalan dalam ejaan atau tata bahasa, dan tampaknya tidak ada usaha-usaha yang disengaja untuk membetulkan kejanggalan-kejanggalan itu. Ironisnya, jika para ahli Bibel modern berhati-hati seperti halnya para leluhur Masoret mereka, maka Ilmu Pengetahuan Bibel modern tidak akan membingungkan seperti sekarang ini, dan proses mempelajari yang sebenarnya bidang ini tidak perlu begitu banyak melupakan apa yang telah diketahui.
Teks-teks suci, pada umumnya, dipelihara dalam bentuk aslinya oleh mereka yang taat dan setia dalam agama apa pun, sehingga hampir tidak berubah. Diturunkan melalui tradisi, seperti halnya teks-teks suci, nama-nama tempat juga jarang berubah, paling tidak dalam struktur dasarnya, beberapa pun lamanya proses penurunan ini berlangsung. Jarang sekali nama-nama itu diubah, akan tetapi jika ini terjadi, nama-nama tua itu tetap dikenang oleh masyarakat, dan lebih sering dipergunakan kembali pada suatu saat.
Bertahannya nama-nama tempat inilah yang memungkinkan untuk melakukan suatu analisa toponimis, dan terkadang memberi lebih banyak informasi mengenai geografi Bibel Ibrani daripada yang dapat kita peroleh melalui arkeologi. Dalam hal-hal tertentu, studi mengenai nama-nama tempat dan arkeologi mempunyai tujuan yang sama kecuali dalam satu perbedaan yang penting. Kalau penemuan-penemuan arkeologis itu bisu, jika terdapat inskripsi-inskripsi apa pun adanya, maka nama-nama tempat dapat berbicara dengan jelas. Maksud , bukan hanya memberitahu kita apa sebenarnya nama-nama tempat itu, bagaimana diucapkan, apa arti dan dari bahasa atau jenis bahasa mana asalnya. Tanpa adanya inskripsi, penemuan-penemuan arkeologi sangatlah sulit untuk ditafsirkan, begitu sulitnya sampai-sampai pertengkaran di antara para arkeolog, mengenai arti sejarah suatu penemuan tertentu, seringkali memburuk menjadi permusuhan pribadi. Walaupun nama-nama tempat tidak memberikan informasi sebanyak yang dihasilkan oleh penggalian-penggalian arkeologis, namun apa yang diberikan paling tidak merupakan suatu kepastian yang relatif atau mutlak.
akan mengemukakan sebuah contoh. Kalau seseorang menemukan sekelompok nama-nama tempat di Arabia Barat yang berasal dari sebuah bahasa yang bentuk konsonannya sama dengan bahasa Yahudi yang dipakai dalam Bibel atau bahasa Aram yang dipakai dalam Bibel, maka orang itu dapat menyimpulkan bahwa bahasa-bahasa yang sama atau serupa dengan bahasa Aram atau Yahudi Bibel pernah dipergunakan di Arabia Barat, meskipun bahasa Arablah yang merupakan bahasa sehari-hari di sana selama 2000 tahun. Kalau dapat lebih jauh lagi dibuktikan bahwa nama-nama tempat menurut Bibel, apa pun asal linguistiknya, terdapat pula di Arabia Barat yang sampai kini masih ada, sedangkan hanya sedikit yang tertinggal di Palestina, maka dapat dimaklumi jika kita bertanya: apakah Bibel Ibrani lebih merupakan catatan mengenai perkembangan sejarah di Arabia Barat daripada di Palestina?
Dalam suatu usaha untuk menjawab pertanyaan itu, strategi yang pergunakan pada halaman-halaman berikutnya adalah dengan membandingkan sekelompok nama-nama tempat Semit kuno, yang dalam Kitab Bibel ditulis dalam ejaan Ibrani, dengan nama-nama tempat yang benar-benar ada di Asir dan selatan Hijaz, yang oleh kamus-kamus geografi Arab Saudi modern ditulis dalam ejaan Arab. Kira-kira sudah 3000 tahun waktu yang memisahkan bentuk Bibel itu dari nama-nama tempat ini dengan persamaannya yang kini masih ada. Ini merupakan jangka waktu yang sangat lama, lebih dari satu pergeseran bahasa yang mestinya terjadi di daerah-daerah di Timur Dekat, apalagi dengan adanya peralihan dialek-dialek pada setiap tahap. Maka dari itu, bagi yang mengherankan adalah bukan kenyataan bahwa nama-nama tempat menurut Bibel telah mengalami perubahan; tetapi bahwasanya nama-nama itu tetap ada dalam bentuk Arab yang mudah dikenali.
Adalah wajar jika nama-nama tempat menurut Bibel di Arabia Barat telah mengalami perubahan pada fonologi dan morfologinya, setelah hampir 3000 tahun. Pada awal buku ini, sebuah catatan yang berjudul 'Perubahan bentuk Konsonan, menunjukkan bagaimana konsonan-konsonan tertentu dalam bahasa Ibrani dapat menjadi konsonan-konsonan lain dalam bahasa Arab dan sebaliknya. Catatan yang sama memperlihatkan pula seringnya terjadi metatesis (pindahnya huruf-huruf konsonan dalam suatu kata) antara bahasa-bahasa Semit dan bahkan antara dialek-dialek dalam bahasa yang sama. Sebagai tambahan dari perubahan yang disebabkan oleh peralihan-peralihan bahasa dan dialek-dialek ini, kita perlu memperhatikan pula distorsi yang disebabkan oleh ditulisnya nama-nama tempat tersebut dalam bahasa Ibrani Bibel dan dalam bahasa Arab modern.
Bahasa tulisan (dengan cara menggunakan huruf-huruf abjad atau dengan cara lain) hanya dapat mengira-ngira saja fonetik dari sebuah percakapan saja. Inilah sebabnya mengapa para ahli bahasa berpaling pada penggunaan begitu banyak simbol-simbol yang bukan abjad dalam pekerjaan mereka, karena mereka tahu benar bahwa simbol-simbol yang ruwet ini pun tidak dapat mewakili dengan akurat bunyi-bunyi yang sebenarnya.
Bagaimana nama-nama tempat, yang ada dalam bab ini dan ditempat lain sebenarnya diucapkan pada zaman Bibel, tidak dapat diketahui. Untuk mengetahui persis bagaimana diucapkan sekarang akan memerlukan penelitian lapangan yang sangat luas. Akan tetapi dalam memperbandingkan bentuk-bentuk tertulis nama-nama ini, baik dalam bahasa Ibrani Bibel maupun dalam bahasa Arab modern, kita harus mengingat tabiat abjad Semit itu. Pada mulanya abjad ini mengenal tidak lebih dari 22 konsonan (termasuk glottal stop yang menurut bahasa-bahasa Semit merupakan sebuah konsonan, dan dua buah semi-vokal, yaitu w dan y), walaupun bahasa lisan Semit yang sebenarnya sejak dahulu memakai lebih dari ini. Dalam bahasa Ibrani yang dipakai para rabbi Yahudi, sebuah konsonan tambahan ditambahkan pada abjad aslinya dengan cara memberi titik pada huruf sin, yang dapat disuarakan sebagai s atau s (dengan topi atas). Maka (s) mewakili huruf s, dan v menandakan s (dengan topi atas). Bahasa Arab, yang meminjam tulisannya dari bahasa Semit lainnya, menggunakan 22 abjad dasar mereka, pada awalnya. Tetapi lama kelamaan enam huruf lagi ditambahkan pada huruf-huruf yang telah ada. Maka t (ta') diberi satu lagi titik menjadi huruf t (tsa'); h (ha) diberi titik menjadi huruf h (kho'); d (dal) diberi titik menjadi huruf d (dzal); s (shod) diberi titik menjadi huruf s (dlod); t (tho') diberi titik menjadi huruf z (dho'); dan 'ayn (ain) diberi titik menjadi huruf g (ghoin) (lihat 'Kunci Transliterasi bahasa Ibrani dan Arab' pada awal buku ini). Dalam keenam contoh di atas, huruf-huruf baru yang ditambahkan ini mewakili konsonan-konsonan yang secara fonologis berhubungan dengan konsonan-konsonan yang diwakili oleh huruf-huruf yang lama.
Maka, dalam bahasa Arab, seperti yang tertulis aslinya, tidak semua konsonan yang terdengar dalam percakapan mempunyai huruf tersendiri dalam abjad untuk mewakili mereka. yakin bahwa begitu juga halnya dengan bahasa Ibrani Bibel, yang dalam bahasa lisan dalam berbagai dialeknya mestinya terdapat konsonan-konsonan yang dalam tulisan diwakili oleh huruf-huruf yang mewakili konsonan lain. Contohnya, tidak ada alasan untuk menganggap pemakai bahasa Ibrani di Arabia Barat atau ditempat lain untuk tidak mengucapkan h maupun h yang masih saling berhubungan, sambil menggunakan h untuk mewakili kedua konsonan itu di dalam tulisan. Dalam pengucapan bahasa Ibrani rabbi (yang mencerminkan pengaruh bahasa Aram), b dapat diucapkan sebagai b dan v; g sebagai g dan g (dengan titik di atas); k sebagai k dan h; sebagai p dan p (atau f); t sebagai t dan t. Ada kemungkinan besar para pemakai bahasa Ibrani kuno (paling tidak dalam beberapa dialek) juga mengucapkan konsonan-konsonan seperti d, d dan z yang tidak mempunyai huruf-huruf yang mewakili mereka dalam abjad Ibrani.
Bagaimana pemakai-pemakai bahasa Ibrani kuno dapat membedakan dalam percakapan antara s (s, atau sin) dan s (j, atau samek) adalah suatu pernyataan yang bagus sekali. Kemungkinan, s mewakili sebuah gabungan bunyi s, s dan z.
Mengingat semua ini, persamaan antara pengucapan nama-nama tempat di Arabia Barat dalam bahasa Ibrani kuno dan bentuk Arab modern mungkin lebih dekat daripada yang kita duga. Sebuah studi lapangan secara mendalam mengenai bagaimana nama-nama Arab itu sebenarnya diucapkan sekarang ini pasti akan dapat membantu memecahkan persoalan ini. Namun yang sudah pasti ialah bahwa abjad Arab, dengan enam buah huruf tambahannya, telah diperlengkapi untuk menghasilkan perkiraan yang lebih dekat kepada bentuk asli konsonan nama-nama itu daripada abjad Ibrani.
Sudah tentu, suatu persesuaian yang dapat diperlihatkan antara nama-nama tempat Bibel dengan nama-nama tempat di Arabia sendiri tidak akan cukup untuk membuktikan bahwa Arabia Barat adalah tanah asal Kitab Bibel Ibrani. Pertama-tama kita harus memastikan bahwa persetujuan toponimis yang sama tidak terdapat di daerah-daerah lain di jazirah Arabia atau di bagian-bagian lain di Timur Dekat. Kalau hal ini sudah dapat dipastikan, kita harus mencoba untuk mengetahui benar tidaknya koordinat-koordinat dalam Bibel yang diberikan kepada tempat-tempat yang kini masih ada, atau yang sepertinya masih ada di Arabia, cocok dengan tempat-tempat pasangannya di Arabia Barat. Dengan kata lain, jika kita mengenali sebuah tempat di Arabia Barat yang namanya sepertinya cocok dengan Beer-lahai-roi (b'r lhy r'y) dalam Bibel, kita harus kemudian menentukan apakah tempat ini terletak di sebuah jalan yang menuju ke suatu tempat yang bernama Shur (swr), antara sebuah tempat yang bernama Kadesh (qds) dan sebuah lagi yang bernama Bered (brd) (lihat Kejadian 16:7, 14). Dari sini, kita dapat menyerahkan prosedur selanjutnya pada arkeologi, yang akan mencoba untuk menentukan apakah lokasi di Arabia Barat yang namanya diambil dari Kitab Bibel itu mungkin dihuni pada periode Bibel itu layak, dan dengan kebudayaan materi apa tempat ini diasosiasikan. Karya yang sekarang ini hampir seluruhnya berdasarkan toponimik. Tetapi sebelum tesis ini kemajuan-kemajuannya dapat dipandang sebagai pasti, kita harus dapat menganggap bahwa arkeologi perlu memastikan penemuan-penemuan itu yang telah dijadikan dasar arkeologi itu.
Sebagai tambahan pada arkeologi, ada cara-cara lain untuk memastikan benar tidaknya sejarah Bibel itu berlangsung di Arabia Barat dan bukan di Palestina. Hal-hal yang berhubungan dengan topografi, geologi dan mineral, hidrologi, flora dan fauna perlu diperhatikan. Dengan kata lain, jika seseorang menemukan sebuah sungai atau anak sungai di Arabia Barat yang bernama Pishon, misalnya kemungkinan besar sungai itu bukan sungai Pishon dalam Kitab Bibel kecuali jika mengelilingi suatu daerah tempat emas dapat diketemukan, atau yang pada zaman dahulu terdapat emas (lihat Kejadian 2:11-12). Suatu tanda kepastian bahwa kota-kota dalam Bibel Sodom dan Gomorrah tidak mungkin merupakan kota-kota kuno di kawasan Laut Mati, karena di daerah itu tidak terdapat sebuah gunung berapi yang dahulunya menghancurkan kota-kota tersebut (lihat Kejadian 19:24-28). Jika seseorang menemukan sebuah kota yang bernama Sodom dan Gomorrah di Arabia Barat, orang itu harus mencari sebuah gunung berapi atau mencari puing-puing vulkanis di sekitar daerah itu. Begitu pula, jika istana Sulaiman terbuat dari 'batu-batu mahal' yang 'dipahat menurut ukuran, digergaji dengan menggunakan gergaji, dari depan dan belakang', dan ada pula 'batu-batu besar, batu-batu yang besarnya delapan sampai sepuluh hasta' (1 Raja-raja 7:9-10), bahan bangunan tersebut tidak mungkin batu kapur Palestina biasa. Batu itu kemungkinan adalah batu granit, yang masih dapat ditemukan dan digali di Arabia Barat. Bahan yang sama mestinya dipergunakan untuk mendirikan bangunan di sekeliling tembok-tembok kuil Sulaiman, mengingat bahwa bangunan ini terbuat dari batu 'yang telah disiapkan di penggalian', sehingga 'tak kedengaran palu atau kapak selama masa pembangunannya' (1 Raja-raja 6:7). Walaupun kata 'salju' atau slg dalam Bibel Ibrani kadang-kadang berarti tumbuhan soapwort (bukan tumbuhan Saponaria officinalis, tetapi mungkin tumbuhan Gypsophila arabica, lihat Catatan 1), dan terkadang berarti salju yang sebenarnya. Jika keadaannya begitu, maka kita harus memastikan adanya salju yang turun dan menetap di pegunungan Arabia Barat --dan kenyataannya memang demikian-- sebelum memulai menduga bahwa tanah asal Bibel Ibrani itu terletak di sana. Minyak yang disebutkan dalam Kitab Bibel mungkin saja minyak wijen dan bukan minyak zaitun, mengingat bahwa wijen sampai kini merupakan produk utama daerah Asir. Namun kenyataan bahwa tumbuhan zaitun liar masih tumbuh di Arabia Barat, menunjukkan bahwa buah zaitun yang tertera di dalam Kitab Bibel mungkin saja dibudidayakan di sana pada zaman dahulu, bersamaan dengan tumbuhan tin, buah badam, delima dan anggur, yang semua tertulis dalam Bibel Ibrani dan masih tetap dibudidayakan di sana sampai kini. Pula, buah zaitun masih dapat ditemukan pada dua bagian jazirah Arab, di sebelah Utara Hijaz dan di Oman. Oleh sebab itu, agaknya masih masuk di akal jika kita menganggap bahwa minyak yang disebut-sebut di dalam Kitab Bibel adalah minyak Zaitun, bukan minyak wijen. Dalam Imamat 11:29, 'kadal besar' (sb) termasuk dalam kelompok reptil-reptil yang diharamkan untuk dimakan. 'Kadal monitor' atau bengkarung dari Palestina dan Sinai disebut waral (wrl) atau waran (wrn). Sb yang tertera dalam Kitab Bibel sudah pasti adalah biawak gurun pasir Arabia atau dabb (db). Namun walaupun Bibel Ibrani berbicara mengenai berbagai jenis burung, kitab ini samasekali tidak pernah menyebut-nyebut tentang ayam maupun angsa. Menurut ahli geografi kuno Strabo (16:4:2), daerah-daerah Arabia di seberang Laut Merah dari Etiopia aneh karena di sana terdapat 'burung-burung ... dari semua jenis, kecuali angsa dan keluarga gallinaceous'.
Semua ini membuktikan perlunya untuk mempertimbangkan kembali lokasi geografis tanah asal Kitab Bibel, terlebih lagi karena semuanya mendukung bukti-bukti lain yang relevan.
Kembali pada ilmu toponimik, yang menjadi dasar buku ini, perlu diperhatikan bahwa sebuah pengenalan secara benar atas nama-nama tempat menurut Bibel dapat memperdalam dan terkadang mengubah samasekali pengetahuan yang ada tentang bahasa Ibrani. Bagi bahasa Ibrani Bibel, nama-nama tempat, jika diperlakukan sebagai sebuah bahasa yang hendak dibaca dan dimengerti, sifatnya mirip dengan nama-nama keningratan atau kedewaan pada tulisan-tulisan pajangan pada zaman Mesir kuno, yang memberi petunjuk untuk membaca dan mengerti sebuah bahasa yang telah mati. Kalau kita nmengakui nama-nama tempat menurut Bibel dalam bentuk yang telah ada, maka seluruh sebutan yang membawa nama tersebut akan mengungkapkan misterinya sehingga dapat dimengerti. Kenyataannya adalah bahwa banyak kata biasa (kata-kata kerja, nama-nama benda, kata-kata tambahan dan kata-kata sifat, terkadang dengan kata depan b, l atau m) yang secara tradisional telah dibaca dengan salah dalam konteks Bibel mereka sebagai nama-nama tempat. Sebaliknya, sudah tidak terhitung lagi banyaknya nama-nama tempat menurut Bibel, yang tidak diduga sebagai nama-nama tempat, dianggap sebagai kata-kata kerja, kata-kata benda, kata-kata tambahan atau sebagai kata-kata sifat. Perbedaan yang benar antara sesuatu yang sebenarnya merupakan sebuah nama tempat dan yang bukan dalam teks Bibel dapat membuat banyak pembacaan tradisional (dan tentunya juga penterjemahan-penterjemahan standar) kacau.
Catatan-catatan Mesir dan Mesopotamia kuno, jika pembacaan atas mereka dipertimbangkan kembali (seperti yang seharusnya, lihat Bab 1), dapat banyak membantu dalam mengungkapkan letak geografi Bibel. Dalam catatan-catatan itu, nama-nama tempat lainnya masih ada di Arabia Barat. Yang juga sangat membantu adalah karya-karya para sejarawan dan ahli-ahli geografi dari zaman Klasik. Dalam Bab sebelumnya, bukti-bukti yang didapat dari karya Herodotus disebutkan berhubungan dengan emigrasi orang-orang Filistin dan Kanaan dari Arabia Barat menuju ke pantai Suria; dalam Bab 4, bukti-bukti dari geografi Strabo akan dipergunakan untuk mengenali lokasi persis kota Beersheba di Arabia Barat, yang berbeda dengan kota Beersheba di Palestina. Apa yang terdapat di dalam Qur'an mengenai hal-hal yang berhubungan dengan geografi dan sejarah dalam Bibel, yang ternyata sangat banyak, harus benar-benar diperhatikan pula, tetapi kenyataannya belum begitu sampai sekarang.
Teks Qur'an dikumpulkan pada waktu yang hampir bersamaan dengan saat kaum Masoret memulai memberi vokal dan membanding-bandingkan secara teliti teks-teks Kitab Bibel Ibrani. Menurut tradisi Islam, edisi Qur'an yang terakhir, yang seperti ada pada kita sekarang, dibuat pada zaman kekuasaan Khalifah Usman, atau antara tahun 644 dan 655 M. Bilamana kitab suci ini membicarakan mengenai para leluhur Ibrani, tentang Israil, atau mengenai para nabi kaum Yahudi, Qur'an menyebut beberapa nama tempat yang dapat dipastikan berasal dari Arabia Barat. Persamaan antara nama-nama tempat di dalam Qur'an pada suatu konteks, dengan nama-nama tempat di dalam Bibel dalam konteks yang sama, kadang-kadang sangat menarik. Contohnya, bilamana Bibel menyebut nama sebuah gunung di Arabia Barat, Qur'an sebaliknya tidak, tetapi menurut Qur'an nama itu merupakan nama sebuah lembah, kota atau suatu lokasi lain di daerah yang sama. Maka Nabi Musa, menurut Kitab Injil (Keluaran 3:1f), dipanggil oleh malaikat Yahweh dari sebuah belukar yang bernyala-nyala di Gunung Horeb (hrb). Menurut Qur'an (20:12, 79:16), panggilan terhadap Nabi Musa tersebut terjadi di 'lembah suci' Tuwa (tw). Sampai saat ini Gunung Horeb dalam Bibel ini telah dicari-cari di Sinai, namun namanya belum berhasil ditemukan. 'Belukar yang bernyala-nyala, namun tidak musnah terbakar' telah diperkirakan oleh para ahli sebagai suatu referensi terhadap sebuah gunung berapi, akan tetapi belum ada tanda-tanda kegiatan vulkanis yang dapat dijumpai di Sinai. Hal ini telah membuat sejumlah penyelidik berpaling dari Sinai guna mencari Horeb di daerah-daerah vulkanis di bagian Utara Hijaz (lihat Kraeling pada halaman-halaman 108-110), tetapi sekali lagi tanpa hasil. Namun Qur'an memberitahukan kita letak persis Horeb: sebuah punggung bukit yang terasingkan di daerah pantai Asir, suatu tempat yang bernama Jabal Hadi. Di Jabal Hadi sampai kini masih berdiri sebuah dusun yang bernama Tiwa (tw), yang mestinya memberikan namanya kepada sebuah anak lembah Wadi Baqarah yang berdekatan dengannya - yaitu 'lembah suci' dalam Qur'an tempat Nabi Musa menerima panggilannya. Di Wadi Baqarah sampai kini masih berdiri sebuah desa yang bernama Harib (hrb), di mana punggung bukit Jabal Hadi yang berdekatan mestinya mendapatkan nama Bibelnya. Seluruh daerah tersebut dipenuhi oleh ladang-ladang lahar dan di sana gunung-gunung berapi mungkin pernah aktif.
Yang berkenaan dengan kisah-kisah dalam Bibel, Qur'an tidak sekadar mengulang bahan-bahan Bibel itu dalam bentuk yang berlainan, yang pada saat ini pandangan yang umumnya dipegang oleh para ahli. Isinya, yang sejalan dengan Kitab Bibel Ibrani (di sini tidak termasuk kitab-kitab Injil Perjanjian Baru Kristen) yakin merupakan versi yang berdiri sendiri menurut tradisi kuno Arab Barat yang sama, dan memang harus diperlakukan demikian. Kalau Bibel mewakili versi bahasa Ibrani Israil menurut tradisi di atas, yang bertarikh sejak sebelum abad ke-4 Pra-Masehi, maka Qur'an yang juga memperlakukan tradisi serupa, mewakili versi bahasa Arab menurut tradisi itu juga, berasal dari periode ketika bahasa Arab telah menggantikan bahasa Aram dan bahasa Ibrani sebagai bahasa lisan yang dipakai di Arabia Barat. Sepintas lalu, perbedaan-perbedaan antara kedua versi tersebut mungkin kelihatannya membingungkan; tetapi setelah penyelidikan yang lebih mendalam, kitab-kitab itu akan menjadi lebih informatif.
Sampai kini, yang telah kita peroleh adalah sebagai berikut: sebuah teks konsonan Ibrani yang dapat kita anggap akurat, yang harus dibaca kembali dengan teliti tanpa memikirkan tentang pengucapan tradisionalnya; catatan-catatan Mesir kuno, Mesopotamia kuno dan catatan-catatan lainnya yang menyebutkan nama-nama tempat menurut Bibel dan harus dibaca kembali tanpa berkonsultasi dengan penafsiran geografis ataupun topografisnya yang ada; karya-karya para sejarawan dan ahli geografi zaman Klasik yang dapat membantu; teks-teks konsonan Qur'an yang tidak beruhah sejak pertama kalinya dikumpulkan dan disusun; dan akhirnya suatu gambaran tentang Arabia Barat yang penuh dengan nama-nama menurut Bibel yang sebagian besar bentuk Bibelnya belum berubah, atau paling tidak masih dapat dikenali dengan mudah dalam bentuk-bentuk yang ada sekarang. Pada bab berikutnya, bagian dari Arabia Barat tempat nama-nama menurut Bibel berpusat akan digambarkan secara lebih mendetil lagi. Kemudian, akan meneliti teks-teks Bibel tertentu untuk memperlihatkan betapa cocoknya geografi teks itu dengan geografi Arabia Barat. Para pembaca akan dapat menilai sendiri adakan argumentasi utama buku ini cukup meyakinkan atau tidak. Tetapi kita perlu mengingat, apa pun kesimpulannya, Bibel tetap Bibel, tanpa peduli di mana letak tanah asalnya.
3. TANAH ASIR
Tanah asal Bibel Ibrani, seperti yang telah tegaskan, ialah Asir. Sebenarnya, pemakaian nama itu berlangsung belum lama, yaitu sejak abad ke-19 untuk menandakan tanah dataran tinggi Arabia Barat yang membentang dari utara ke selatan, dari Nimas (al-Nimas, 19° Lintang Utara dan 42° Bujur Timur) sampai Najran (nagran, 17° Lintang Utara dan 44°10'' Bujur Timur) dan juga daerah perbukitan dan gurun pasir pesisir daerah yang disebut Tihamah (Tihamah) antara kota pesisir Qahmah (al-Qahmah, 18° Lintang Utara dan 41° Bujur Timur) dan perbatasan sekarang dengan Yaman (16°25" dan 42°45" Bujur Timur. Kini Asir merupakan sebuah propinsi di Kerajaan Arab Saudi, yang ibukotanya merupakan sebuah kota dataran tinggi, yaitu Abha (18°15" Lintang Utara dan 42°30" Bujur Timur). Dari timur ke barat, Asir membentang dari ujung Gurun Pasir Arabia Tengah sampai ke Laut Merah.
Ciri-ciri nyata Asir ialah bentangan dataran tinggi yang bernama Sarat (al-Sarat, bentuk jamak sari, yang berarti 'gunung' atau 'ketinggian', ketinggiannya berkisar antara 1700 sampai 3200 meter, membentuk ujung barat dataran tinggi Arabia yang bernama Najd (Nagd) antara Taif dan perbatasan Yaman. Di sebelah utara Taif, dataran tinggi Arania berakhir dengan pegunungan rendah dan perbukitan Hijaz, dengan ketinggian antara 1200 sampai dengan 1500 meter. Namun, di sebelah selatan Taif, dataran tinggi ini tiba-tiba berakhir pada apa yang disebut Ngarai Arabia Barat. Ini merupakan jurang curam yang jatuh sedalam 100 meter, 80-120 kilometer dari pantai Laut Merah yang membentang sepanjang 700 kilometer dari Taif di utara, dan bergabung dengan pegunungan tinggi Yaman di selatan. Di atas tebing curam ini dataran tinggi Sarat mencapai puncak ketinggiannya dekat Abha; lebih jauh ke arah selatan, ngarai ini berakhir beberapa kilometer dari kota Dhahran (disebut Dhahran Selatan, Zahran al-Ganub, 17°40'' Lintang Utara dan 43°30" Bujur Timur). Di sebelah utara, dataran tinggi Sarat berakhir di Taif, di sebelah timur kota Mekah, bergabung pada sekitar 21° Lintang Utara dengan punggung Taif.
Maka dari itu, nama Asir itu sendiri dapat dipergunakan dalam pengertian geografi yang luas, untuk menandakan seluruh kawasan bentangan Sarat, dari Taif di utara sampai ke Dhahran dan perbatasan Yaman di selatan, mengingat bahwa bagian-bagian kawasan ini di sebelah utara wilayah Nimas biasanya dianggap sebagai bagian Hijaz. Sepanjang bentangan Sarat, wilayah Nimas membentuk sebuah pelana antara daerah-daerah yang lebih tinggi, wilayah Abha di sebelah selatan, dan wilayah-wilayah Bahah (al-Bahah) yang meliputi daerah-daerah Ghamid (Bilad Gamid) dan Zahran (Bilad Zahran) di sebelah utara. Sebuah daerah yang lebih rendah yang memisahkan ketinggian Zahran dari punggung bukit Taif, di tempat itu Sarat (dan begitupun daerah geografis Asir) dapat dikatakan berakhir.
Sepanjang pesisir Tihamah di Asir menurut geografis terdapat sejumlah kota dan pelabuhan, yang sampai sekarang paling jelas, di utara dan di selatan, ialah Lith (al-Lit), Qunfudhah (al-Qunfudhah); Birk (al-Birk); Qahmah (lihat di atas); Shuqayq (al-Suqayq) dan Jizan. Dataran itu timbul tiba-tiba di tepi padang pasir pesisir Tihamah, di sejumlah jalan bertangga di pegunungan yang terjal, hingga mencapai lereng yang curam dan saluran Sarat yang membelah di depannya. Tepi pantai Asir ini sebenarnya merupakan daratan yang sangat berbukit-bukit dan depresi-depresinya (dalam bahasa Arab wahd atau wahdah, dengan bentuk konsonannya whd atau whdh; bandingkan dengan yhwdh di dalam Bibel untuk 'Yudah'), yang tentunya adalah sebab mengapa nama 'Yudah' diberikan kepada daerah pada zaman Bibel dahulu (lihat Bab 8). Beberapa tempat di sana sampai kini benar-benar bernama Wahdah, memakai nama-nama yang berasal dari akar kata yang sama (kata whd, 'merendah, tertekan'). Sampai kini, lembah-lembah dan jurang-jurang di bagian Asir ini, telah menjadi tempat perkembangbiakan belalang-belalang, yang mungkin merupakan penyebab 'kelaparan di tanah ini' pada zaman Bibel (lihat Bab 13).
Kalau bagian-bagian Asir di sebelah barat tebing curam itu penuh dengan lembah-lembah dan jurang-jurang yang letaknya malang-melintang, sebaliknya, dari atas tebing curam, Sarat tebingnya landai dan menurun menuju ke daerah pedalaman. Di propinsi Asir, di sebelah selatan Nimas, tebing-tebing di sana menuruti zona-zona pecahan alami menuju ke arah selatan, dan tanah di sini didominasi, dari selatan sampai ke utara, oleh dua sistem pengaliran yaitu Wadi Tathlith (tatlit) dan Wadi Bishah, masing-masing dengan cabang-cabangnya tersendiri. Aliran-aliran utama kedua wadi ini akhirnya berubah haluan menuju ke timur untuk menuangkan air bah di Wadi Dawasir (al-Dawasir), yang mengalir menuju ke pedalaman padang pasir. Namun dari dataran tinggi Ghamid dan Zahran, daratannya menurun ke arah timur, didominasi oleh sistem pengaliran Wadi Ranyah. Aliran utama Wadi ini bergabung dengan aliran Wadi Bishah, sebelum aliran Wadi Bishah ini menuju ke timur untuk bergabung dengan Wadi Tathlith di dekat tepian gurun pasir.
Dari semua wilayah jaziran Arabia, Asir menerima curah hujan terbanyak. Bertempat tidak jauh di sebelah selatan garis balik sartan (utara), dataran tinggi Sarat menampung curah hujan dari dua iklim: angin barat daya pada musim hujan Monsoon dari barat daya pada musim panas. Jatuhnya hujan di wilayah itu berkisar antara 300 dan 500 mm per tahun, cukup untuk tetap memenuhi persediaan permukaan air di bawah tanah di daerah-daerah ketinggian yang lebih gersang di sekelilingnya. Di daerah ketinggian yang lebih tinggi, hujan musim dingin terkadang turun, untuk jangka waktu yang singkat sebagai salju. Tidak jarang terdapat air terjun pada bagian-bagian tertentu Sarat dan sungai-sungai kecil yang musiman maupun abadi yang berasal dari ketinggiannya mengalir di wadi-wadi ini pada bagian-bagian pedalaman dan pesisirnya. Hutan-hutan tanaman jenever yang lebat adalah ciri khas Sarat dan bagian-bagian yang lebih tinggi daerah pedalaman pantai Tihamah, sedangkan hutan-hutan pohon butun, tamarisk, akasia, saru dan pohon-pohon hutan lainnya terdapat di banyak tempat di daerah itu. Di mana tidak terdapat hutan, dataram tinggi Asir secara tradisional diteraskan untuk membudidayakan padi dan berbagai kacang-kacangan (terutama buah badam) dan juga buah-buahan, termasuk anggur. Padi dan sayuran dibudidayakan di tanah-tanah yang luas dan dapat ditanami di lembah-lembah dan dataran rendah daerah pesisir; padi dan buah kurma dibudidayakan di daerah-daerah pedalaman, terutama di daerah-daerah oase lembah sungai Wadi Bishah. Gradasi iklim di daerah ini antara daerah pesisir yang panas, dataran tinggi yang sedang dan gurun pasir di pedalaman, tercermin pada kekayaan akan banyaknya macam dan jenis flora; oleh karena itu madu dari Asir berkwalitas tinggi. Di sekitar daerah-daerah yang dibudidayakan, di mana-mana terdapat padang rumput yang luas dan di sana bangsa Badui bertahun-tahun secara tradisional menggembalakan ternak mereka berupa sapi, biri-biri, kambing, keledai, himar dan unta.
Bagian pedalaman Asir sejak dahulu diketahui mempunyai sejumlah kekayaan mincral. Emas, timah hitam dan bcsi pernah ditambang pada zaman dahulu - terutama emas di daerah Wadi Ranyah - dan pencarian mineral-mineral masih tetap dilakukan di sana, begitu juga di bagian utara di Mahd al-Dhahab (yang harfiahnya berarti 'Buaian Emas'), d; sebelah timur laut Taif. Ada sebuah cabang Wadi Bishah yang kenyataannya bernama Wadi Dhahab (harfiahnya berarti 'Lembah Emas'), yang menandakan bahwa daerah itu mungkin salah satu daerah tempat emas pernah diketemukan pada zaman dahulu.
Di sebelah selatan Asir, ketinggian Dhahran terbelah menjadi dua daerah yang mempunyai ciri-ciri yang berbeda. Satu di antaranya berisi lembah-lembah subur daerah pesisir Jizan, ke arah barat dan barat daya; dan yang satu lagi merupakan daerah oase Najran, ke arah timur. Dari seluruh wilayah di Asir, daerah Wadi Najran-lah yang terbentang ke arah timur dan berakhir di Bilad Yam (Bilad Yam) di sepanjang pinggiran gurun pasir luas Al-Rub'al Hali, mungkin yang paling subur. Di sana sebuah perkampungan masyarakat Yahudi berkembang sampai kini, sebuah bangsa yang menurut keyakinan merupakan sisa-sisa terakhir dari agama Yahudi di tanah asalnya. Membentang sejajar dengan Wadi Najran di utara, adalah cabang-cabang lembah yang kurang subur, yaitu Wadi Habuna (Habuna) dan Wadi Idimah (Idimah) dengan perkampungan oase mereka. Kedua lembah ini seperti halnya Wadi Najran, berakhir di daerah Yam.
Padang pesisir Jizan di seberang ketinggian Dhahran dari Wadi Najran juga sangat subur, karena diairi oleh air dari berbagai lembah seperti Wadi Khulab (Hulab), Wadi Jizan, Wadi Dhamad (Damad), Wadi Sabya (Sabya) dan Wadi Baysh (Bays). Akan tetapi yang menjadi ciri khas wilayah Jizan ialah lingkaran punggung bukit yang indah, yang memisahkan gurun pasir dari daerah tinggi Dhahran. Juga ada tiga kelompok kerucut-kerucut vulkanis (yaitu Umm al-Qumam, Al-Qari'ah dan 'Ukwah) yang mengelilingi padang pesisir dn bagian daratan. Letusan terakhir salah satu gunung berapi ini - yaitu al-Qariah diduga terjadi pada tahun 1820. Di bagian-bagian Asir lainnya juga terdapat daerah-daerah vulkanis, terutama lebih jauh ke arah selatan di Yaman. Di antara punggung bukit yang terpencil yang mengelilingi daerah Jizan ini adalah Jabal Harub (Harub), Jabal Faifa (Fayfa) dan Jabal Bani Malik (Bani Malik).
Sejak zaman lahirnya Islam, Asir secara menyeluruh, walaupun dengan kesuburan dan kekayaan alaminya, bukan merupakan daerah yang penting dalam sejarah tanah Arabia. Akan tetapi, pada zaman kuno, seperti yang telah katakan pada Bab 1, mestinya tanah ini sangat penting, karena terletak pada persimpangan jalur-jalur utama perdagangan dunia kuno. Di seberang Laut Merah, kapal-kapal dapat saja pulang-pergi antara bandar-bandar Asir dan bandar-bandar Abisinia, Nubia dan Mesir. Jalan-jalan raya kafilah bertolak ke arah utara dari pesisir dan pedalaman Asir, melalui Hijaz menuju Suria, atau melalui Wilayah Tengah dan utara Arabia menuju Mesopotamia. Jalan-jalan raya kafilah lainnya membentang ke selatan menuju Yaman, dan berakhir di bandar-bandar Arabia bagian selatan; atau ke timur menuju pesisir Arabia di teluk Persi melalui Yamamah (al-Yamamah). Ini merupakan bentangan oase yang panjang, yang meneruskan arah aliran Wadi Al-Dawasir dan berjalan di sebelah utara al-Rub'al Hali, yang bermula dari pinggiran gurun pasir Asir bagian selatan.
Oleh sebab itu sejak bermulanya perdagangan antara negara-negara di Samudera Hindia dan bagian timur lembah Laut Tengah, seperti halnya perdagangan antara negara-negara di Teluk Persi dan lembah-lembah Laut Merah, Asir kuno mestinya berkembang sebagai pusat terpenting untuk perdagangan perantara, dan pelayanan-pelayanan perdagangan dan transaksi. Kota-kota pedalamannya tumbuh dengan subur menjadi stasiun-stasiun kafilah; pedagang-pedagang berdatangan dari berbagai penjuru untuk menjajakan barang-barang mereka. Kota-kota yang terpenting di antara kota-kota pedalaman itu terletak di sepanjang jalan raya kafilah utama yang mengikuti puncak pegunungan Sarat, antara Dhahran al-Janub dan Taif. Di antara kota-kota dan bandar-bandar ini, jalan-jalan yang tidak rata menyeberangi jalan-jalan punggung pegunungan Sarat, menghubungkan perdagangan maritim dengan perdagangan yang menuju ke daerah pedalaman.
Pendeknya, tidak diragukan kalau Asir dahulunya merupakan daerah perdagangan yang makmur yang juga kaya akan produksi pertanian, peternakan dan hasil mineral. Walaupun kota-kota perdagangan besarnya mestinya menonjol sebagai pusat-pusat peradaban kota yang cukup canggih, namun peradaban Asir kuno berpusatkan pada kelompok- kelompok oase, yang terpisah dari oase-oase lain dan juga dari bagian-bagian lain Arabia oleh daerah hutan belantara atau gurun pasir yang sangat luas. Walaupun ada hubungan dengan negara-negara lain melalui perdagangan dara dan maritim, negara ini secara geografis terisolasi. Dalam pemerintahannya tidak terdapat kesatuan, dan bagian-bagiannya memilih jalan yang berbeda-beda, tidak saja dalam hal-hal politis, tetapi juga dalam hal-hal yang lain juga demikian. Di Asir kuno, bangsa-bangsa yang berbeda-beda tinggal di daerah-daerah yang berbeda pula, berbicara menggunakan berbagai dialek yang berlainan, bahkan kadang-kadang memakai bahasa yang berbeda pula, dan menyembah dewa-dewa yang berbeda dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa bangsa ini nanti akan kita kenali melalui nama-nama seperti yang tertera dalam Bibel Ibrani.
Namun perhatian utama tertuju pada sebuah bangsa Asir kuno yang dikenal sebagai orang-orang Israil, bangsa yang mengalami sebuah pengalaman sejarah yang kaya di dataran tinggi Sarat dan di lereng bagian baratnya - tanah Yudah - pada suatu waktu antara abad ke-10 dan ke-5 S.M. Kita beruntung mempunyai catatan di dalam Bibel Ibrani yang kaya dan tajam mengenai sejarah mereka yang penuh dengan kejadian-kejadian, sebuah teks yang menggambarkan dengan jelas harapan-harapan dan kekhawatiran mereka, kemenangan dan kesialan mereka, yang terjadi tidak hanya di Palestina tetapi juga di Arabia Barat.
4. MENCARI GERAR
Sebelum beranjak pada sebuah penyajian bukti-bukti secara sistematis untuk mendukung argumentasi bahwa Kitab Bibel berasal dari Arabia, ingin menunjukkan kesesuaian yang sempurna antara geografi Bibel Ibrani dengan geografi Arabia Barat, dan kesesuaian yang meragukan antara geografi Bibel Ibrani dengan Palestina. Yang paling membuka pikiran berkenaan dengan masalah ini ialah pertanyaan mengenai Gerar (grr), sebuah tempat yang menurut kebanyakan ahli Bibel pernah mengalami kemakmuran sebagai sebuah kota di daerah pedalaman Gaza, di pesisir Palestina, tidak jauh dari Bir al-Sab' (atau 'Beersheba'), walaupun di sana namanya tidak bertahan. Dalam mempertimbangkan lokasi Gerar, perhatian kita terpusat pada beberapa pertanyaan, termasuk yang berhubungan dengan tanah Kanaan dan Beersheba menurut Bibel, yang berbeda dengan Beersheba di Palestina .
Ada empat buah bagian yang berbeda dalam Kitab Bibel yang berhubungan dengan Gerar. Dalam penggambarannya mengenai luas daerah kekuasaan orang-orang Kanaan pada mulanya, (h-kn'ny), Kejadian 10:19 menyebut tempat itu sehubungan dengan sydn (biasanya dimengerti sebagai Sidon di Phoenicia) dan 'zh (umumnya dimengerti sebagai Gaza di Palestina). Dalam hal ini teks ini mengatakan bahwa perbatasan tanah orang-orang Kanaan, di satu bagian, membentang dari sydn sampai ke 'zh, dan menambahkan bahwa 'zh terletak searah dengan Gerar, walaupun tidak memperinci lebih lanjut ke arah mana persisnya. Teks ini juga tidak mengatakan apakah Gerar terletak antara sydn dan 'zh, atau apakah tempat ini terletak melewati 'zh dari sydn, dan tidak pula terdapat tanda-tanda yang jelas mengenai jarak antara Gerar dan sydn. Sebaliknya, Kejadian menjelaskan apa bentuk perbatasan tanah Kanaan di bagian yang lain, bermula dari sydn, akan tetapi ini pun tidak menjelaskan ke arah mana (lihat di bawah). Dalam Kejadian 20:1f, Gerar disebut sehubungan dengan 'rs h-ngb; yang dapat diartikan sebagai 'tanah ngb', yang biasanya ditafsirkan sebagai Naqab di Palestina atau gurun pasir 'Negeb', atau 'tanah selatan' (bandingkan dengan kata Arab gnb, disuarakan sebagai ganub), juga ditafsirkan sebagai Palestina bagian selatan, dan di sana terletak gurun pasir Negeb. Di sini, Gerar dilukiskan sebagai terletak di antara qds (ditulis Kadesh) dan swr (ditulis Shur) dan mempunyai seorang 'raja' yang bernama, 'bymlk (by mlk, ditulis sebagai Abimelech). Dalam konteks ini tidak ada referensi terhadap kota 'zh.
Dan lagi, dalam Kejadian 26:1f, Abimelech dari Gerar digambarkan sebagai seorang 'raja' plstym (ditulis sebagai orang-orang Filistin), sebuah deskripsi yang dihilangkan dalam Kejadian 20. Sebuah nhl grr (diterjemahkan sebagai 'lembah Gerar') juga disebutkan dalam Kejadian 26, berhubungan dengan lokasi empat buah sumur yang dikenal sebagai 'sq (ditulis sebagai Esek), stnh (ditulis sebagai Sitnah), rhbwt (ditulis Rehoboth) dan sb'h atau b'r sb' (ditulis Shibah atau Beersheba). Di sini kota 'zh tidak disebut-sebut.
Berpaling pada Tawarikh II (14:8f, atau 14:9f dalam kitab Septuaginta dan terjemahan-terjemahan standar), Gerar disebutkan berhubungan dengan peperangan antara 'Zerah dari Cushite' atau 'Zerah dari Etiopia' (zrh h-kwsy) dan Raja Asa dari Yudah (pada sekitar tahun 908-867 S.M.). Dalam pertempuran tersebut orang-orang 'Cushite' atau 'Etiopia' (h-kwsym) konon menyerbu Yudah dan berhasil maju sampai ke mrsh (ditulis Mareshah), sebelum terkalahkan oleh Raja Asa di gy' spth (lembah Zephathah) di dekat Mareshah. Setelah mendapat kemenangan ini, Raja Asa mengejar para penyerbunya yang telah terpukul mundur ke Gerar, merampoki kota ini dan sekeliling tanah-tanah pertanian beserta ternaknya. Kita kemudian dapat menganggap bahwa Gerar dan daerah sekelilingnya merupakan bagian tanah kekuasaan orang-orang 'Cushite'.
Dalam upaya mereka mencari Gerar, para ahli Bibel dan para arkeolog tidak memiliki petunjuk-petunjuk lain yang dapat diselidiki selain dari referensi-referensi dari Bibel ini; mereka pun hanya memiliki bahan-bahan dari Bibel untuk mengenali daerah kekuasaan bangsa Kanaan atau daerah kekuasaan bangsa Filistin ataupun bangsa Cushite. Nama-nama tempat sydn dan 'zh, yang muncul dalam Kejadian 10, selalu dianggap menunjuk pada Sidon dan Gaza di Suria. Dengan sendirinya ini mengakibatkan timbulnya prasangka bahwa 'tanah bangsa Kanaan' dalam Kitab Bibel tertera pada bagian-bagian lain di dalam Kitab Bibel Ibrani sebagai sebuah kota bangsa Filistin , maka para ahli Bibel juga telah menganggap bahwa tanah bangsa Filistin ini terdiri dari daerah pesisir Gaza. Mereka menerima selaku benar bahwa tanah ini tidak meliputi kawasan lainnya diluar daerah pesisir Palestina, terutama sekali karena daerah ini dengan jelas menyandang nama mereka (mengenai nama Palestina, Suria dan Kanaan . Disebutnya Gerar dalam Kejadian 26 berhubungan dengan plstym (yang selalu dianggap berarti 'bangsa Filistin'), ditambah dengan disebutnya Gerar dalam Kejadian 10 berhubungan dengan 'zh atau Gaza bagi mereka nampaknya cukup untuk membuktikan bahwa tempat itu hanya dapat terletak di daerah pesisir Palestina.
Selanjutnya, selain dari kenyataan bahwa sydn dan 'zh dalam Kejadian 10 tampaknya dapat dengan mudah disamakan dengan Sidon Suria dan Gaza, kebanyakan dari para ahli juga menganggap bahwa h-ngb dalam Bibel tidak lain adalah gurun pasir Negeb di Palestina (bahasa Arabnya al-Naqab, atau nqb), walau terkadang mengakui bahwa ungkapan Ibrani 'rs h-nqb mungkin hanya berarti 'negara selatan', yang meskipun demikian, mereka tetap saja menganggapnya sebagai Palestina bagian selatan. Beersheba, atau b'r sb' (alias sb'h, atau 'Shibah') rupa-rupanya hanya menunjuk pada Bir al-Sab', di daerah yang sama. Namun sewaktu para arkeolog Bibel menggali Bir al-Sab' di Paletina - yang sudah jelas merupakan nama Arab - penemuan yang paling kuno yang mereka temukan, seperti yang telah diketahui, berasal dari akhir periode Rumawi atau Bizantin, yang sebagian pedusunannya di Suria telah mulai diarabkan dengan pesat. Benteng-benteng yang dengan lemah diduga sebagai benteng-benteng Israil, dan mungkin berasal dari zaman Bibel baru-baru ini ditemukan di daerah itu beberapa kilometer dari kota itu.
Dalam bahasa Arab, Bir al-Sab' berarti 'Sumur Binatang Buas', walaupun dapat pula diartikan sebagai 'Sumur Tujuh'. Arti yang terakhir dapat diperkirakan sebagai terjemahan bahasa Arab dari kata Ibrani b'r sb', yang dengan janggal berarti 'Tujuh Sumur' (bukan 'Sumur Tujuh' atau b'r h-sb'). Lebih mungkin lagi, nama Ibrani itu berarti 'Sumur Kelimpahan'. Nama alternatif yang diberikan kepada tempat yang sama di Kejadian 26, yaitu sb'h (dalam bentuk feminin) dapat juga berarti 'Kelimpahan, kekenyangan'. Untuk memberi arti 'Sumur Kelimpahan', bentuk Arab dari b'r sb' harus diubah menjadi Bir Shaba' (b'r sb') atau Bir Shaba'ah (b'r sb'h) dan bukan Bir al-Sab' (b'r sb'). Hal ini, ditambah dengan bukti negatif penemuan arkeologi itu, menentang prasangka bahwa Bir al-Sab' Palestina itulah yang merupakan Beersheba yang tertera dalam Bibel Ibrani. Namun untuk lebih adilnya, kebanyakan para ahli Bibel mengakui bahwa menempatkan Gerar antara Gaza Palestina dan Bir al-Sab' merupakan suatu persoalan. Suatu karya standar geografi menurut Bibel (Kraeling, halaman 80) melukiskan keadaannya sebagai berikut:
Di mana persisnya Gerar terletak masih belum dapat dipastikan dan masih tergantung pada bagaimana seseorang menempatkan kota-kota lain di kawasan daerah ini.... Pada akhir zaman Rumawi ada sebuah distrik, yaitu Geraritike, jelas dinamakan demikian karena sebagian besar terdiri dari wilayah lama Gerar, dan pada waktu itu Beersheba termasuk dalam wilayahnya. Tell Jemeh, sebuah bukit penting di sebelah selatan Gaza, yang sebagian besar telah digali oleh Flinders Petrie pada tahun 1927, olehnya dikenali sebagai Gerar. Sejumlah ahli meragukan akan hal ini.... dan lebih suka memilih Tell esh-Sheri'a di barat laut Beersheba sebagai Gerar. Namun menurut sebuah laporan pada tahun 1961, arkeolog-arkeolog Israil telah menemukan sebuah bukit tidak jauh dari tempat itu, di jalan antara Beersheba dan Gaza, Tell Abu Hureira, dengan peninggalan-peninggalan pra-Hyksos, lebih penting dari kedua tell itu, dan mempunyai persamaan dengan Gerar (bandingkan dengan Simons, alinea 369).
Suatu problema dalam pencarian Gerar antara Beersheba dan Gaza timbul dari kenyataan bahwa kota ini digambarkan pada Kejadian 20 sebagai terletak antara Kadesh (qds) dan Shur (swr). Tetapi tidak ada tempat yang menyandang nama-nama seperti itu yang dapat dikenali di daerah Gaza-Beersheba pada masa ini, kalau kita menganggap daerah ini mungkin merupakan Geraritike dari zaman Rumawi. Sebenarnya, pengenalan terhadap kedua tempat yang disamakan dengan lokasi-lokasi di Palestina bagian selatan dan di semenanjung Sinai sangat lemah. Kraeling menyimpulkan:
Titik Kadesh mungkin merupakan sebuah titik tetap (hal. 69)... Kadesh terletak di segitiga el 'Arish - Raphia - Qoseimeh, yang jelas merupakan suatu distrik tunggal di seluruh daerah Sinai. Di sini sebuah kelompok suku pengembara yang besar pun dapat menetap untuk waktu yang tak terbatas. Survei terhadap daerah Negeb di Israil oleh Nelson Glueck... sejak tahun 1951, telah membuktikan kenyataan bahwa tempat ini pernah dihuni oleh orang-orang dalam jumlah yang cukup besar pada pertengahan Zaman Perunggu dan lagi pada Zaman Besi II, dan kemudian pada Zaman Nabataea dan pada akhir zaman Rumawi... Sebuah tempat yang bernama 'Ain Qedeis telah ditemukan pada tempat yang layak pada tahun 1842, oleh J. Rowlands... Tempat itu kemudian ditemukan kembali oleh H.C. Trumbull yang mengumumkannya pada tahun 1884. Di dekatnya, sebuah tempat yang bernama 'Ain el-Qhudeirat, yang merupakan sebuah mata air yang lebih melimpah, terdapat sebuah bukit yang menandakan sebuah perkampungan dengan pecahan-pecahan barang tanah dari Zaman Besi. Menurut Glueck, ini merupakan lokasi utama dari Zaman Besi di seluruh daerah itu (hal. 117)... Shur dianggap sebagai kata Ibrani untuk garis pertahanan Mesir di Genting Tanah Suez, meskipun kata itu, yang berarti 'tembok', tidak menggambarkan pertahanan ini secara tepat. Menurut arkeolog Perancis Cledat, yang menyelidiki daerah itu, tampaknya terdiri dari pos-pos pertahanan yang tidak saling menyambung. Bagaimanapun juga, jalan menuju Shur (drk _wr, Kejadian 16:7) mungkin merupakan jalur transportasi kuno ke Mesir dari Beersheba, dinamakan Darb el Shur oleh Wooley dan Lawrence, dan melewati Khalasa, Ruheibeh, Bir Birein', Muweileh ke arah selatan (hal. 69).
Pendeknya, terletaknya Kadesh dan Shur di selatan Palestina dan Sinai merupakan tidak lebih dari suatu dugaan saja, hanya sebuah dugaan yang mengasal. Perlu pula dicatat bahwa tidak ada Gerar yang dapat ditemukan antara 'Ayn Qudays dan daerah genting Suez. Kalaupun Gerar terletak di sana, bagaimanapun juga letaknya mestinya jauh dari Gaza dan bir al-Sab', yang samasekali tidak menolong kita.
Kesulitan dalam menempatkan Gerar di Palestina dilipatgandakan oleh referensi mengenai tempat ini dalam Tawarikh II 14. Di sini kota ini nampaknya dimiliki oleh bangsa Kusy (h-kwsym), yang biasanya disamakan dengan bangsa 'Etiopia', terutama karena teks-teks Bibel sering menghubungkan Kusy, atau kws dengan msrym, yang selama ini dianggap berarti 'Mesir' (mengingat bahwa Etiopia adalah tetangga Mesir di sebelah selatan). Dalam Septuaginta Yunani kata Ibrani kws terkadang diubah melalui transliterasi, dan terkadang diterjemahkan secara bebas sebagai Aithiopia atau Aithiopes, dan hal ini mendorong para ahli Bibel modern untuk menyamakan tempat ini dengan Etiopia. Andaikata bangsa Kusy benar-benar adalah bangsa Etiopia, adalah lazim bila seseorang bertanya bagaimana mereka dapat menguasai suatu daerah di Palestina yang jauh itu? Mungkinkah bangsa Etiopia tersebut merupakan bangsa Mesir pada abad ke-duapuluhlima atau dinasti 'Etiopia' (716-656 S.M.)? Rasanya ini tak boleh jadi, mengingat bahwa mereka memerangi Asa, yang kekuasaannya sebagai raja telah berakhir sekitar satu setengah abad sebelumnya. Di sini Kraeling lagi (hal. 217) menggambarkan bagaimana kesulitan ini yang sejauh kini telah terpecahkan:
Kisah dalam Tawarikh... menegaskankan pengetahuan (sic) tentang sebuah pendudukan pada zaman pemerintahan Asa oleh Zerah dari Kusy atau Zerah dari Etiopia... Bangsa Etiopia tidak memegang kekuasaan di Mesir sebelum ada berikutnya, maka orang Kusy ini tentunya bukan seorang Fir'aun, namun mungkin ia adalah seorang gubernur Mesir dari kerajaan 'Sungai kecil Mesir' dan daerah dalam kekuasaan Mesir di sebelah utaranya sampai sejauh Gerar. Kita juga mendengar dari tempat lain bahwa 'putra-putri Ham' (dengan kata lain, Kusy) tinggal bersebelahan dengan suku Simeon di daerah selatan. (Tawarikh I 4:3a) dan Gedor (mengenai penyangkalan hal yang belakangan ini, lihat Simons, alinea 322).
Perlu ditambahkan pula di sini bahwa Mareshah (atau mrsh) dan dari sini 'Zerah dari Etiopia' mencapai serangannya terhadap Yudah, telah dikenali dengan sebuah Tall Sandahannah di Palestina bagian selatan, 'yang juga menandakan Maris Greco Rumawi... di sebelah timur hirbet mer'ash, yang nama kunonya masih ada' (Simons, alinea 318). Sebenarnya 'Mer'ash' (mr's) dan 'Mareshah' (mrsh) samasekali tidak merupakan nama yang sama, dan hanya mungkin terlihat sama oleh mereka yang bukan pemakai bahasa Semit, yang mengabaikan desahan tekak yang disuarakan pada nama yang pertama, karena mereka tidak dapat mengucapkannya. 'Lembah Zephathah' (gy' spth) telah membuat pengenalan atasnya begitu sulit sampai-sampai tidak ada yang mencoba untuk menerka lokasinya --betapa pun ngawur terkaan itu. Salah satu penjelasan mengenai hal ini ialah bahwa bentuk Ibrani dari nama yang sama mungkin tidak lebih dari suatu ketidak jelasan teks (Simons, alinea 254), penjelasan yang bukan merupakan pemecahan yang memuaskan bagi problema ini.
Untuk meringkaskan, kita dapat menyimpulkan yang berikut ini:
Pengenalan terhadap Gerar menurut Injil di Palestina belum memberikan hasil yang memuaskan, dan tidak ada tempat-tempat di sana yang masih memakai nama itu.
Telah ada dugaan bahwasanya mestinya Gerar terletak di Palestina bagian selatan, karena Kejadian 10 menyebutkan tempat itu berhubungan dengan sebuah 'zh, yang diperkirakan adalah Gaza di Palestina, sedangkan Kejadian 26 menyebutnya berhubungan dengan sebuah sb'h atau b'r sb', yang diperkirakan adalah Bir al-Sab' di Palestina, yang sekarang biasa disebut Beersheba.
Kalau kita menganggap bahwa Kadesh menurut Bibel adalah oase 'Ayn Qudays di dekat Wadi Al-'Arish, dan bahwa Shur metinya terletak lebih jauh ke arah barat Sinai, di dekat genting tanah Suez, maka Gerar tidak mungkin terletak di antara Beersheba dan Gaza, dan juga antara Kadesh dan Shur, sebagaimana ditegaskan dalam Kejadian 20.
Kalau bangsa Kusy benar-benar adalah orang-orang Etiopia, dan Gerar terletak di selatan Palestina, maka kekuasaan atas Gerar oleh bangsa 'Kusy' sebagaimana dijelaskan dalam Tawarikh II 14, tidak dapat dijelaskan dengan mudah.
Guna membongkar misteri Gerar, mungkin paling baik jika kita memulai dengan bukti-bukti yang diberikan oleh Tawarikh II 14, dengan cara memastikan siapa sebenarnya bangsa Kusy itu. 'Kusy' seperti telah dikatakan tadi dihubungkan dengan msrym, yang jelas berarti Mesir dalam beberapa sebutan menurut Bibel (contohnya Raja-raja I 14:25f; Tawarikh II 12:2f; dan juga Raja-raja II 23:29; Tawarikh II 35:20f; Yeremia 46:2). Di tempat-tempat lain dalam Bibel, seperti yang akan kita lihat, nama msrym dapat menandakan satu di antara lokasi di Arabia Barat, termasuk dusun Misramah (msrm) di dataran tinggi Asir, antara Abha dan Khamis Mushait, atau dusun Masr (msr) di Wadi Bishah, di pedalaman Asir. Jika mencari kws (atau 'Kusy') di daerah itu, seseorang dapat dengan mudah menemukannya sebagai Kuthah (kwt), dekat Khamis Mushait. Ini merupakan sebuah oase yang terletak di hulu Wadi Bishah, dan oleh karena itu di daerah itu Masr dapat dijumpai. Di daerah Khamis Mushait yang sama terdapat oase Qararah (qrr) dan Ghurayrah (gryr, atau grr) salah satu dari Gerar-gerar dalam Bibel. Di dekatnya terdapat pula oase Shaba'ah (sb'h atau sb'), yang mestinya adalah 'Shibah' atau 'Beersheba' yang tertera dalam Bibel. Kalau pembaca menganggap bahwa hal ini sukar untuk dipercaya, pertimbangkanlah hal yang berikut ini, yang tampaknya membereskan argumentasi .
No comments:
Post a Comment