Di tempat yang sama, 2.000 tahun setelah kematian Yesus, beberapa ratus penutur Bahasa Aram -- kemungkinan besar keturunan orang-orang yang mendengarkan khotbah pertama Yesus di tempat itu -- menggelar pesta kecil setelah Israel secara resmi mengakui penutur Bahasa Aram sebagai etnis Aram.
Tidak ada penjelasan apakah Bahasa Aram menjadi bahasa resmi kesekian, dan masuk ke dalam konstitusi. Orang-orang Aram seolah tidak menuntut sejauh itu. Mereka hanya ingin diakui, dan dikeluarkan dari komunitas Arab.
Entah berapa lama penutur Bahasa Aram berjuang mendapatkan pengakuan. Yang pasti, pengakuan dari Israel akan membuat mereka memiliki kesempatan mengembangkan kembali bahasa ini.
Shadi Khalloul, mantan kapten Israel, adalah tokoh penting dalam perjuangan ini. Ia tak lelah melobi pemerintah Israel, agar mengakui penutur Bahasa Aram sebagai etnis tersendiri.
Yacov, putra Khalloul yang berusia dua tahun, tercatat sebagai orang pertama yang terdaftar sebagai etnis Aram dalam administrasi kependudukan pemerintah Israel.
"Ini masalah spiritual," ujar Khalloul. "Saya kini merasa sederajat dengan Yahudi, Arab, Druze, Circassians, Italia, dan Yunani," lanjutnya.
Khalloul, yang diterima di militer Israel, yakin nenek moyangnya akan bangga. Penduduk Desa Jish, dan Gereja Maronit, juga larut dalam perasaan yang sama.
Mereka merasa tersanjung ketika Mendagri Israel Gidon Saar mengatakan; "Aram menderita penganiayaan dan diskriminasi selama berabad-abad. Israel, yang dibangun sebagai rumah Yahudi, setelah mengalami penindasan sekian lama, harus melindungi minoritas ini dan memungkinkan setiap orang Aram menjaga budaya dan warisannya."
Namun, pesta itu terlalu kecil, bahkan untuk Desa Jish yang berpenduduk 3.000 orang. Mayoritas pemukim desa ini adalah Arab Kristen, yang merasa terikat pada akarnya yaitu Palestina.
Marvat Marun, salah satu penduduk desa itu, mengatakan: "Orang Aram itu malu disebut Arab, tapi saya tidak. Saya orang Arab, pemeluk Kristen Maronit. Saya bangga dengan akar saya yang Palestina."
Basel Ghattas, anggota Knesset dari Partai Balad -- yang mewakili pemukim Arab di Israel -- mengatakan pengakuan Tel Aviv terhadap Aram adalah cara Yahudi menabur perpecahan dan permusuhan di antara penduduk Arab.
"Ini kebijakan pecah dan kuasai," ujar Ghattas, seorang Arab dan pemeluk Kristen. "Israel berusaha memecah suku-suku Arab menjadi minoritas nasional yang diakui, dan membenturkannya."
Penolakan terhadap pengakuan etnis Aram juga disuarakan Majelis Ordinaries Katolik Komisi Keadilan dan Perdamaian, Gereja Katolik Tanah Suci. Lembaga ini menyeru kepada mereka yang berusaha mengubah daftar etnis untuk menggunakan akal sehat.
"Kira orang Kristen, Arab, dan Palestina," demikian pernyataan lembaga itu. "Israel tidak membutuhkan Arab Kristen yang cacat identitas dan diposisikan sebagai musuh Yahudi, tapi dijadikan tentara untuk memerangi Palestina."
Menurut Gereja Katolik, adalah penting untuk setiap kepada identitas sebagai orang Arab dan Kristen, sebagai orang Palestina, dan pembawa damai.
Pastor Yousef Yakoub, pemimpin Gereja Maronit di Haifa, mengambil pendekatan lebih lunak. "Ini bukan panggilan gereja untuk campur tangan dalam cara orang mengidentifikasi diri. Gereja membangun budaya persekutuan dan keterbukaan kepada orang lain."
Tidak jelas berapa banyak yang akan mendaftar, dan memenuhi syarat, untuk dianggap sebagai etnis Aram. Mendagri Israel juga belum secara resmi menetapkan aturan ini, kendati putra balita Khalloul telah didaftarkan. Bukan tidak mungkin anak Khalloul menjadi satu-satunya etnis Aram yang terdaftar.
Chen Bram, antropolog Universitas Ibrani, mengatakan perjuangan penutur Aram Galilea dapat dilihat dalam konteks politik lebih luas, yaitu betapa sulit menjadi orang Arab di Isarel. Serta, ada polarisasi yang berkembang di masyarakat Israel.
Masyarakat Israel memiliki hirarki de facto. Orang Yahudi, kata Bram, berada di atas. Mereka yang dipandang lebih dekat ke Palestina dianggap rendahan.
"Mereka yang tidak ingin dianggap rendah oleh orang Yahudi berusaha mengakampanyekan diri mereka bukan Arab. Penutur Bahasa Aram melakukannya," demikian analisis Bram.
"Ketika Anda membedakan diri dari Arab, akan lebih mudah menjalin kontak dengan pihak berwenang pemerintah Israel," lanjutnya.
Pemukim Arab di Israel berjumlah 8.2, atau seperlima dari populasi negeri Yahudi itu. Sebagian besar dari mereka, atau 83 persen, adalah Muslim. Delapan persen Kristen, dan sisanya Druze.
Fady Mansour (36) berniat mendaftar sebagai etnis Aram karena termotivasi oleh kemajuan sosial Israel. "Dalam masyarakat Israel, Arab adalah rendahan. Jika saya menjadi orang Aram, saya tidak perlu takut lagi ketika orang Israel mengatakan 'matilah Arab," ujarnya.
Menurut Bram, pengakuan formal status Aram terkait dengan dorongan Israel untuk merekrut Arab Kristen ke dalam militer. Dalam bahasa yang lain, orang Yahudi sedang memisahkan Arab Kristen dan Muslim untuk kepentingan jangka panjang.
Secara tradisional, Arab Kristen berdiri di samping Arab Muslim ketika menghadapi isu-isu Israel-Palesetina. Artinya, mereka tidak akan mau terlibat di militer Israel.
"Tidak aneh jika muncul kontroversi besar di komunitas Kristen, ketika Israel mengakui Aram sebagai etnis terpisah dari Arab," ujar Bram.
Lebih menarik lagi, menurut Bram, orang-orang Arab Kristen yang mengaku sebagai etnis Aram punya tujuan lain; kembali ke Desa Birim dan mendapatkan tanah moyang mereka.
Banyak penduduk Desa Jish memiliki akar di Birim, desa Arab Kristen Maronite yang dicaplok Israel tahun 1948. Seluruh penghuni desa diusir, dan tahun 1953 Israel meratakan seluruh bangunan desa kecuali gereja dan menara loncengnya.
Beberapa tahun kemudian Arab Kristen dari Birim melakukan perlawanan hukum. Arab Kristen ingin kembali ke Birim, dan membangun desa mereka.
Dari sinilah Israel melihat peluang memecah Arab Kristen dan Muslim. Merka yang tidak lagi mengidentifikasi diri sebagai Arab diperboleh kembali ke Birim.
Khalloul salah satunya. "Saya tidak peduli dengan hak mereka, perjuangan Palestina, atau apa pun. Saya ingin kembali dan membangun Desa Aram,'' ujar Khalloul.
Nadim Issa (59) mengatakan kelak akan tiba kita membangun kembali Birim. "Israel tidak hanya memberi kami status etnis, tapi juga tanah di Birim," lanjutnya.
Pertanyaannya, apakah semua orang yang melepas status Arab-nya terutama yang Kristen akan diberi label etnis Aram, meski mereka bukan penutur Bahasa Aram? Jika ya, akan ada berapa juta orang Aram yang tidak bisa berbahasa Aram yang bermukim di Israel.
Bahasa Sekarat
Aram, bahasa Semit yang berhubungan engan Ibrani dan Arab, pernah menjadi ayng digunakan Kekaiaran Assyria, Perisa, dan menjadi lingua franca masyarakat Yahudi, dan bahasa dalam kitab suci.
Seiring waktu, Bahasa Aramaic terdegradasi menjadi bahasa liturgi, bahasa teologi, dan akhirnya lenyap akibat Helenisasi. Namun muncul lagi dan menjadi bahasa umum di Yerusalem, terutama di masa Nabi Isa atau Yesus Kristus.
Saat itu Bahasa Ibrani hanya digunakan oleh bangsawan Isarel. Bahasa Aram digunakan orang kebanyakan. Yesus berbicara dalam Bahasa Aram dalam dakwanya ke masyarakat non-Yahudi, yang membuat ia dikucilkan para rabbi.
Di era modern, Bahasa Aram menjadi perdebatan menarik ketika tahun 1945 ditemukan gulungan teks di Desa Nag Hammadi, Mesir. Gulungan itu diselundupkan ke London, dan diterbitkan sebagai Injil Thomas.
Terakhir, Bahasa Aram digunakan dalam film The Passion of the "Christ, terutama saat Yesus berbicara dengan murid-muridnya dari warga biasa.
Saat berkunjung ke Yerusalem, Mei lalu, Paus Fransiskus dan PM Israel Benjamin Netanyahu sempat berselisih singkat di depan kamera, mengenagi bahasa yang digunakan Yesus saat berdakwah.
"Yesus ada di sini. Di negeri ini. Dia berbicara dalam Bahasa Ibrahi," ujar PM Netanyahu.
Paus Fransiskus menyela; "Bahasa Aram." Netanyahu membalas; "Dia berbicara dalam Bahasa Aram, tapi tahu Bahasa Ibrani."
Eleanor Coghill, pakar bahasa Universitas Konstanz dan peneliti proyek database Cambridge neo-Aramaic, mengatakan perang saudara di Suriah dan kemunculan ISIS berdampak buruk bagi masyarakat penutur Bahasa Aram yang masih tinggal wilayah historisnya.
"Banyak orang tertarik mempelajari bahasa ini, tapi sangat sulit menjadikan Aram sebagai bahasa yang hidup," ujar Coghill.
Khalloul mengajarkan Bahasa Aram kepada anak-anak di Desa Jish -- desa kecil di perbatasan Lebanon penghuninya kebanyakan Muslim dan berbicara dalam Bahasa Arab.
"Saya merasa generasi muda tersesa, dan membiarkan warisan memudar," ujar Khalloul. "Kami pergi ke gereja, dan membaca Aram seperti burung beo. Kami bisa membaca huruf Aram, tapi tidak tahu bahasanya."
Menurut Khalloul, Bahasa Aram harus dilindungi, bukan ditinggalkan akibat globalisasi dan Arabisasi.
Tidak ada penjelasan apakah Bahasa Aram menjadi bahasa resmi kesekian, dan masuk ke dalam konstitusi. Orang-orang Aram seolah tidak menuntut sejauh itu. Mereka hanya ingin diakui, dan dikeluarkan dari komunitas Arab.
Entah berapa lama penutur Bahasa Aram berjuang mendapatkan pengakuan. Yang pasti, pengakuan dari Israel akan membuat mereka memiliki kesempatan mengembangkan kembali bahasa ini.
Shadi Khalloul, mantan kapten Israel, adalah tokoh penting dalam perjuangan ini. Ia tak lelah melobi pemerintah Israel, agar mengakui penutur Bahasa Aram sebagai etnis tersendiri.
Yacov, putra Khalloul yang berusia dua tahun, tercatat sebagai orang pertama yang terdaftar sebagai etnis Aram dalam administrasi kependudukan pemerintah Israel.
"Ini masalah spiritual," ujar Khalloul. "Saya kini merasa sederajat dengan Yahudi, Arab, Druze, Circassians, Italia, dan Yunani," lanjutnya.
Khalloul, yang diterima di militer Israel, yakin nenek moyangnya akan bangga. Penduduk Desa Jish, dan Gereja Maronit, juga larut dalam perasaan yang sama.
Mereka merasa tersanjung ketika Mendagri Israel Gidon Saar mengatakan; "Aram menderita penganiayaan dan diskriminasi selama berabad-abad. Israel, yang dibangun sebagai rumah Yahudi, setelah mengalami penindasan sekian lama, harus melindungi minoritas ini dan memungkinkan setiap orang Aram menjaga budaya dan warisannya."
Namun, pesta itu terlalu kecil, bahkan untuk Desa Jish yang berpenduduk 3.000 orang. Mayoritas pemukim desa ini adalah Arab Kristen, yang merasa terikat pada akarnya yaitu Palestina.
Marvat Marun, salah satu penduduk desa itu, mengatakan: "Orang Aram itu malu disebut Arab, tapi saya tidak. Saya orang Arab, pemeluk Kristen Maronit. Saya bangga dengan akar saya yang Palestina."
Basel Ghattas, anggota Knesset dari Partai Balad -- yang mewakili pemukim Arab di Israel -- mengatakan pengakuan Tel Aviv terhadap Aram adalah cara Yahudi menabur perpecahan dan permusuhan di antara penduduk Arab.
"Ini kebijakan pecah dan kuasai," ujar Ghattas, seorang Arab dan pemeluk Kristen. "Israel berusaha memecah suku-suku Arab menjadi minoritas nasional yang diakui, dan membenturkannya."
Penolakan terhadap pengakuan etnis Aram juga disuarakan Majelis Ordinaries Katolik Komisi Keadilan dan Perdamaian, Gereja Katolik Tanah Suci. Lembaga ini menyeru kepada mereka yang berusaha mengubah daftar etnis untuk menggunakan akal sehat.
"Kira orang Kristen, Arab, dan Palestina," demikian pernyataan lembaga itu. "Israel tidak membutuhkan Arab Kristen yang cacat identitas dan diposisikan sebagai musuh Yahudi, tapi dijadikan tentara untuk memerangi Palestina."
Menurut Gereja Katolik, adalah penting untuk setiap kepada identitas sebagai orang Arab dan Kristen, sebagai orang Palestina, dan pembawa damai.
Pastor Yousef Yakoub, pemimpin Gereja Maronit di Haifa, mengambil pendekatan lebih lunak. "Ini bukan panggilan gereja untuk campur tangan dalam cara orang mengidentifikasi diri. Gereja membangun budaya persekutuan dan keterbukaan kepada orang lain."
Tidak jelas berapa banyak yang akan mendaftar, dan memenuhi syarat, untuk dianggap sebagai etnis Aram. Mendagri Israel juga belum secara resmi menetapkan aturan ini, kendati putra balita Khalloul telah didaftarkan. Bukan tidak mungkin anak Khalloul menjadi satu-satunya etnis Aram yang terdaftar.
Chen Bram, antropolog Universitas Ibrani, mengatakan perjuangan penutur Aram Galilea dapat dilihat dalam konteks politik lebih luas, yaitu betapa sulit menjadi orang Arab di Isarel. Serta, ada polarisasi yang berkembang di masyarakat Israel.
Masyarakat Israel memiliki hirarki de facto. Orang Yahudi, kata Bram, berada di atas. Mereka yang dipandang lebih dekat ke Palestina dianggap rendahan.
"Mereka yang tidak ingin dianggap rendah oleh orang Yahudi berusaha mengakampanyekan diri mereka bukan Arab. Penutur Bahasa Aram melakukannya," demikian analisis Bram.
"Ketika Anda membedakan diri dari Arab, akan lebih mudah menjalin kontak dengan pihak berwenang pemerintah Israel," lanjutnya.
Pemukim Arab di Israel berjumlah 8.2, atau seperlima dari populasi negeri Yahudi itu. Sebagian besar dari mereka, atau 83 persen, adalah Muslim. Delapan persen Kristen, dan sisanya Druze.
Fady Mansour (36) berniat mendaftar sebagai etnis Aram karena termotivasi oleh kemajuan sosial Israel. "Dalam masyarakat Israel, Arab adalah rendahan. Jika saya menjadi orang Aram, saya tidak perlu takut lagi ketika orang Israel mengatakan 'matilah Arab," ujarnya.
Menurut Bram, pengakuan formal status Aram terkait dengan dorongan Israel untuk merekrut Arab Kristen ke dalam militer. Dalam bahasa yang lain, orang Yahudi sedang memisahkan Arab Kristen dan Muslim untuk kepentingan jangka panjang.
Secara tradisional, Arab Kristen berdiri di samping Arab Muslim ketika menghadapi isu-isu Israel-Palesetina. Artinya, mereka tidak akan mau terlibat di militer Israel.
"Tidak aneh jika muncul kontroversi besar di komunitas Kristen, ketika Israel mengakui Aram sebagai etnis terpisah dari Arab," ujar Bram.
Lebih menarik lagi, menurut Bram, orang-orang Arab Kristen yang mengaku sebagai etnis Aram punya tujuan lain; kembali ke Desa Birim dan mendapatkan tanah moyang mereka.
Banyak penduduk Desa Jish memiliki akar di Birim, desa Arab Kristen Maronite yang dicaplok Israel tahun 1948. Seluruh penghuni desa diusir, dan tahun 1953 Israel meratakan seluruh bangunan desa kecuali gereja dan menara loncengnya.
Beberapa tahun kemudian Arab Kristen dari Birim melakukan perlawanan hukum. Arab Kristen ingin kembali ke Birim, dan membangun desa mereka.
Dari sinilah Israel melihat peluang memecah Arab Kristen dan Muslim. Merka yang tidak lagi mengidentifikasi diri sebagai Arab diperboleh kembali ke Birim.
Khalloul salah satunya. "Saya tidak peduli dengan hak mereka, perjuangan Palestina, atau apa pun. Saya ingin kembali dan membangun Desa Aram,'' ujar Khalloul.
Nadim Issa (59) mengatakan kelak akan tiba kita membangun kembali Birim. "Israel tidak hanya memberi kami status etnis, tapi juga tanah di Birim," lanjutnya.
Pertanyaannya, apakah semua orang yang melepas status Arab-nya terutama yang Kristen akan diberi label etnis Aram, meski mereka bukan penutur Bahasa Aram? Jika ya, akan ada berapa juta orang Aram yang tidak bisa berbahasa Aram yang bermukim di Israel.
Bahasa Sekarat
Aram, bahasa Semit yang berhubungan engan Ibrani dan Arab, pernah menjadi ayng digunakan Kekaiaran Assyria, Perisa, dan menjadi lingua franca masyarakat Yahudi, dan bahasa dalam kitab suci.
Seiring waktu, Bahasa Aramaic terdegradasi menjadi bahasa liturgi, bahasa teologi, dan akhirnya lenyap akibat Helenisasi. Namun muncul lagi dan menjadi bahasa umum di Yerusalem, terutama di masa Nabi Isa atau Yesus Kristus.
Saat itu Bahasa Ibrani hanya digunakan oleh bangsawan Isarel. Bahasa Aram digunakan orang kebanyakan. Yesus berbicara dalam Bahasa Aram dalam dakwanya ke masyarakat non-Yahudi, yang membuat ia dikucilkan para rabbi.
Di era modern, Bahasa Aram menjadi perdebatan menarik ketika tahun 1945 ditemukan gulungan teks di Desa Nag Hammadi, Mesir. Gulungan itu diselundupkan ke London, dan diterbitkan sebagai Injil Thomas.
Terakhir, Bahasa Aram digunakan dalam film The Passion of the "Christ, terutama saat Yesus berbicara dengan murid-muridnya dari warga biasa.
Saat berkunjung ke Yerusalem, Mei lalu, Paus Fransiskus dan PM Israel Benjamin Netanyahu sempat berselisih singkat di depan kamera, mengenagi bahasa yang digunakan Yesus saat berdakwah.
"Yesus ada di sini. Di negeri ini. Dia berbicara dalam Bahasa Ibrahi," ujar PM Netanyahu.
Paus Fransiskus menyela; "Bahasa Aram." Netanyahu membalas; "Dia berbicara dalam Bahasa Aram, tapi tahu Bahasa Ibrani."
Eleanor Coghill, pakar bahasa Universitas Konstanz dan peneliti proyek database Cambridge neo-Aramaic, mengatakan perang saudara di Suriah dan kemunculan ISIS berdampak buruk bagi masyarakat penutur Bahasa Aram yang masih tinggal wilayah historisnya.
"Banyak orang tertarik mempelajari bahasa ini, tapi sangat sulit menjadikan Aram sebagai bahasa yang hidup," ujar Coghill.
Khalloul mengajarkan Bahasa Aram kepada anak-anak di Desa Jish -- desa kecil di perbatasan Lebanon penghuninya kebanyakan Muslim dan berbicara dalam Bahasa Arab.
"Saya merasa generasi muda tersesa, dan membiarkan warisan memudar," ujar Khalloul. "Kami pergi ke gereja, dan membaca Aram seperti burung beo. Kami bisa membaca huruf Aram, tapi tidak tahu bahasanya."
Menurut Khalloul, Bahasa Aram harus dilindungi, bukan ditinggalkan akibat globalisasi dan Arabisasi.
No comments:
Post a Comment