Konsili Ekumenis dalam Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Timur adalah pertemuan seluruh uskup keseluruhan Gereja untuk membahas dan mengambil keputusan yang menyangkut doktrin Gereja dan aturan praktisnya. Kata ekumene berasal dari bahasa Yunani Οικουμένη (oikumene), secara harfiah berarti 'didiami' atau 'dihuni', berasal dari istilah yang dipakai untuk menunjukkan wilayah Kekaisaran Romawi, karena konsili-konsili yang pertama dilaksanakan dalam teritori Kekaisaran Romawi. Kata ekumene selanjutnya mengalami perluasan makna, menunjukkan seluruh tempat yang dihuni oleh umat manusia, dengan kata lain, seluruh dunia.
"Keseluruhan Gereja" di sini dipahami oleh kebanyakan orang Kristen Ortodoks Timur berarti mencakup seluruh yurisdiksi Ortodoks Timur dalam persekutuan penuh satu sama lain. Ini tidak mencakup Gereja Katolik Roma atau para anggotanya dari Ritus Timur. Segelintir kaum Ortodoks menganggap sebuah konsili sepenuhnya ekumenis hanya apabila konsili itu melibatkan semua patriarkhat kuno, termasuk Roma. Namun ini bukan pandangan arus utama Ortodoks. Demikian pula, Gereja Katolik Roma memahami keseluruhan Gereja dalam arti hanya mereka yang berada dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik (Roma). Lagi-lagi, beberapa orang Katolik menganggap bahwa sebuah konsili ekumenis harus melibatkan Gereja-gereja Timur, dalam pengertian selengkap-lengkapnya. Seperti yang sering dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II, Gereja perlu bernapas "dengan kedua paru-parunya" (namun dia tidak merujuk kepada Gereja-gereja Ritus Timur yang berada dalam persekutuan penuh dengan Roma). Pertemuan-pertemuan yang lebih bersifat setempat disebut "sinode", namun perbedaan antara sinode dengan konsili tidak begitu jelas dan tajam. Namun, kedua Gereja ini, dan banyak Gereja Protestan, memang mengakui keabsahan "Ketujuh Konsili Ekumenis", kecuali Konsili Quinisext yang ditolak oleh Katolik namun dianggap sebagai bagian dari Konsili ke-6 oleh Ortodoks.
Kata Yunani sinode (σύνοδος) berasal dari kata "sun" (bersama-sama) dan "hodos" (jalan), jadi sinode berarti berkumpulnya bersama-sama sejumlah orang yang memiliki suatu kesamaan, dalam hal ini para uskup Kristen.
Kisah para Rasul mencatat Sidang Yerusalem, yang membahas ketegangan antara mempertahankan praktik-praktik Yahudi dalam komunitas Kristen perdana dan orang-orang Kristen baru yang berasal dari latar belakang non-Yahudi. Meskipun keputusan-keputusannya diterima oleh semua orang Kristen dan tampaknya sesuai dengan sejumlah definisi di kemudian hari tentang konsili ekumenis, namun tak satu pun Gereja Kristen yang mencantumkannya dalam kategori konsili ekumenis mereka.
Dokumen-dokumen konsili
Sejak permulaan Konsili Gereja adalah sebuah kegiatan birokratis. Dokumen-dokumen tertulis diedarkan, pidato-pidato disampaikan dan ditanggapi, diadakan pengambilan suara dan dokumen-dokumen final diterbitkan dan diedarkan. Sebagian besar dari apa yang kita ketahui tentang keyakinan-keyakinan sesat berasal dari dokumen-dokumen yang dikutip dalam konsili untuk dibantah, atau sekadar dari kesimpulan-kesimpulan yang didasarkan pada bantahan-bantahan tersebut. Untuk semua Konsili Kanon-kanon (Yunani κανονες, "kanones", yaitu "aturan-aturan") diterbitkan dan bertahan. Dalam kasus-kasus tertentu, dokumentasi lainnya pun bertahan. Studi tentang kanon-kanon dari Konsili Gereja merupakan dasar dari pengembangan hukum kanon, khususnya meluruskan kanon-kanon yang tampaknya kontradiktif atau menentukan prioritas di antaranya. Kanon terdiri atas pernyataan-pernyataan doktriner dan langkah-langkah disipliner kebanyakan Konsili Gereja dan sinode lokal membahas masalah-masalah disipliner yang mendesak serta kesulitan-kesulitan besar menyangkut doktrin. Ortodoks Timur biasanya memandang kanon-kanon yang semata-mata bersifat doktriner sebagai dogmatika dan berlaku bagi seluruh Gereja pada segala masa, sementara kanon-kanon disipliner hanya merupakan penerapan dogma-dogma tersebut pada suatu masa dan tempat tertentu; kanon-kanon ini dapat diterapkan dalam situasi-situasi lain, dapat pula tidak diterapkan.
Ketujuh Konsili Ekumenis
1. Konsili Nicea Pertama, (325); menolak Arianisme, menerima Pengakuan Iman Nicea. Konsili ini dan semua konsili berikutnya sama sekali tidak diakui oleh Gereja-gereja nontrinitarian Arian, Unitarian, dan Saksi-saksi Yehuwa.
2. Konsili Konstantinopel Pertama, (381); merevisi Pengakuan Iman Nicea ke dalam bentuknya yang sekarang seperti yang digunakan oleh Gereja-gereja Timur dan Ortodoks Oriental dan melarang perubahan lebih lanjut terhadap Pengakuan Iman ini tanpa persetujuan dari sebuah Konsili Ekumenis.
3. Konsili Efesus, (431); menolak Nestorianisme, menyatakan Perawan Maria sebagai Bunda Allah (Yunani, Η Θεοτόκος). Konsili ini dan semua konsili berikutnya tidak diakui oleh Gereja Asiria.[1]
4. Konsili Khalsedon, (451); menolak doktrin Eutikus tentang monofisitisme, mendeskripsikan dan menekankan dua hakikat Kristus, manusiawi dan Ilahi; menerima Pengakuan Iman Khalsedon. Konsili ini dan semua konsili berikutnya tidak diakui oleh Persekutuan Ortodoks Oriental.
5. Konsili Konstantinopel Kedua, (553); mengukuhkan kembali keputusan-keputusan dan doktrin-doktrin yang dijelaskan oleh Konsili sebelumnya, mengutuk tulisan-tulisan baru Arian, Nestorian, dan Monofisit.
6. Konsili Konstantinopel Ketiga, (680–681); menolak Monothelitisme, mengukuhkan bahwa Kristus mempunyai kehendak manusiawi dan Ilahi.
Konsili Quinisext (= Kelima dan Keenam) atau Konsili di Trullo, (692); umumnya sebuah konsili administrative yang mengangkat sejumlah kanon lokal ke dalam status ekumenis dan menetapkan prinsip-prinsip disiplin para pejabat gerejawi. Konsili ini tidak dianggap sebagai Konsili yang lengkap karena tidak menentukan masalah-masalah doktrin. Konsili ini diterima oleh Gereja Ortodoks Timur sebagai bagian dari Konsili Ekumenis VI, tetapi hal itu ditolak oleh Katolik Roma.
7. Konsili Nicea Kedua, (787); pemulihan penghormatan terhadap ikon-ikon dan mengakhiri ikonoklasme pertama (Ditolak oleh banyak denominasi Protestan, yang sebaliknya lebih memilih Konsili Konstantinopel 754, yang mengutuk penghormatan terhadap ikon-ikon.)). Dalam konsili ini, integritas kemanusiaan Yesus Kristus kembali ditegaskan dengan bukti bahwa Ia dapat dilukis dalam ikon karena Ia benar-benar menjadi manusia yang dapat dilihat.[2].
Konsili no. 8 dan no. 9
no. 8 dan no. 9 untuk Gereja Katolik Roma
8 (KR). Konsili Konstantinopel Keempat, (869–870); menggulingkan Patriarkh Photios dari Konstantinopel (yang belakangan ditetapkan sebagai santo oleh Gereja Ortodoks) karena sejumlah penyimpangan yang terjadi dalam pengangkatannya sebagai patriarkh sedemikian rupa sehingga pendahulunya, St. Ignatius tidak secara sah disingkirkan. Penyingkiran ini tidak dapat diterima oleh Gereja Ortodoks Timur pada masa itu, tetapi terjadi dalam waktu beberapa tahun saja. Betapapun juga, setelah kematian St. Ignatius, Photios diangkat kembali sebagai Patriarkh dan berdamai dengan Kepausan.
Konsili Sutri, (1046); memecahkan pertikaian tentang kepausan.
9 (KR) Konsili Lateran Pertama, (1123); membahas salah satu masalah yang mendesak pada masa itu, persoalan hak-hak dari Gereja Katolik dan hak-hak Kaisar Romawi Suci sehubungan dengan pengangkatan uskup.
no. 8 dan no. 9 untuk sejumlah Ortodoks Timur
Dua konsili berikutnya dianggap ekumenis oleh sebagian pihak di kalangan Gereja Ortodoks tetapi tidak oleh orang Kristen Ortodoks Timur lainnya, yang sebaliknya menganggap mereka sebagai konsili lokal yang penting . Namun mereka diakui secara universal oleh semua Gereja Ortodok meskipun ekumenisitasnya tidak diakui.
8 (OT). Konsili Konstantinopel Keempat, (879–880); memulihkan St. Photius ke Takhta Sucinya di Konstantinopel dan mengutuk siapapun yang mengubah Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel.
9 (OT). Konsili Konstantinopel Kelima, (1341–1351); mengukuhkan teologi hesychastic menurut St. Gregorius Palamas dan mengutuk filsuf Barlaam dari Kalabria yang dianggap kebarat-baratan .
Sinode Yerusalem, (1672); mendefinisikan ortodoksi dalam hubungannya dengan Gereja Katolik Roma dan Protestanisme, mendefinisikan kanon Ortodoks Yunani.
Konsili no. 10 hingga no. 21 untuk Gereja Katolik Roma
10. Konsili Lateran Kedua, (1139); kebanyakan mengulangi Konsili Lateran Pertama. Pernikahan rohaniwan dinyatakan tidak sah, pakaian rohaniwan diatur, serangan-serangan terhadap kaum rohaniwan diganjar dengan ekskomunikasi
11. Konsili Lateran Ketiga, (1179); membatasi mereka yang berhak memilih paus hanya para kardinal, mengutuk simoni, melarang pengangkatan siapapun menjadi uskup sebelum berusia 30 tahun.
12. Konsili Lateran Keempat, (1215); membahas transubstansiasi, keutamaan Paus dan perilaku kaum rohaniwan. Juga memutuskan bahwa orang-orang Yahudi dan Muslim harus mengenakan pakaian khusus untuk membedakan mereka dari orang-orang Kristen.
13. Konsili Lyons Pertama, (1245); mengesahkan topi merah untuk para kardinal, dan pajak untuk Tanah Suci
14. Konsili Lyons Kedua, (1274); berusaha mempersatukan Gereja dengan Gereja-gereja Timur, menyetujui Ordo Fransiskan dan Dominikan, persepuluhan untuk mendukung perang salib, prosedur konklaf.
15. Konsili Wina, (1311–1312); membubarkan Ksatria Templar
Konsili Pisa, (1409) tidak diberikan nomor urut karena tidak dihimpunkan oleh seorang paus; konsili ini berusaha membatalkan skisma kepausan yang telah menciptakan Kepausan Avignon.
16. Konsili Konstanz, (1414–1418); memecahkan pertikaian tentang kepausan.
Konsili Siena, (1423–1424) dicabut dari daftar karena belakangan dicap sesat; merupakan puncak konsiliarisme, menekankan kepemimpinan para uskup yang berkumpul dalam Konsili.
17. Konsili Basel, Ferrara dan Firenze, (1431–1445); rekonsiliasi dengan Gereja Ortodoks, namun tidak diterima pada tahun-tahun berikutnya oleh orang-orang Kristen Timur. Dalam Konsili ini, juga dicapai kesatuan-kesatuan lain dengan berbagai Gereja Timur.
18. Konsili Lateran Kelima, (1512–1517); mengusahakan pembaruan Gereja.
19. Konsili Trente, (1545–1563, terputus-putus); tanggapan terhadap tantangan-tantangan dari Calvinisme dan Lutheranisme, memaksakan penyeragaman liturgi dalam Ritus Roma ("Misa Trente"), dengan jelas menetapkan kanon.
20. Konsili Vatikan Pertama, 1870; memperjelas doktrin infalibilitas kepausan; ditolak oleh Gereja Katolik Lama
21. Konsili Vatikan Kedua, (1962–1965); pembaruan terhadap liturgi Roma "sesuai dengan norma yang murni dari para Bapak Gereja ", dekret-dekret pastoral tentang hakikat Gereja dan hubungannya dengan dunia modern, pemulihan teologi tentang komuni, peningkatan studi Kitab Suci dan Alkitab, kemajuan ekumenis menuju rekonsilias dengan Gereja-gereja lain.
Penerimaan terhadap Konsili
Gereja Katolik Roma: menerima no. 1- no. 7, no. 8(KR), no. 9(KR), no. 10- no. 21
Baik Gereja Katolik Roma maupun Gereja Ortodoks Timur mengakui tujuh Konsili pada tahun-tahun permulaan Gereja, tetapi Gereja Katolik juga mengakui empat belas konsili yang dihimpunkan pada tahun-tahun kemudian oleh Paus, yang otoritasnya ditolak oleh Gereja Ortodoks Timur karena mereka menganggap Roma saat ini berada di dalam skisma. Status dari konsili-konsili ini di hadapan rekonsiliasi Katolik-Ortodoks akan tergantung pada apakah orang menerima eklesiologi Katolik Roma (keutamaan paus) atau eklesiologi Ortodoks (kerekanan dari otosefalus – atau pimpinan – Gereja-gereja). Dalam kasus yang pertama, Konsili-konsili yang lainnya akan mendapatkan status ekumenis. Dalam kasus yang belakangan, mereka akan dianggap sebagai sinode-sinode lokal yang tidak memiliki otoritas di antara Gereja-gereja otosefalus yang lainnya.
Tujuh konsili pertama dihimpunkan oleh kaisar (mula-mula oleh Kaisar Roma Kristen dan belakangan yang disebut Kaisar Bizantium, yaitu Kaisar-kaisar Romawi yang beribu kota di Timur). Kebanyakan sejarahwan sepakat bahwa kaisar-kaisar menghimpunkan Konsili untuk memaksa para uskup Kristen untuk memecahkan masalah-masalah yang memecah-belah dan untuk mencapai konsensus. Mereka berharap bahwa mempertahankan kesatuan di dalam Gereja akan menolong mempertahankan kesatuan wilayah Kekaisaran. Hubungan antara Kepausan dengan keabsahan Konsili-konsili ini merupakan dasar dari banyak pertikaian antara Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks Timur dan bagi para sejarahwan.
Gereja Ortodoks Timur: menerima no. 1- no. 7; sebagian juga menerima no. 8(OT), no. 9(OT)
Sejauh menyangkut sejumlah Gereja Ortodoks Timur, sejak Konsili Ekumenis Ketujuh tidak ada lagi sinode atau konsili dengan cakupan yang sama dengan Konsili Ekumenis manapun. Rapat-rapat lokal dari para pejabat hierarkhi dinamai "pan-Ortodoks", tetapi semua ini pada umumnya hanyalah sekadar rapat-rapat para pejabat hierarkhi lokal dari yurisdiksi Ortodoks Timur manapun yang menjadi bagian dari masalah lokal yang spesifik. Dari sudut pandangan ini, tidak ada Konsili yang sepenuhnya "pan-Ortodoks" (Ekumenis) sejak 787. Malangnya, penggunaan istilah "pan-Ortodoks" membingungkan bagi mereka yang bukan menjadi bagian dari Gereja Ortodoks Timur, dan hal ini membawa kepada kesan-kesan yang keliru bahwa semua ini adalah Konsili Ekumenis ersatz dan bukan semata-mata konsili lokal yang kepadanya para pejabat hierarkhi Ortodoks yang ada di dekatnya, apapun juga yurisdiksinya, diundang.
Yang lainnya, termasuk teolog abad ke-20 Metropolitan Hierotheos (Vlachos) dari Nafpaktos, Rm. John S. Romanides, dan Rm. George Metallinos (kesemuanya berulang-ulang merujuk kepada Konsili Ekumenis" Kedelapan dan Kesembilan), Rm. George Dragas, dan Ensiklik Para Patriarkh Timur 1848 (yang merujuk secara eksplisit kepada "Konsili Ekumenis Kedelapan" dan yang ditandatangani oleh para Patriarkh dari Konstantinopel, Yerusalem, Antiokhia, dan Alexandria serta Sinode-sinode Suci dari ketiga patriarkh yang pertama), menganggap sinode-sinode lainnya di luar Konsili Ekumenis Ketujuh sebagai konsili yang ekumenis. mereka yang menganggap konsili-konsili ini ekumenis seringkali menggambarkan keterbatasan dari Konsili Ekumenis hanya pada yang tujuh itu sebagai akibat dari pengaruh Yesuit di Rusia, sebagian dari apa yang disebut sebagai "Pembuangan Ortodoksi di Barat."
Protestanisme: menerima no. 1-no. 7 dengan catatan
Banyak Gereja Protestan (khususnya Gereja-gereja yang tergolong pada tradisi magisterial, seperti Lutheranisme dan Anglikanisme) menerima ajaran-ajaran dari ketujuh Konsili yang pertama, tetapi tidak mengakui wibawa Konsili itu pada tingkat yang sama seperti yang diberikan oleh Gereja Katolik dan Ortodoks Timur.
Sebagian Gereja Protestan, termasuk sejumlah Gereja fundamentalis dan nontrinitarian, mengutuk Konsili Ekumenis karena alasan-alasan lain. Independensi atau kongregasionalisme di antara kaum Protestan mencakup penolakan terhadap struktur pemerintahan (atau otoritas apapun yang mengikat) di atas jemaat-jemaat lokal. Karena itu ketaatan kepada keputusan-keputusan dari konsili-konsili dianggap semata-mata bersifat suka rela dan Konsili harus dianggap mengikat sejauh bahwa doktrin-doktrin tersebut diambil dari Kitab Suci. Banyak dari Gereja-gereja ini menolak gagasan bahwa ada suatu otoritas lain di luar para penulis Kitab Suci yang dapat secara langsung memimpin orang-orang Kristen lain melalui otoritas ilahi yang asli; setelah Perjanjian Baru, demikian mereka menyatakan, pintu-pintu pewahyuan telah ditutup. Mereka menganggap doktrin-doktrin baru yang bukan berasal dari kanon Kitab Suci yang telah disegel tidak mungkin dan tidak perlu – entah diusulkan oleh Konsili Gereja ataupun oleh nabi-nabi yang lebih baru. Para pendukung Konsili berpendapat bahwa Konsili tidak menciptakan doktrin-doktrin baru melainkan semata-mata menerangi doktrin-doktrin yang sudah ada di dalam Kitab Suci yang telah terlupakan.
Oriental Ortodoksi: menerima no. 1, no. 2, dan no. 3
Persekutuan Ortodoks Oriental hanya menerima Nicea I, Konstantinopel I dan Konsili Efesus.
Gereja Asiria: menerima no. 1, dan no. 2
Gereja Asiria di Timur hanya menerima Konsili Nicea Pertama dan Konsili Konstantinopel Pertama.
Mormonisme: tak menerima satupun
Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir menolak Konsili Ekumenis pada abad-abad pertama karena apa yang mereka anggap sebagai upaya manusia yang sesat tanpa bantuan ilahi untuk memutuskan masalah-masalah doktrin seolah-olah doktrin harus diturunkan melalui perdebatan demokratis atau politik ketimbang melalui pewahyuan. Penghimpunan Konsili seperti itu bahkan dianggap sebagai cukup bukti bahwa Gereja Kristen yang asli telah jatuh ke dalam kemurtadan dan tidak lagi secara langsung dipimpin oleh otoritas ilahi. Mereka menganggap penghimpunan Konsili seperti itu, misalnya, oleh seorang Kaisar Roma, yang belum dibaptiskan (apalagi tidak ditahbiskan) sebagai sebuah tindakan yang absurd dan menegaskan bahwa kaisar-kaisar itu menggunakan Konsili untuk menunjukkan pengaruh mereka dalam membentuk dan melembagakan agama Kristen sesuai dengan selera mereka.
Gereja-gereja Nontrinitarian: tak menerima satupun
Konsili yang pertama dan konsili-konsili yang berikutnya tidak diakui oleh Gereja-gereja nontrinitarian: Arian, Unitarian, Saksi-Saksi Yehuwa dll.
Hubungan antara Gereja Katolik Roma dan Gereja Ortodoks Timur
Dalam beberapa puluh tahun terakhir banyak teolog Katolik Roma dan bahkan sejumlah Paus telah berbicara tentang ketujuh Konsili pertama sebagai ekumenis dalam pengertian "lengkap dan selayaknya", mendapatkan penerimaan oleh Gereja Timur maupun Barat. Lebih dari itu, Paus Yohanes Paulus II, dalam ensikliknya Ut Unum Sint ("Agar mereka kiranya menjadi satu"), mengundang orang-orang Kristen lainnya untuk membicarakan bagaimana keutamaan Uskup Roma selayaknya diterapkan sejak sekarang. Ia berkata bahwa masa depan mungkin dapat menjadi pembimbing yang lebih baik daripada masa lalu. Dalam cara ini, Uskup Roma memungkinkan pengembangan sebuah eklesiologi yang akan lebih dapat diterima oleh Timur dan Barat, yang akan memungkinkan rekonsiliasi antara Gereja Katolik Roma dan Gereja-gereja Ortodoks dan akan memberikan pemahaman bersama tentang wibawa Konsili yang disebut ekumenis.
Saling ekskomunikasi pada 1054 antara Paus Roma dan Patriarkh Konstantinopel dibatalkan pada 1965 oleh para pengganti mereka pada masa itu. Sementara Gereja-gereja ini kini berusaha menciptakan rekonsiliasi, pemulihan persekutuan yang penuh pun akan membutuhkan waktu.
Demikian pula pada 11 November 1994 dalam pertemuan antara Mar Dinkha IV, Patriarkh Babilonia, Selucia-Ctesiphon dan seluruh wilayah Timur (Chicago, Illinois), pemimpin Asiria atau Gereja "Nestorian", dan Paus Yohanes Paulus II dari Gereja Katolik Roma di Vatikan, ditandatanganilah sebuah Pernyataan Kristologis Bersama, menjembatani sebuah skisma yang berasal dari Konsili Ekumenis Ketiga di Efesus. Pemisahan dari Gereja Koptik dari Gereja Katolik yang esa, kudus dan apostolik setelah Konsili Ekumenis Keempat di Khalsedon dibahas dalam sebuah "Deklarasi Bersama antara Paus Paulus VI dan Paus dari Alexandria Shenouda III" di Vatikan pada 10 Mei 1973 dan dalam sebuah "Pernyataan Persetujuan" yang disiapkan oleh "Komisi Bersama untuk Dialog Teologis antara Gereja Ortodoks dan Gereja-gereja Ortodoks Oriental" di Biara Anba Bishoy di Wadi El-Natroun, Mesir pada 24 Juni 1989.